Taimpik Ndak Di Ateh Takuruang Ndak Dilua “Nagari Leadership Behavior”

Oleh : Safrudin Nawazir Jambak

Taimpik ndak diateh, takuruang ndak dilua inilah istilah atau pepatah Minangkabau yang banyak mengandung makna, ada yang menterjemahkanya dengan arti negatif bahwa orang minang “galia” atau cerdik, gaji ingin besar tapi kerja sedikit, diajak tidak mau tapi kalau sudah nampak berhasil namanya paling didepan, benarkah demikian?

Menurut ahli sosiologi Universitas Islam negeri Susqo Riau, prof Dr.Alaiddin koto bahwa istilah “taimpik ndak diateh, takuruang ndak dilua” merupakan sebuah teori kepemimpinan di Minangkabau yang sarat makna dan sesungguhnya ilmu menejemenàn modren yang diwariskan oleh peradapan minang tempo dulu. Apa arti taimpik ndak diateh dan takuruang ndak dilua  sesungguhnya?

Kenapa dikatakan mengandung makna teori kepemimpinan, karna makna dari “taimpik ndak diateh” adalah bahwa seorang pemimpin pada hakekatnya memang diatas para masyarakat yang dipimpin tetapi dengan seni dan kerendahan hatinya mampu menciptakan suana masyarakat tidak meresa dibawah malah merasa disanjung ke atas, rakyat dihimpit dengan berbagai kebijakan dan arahan tetapi rakyat merasa tersanjung.

“Takuruang ndak dilua” bukan berarti makna paradoks dimana siapapun memahami bahwa kalau terkurung sudah pasti didalam, tidak diluar. Namun artinya takuruang ndak dilua mengndung makna sebuah metode kepemimpinan dimana masyarakat dikurung dengan berbagai aturan oleh seorang pemimpin, rakyat dikurung dengan berbagai kesepakatan tetapi mereka tidak merasa terpaksa.

Disinilah kunci rahasia menejemen modren kepemimpinan minang kabau dimana seorang pemimpin harus mampu menanamkan rasa memiliki/sense of belonging.

Dimanapun seorang pemimpin, baik pemimpin formal apalagi pemimpin non formal, ilmu TND-TND ini sangatlah relevan diterapkan jika ingin sukses menjadi pemimpin, seni kepemimpinan ini penting guna melahirkan suatu model kepemimpinan kharismatik.

Sehebat apapun seorang pemimpin, apabila tidak mampu menjaga akhlakul karimah maka alamat tak akan lama bisa memipin/tidak langgeng karna loyalitas orang yang dipimpin akan segera luntur seiring keegoan, kesombongan dan sikap tinggi hati pemimpin.

Maka pepatah Minang yang berbunyi “manyahuak aia d ilia-ilia, bakato dibawah-bawah” bermakna sikap tawadu’ dan kerendahan hati seseorang dalam berucap dan bersikap.

Di alam demokrasi dewasa ini, dimana kualitas kepemimpinan seseorang juga diuji dengan dukungan pemilih untuk priode berikutnya baik selaku kepala daerah, wali nagari bahkan anggota legislatif dan lain sebagainya baik pemimpin formal dan non formal seperti juga seorang kepala kaum/niniak mamak maka seni kepemimpinan dengan filosofi ini masih relevan untuk diterapkan.

Di banyak kasus kita lihat ada pemimpin hebat tetapi tidak mampu mengendalikan keegoannya sehingga seolah kesuksesanya berdiri sendiri tanpa kontribusi pihak lain, maka bersiaplah ditinggalkan masyarakat. Umumnya dipriode berikutnya tidak lagi banyak mendapat dukungan alias satu priode saja lalu berhenti dan tidak terpilih kembali yang salah satu sebabnya terlalu sombong dalam memimpin.

Taimpik ndak diateh, takuruang ndak dilua ternyata bermakna positif dalam warisan peradapan kebudayaan minang kabau dimana dahulunya kepemimpinan di minang kabau telah berlandaskan kepada nilai syara’/ke islaman.

Pemimpin walaupun diberi kekuasaan untuk “maimpik dan manguruang” masyarakatnya dalam warisan kebudayaan minang kabau tetap harus bersikap tawadu’/rendah hati serta menjaga perasaan dan semangat pengorbanan rakyat yang dipimpinya dengan seni tnd-tnd.Wallahu a’lam bisswab.

(Penulis Adalah Politisi Partai PKS Sumbar)

Tinggalkan Balasan

1 komentar