Atlantis “Benua yang hilang”

BERITA UTAMA212 Dilihat

Sumbar.KabarDaerah.com– Istilah “Atlantis” mungkin merupakan sebuah istilah yang sudah kita dengar. Bahkan pada 2001, sebuah industri film di Amerika Serikat membuat film animasi bertajuk “Atlantis: The Lost Empire”. Judul itu diambil karena Atlantis merupakan sebuah tempat yang dipercaya dulunya memang ada, namun hilang atau tenggelam.

Bukan hanya film, buku-buku bahkan penelitian-penelitian yang membahas tentang Atlantis masih banyak ditemukan hingga abad ini.

Bukan hanya Atlantis, istilah “wilayah yang hilang” juga kerap disematkan pada sebuah wilayah lain di dunia. Uniknya, kota yang hilang ini berada di Indonesia, Sebutannya adalah Sunda Land.

Sudah pernah mendengarnya, belum?

Yuk, kita bahas dalam artikel di bawah ini!

Sunda Land, kawasan misterius di peradaban masa lampau

Sunda Land dipercaya sebagai sebuah benua besar yang tenggelam perlahan dari ribuan tahun yang lalu.

Menurut Prof. Adjat Sudrajat, seorang guru besar geologi dari Universitas Padjajaran, nama Sunda Land diberikan oleh para pembuat peta yang berasal dari Portugis.

Saat mereka menjelajah ke Indonesia, mereka menemukan ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sunda.

Oleh karena itu, semua wilayah yang mereka temukan diberi nama “Sunda”, mulai dari Pulau Sunda Besar dan Sunda Kecil, hingga Laut Sunda. Penamaan ini termasuk penamaan untuk benua yang mereka temukan, yaitu Sunda Land.

Sebagai sebuah benua, Sunda Land mencakup beberapa wilayah yang saat ini kita kenal sebagai Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Malaysia, Thailand, dan beberapa bagian Filipina. Wilayah-wilayah ini ada sampai sekarang akibat banjir besar yang melanda Sunda Land dan membuat beberapa bagian dari benua ini tenggelam.

Menariknya, Sunda Land juga sempat dianggap sebagai awal peradaban dunia, lho!

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Oppenheimer, seorang guru besar di Oxford University, sekaligus penulis buku Eden in the East menunjukkan bahwa orang-orang Polinesia (penduduk asli benua Amerika) sebenarnya berasal dari suatu wilayah di Asia Tenggara, bukan dari Cina sebagaimana selama ini dipercaya.

Oppenheimer juga menyatakan bahwa nenek moyang induk manusia modern, yakni mereka yang berasal dari Mesir, Mediterania, dan Mesopotamia juga berasal dari sebuah wilayah di Asia Tenggara, yakni tanah Melayu.

Persebaran tersebut dipercaya terjadi karena adanya migrasi akibat banjir besar di Sunda Land.

Sunda Land adalah Atlantis?

Kesamaannya sebagai sebuah wilayah yang hilang membuat Sunda Land kerap disebut sebagai jejak Atlantis. Namun apakah hal ini terbukti benar?

Arysio Nunes dos Santos, seorang fisikawan nuklir dan ahli geologi asal Brazil, menulis buku berjudul “Atlantis: The Lost Continent Finally Found” pada tahun 2005.

Dalam buku tersebut, ia menjadikan buku Atlantis yang ditulis oleh Plato sebagai sebuah patokan. Dari hasil penelitiannya,

Ciri Atlantis yang disebut oleh Plato sangat mirip dengan lokasi Indonesia saat ini, terutama ke arah barat.

Buku kedua yang terbit terkait penelitian ini adalah buku milik Oppenheimer seperti dibahas di atas. Ia memang tidak menyebut langsung bahwa Sunda Land merupakan jejak Atlantis, namun dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa Sunda Land merupakan awal peradaban dunia, sama seperti Atlantis dianggap sebagai sebuah benua di peradaban awal.

Meskipun sudah ada beberapa buku yang berkaitan dengan penelitian antara persamaan Sunda Land dan Atlantis, namun hal ini dianggap belum sepenuhnya benar oleh beberapa ilmuwan. Selama belum ada bukti seperti temuan arkeologis, misalnya, Sunda Land belum bisa disebut sebagai jejak Atlantis.

