Ketua PC SPKEP SPSI Mimika: Pimpinan PT. Freeport Indonesia Dinilai Melanggar Keputusan MK

Papua, Kabardaerah.com – Ketua PC SPKEP SPSI, Kabupaten Mimika, Aser Gobai mengemukakan belum dipekerjakannya kembali 8.100 karyawan yang di PHK atau dirumahkan oleh PT. Freeport Indonesia, tidak sesuai aturan yang ditetapkan didalam UU dan dianggap telah melanggar keputusan MK.

“Masalah karyawan Freeport, pimpinan Freeport melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi, Efisiensi, tidak bisa jadi alasan PHK, apalagi dirumahkan ( Fourlogh),” ujarnya, Minggu (15/10).

Ia juga, beranggapan PT. Freeport Indonesia, merumahkan 8.100 karyawan hanya beralasan, sebab ijin konsentrat belum juga ditandatangani. “Manajemen PT. Freeport mem – PHK serta dirumahkan ( fourlogh ) karyawan sebanyak 8.100 orang dengan alasan, dalam rangka efisiensi, karena produksi menurun, akibat belum ditanda – tangani izin eksport konsentrat oleh Pemerintah Indonesia,” ungkap Aser.

Aser juga menjelaskan pokok aturan tentang PHK karyawan dari suatu perusahaan tentang merumahkan karyawan tidak tercantum dalam UU Ketenagakerjaan.

“Legal standing PHK sudah diatur dalam UU KETENAGAKERJAAN ( UU NO 13 Tahun 2003 ), sedangkan istilah Fourlogh (dirumahkan) tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan tersebut, hanya berdasarkan pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja NO. 907 / MEN / PHI – PPHI / X / 2004, tentang Pencegahan PHK Massal, yang menggolongkan, meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu, sebagai salah satu upaya yang dilakukan sebelum melakukan PHK,” jelas Gobai.

Ia beranggapan bahwa selain tidak sesuai aturan, pihak PT. Freeport Indonesia harusnya merumahkan karyawan dengan dengan waktu yang ditentukan setelah itu karyawan diperbolehkan untuk kembali bekerja.

“Status Hukum karyawan yang dirumahkan (fourlogh) bahwa, merumahkan pekerja sama dengan meliburkan atau membebaskan pekerja untuk tidak melakukan pekerjaan sampai dengan waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Hal ini dilakukan oleh perusahaan sebagai langkah awal untuk mengurangi pengeluaran perusahaan atau karena tidak adanya kegiatan atau produksi yang dilakukan perusahaan, sehingga tidak memerlukan tenaga kerja untuk sementara waktu,” tuturnya.

Aser juga, menjelaskan tentang surat edaran Kementerian Tenaga Kerja, yang berisi 2 poin penting.Tindakan Pengusaha ( perusahaan ) merumahkan pekerja bukan mengarah pada terjadinya PHK, merujuk pada Surat Edaran MENAKER NO. 5 TAHUN 1998, adalah, pertama, Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan,kecuali telah diatur lain dalam perjanjian kerja Peraturan Perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama ( KKB ).

Kemudian, kedua, apabila pengusaha tidak membayar upah secara penuh agar dirundingkan dengan pihak Serikat Pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.

Lebih jauh Ia menyebutkan pasal dan ayat Undang-undang ketenagakerjaan tentang PHK. ” Merujuk pada pasal 151 ayat (3) jo pasal155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, maka pekerja belum di PHK atau selama belum ada penetapan dari lembaga Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), maka pengusaha maupun pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya,” tuturnya lagi.

Kata Aser, sebelum status dirumahkan pekerjaan berarti belum putus hubungan pekerja dengan pengusaha sesuai dengan aturan undang-undang ketenagakerjaan.

“Sesuai pasal 151 jo,  pasal 155 UU Ketenagakerjaan, maka kita dapat mengetahui status dirumahkannya  pekerja berarti belum terputusnya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha selama belum memperoleh penetapan dari lembaga PHI. Dalam keadaan  seperti ini baik pengusaha maupun pekerja wajib melaksanakan kewajiban masing – masing sesuai perjanjian yang telah disepakati,” jelas Gobay.

Ini artinya, pekerja melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh pengusaha dan pengusaha wajib membayar upah yang diperjanjikan.Hal ini juga diatur dalam pasal 93 ayat (2) jo pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,” ungkapnya lagi.

Ia menambahkan, keputusan PHK karyawan dengan alasan efisiensi hanya dibenarkan jika perusahaan tutup permanen. “Secara Yuridis Konstitusional sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) RI, NOMOR 19 / PUU – IX / 2011, tgl 20 Juni 2012,  bahwa PHK dengan alasan, “Efisiensi Perusahaan, hanya dibenarkan bila perusahaan dalam konteks tutup secara permanen,” jelasnya lagi.

Ia pun menjelaskan ungkapan menteri tenaga kerja era Susilo Bambang Yudhoyono, yakni pak Muhaimin Iskandar. “Pada tanggal 5 Desember 2009, Menteri Tenaga Kerja Pak Muhaimin Iskandar, secara tegas sampaikan bahwa, PHK dengan alasan merenovasi tidak dibenarkan. Karena menurut menaker, renovasi bukanlah penutupan perusahaan,” katanya lagi

Selain itu ungkap Aser Gobai “Ketua MK RI Mahfud MD, mengatakan bahwa, perusahaan hanya bisa memilih jalan PHK, bila perusahaan tersebut tutup permanen. Dengan kata lain, Perusahaan yang tutup hanya sementara tidak boleh memecat pegawainya. Alasan efisiensi saja tidak dapat dijadikan alasan PHK,” jelasnya lagi,” tirunya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka management  Freeport melakukan PHK serta merumahkan sebanyak 8.100 karyawan adalah dalam rangka “Efisiensi” sementara produksi menurun akibat belum ditanda tangani Surat Izin Eksport Konsentrat.

“Kenyataan sekarang bahwa, Pemerintah Indonesia sudah menanda – tangani Izin eksport konsentrat serta Perusahaan sudah bekerja normal, maka sesuai Undang – Undang, aturan Menaker serta putusan MK RI, 8100 karyawan tersebut harus di pekerjakan kembali sebagaimana semula,” ujarnya.

Ia mengatakan, PT. Freeport Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukun jika manajemen tidak lagi pekerjakan kembali karyawan yang di PHK. “Jika management Freeport masih tetap tidak mau pekerjakan kembali (Karyawan yang di PHK) maka, Freeport telah melakukan perbuatan melawan hukum, dan bisa di pidanakan,” jelasnya lagi.

(Dami Zanambani)

Tinggalkan Balasan