Mencari Presiden yang Hebat Memang Harus “Ribut”

OPINI & ARTIKEL39 Dilihat

Oleh: Asyari Usman

Akhir-akhir ini semakin banyak petinggi politik dan pemerintahan yang salah memahami perpolitikan. Bahkan setingkat ketua DPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet), yang sudah sangat berpengalaman. Misalnya, ketika beliau menanggapi pertemuan antara SBY dan Wiranto, belum lama ini, Bamsoet mengatakan pertemuan itu sangat bagus.

“Karena itu mencairkan suasana dan memberikan ketenteraman bagi masyarakat, daripada gontok-gontokan dan saling serang,” kata Bamsoet seperti dikutip oleh media. Menurut Bamsoet lagi, elit politik yang saling serang akan memperkeruh suasana politik di Tanah Air.

Kalau anjuran Bamsoet ini diikuti, kita tak akan melahirkan pemimpin yang tangguh dan memiliki kompetensi. Kita tak akan mempunyai presiden yang berkapasitas dan berkapabilitas. Kita tidak akan memunculkan presiden yang berkualitas.

Memang betul para politisi jangan sampai menghasut. Jangan memfitnah. Jangan membuat dan menyebarkan berita hoax, berita bohong, dsb. Tetapi, para politisi jangan pula sampai diam melempam hanya karena ingin memelihara suasana sepi. Kalau mau sepi, tempatnya di kuburan. Di situ, tidak ada lagi hiruk-pikuk. Mungkin.

Politik itu memang percokolan yang tak pernah sunyi. Inti dari proses politik yang ribut itu adalah untuk mencari seorang pemimpin, yaitu presiden, yang relatif sempuran dari segala sisi. Untuk negeri tercinta ini, kita memerlukan presiden dengan kualifkasi terlengkap dan kualitas terbaik. Untuk Indonesia yang sebesar ini dan secanggih ini, kualitas presiden tidak cukup sebatas mudah dekat dengan warga sambil foto bersama. Tidak cukup mengandalkan kebersahajaan. Gemar masuk got, parit atau gorong-gorong. Tak cukup itu saja.

Memang presiden dengan gaya seperti itu, sangat bagus. Tetapi, urusan negara ini bergunung-gunung dan serba ruwet. Indonesia memerlukan presiden yang memiliki surplus dalam kapabilitas dan kapasitas.

Presiden harus serba bisa. Harus bisa semuanya. Kita memerlukan presiden yang mahir berbicara dan memiliki literasi ekosospol level 10. Mutlak! Bukan presiden yang mengatakan “I want to test my minister” ketika menjawab pertanyaan di depan forum-forum serius yang bergensi internasional. Tentu ini sangat memalukan. Memalukan bagi para menteri, memalukan bagi Indonesia.

Memilih pemiminpin Indonesia yang sebegini luas, dengan jumlah penduduk yang cukup besar, dengan tingkat kecanggihan berpikir dan intelektualitas yang tinggi, haruslah melalui rekrutmen politik yang ketat. Para calon pemimpin harus melewati “natural selection” (seleksi alam). Bukan ditiba-tibakan saja menjadi ini dan itu, terus kemudian naik ke kursi presiden. Presiden Indonesia harus bisa dicecar dalam wawancara media internasional apalagi media lokal.

Jadi, untuk menghadirkan presiden yang kompeten dan memenuhi semua syarat, wajarlah panggung politik Indonesia itu penuh dengan “keributan”. Hiruk-pikuk yang positif, yang menjadi mesin penggodokan.

Politik itu memang selalu hiruk-pikuk. Sebab, pentas politik adalah arena tempat mengadu gagasan dan kepiawaian. Politik sekaligus dimaksudkan untuk merebut kekuasaan dan membentuk pemerintahan. Proses berikutnya ialah memilih orang yang menjalankan pemerintahan itu. Yakni, memilih presiden.

Inilah klimaks dari hiruk-pikuk politik. Demokrasi adalah “keributan politik”. Sebagai contoh saja, tagar £2019GantiPresiden adalah bagian dari “keributan” yang normal dan tak terhindarkan. Tidak harus dibungkam atau ditakuti.

Contoh lain. Ketika Pak Amien Rais menguraikan tentang “partai setan” dan “partai Allah”, ini juga bagian dari hiruk-pikuk politik yang tidak perlu dipersoalkan. Tidak usah dikatakan “memperkeruh suasana”. Sepanjang tidak merujuk ke sesuatu kelompok politik, maka itulah “keributan politik” yang wajar terjadi.

Mengapa? Karena proses rekrutmen politik dituntut untuk merefleksikan aspirasi rakyat banyak. Jurus-jurus yang dibawakan Pak Amien adalah “political sound bite” yang ikut memperketat proses pemilihan presiden. Bukankah semakin ketat proses pemilihan, akan semakin baik hasilnya?

Sekiranya yang dimaksud oleh Pak Bamsoet dengan “memperkeruh suasana” adalah hiruk-pikuk politik yang tercontohkan di atas, terus apalagi yang bisa disebut proses rekrutmen politik yang pantas? Apakah harus kita buat proses yang selalu hening, tidak ada interupsi, tidak ada tagar, tidak ada debat, tidak ada revelasi (pembeberan) rekam jejak, dsb? Absurd sekali.

Jadi, janganlah cepat-cepat disebut bahwa hiruk-pikuk pilpres 2019 adalah langkah-langkah yang “memperkeruh suasana”. Sangat berlebihan.

Anggapan “memperkeruh suasana” hanya mencerminkan kegelisahan dari figur yang sedang “dikawal” oleh Pak Bamsoet. Mencerminkan kekerdilan. Kekosongan. Menunjukkan “self-confidence” (percaya-diri) yang dipaksakan. Percaya diri yang hoax. Reflecting one’s incapability.

Bagi Indonesia, memilih presiden sangat krusial. Salah pilih akan berakibat fatal. Menjalankan kekuasaan presiden jauh lebih kompleks dari kombinasi pekerjaan seluruh gubernur di Indonesia ini. Jadi, diperlukan seseorang yang memiliki kapabilitas dan kapasitan ekstra. Harus bisa semuanya. Harus memahami semua bidang dan mengerti poin-poin penting dari semua bidang itu.

Berat? Tentu saja berat. Mana mungkin tugas dan fungsi presiden sama seperti walikota. Karena itu, kita harus mencari figur yang paling sempurna dari segala hal. Lahir dan batin. Otak dan otot. Intelektual, spiritual. Harus pintar sekaligus tampan. Minimal, menguasai bahasa Inggris dengan fasih kalau pun tidak mungkin multi-bahasa. Bukan untuk gagah-gagahan berpidato, tetapi supaya mampu memahami literatur dan audiensi internasional.

Saking perlunya presiden Indonesia itu memiliki kesempurnaan manusiawi, tampilan fisiknya pun akan dijadikan bahan pembicaraan khalayak. Memang tidak substantif. Tidak esensial. Tetapi, begitulah tuntutan situasi.

In-sya Allah bisa kita cari diantara 200 juta manusia dewasa di negeri ini.

(Penulis adalah wartawan senior)