Humas dan Pilkada

OPINI & ARTIKEL28 Dilihat

Oleh: Emeraldy Chatra
(Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas Andalas)

Sekali waktu seorang kepala seksi di bagian humas sebuah pemerintah kota berkunjung ke kantor saya. Ia bergelar magister. Tujuannya bertemu dengan saya untuk menjajaki kemungkinan pindah profesi (misbar) menjadi dosen di tempat saya mengajar.

Tentu saya bertanya, mengapa ia ingin pindah? Bukankah dengan gelar magister ilmu komunikasi ia punya prospek menjadi kepala bagian humas di kantornya? Jawabannya membuat saya trenyuh. Ia stres dan tidak merasa nyaman bekerja, apalagi menjelang pilkada.

Sebenarnya cerita pegawai bagian humas jadi stres ketika pilkada bukan pertama kali saya dengar. Sudah cukup sering malah, hampir di setiap pilkada digelar. Apa yang membuat mereka stres?

Dalam pilkada tidak dibolehkan para ASN (dulu PNS) menjadi pendukung salah satu kandidat kepala daerah. ASN harus dalam posisi netral. Aturan seperti itu sudah ada sejak lama dan makin mengeras dan berat sanksinya. ASN yang diketahui melanggar dapat dikenai sanksi sampai kepada pemberhentian.

Sekarang berfoto dengan salah seorang kandidat pun, sekalipun tidak ada maksud memberi dukungan, akan berakibat fatal kepada ASN tersebut. Menulis pesan yang mendukung seorang kandidat di media sosial juga tidak dibolehkan. Ada tujuh tindakan yang dilarang dilakukan ASN, sebagaimana dibunyikan dalam Surat Edaran Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2018, Pemilihan Legislatif Tahun 2019, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019.

Larangan bagi ASN terlibat pilkada (dalam arti sebagai pendukung salah satu kandidat) sebenarnya kebijakan bagus dan perlu didukung. Mereka digaji oleh negara untuk melayani masyarakat, bukan melayani calon pejabat tertinggi di daerah. Apalagi melayani kepentingan politik partai yang bertarung mengusung kandidatnya jadi kepala daerah. Lebih salah lagi.

Bila ASN terlibat hampir dapat dipastikan akan terjadi korupsi. Setidaknya korupsi penggunaan aset negara, waktu kerja, atau informasi.

Bagi kebanyakan ASN larangan KemenPAN-RB mungkin tidak jadi masalah, bahkan menyenangkan karena tidak perlu menghabiskan energi menyukseskan kandidat petahana. Tapi bagi ASN yang bertugas di bagian humas seringkali jadi masalah besar. Apa sebabnya?

Tak jarang petahana yang tahu kemampuan personel humas berusaha memberikan tekanan agar ASN tersebut memberikan dukungan kepadanya. Jasa yang sangat diharapkan berkenaan dengan tugas rutin kehumasan seperti berhubungan dengan media (media relations), membuat foto-foto yang layak publikasi, mengelola media sosial sampai pada pekerjaan di luar kantor.

Model tekanan yang diberikan bervariasi mulai dari sekedar ajakan ringan sampai pada ancaman yang tersirat. Ancaman yang meresahkan bagi ASN-humas jika tidak mendukung berupa mutasi seandainya petahana memenangkan pilkada dan kembali ke posisi semula.

Mutasi yang dibayangkan tentu bukan dari tempat baik ke tempat yang lebih baik. Boleh jadi akan dibebaskan dari tugas alias non-job. Tidak punya jabatan apa-apa selama petahana tersebut menjadi kepala daerah. Bagi ASN-humas keadaan seperti itu tidak menyenangkan bahkan bagi sebagian terasa sangat mengerikan.

Tekanan petahana seperti itulah yang membuat ASN-humas menjadi stres dan merasa lingkungan kerja tidak nyaman lagi. Di satu sisi mereka tahu kewajiban untuk tidak berpihak atau netral, tapi di sisi lain mereka ditekan untuk mendukung petahana. Lebih menyusahkan lagi kalau prediksi-prediksi yang dibuat surveyor menyatakan petahana tersebut berpotensi menang kembali.

Kondisi seperti itu tidak bagus bila dibiarkan. Harusnya pemerintah, dalam hal ini Kemenpan-RB dan intansi terkait lainnya mempertimbangkan sanksi bagi petahana apabila menekan ASN-humas untuk kepentingan politik mereka. **