Sundaland: Pulau Purba

Ketika Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Filipina Masih Jadi Satu. Bikin Merinding!

Pernah penasaran atau enggak seperti apa Indonesia di zaman es?

Buat kita yang penasaran seperti apa Indonesia di zaman es atau 21.000 SM, peta Indonesia saat The Last Glacial Maximum (LGM) mungkin bisa jadi jawabannya.

LGM mengacu pada periode sejarah bumi saat gletser berada pada posisi paling tebal dan permukaan laut berada di posisi paling rendah.

Bahkan di peta tersebut beberapa pulau masih bersatu, termasuk Sundaland.

Sundalan di zaman es masih menyatukan Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan beberapa pulau kecil lainnya, termasuk beberapa negara di Asia Tenggara.

Suhu di daerah Sundalad diperkirakan mencapai 2 hingga 3 derajat celcius.

Selain itu, permukaan laut tingginya kira-kira 125 meter lebih rendah dibandingkan permukaan laut saat ini.

Lalu mengapa Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Filipina bisa terpisah? 

Permukaan air laut naik pada akhirnya menyebabkan banjir di tiga daerah besar dan membuat beberapa bagian Sundaland tenggelam.

Sundaland

Atlantisjavasea Sundaland

Migrasi terpaksa dilakukan, migrasi penduduk terjadi karena permukaan air naik dan banjir besar terjadi.

Pada akhirnya hal ini menyebabkan Laut Cina Selatan tercipta.

Ribuan Pulau juga terbentuk yang akhirnya menjadi Indonesia dan Filipina.

Inilah juga yang membuat seluruh negara Asia Tenggara mulai menjauh dari pesisir dan masuk ke pedalaman.

Mereka lalu beradaptasi dengan hutan, pegunungan, dan peternakan.

Enggak heran Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa kini terpisah.

Padahal awalnya tergabung dalam Sundaland.

Sundaland

Sundaland

Migrasi paksa penduduk terjadi karena permukaan air naik dan banjir besar terjadi.

Pada akhirnya hal ini menyebabkan Laut Cina Selatan tercipta.

Ribuan Pulau juga terbentuk yang akhirnya menjadi Indonesia dan Filipina.

Inilah juga yang membuat seluruh negara Asia Tenggara mulai menjauh dari pesisir dan masuk ke pedalaman.

Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa kini terpisah.

Padahal awalnya tergabung dalam Sundaland. Teori ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris, Stephen Oppenheimer, seperti memutarbalikkan sejarah yang sudah ada. Lewat bukunya yang merupakan catatan perjalanan penelitian genetis populasi di dunia, ia mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya berasal dari Timur, khususnya Asia Tenggara.

Hal itu disampaikan Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya berjudul ‘Eden in The East’ di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis (28/10).

Sejarah yang diketahui selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi.

Menurut Oppenheimer, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan sundaland atau Indonesia.

Apa buktinya?

“Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata Oppenheimer dalam diskusi yang juga dihadiri Jimly Asshiddiqie.

Lulusan fakultas kedokteran Oxford University melalui bukunya mengubah paradigma yang ada selama ini, bahwa peradaban paling awal adalah berasal dari daerah Barat. Perjalanan yang dilakukannya dimulai dengan komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini.

Dari situ dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia.

Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.

Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam.

“Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya,” ujar dia. Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara.

Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.

Eden In The East juga mengungkapkan bahwa berbagai suku di Indonesia Timur adalah pemegang kunci siklus-siklus bagi agama-agama Barat yang tertua.

Buku ini ‘membalikkan’ sejumlah fakta-fakta yang selama ini diketahui dan dipercaya masyarakat dunia tentang sejarah peradaban manusia.

“Buku ini memang juga ada biasnya. Karena penulis istrinya orang Malaysia sehingga ada perspektif Malaysia,” kata Jimly yang hadir dalam acara itu.

