Kisah Legenda Bung Karno di Tepi Danau Ayamaru, Menentukan Tanggal 17 Agustus, Belasan Tahun Sebelum Proklamasi 1945

AYAMARU – PB, Kamis (17 Agustus 2017) Kabardaerah.com – Buku sejarah hanya mencatat Boven Digul, suatu Daerah terpencil di pedalaman Kabupaten Merauke, sebagai tempat pembuangan atau pengasingan Bung Karno, tokoh pejuang yang kemudian menjadi Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pembuangan Ir. Soekarno dan tokoh-tokoh pejuang lainnya di Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Belanda, terjadi pada tahun 1934, namun beberapa tahun sebelumnya, Bung Karno pernah berada di Ayamaru, masuk wilayah Kabupaten Maybrat sekarang.

Pembuangan atau pengasingan di Ayamaru ini terjadi pada tahun 1931. Saat itu, Daerah ini terisolir, lebih dari 100 km dari Kota Sorong, tak ada jalan darat yang menembus daerah ini.

Namun demikian, Pemerintah Netherland Nieuw Guinea, membangun suatu pusat pemerintahan di sini.

Satu-satunya transportasi kala itu ialah dengan penerbangan Bifer, yaitu jenis pesawat kecil yang bisa mendarat dan mengapung di air.

Sedang warga asli setempat sudah biasa melalui jalan tradisional, melewati gunung dan lemah, sungai dan kali, serta hutan lebat.

Alkisah sejarah Bung Karno di Ayamaru, ibarat cerita legenda atau dongeng pewayangan. Kisah ini tersimpan rapi dalam ingatan beberapa keluarga di Ayamaru, khususnya keturunan Klewok Kaleb Bless, Orang Tua Angkat Bung Karno, yang menuturkan kisah ini kepada anak tunggalnya, Yakob Bless.

Di tepi Danau Ayamaru, terdapat suatu tempat berbentuk cerukan serupa Goa pada lereng batu.

Goa ini berjarak sekitar seratus meter dari halaman belakang SMA Negeri Ayamaru. Saat menyusuri jalan setapak di halaman belakang sekolah, Yakob Bless menunjukan lokasi Bung Karno dan bapaknya biasa berteduh, dengan membangun rumah pohon, dan lokasi kebun yang digarap Bung Karno.

Jalan setapak terus dilalui hingga menurun ke tepi danau. Sejak lama, lokasi ini dikenal sebagai tempat ‘pamali’, sakral, sehingga para orang tua melarang anak-anaknya bermain hingga ke kawasan hutan dan sisi danau ini.

Warga yang lain tidak ikut, hanya Yakob Bless dan Yohanes Sentuf, menyusul kemudian Yulianus Howay. Ketiganya telah paruh baya, tapi belum lahir saat Bung Karno dibuang ke kampungnya.

Yakob Bless, Yohanes Sentuf dan Yulianus Howay, langsung turun ke pintu goa.

Di belakang ketiganya, terdapat batu yang menonjol dari dalam tanah dan berpermukaan datar. Batu ini ialah tempat duduk Bung Karno, saat bertafakur dan berdoa.

Batu ini terlihat bersih, dibanding bebatuan besar lainnya di sekitar, seakan masih sering digunakan.Yohanes Sentuf, mewakili keluarga, menjelaskan kisah Bung Karno, yang dituturkan orang tua mereka, turun-temurun.

Pernah di suatu pagi, Klewok Kaleb Bless, pergi memancing ikan ke tengah danau, sedang anak angkatnya, Bung Karno, menunggu di tepi danau, seraya duduk di atas batu di mulut goa itu.

Selang beberapa jam menangkap ikan, Klewok Kaleb Bless, bergegas pulang dengan mengayuh perahunya. Orang tua ini sungguh terkejut karena air di cerukan danau itu telah mengering, sedang cerukan terbelah dua.

Orang tua Bless terpaksa menarik perahunya di kekeringan, lalu berjalan ke arah goa tempat anak angkatnya ditinggal pergi tadi. Orang tua Bless terperanjat dan nyaris pingsan melihat anaknya, Bung Karno, telah dililit ulat raksasa. Ular naga, begitu kata Yohanes Sentuf.

