Kebijakan pemerintah Kota Tidore Kepulauan, yang memberikan kewenangan pinjam pakai lahan seluas 125 hektar di Kelurahan Akelamo, Kecamatan Oba Tengah kepada PT Tidore Sejahtera Bersama untuk menggusur tanaman milik warga Akelamo dan kemudian menanam kelapa genjah, tak hanya merugikan warga setempat dari segi ekonomi, akan tetapi ada kearifan lokal yang tercabik dari masyrakat yang telah berpuluh tahun hidup dan membentuk konsep sosial serta adat kebiasan yang berlangsung lama.
Akelamo Oba bukan hanya menjadi tempat berpijak bagi 833 jiwa yang berdomisili disana, tapi seperangkat kearifan lokal para petani dalam memaknai alam dan sekitarnya. Sebab, perubahan mata pencarian petani yang dulunya mengelola pohon enau (Selanjutan disebut Seho sesuai dengan bahasa lokal) menjadi gula aren, harus dipaksakan dengan mengelola kelapa genjah yang hingga saat ini belum ada format yang tepat soal apa dan bagaimana posisi warga Akelamo Oba, dengan adanya penanaman kelapa genjah ini, dan selanjutnya apa keuntungan yang diperoleh dari penanaman kelapa genjah.
Penggusuran tanaman berdampak pada perubahan, yang tentu akan berpengaruh kepada konsep hidup masyarakat Akelamo oba dalam segala aspek, dimana mereka mengenal kreatifitas menglola gula aren akan tetapi dengan perubahan ini, terjadi pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahan dengan adanya kelapa genjah dapat merubah tatanan ekonomi dan mata pencarian penduduk.
Fenomena ini dalam kajian etnografi dimasukan dalam salah satu kerugian karena adamua unsur budaya yang tercabik, sebagimana Koentjaraningrat dalam bukunya ‘Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971), dengan jelas menyebutkan sistem ekonomi atau mata pencarian juga termasuk dalam 7 unsur budaya.
Sehingga tindakan penggusuran pohon seho, tidak hanya dapat dimaknai sebagai penggusuran atas tanaman dan digantikan dengan tamanan lain, akan tetapi pengsusuran ini dapat dimaknai sebagai penggusuran atas seperangkat budaya yang ada di kelurahan Akelamo Oba dalam hal ini budaya sistem ekonomi dan mata pencarian, dimana masyarakat diperhadapkan dengan tidak adanya kemampuan lain dalam mencari nafkah, selain mengelola pohon seho menjadi gula aren.
Lalu dengan keterbatasan kemampuan ini akan mempengaruhi perekonomian masayarakat.
Telah banyak dikabarkan baik melalui media cetak maupun media online, terkait dampak ekonomi dengan kebijakan ini, seperti kegelisahan petani Akelamo Oba yang menggantungkan hidupnya dari lahan 125 hektar itu, banyak dari mereka yang takut anaknya tak bisa melanjutkan sekolah, sebab selama ini mereka menyekolahkan anak dari hasil panen gula aren, sehingga menggusur tanaman mereka sama saja dengan memotong jalan menyambung hidup.
Hal ini sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tidore Kepulauan tahun 2017, yang tertulis dalam berita resmi statistik Oba Tengah dalam Angka Tahun 2017. Menujukan mayaoritas masyarakat Akelamo dengan jumlah penduduk sebanyak 833 jiwa dengan jumlah kepala keluaraga 236 menggantungkan hidupnya sebagai petani. Jenis tanaman adalah tanaman tahunan sepesrti Palah, Cengkih, Kelapa, Pohon Sagu dan Pohon Enau.
Data menunjukan profil pertanian di Kelurahan Akelamo Oba pada tahun 2016, luas tanaman kelapa milik warga Akelamo menurut luas wilayanya sebesar 34 hektar dengan hasil panen sebesar 5,7 ton dan jumlah petani kelapa 25 kepala keluarga. Untuk jenis tanaman pala luas wilayahnya 59 hektar, hasil produksi 10 ton per tahun dan jumlah petani pala 59 kepala keluaraga.
Jenis tanaman cengkih luas wilayanya 6 hektar, hasil produksi 7,6 ton, jumlah petani 6 Kepala Keluarga. Tanaman coklat, luas wilayah 5 hektar. Jenis tanaman sagu 5 hektar dengan jumlah petani 20 kepala keluarga. Tanaman pohon enau sebagai penghasil gula aren dengan luas wilayah 9 hektar, dengan hasil produksi 13 ton per tahun dan petani sebanyak 15 kepala keluarga.
Sehingga wajar jika warga Akelamo Oba bereaksi dan melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, tercatat aksi penolakan kelapa genjah pertama kali dilakukan pada bulan April tahun 2017, akan tetapi hal ini tidak digubris oleh Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, kemudian aksi yang kembali terjadi pada bulan Oktober 2017 ini yang menyita perhatian publik.
Gerakan perlawanan ini sering diasosiasikan oleh pendukung pemerintah sebagai gerakan yang ditunggangi untuk kepentingan politik, padahal nyatanya memang telah ada yang dirugikan. Gerakan perlawan oleh kaum tani Akelamo Oba, serupa dengan apa yang dicatatkan oleh James Scott, seorang ilmuan jenius asal Amerika Serikat, yang memfokuskan penelitannya pada studi agraria, salah satu bukunya yang dirterjemahkan dengan judul Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Substensi di Asia Tenggara (Jakarta, LP3S, 1981), menjelaskan bagaimana masayarkat petani dalam kemampuan bertahan hidup dalam kondisi minimal.
Sebagaimana petani Akelamo Oba yang menggantungkan hidup pada pertanian telah membentuk perilaku kaum tani yang menolak dengan adanya kebijakan penguasa yang merugikan mereka termasuk juga kelapa genja yang dalam persepsi Pemerintah Kota Tidore sebagai langkah inovasi.
Moral ekonomi petani inilah yang membuat mereka berontak dengan kebijakan penguasa, sebab kebijakan itu bukan hanya menggusur tanaman akan tetapi mengganggu jalan mereka untuk mendapatkan rizki, sehingga dari gerakan perlawanan sepatutnya mendapatkan dukungan dari semua pihak, karena bukan kerana sebab suka tidaknya pada penguasa akan tetapi aspek kemanusian yang tergusur disana.
Gerakan ini pula harusnya, dapat diperjuangkan oleh para wakil rakyat yang duduk di kursi terhormat DPRD Kota Tidore Kepulauan, untuk bisa menyikapi dengan berani atas kebijakan yang merugikan rakyat ini, melalui hak angket, sepatutnya penyelidikan akan masalah ini dapat memberikan hasil yang memuaskan bagi petani Akelamo Oba, Semoga.
( Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bumi Hijra Sofifi)