Seorang ahli Paleontologi ITB, Profesor Yahdi Zaim mengungkap betapa Zaman Es mengubah total kehidupan di masa lalu.

“Zaman Es itu dari 300-500 juta tahun lalu dengan puncaknya 250 juta tahun lalu. Suhu Bumi kita dalam kondisi yang rendah.

Daratan es di kutub bertambah dan laut kita berkurang volumenya,” kata Yahdi, Sabtu (15/7/2020).

Zaman Es ini pelan-pelan berakhir dalam periode yang disebut Last Glacial Period pada 18.000 tahun lalu. Indonesia pun dahulu kala mengalami Zaman Es, loh.

Lalu, apa yang terjadi di Indonesia saat itu?

Permukaan laut turun 120 meter dari posisi sekarang. Laut Jawa cuma 90-100 meter, akibatnya Laut Jawa menjadi daratan,” tambah Yahdi.

Rekonstruksi Oppeheimer

Menurut rekonstruksi Oppeheimer, kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.

Oppenheimer merupakan guru besar di Oxford University, Inggris. Seperti dilansir lipi.go.id dia meneliti struktur DNA manusia selama puluhan tahun, dimulai dari DNA manusia modern yang punah ribuan tahun lalu hingga DNA manusia penghuni bumi saat ini.

Metode penelitian yang digunakan pria yang juga memiliki gelar medis ini merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu, yakni ilmu kedokteran, geologi, linguistik, antropologi, arkeologi, linguistik, dan folklore. Hasil penelitiannya dibukukan dalam Eden in the East.

Tesis utama yang dia sampaikan dalam buku tersebut adalah orang Polinesia (penduduk Benua Amerika) bukan berasal dari China seperti yang selama ini diketahui orang.

Mereka justru berasal dari orang-orang yang datang dari dataran yang hilang di pulau-pulau Asia Tenggara. Penyebaran kebudayaan dan peradaban tersebut disebabkan “banjir besar ” yang melanda permukaan bumi.

Oppenheimer Theory dengan tegas menyatakan nenek moyang induk peradaban manusia modern (Mesir, Mediterania, dan Mesopotamia) berasal dari tanah Melayu yang sering disebut Sunda Land (Indonesia).

Pengetahuan Astronomi

Misteri benua yang tenggelam pun terungkap sudah dan diakui secara ilmiah. Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu (hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain.

Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang sudah lebih baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan astronomi.

Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer beranggapan bahwa Taman Eden berada di wilayah Sundaland.

Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak-porandakan dan mengubur sebagian besar hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya.

Bahkan sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada di bawah permukaan laut. Jadi, pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland.

Dukungan Arkeolog

Tidak hanya Laut Jawa, tapi juga Selat Malaka dan Laut Natuna. Indonesia pada saat itu berubah menjadi sebuah benua besar. Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia bersatu.

Kontroversi tersebut seolah dikuatkan oleh pendapat Arysio Santos, Porofesor asal Brasil yang menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia.

Argumen Santos mendapat dukungan dari banyak arkeolog Amerika Serikat, bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.

Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos (2005) menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan-lapisan Es. Maka sebagian benua tersebut tenggelam.

Kemudian, muncul satu benua di Indonesia Timur. Laut Arafura juga menjadi daratan sehingga Papua dan Australia bersatu. Laut dalam di Indonesia tengah tetap memisahkan Sulawesi, Flores dan Maluku dari dua benua di kanan dan kirinya.

Teori dan Hipotesis Prof. Santos yang sangat kontroversial dan menyentak kesadaran publik dunia itu tak urung juga menyentak kesadaran sebagian rakyat Indonesia, yang selama ini sebagian besarnya seperti terjangkiti penyakit mental rendah diri dan kurang percaya diri bahkan “tidak tahu diri.”

Padahal ternyata Indonesia bukanlah negara pinggiran, terkebelakang.

Ternyata Indonesia memiliki warisan sejarah peradaban kuno yang unggul dan cemerlang.

Sentakan kesadaran itu bertambah lagi frekuensinya setelah Prof.Dr. Stephen James Oppenheimer, dokter ahli Human Genom (Genetika & DNA) dari Oxford University, London, Inggris, mempublikasikan hasil penelitian DNA-nya selama 20 tahun lebih di Indonesia & Asia Tenggara serta Papua Nugini.