”Kepala naga itu tepat di atas kepala Bapak Soekarno, dan mulutnya terbuka, lalu turun naik hingga taringnya tepat di sisi cuping Bapak Soekarno,” jelas Yohanes Sentuf.

Kejadian ini berlangsung beberapa menit, lalu sang Naga bergerak kembali ke cerukan danau yang sekonyong-konyong kembali dipenuhi air.

Bapak Bless bergegas ke sisi lain danau, menghindar dari peristiwa aneh yang disaksikannya.

Bung Karno yang baru saja mengalami peristiwa itu, terlihat berdiri tenang beberapa saat di atas batu di mulut goa.

Usai bertafakur, Bung Karno menghampiri bapak angkatnya, lalu mengajak pulang ke rumah pohon, tempat keduanya berteduh dan beristirahat.

Bung Karno menceritakan segala sesuatu yang diperolehnya dalam pengalaman bertemu Naga di tepi Danau Ayamaru.

”Pandanglah ke sana, ke tengah danau, di situ ada Merah Putih,” kata Bung Karno kepada Bapak Bless, dituturkan Yohanes Sentuf, ”Merah itu warna lumpur, sedangkan Putih ialah warna buih-buih ombak yang menampar daratan berlumpur merah itu. Itulah warna bendera kita!”

Lagi jelas Bung Karno kepada bapak angkatnya, ”Lihat burung elang sana, bulu-bulunya sayapnya berjumlah tujuh belas, ekornya berjumlah delapan, dan bulu leher berjumlah empat puluh lima!!”

Ternyata angka-angka jumlah bulu burung elang itu, menunjukan tanggal, bulan dan tahun proklamasi kemerdekaan, pada empat belas tahun kemudian, tanggal 17, bulan 8, tahun 1945.

Di daerah ini, pada masa lampau, sering beterbangan jenis elang berukuran raksasa. Kini tidak ada lagi, mungkin telah punah.

Selain pertanda warna Merah Putih dan Lambang Negara dengan Hari Proklamasi itu, Bung Karno juga mendapat peringatan dari Naga perihal persatuan.

Simbol persatuan yang dimaksud ialah satu pohon beringin yang berdiri kokoh di pulau di tengah danau.

Pohon Beringin, di kemudian hari menjadi salah satu lambang dari Dasar Negara Pancasila, yaitu sila ke-3, Persatuan Indonesia.

Tak lama berada di Ayamaru, esok harinya, setelah mengalami peristiwa ajaib di tepi Danau, Bung Karno, mohon diri kepada orang tua angkatnya untuk berangkat ke Teminabuan.

Teminabuan ialah ibukota Kabupaten Sorong Selatan sekarang. Jaraknya sekitar 500 km dari Ayamaru. Tepat jam enam pagi, Bung Karno, berangkat ke Teminabuan dengan berjalan kaki.

Beberapa penunjuk jalan yang mendampingi Bung Karno, mengabarkan kepada warga Kampung Ayamaru, saat kembali, bahwa Bung Karno dan rombongan tiba tepat jam enam sore di Teminabuan.

Bung Karno terus berangkat ke Teluk Bintuni, lalu ke Fakfak, menyusuri misteri alam pesisir barat dan selatan Tanah Papua ini.

Aktifitas Bung Karno yang luar biasa ini, walaupun sebagai tawanan politik dan menjalani hukuman pengasingan di wilayah Netherland Nieuw Guinea, atau Tanah Papua sekarang, menimbulkan kecurigaan pemerintah Belanda kala itu.

Bung Karno pun dijemput dan diasingkan ke pedalaman Merauke, di Boven Digul, dalam tahun 1934.

Boven Digul ialah suatu daerah yang benar-benar tertutup dari dunia luar.

Masa pengasingan di Boven Digul tidak berlangsung, beberapa tahun kemudian Bung Karno dan banyak tahanan politik lainnya dibebaskan pemerintah Netherland Hindia di Batavia (Jakarta).

Bung Karno kembali ke Jakarta, lalu perjuangan kemerdekaan diteruskan hingga terjadi Proklamasi pada tahun 1945. (AT)

Tinggalkan Balasan