Refleksi Pernikahan Nan Sejati

Oleh: Anggun Gunawan

Sejak SMA saya sudah mulai baca-baca buku tentang pernikahan. Intensitasnya semakin tinggi ketika masa-masa kuliah. Maklumlah, di zaman saya kuliah lagi booming buku-buku sejenis “Kupinang Engkau dengan Hamdallah”, “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan” yang ditulis oleh ustadz-ustadz Jogja.

Bedah buku-buku bertema itu sangat sering dan ramai diadakan. Sehingga para mahasiswa/i di kala itu “panas-panas dingin” pengen nikah pas masih kuliah. Saya termasuk orang yang “gagal” menikah pada saat kuliah. Berbeda dengan ustadz salim a fillah dan ustadz abduh tuasikal yang berani nikah dengan status sebagai mahasiswa

Maklumlah. Misi pertama mahasiswa perantau Minang dari kampung adalah sukses. Kalau belum sukses, jangan harap dapat izin menikah dari orang tua. Hingga singkat cerita, saya baru menikah di kepala tiga atau 7,5 tahun selepas diwisuda.

Selepas 7,5 tahun menyelesaikan kuliah sarjana dan 7,5 tahun juga menggembara mencari status sebagai awardee penerima beasiswa ke luar negeri. Pada masa-masa awal memegang status sebagai “suami”, memori lama mengikuti bedah buku “pernikahan” datang kembali.

Ingatan dengan baris-baris kalimat di buku-buku pernikahan yang banyak memaparkan tentang hadist-hadist rasullah tentang pernikahan muncul lagi di kepala. Hati saya mengatakan, “memang benar apa yang dikatakan nabi.

Terutama sekali soal bagaimana seharusnya kita bersikap, berinteraksi, dan menghadapi istri (perempuan) yang sesungguhnya memang berbeda dengan laki-laki”. Saya jadi ingat dengan kisah yang pernah disampaikan oleh seorang ustadz (kalau dhoif mohon dikoreksi ya teman-teman).

Alkisah, pernah suatu malam nabi pulang larut. mungkin ada urusan kaum muslimin yang harus beliau urus sehingga baru bisa pulang larut malam. maka tibalah nabi di depan rumah salah seorang istrinya (Aisyah kalau tidak salah). Saking cintanya Nabi kepada istrinya, kemudian beliau lebih memilih tidur di depan pintu rumah, daripada harus mengetuk pintu yang berarti akan membangunkan Aisyah dari tidur pulasnya di malam hari.

Barulah menjelang shubuh Aisyah terbangun dan mendapati suaminya sedang berkelumun dengan jubahnya. Pernah juga suatu hari menjelang siang, Nabi datang ke rumah Aisyah kemudian menanyakan apakah ada makanan yang bisa beliau santap.

Kala itu Madinah dalam keadaan paceklik. Aisyah mengatakan, “tidak ada yang bisa saya sajikan kepada engkau Ya Rasullah..”.Dengan tersenyum Rasulullah berkata, “tidak mengapa, aku berpuasa saja hari ini. Kondisi mengantuk dan lapar adalah kondisi dimana orang sangat mudah tersulut emosi.

Kalau kata orang Minang, “bacakak sajo namuah kalau soal paruik lapa” (berkelahi saja mau kalau menyangkut soal perut yang lapar). tetapi pada kondisi paling labilnya emosi inilah kemudian Rasulllah bisa tetap tersenyum dan bisa berpikir dengan sangat “SEHAT”. Sehingga tidak pernah kemudian ada kisah ataupun “aduan” yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah menampar ataupun memarahi istrinya ketika tidak ada makanan yang tersedia di rumah ataupun ketika istri tidak membukakan pintu ketika pulang larut malam.

Untuk masalah tidur-pun Nabi tidak pernah mengeluh. Berbagai hadist menyampaikan bahwa spring bed Nabi hanyalah tikar yang terbuat dari pelepah kurma. Rumah Nabipun mungkin hanya seperti kamar kos-kosan mahasiswa zaman sekarang. Panjangnya cuma 5 meter, lebar hanya 3 meter, dan tinggi atap sekitar 2.5 meter. Tetapi kemudian Nabi mengatakan, “baiti jannati” rumahku adalah sorgaku.

Tingginya angka perceraian dan perselingkuhan hari-hari ini semakin membuat kita sebenarnya butuh untuk membuka kembali buku-buku pernikahan yang berisi tentang kisah-kisah Rasululah berinteraksi dengan istri-istrinya. Membuat kita harus kembali belajar kepada istri Rasulullah bagaimana caranya menjadi perempuan sholehah yang taat kepada suami.

Kita di hari-hari ini sudah merasa cukup dengan hanya mengandalkan curhatan dan insting naluri pribadi. Yang lebih parahnya menjadikan tayangan “Gossip Selebriti” sebagai tontonan yang kemudian menjadi panduan dalam berumah tangga. Hingga yang dilihat dan didengar hanyalah soal hiruk-pikuk dunia, travelling ke luar negeri, makan makanan kelas wah dengan berbagai bahan berharga tinggi, baju dan perhiasan mahal selangit.

Ketika dunia semakin gila dan semakin tidak tentu arah, kembali kepada arahan Nabi menjadi solusi terbaik agar kehidupan pernikahan menjadi jalan kita untuk meraih surga. Bukan jalan yang kemudian memperbanyak dosa yang beresiko mengantarkan kita menuju neraka.

(Penulis adalah Alumni Filsafat UGM, Delegasi Indonesia untuk Frankfurt Book Fair 2014, CEO Gre Publishing, Calon Awardee Beasiswa LPDP 2018 Master in Publishing Media Oxford Brookes University UK)

Tinggalkan Balasan