Buku Oppenheimer berjudul: Eden in The East, The Drowned Continent in South East Asia, menyimpulan teorinya bahwa Asia Tenggara atau tepatnya Paparan Benua Sunda (Sunda Land) adalah lokasi “Syurga Adn” (Eden)-nya keluarga “Manusia Pertama“ Nabi Adam as. & Siti Hawa, tempat lahirnya peradaban umat manusia sedunia, pada kurun waktu  6.000 tahun yang lalu.

Induk Peradaban di Nusantara yang unggul itu menjadi inspirator yang melahirkan peradaban-peradaban dunia lainnya seperti Sumeria, Mohenjodaro-Harrapa-India, Mesir, Indian Maya & Aztek di benua Amerika Selatan, Yunani dan Eropa serta Persia.

Namun kemudian Induk Peradaban di Nusantara itu musnah terkena bencana banjir besar kolosal global 3 kali pada sekitar 6.000 tahun yang lalu.

Menurut Oppenheimer, salah satunya, terkait dengan legenda  banjir besar Nabi Nuh AS.

Bagi yang tidak percaya mereka meneyebut sejarah banjir besar nabi Nuh adalah Mitos.

Legenda banjir besar itu ternyata ada (banyak yang mirip) dan hidup ceritanya di beberapa sejarah peradaban besar lainnya, seperti Sumeria, India, Mesir, Yunani, Eropa dan penduduk asli Amerika (indian Maya & Aztek, dll.) yang terekam pada kitab-kitab /inskripsi sucinya, prasasti dan artefak tinggalan budaya mereka.

Indikasi, Indonesia Tempat Lahir dan Sumber Peradaban Dunia

Prof. Santos sampai pada kesimpulan peenelitiannya bahwa Peradaban Atlantis yang hilang, yang diceritakan Plato (427-347 SM) dalam bukunya Critias dan Timeaus, itu, dia temukan tenyata berlokasi di Nusantara/Indonesia (Sunda Land). Kesimpulan atau teorinya ini begitu diyakini oleh Santos dan para pengikutnya, karena detail-detail 32 ciri geografis-ekologis dan ciri-ciri sosio-antropologis-budaya yang diceritakan oleh Plato itu, 100% terpenuhi di Nusantara (Sunda Land).

Berbeda dengan 10 lokasi lainnya yang menjadi objek studi banding Santos, seperti: Pulau Thera/Creta di Yunani, Inca di Peru, Indian Maya di Mexico, Pulau tenggelam di Samudra Atlantik, Benua Antartika, Skandinavia di Laut Utara, Troy (Hisarlik), Celtiberia, Afria Barat Daya (Selat Giblartar/Spanyol) danTartasos, yang sangat kecil presentasi keberadaan ciri-ciri tersebut.

Santos juga banyak mendapat petunjuk tentang lokasi Atlantis tersebut dari berbagai mitos, legenda dan informasi kitab-kitab suci Hindu-Budha (India), inskripsi di situs arkeologis Mesir, Sumeria, dll.

Temuan-temua ilmiah dan historis dari kedua sarjana kelas dunia tersebut, semakin meyakinkan lagi, karena kemudian, banyak sarjana, sejarawan, budayawan-filosof dan peneliti lain yang menemukan banyak fakta dan bukti-bukti lain yang memperkuat teorinya Santos maupun Oppenheimer, baik dari dalam negeri Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Dari University of Canterbury, Christchurch, New Zealand, Dr. Edwina Palmer menemukan banyak ternyata bangsa Jepang itu berasal dari Sundaland.

Dia menulis 2 artikel ilmiah hasil penelitiannya yang berjudul: “Out of Sunda? Provenance of the Jomom Japanese” dan “Out of Sundaland: The Provenance of Selected Japanese Myths”. Begitu pula, ada para peneliti dari Korea yang yakin bahwa nenek moyang bangsa Korea berasal dari lembah Pasemah, Pagar Alam, Sumatra Selatan, sebagaimana yang dikatakan oleh arkeolog Indonesia yang bergabung dengan para peneliti dari Korea tersebut: Dr. Retno Purwanti, dari Balai Arkeologi Palembang. Bahkan Oppenheimer pu dengan tak ragu-ragu mengatakan dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo edisi Bahasa Inggris edisi 8 Febuary 2011, bahwa “Southeast Asia is The Source of Western Civilization”.

