SMI: Lawan Kapitalisasi Pendidikan dan Pembungkaman Demokrasi

Jakarta, Kabardaerah.com– Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), menilai program kebijakan rezim Jokowi-JK terus menerus menciptakan kemelaratan struktural yang semakin akut. Penerapan kebijakan ekonomi hingga jilid 16 itu bukannya membangun ketahanan ekonomi, malah justru membuat Indonesia semakin memiliki ketergantungan dengan korporasi dan lembaga hutang.Faktanya, Indonesia mencapai rekor fantastis dari sisi penambahan hutang Negara di era Jokowi-JK, yang sudah menyentuh jumlah Rp3.825,79 Triliun. Sementara cicilan hutang jatuh tempo di tahun 2018-2019 sebesar 810 Triliun, hampir setara separo total APBN.Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia ujar Nuy Lestari, kepada Kabardaerah.com, Selasa (24/10). Menurutnya, akibat kondisi demikian tak heran, Menkeu Sri Mulyani begitu kelabakan segera melakukan penghematan besar-besaran dengan mencabut subsidi serta menaikkan pajak untuk menambal krisis APBN.

Dikatakannya, ambisi pembangunan infrastruktur yang banyak dibanggakan kelompok kelas menengah sebagai suatu prestasi Jokowi-JK, telah menciptakan kemelaratan yang  berjangka panjang bagi rakyat. Inilah akibatb menopang pembangunan infrastruktur besar-besaran adalah dari hutang, bukan kekuatan fundamental ekonomi rakyat.

“Sektor pendidikan menjadi salah satu sektor yang mendapatkan dampak cukup besar dari program kebijakan liberalisasi. Kemiskinan struktural telah membuat sebanyak 4,1 juta anak usia sekolah di Indonesia, tidak sanggup mengenyam bangku sekolah,” papar Nuy Lestari

Ditambah lagi terdapat sekitar 997.445 siswa yang tidak mampu melanjutkan pendidikan hingga tingkat sekolah menengah. Belum terhitung ratusan ribu kaum muda yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi dan angka putus kuliah, .

Nuy Lestari menilai peran institusi pendidikan sebagai aparatus ideologis negara beralih fungsi menanamkan budaya pragmatis dan anti kritik. Tak ubahnya dengan situasi krisis demokrasi Negara, dunia pendidikan juga menampilkan bentuknya sebagai institusi pelanggar nilai-nilai demokrasi.

Begitu juga Kasus-kasus pelanggaran demokrasi semakin marak seperti Drop Out massal dan skorsing sepihak, pemberedelan organisasi Mahasiswa, serta kasus kekerasan fisik dan kriminalisasi Mahasiswa-Pemuda-Pelajar seperti yang terjadi di Universitas Proklamasi 45 Yogya, Universitas Pekalongan dan daerah lainnya.

Pertemuan Rektor seluruh Indonesia akhir September lalu, telah menyepakati untuk membuat suatu aturan yang akan meminimalisir tumbuhnya paham radikalisme di institusi Perguruan Tinggi.

Nuy Lestari menyayangkan bahwa upaya pemberantasan radikalisme di dunia pendidikan justru di implementasikan secara serampangan dengan memberlakukan sejumlah aturan-aturan yang tidak masuk akal, seperti pemberlakuan jam malam kampus, pelarangan mimbar-mimbar akademik hingga MoU pihak kampus dengan aparat Militer untuk menindak secara hukum Mahasiswa yang melakukan aksi protes terhadap kebijakan kampus.

“Inilah fase krisis demokrasi akut. Institusi pendidikan kita sedang melakukan upaya depolitisasi kampus dan pemberangusan gerakan sosial kaum muda,” tandasnya.

Situasi ini semakin membuka mata kita, bahwa kekerasan negara terhadap rakyat tidak hanya berbentuk larangan dan pengekangan kebebasan berorganisasi dan kekerasan fisik. Tapi kekerasan dalam bentuk belenggu kebebasan berpikir dan berekspresi.

Oleh karena itu, Serikat Mahasiswa Indonesia secara nasional melakukan aksi massa di depan Gedung Kemenristek-Dikti, Kopertis, Dinas Pendidikan dan institusi yang bertanggung jawab dalam penyelesaian persoalan ekonomi-politik dan pendidikan di Indonesia.

Memperingati Hari Sumpah Pemuda 2017, Kordinator Lapangan Aksi Sumpah Pemuda, Shem Firdaus menegaskan bahwa kaum muda, sebagai generasi mayoritas sekaligus tumpuan tenaga produktif, tentu akan mengalami pukulan sosial-ekonomi yang cukup serius. Sistem kontrak outsorching dan jaminan pekerjaan layak yang dicederai oleh liberalisasi pasar tenaga kerja menjadi faktor utama pemerasan tenaga produktif kaum muda, yang semakin tidak dihargai nilai kerjanya akibat politik upah murah.

“Beban kaum muda dan keluarga buruh-tani di Indonesia semakin berat, seiring dengan pencabutan subsidi dan komersialisasi di sektor publik pendidikan , kesehatan, transportasi, dan lain-lain,” ungkapnya lagi.

Krisis sosial ekonomi ini, sudah semestinya menjadi pekerjaan bagi gerakan rakyat dan kaum muda untuk terlibat ke dalam perjuangan rakyat, jika kita tidak menginginkan barisan perbudakan dan penjajahan semakin kronis di negeri ini.

( Soehartanto)

Tinggalkan Balasan