Dari dalam negeri, sampai kini telah bermunculan kelompok swadaya masyarakat dan para aktifis pencinta dan peneliti sejarah Peradaban Nusantara dan budaya etnis Nusantara, yang kemudian menemukan beberapa petunjuk dari berbagai situs purbakala yang kemungkinan besar terkait dengan sejarah Induk Peradaban di Nusantara kuno, yang bisa membuktikan keberadaan peradaban Lemuria maupun Atlantis di Nusantara.

Misalnya kelompok Turangga Seta (TS) atau Greget Nuswantoro (GN), yang mengklaim menemukan petunjuk tersebut di relief dan bangunan Candi Cetho & Candi Sukuh di Gunung Lawu, Surakarta; Candi Penataran di Blitar, lalu mempublikasikan lewat berbagai media. Dari petunjuk itu TS/GN lalu menemukan keberadaan bukit yang diduga Piramida yang ditimbun di Bukit Lalakon, Soreang-Cililin, Bandung, Juga Bukit Piramida Sadahurip di desa Pangatikan, Sukawening Garut.

Penemuan dan penelitian TS itu kemudian ditindaklanjuti oleh beberapa kelompok peneliti swasta/LSM seperti Grup Atlantis Indonesia dan Great Pandora Nuswantara (di mana saya aktif sebagai pembinanya), bahkan juga oleh Lembaga semi pemerintah, seperti Team Survey Penelitian Bencana Katastropik Purba dari Staf Khusus Kepresidenan RI (SBY), yang dipimpin oleh Andi Arif. Temuan-temuan Team pimpinan Andi Arif ini, bahkan lebih spektakuler lagi, karena didukung oleh biaya yang cukup, peralatan teknologi dan Bab al Haram.(bersambung)

Suku Sunda

Suku Sunda tidak seperti kebanyakan suku yang lain, suku Sunda tidak memiliki mitos tentang penciptaan atau catatan mitos-mitos lain yang menjelaskan asal mula suku ini.

Tidak seorang pun tahu dari mana mereka datang, juga bagaimana mereka menetap di Jawa Barat.

Agaknya pada abad-abad pertama Masehi, sekelompok kecil suku Sunda menjelajahi hutan-hutan pegunungan dan melakukan budaya tebas bakar untuk membuka hutan.

Semua mitos paling awal mengatakan bahwa orang Sunda lebih sebagai pekerja-pekerja di ladang daripada petani padi.

Kepercayaan mereka membentuk fondasi dari apa yang kini disebut sebagai agama asli orang Sunda. Meskipun tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti seperti apa kepercayaan tersebut, tetapi petunjuk yang terbaik ditemukan dalam puisi-puisi epik kuno (Wawacan) dan di antara suku Badui yang terpencil. Suku Badui menyebut agama mereka sebagai Sunda Wiwitan (orang Sunda yang paling mula-mula).

Bukan hanya suku Badui yang hampir bebas sama sekali dari elemen-elemen Islam, tetapi suku Sunda juga memperlihatkan karakteristik Hindu yang sedikit sekali.

Beberapa kata dalam bahasa Sansekerta dan Hindu yang berhubungan dengan mitos masih tetap ada. Dalam monografnya, Robert Wessing mengutip beberapa sumber yang menunjukkan suku Sunda secara umum, “The Indian belief system did not totally diplace the indigenous beliefs, even at the court centers.” Berdasarkan pada sistem tabu, agama suku Badui bersifat animistik.

Mereka percaya bahwa roh-roh yang menghuni batu-batu, pepohonan, sungai, dan objek tidak bernyawa lainnya. Roh-roh tersebut melakukan hal-hal yang baik maupun jahat, tergantung pada ketaatan seseorang kepada sistem tabu tersebut.

Ribuan kepercayaan tabu digunakan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari.

Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya.

Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan KabarDaerah.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi KabarDaerah.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tulisan ini adalah gabungan dari berbagai sumber, ini bukan mitos, hanya saja tidak semua orang parcaya akan cerita ini.

Penulis sendiri percaya dan yakin akan cerita ini. dan yakin hanya bisa di imani, dengan bertanya melalui dunia gaib. dengan memanggil para leluhur kita yang sudah mendahului kita.

”Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS Albaqarah [2]: 213).

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia berasal dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa). Lalu, Adam dan Hawa melahirkan keturunan hingga akhirnya menyebarlah manusia ke seluruh penjuru dunia.

Dalam berbagai literatur, termasuk dalam bukunya Sami bin Abdullah Al-Maghluts yang berjudul Atlas Sejarah Nabi dan Rasul dijelaskan, Adam hidup sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi (SM). Menurut Sami, masa hidup Adam sekitar tahun 5872-4942 SM, dan ia mempunyai 40 orang anak yang dilahirkan secara kembar (berpasangan). Misalnya, Habil dengan Labuda, dan Qabil dengan Iklima. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa umat manusia saat ini merupakan keturunan Nabi Adam AS. Adam adalah nenek moyang (bapak) manusia pertama.

Seiring perjalanan waktu dan minimnya data yang ada, tak banyak diketahui penyebaran anak cucu Adam hingga Nabi Idris dan Nabi Nuh AS. Sami menjelaskan, Nabi Idris adalah generasi atau keturunan Adam yang keenam.

Idris adalah anak dari Yared bin Mahalail bin Qainan bin Anusy bin Syits bin Adam AS. Sedangkan Nabi Nuh AS adalah generasi Adam yang kesembilan, atau yang ketiga setelah Nabi Idris.

Idris hidup antara tahun 4533-4188 SM, sedangkan Nabi Nuh hidup antara 3993-3043 SM.

Tak diketahui secara pasti, jumlah keturunan masing-masing anak dari Nabi Idris. Dari Adam inilah, akhirnya menyebar anak cucunya hingga menjadi umatnya Nabi Idris.

Dengan selisih waktu yang mencapai 300-800 tahun, tentu banyak keturunan Nabi Adam yang menyebar ke berbagai penjuru bumi. Mungkin saja jumlahnya sudah mencapai ribuan orang.

Begitu juga, dengan daerah penyebarannya, tak diketahui secara terperinci. Besar kemungkinan ada anak keturunan Adam yang menyebar ke berbagai daerah dan belahan bumi lainnya, dari jazirah Arabia ke Afrika, Eropa, Amerika, Asia, hingga Australia.

Anak cucu Nabi Nuh

Pada zaman Nabi Nuh AS, ketika umat manusia sudah semakin banyak dan beragam tingkah lakunya, ada yang baik dan ada pula yang buruk,

Allah mengutus Nabi Nuh untuk menyeru kaumnya pada keimanan dan menyembah Allah SWT. Dalam rentang usianya yang mencapai 950 tahun, ternyata tak banyak kaumnya yang menerima dakwah Nabi Nuh.

Jumlahnya diperkirakan hanya sekitar 70 orang. Angka ini didapat dari berbagai keterangan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta keterangan Alquran yang menyebutkan jumlah kaumnya yang menerima dakwah Nabi Nuh hanya sedikit. ”Dan, tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.” (QS Hud [11]: 40).

Ketika banjir besar terjadi yang menenggelamkan seluruh kaumnya, dan saat bahtera Nuh mendarat di puncak gunung, mulai saat itu dipercaya sebagai awal dari penyebaran umat manusia dan berkembang biaknya binatang-binatang yang ikut dalam perahu Nabi Nuh.

Nabi Nuh mempunyai empat orang anak, yakni Kan’an, Ham, Sam, dan Yafets. Kan’an adalah anak tertua, namun ia tewas diterjang oleh banjir besar, karena tidak mau beriman dengan Nabi Nuh. Dari ketiga anak Nuh (Sam, Ham, dan Yafets) inilah, penyebaran umat manusia periode kedua mulai bermigrasi. Karena itu, Nabi Nuh juga disebut sebagai bapak manusia kedua.

Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah menerangkan, hierarki nasab setiap umat manusia yang ada di bumi ini, kembali kepada anak-anak Nuh yang tiga orang, yakni Sam, Ham, dan Yafets.

Dalam salah satu hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dikatakan, ”Sam adalah moyang orang Arab, Ham adalah moyang Habsyah (Ethiopia, Afrika), dan Yafets adalah moyang orang Rum (Romawi, Eropa).

Al-Qalaqsyandi dalam Nihayat al-Arab fi Ma’rifat Ansab al-‘Arab menyebutkan, telah ada kesepakatan di kalangan para ahli nasab (genealogis) dan para sejarawan, seluruh manusia saat ini adalah setelah Nabi Nuh AS, yaitu selain orang-orang yang bersamanya di dalam kapal.

”(Yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh.” (QS Al-Israa’ [17]: 3). ”Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (QS Al-Shaffat []:77).

Yafets yang merupakan anak tertua, setelah Kan’an, mempunyai tujuh orang anak. Mereka adalah Al-Turk, Al-Khazar, Shaqlab, Tares, Menesk, Kumari (Gomari), dan Shin.

Mereka menyebar ke kawasan antara Timur dan Barat Babilonia (wilayah Nuh saat itu), sebagaimana keterangan Abu Hanifah al-Dainuri.

Orang Cina dipercaya sebagai keturunan dari Yafets, yakni Shin bin Magog bin Yafets. Dan, Ya’juj dan Ma’juj adalah anak dari Magog bin Yafets.

Adapun Ham juga mempunyai anak, antara lain Al-Sind, al-Hindi (India), Zandj (negro), Habasyah (Ethiopia), Nubah, dan Kan’an. Mereka menyebar ke wilayah Selatan dan Dabur (barat).

Sedangkan anak-anak Sam bin Nuh adalah Iram, Arpakhsad, Elam, Elifar, dan Asur. Mereka tinggal bersama anak paman mereka Jamm, raja di tanah Babel (Babilonia).

Ad-Dainuri berkata, ”Ketika anak-anak Nuh keluar, tergeraklah hati seluruh anak Nuh untuk keluar dari babel. Maka, Khurasan bin Elam bin Sam keluar. Demikian juga, dengan Pers bin Asur, Rum bin Elifar, Armen bin Nouraj, Kerman bin Tarah, Heitjal bin Elam. Mereka adalah cucu Sam bin Nuh. Masing-masing singgah bersama anak-anaknya di daerah yang dinamakan dengan namanya dan dinisbatkan kepadanya.” sya/berbagai sumber

Nenek Moyang Indonesia dari Yunan?

Pertanyaan seputar banjir besar Nabi Nuh dan penyebaran umat manusia yang diklaim berasal dari anak cucunya, seolah tak habis-habisnya untuk dibahas.

Bila keturunan dan anak cucu Nabi Nuh sudah diketahui penyebarannya.

Pertanyaan yang lain adalah ke manakah keturunan orang-orang beriman yang turut serta dalam perahu Nabi Nuh selain anak-anaknya itu?

Siapakah yang melahirkan orang-orang Australia, Amerika, dan lainnya? Apakah juga berasal dari keturunan ketiga anak Nabi Nuh? Bila demikian, manakah anak keturunan dari orang-orang beriman yang naik bersama Nuh dalam bahteranya? Inilah yang masih diperdebatkan.

Sebagian ahli sejarah mengatakan, bangsa-bangsa lainnya selain disebutkan di atas, berkembang dari umat Nabi Nuh yang bersamanya sewaktu banjir besar terjadi. Setelah air surut, mereka kemudian menyebar hingga ke berbagai pelosok negeri dan benua. Namun, keterangan ini sangat sedikit yang mengimani.

Melayu Austronesia

Siapa nenek moyang orang-orang Indonesia? Tak mudah menjawab pertanyaan ini.

Dalam berbagai buku-buku sejarah disebutkan, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Namun, ada pula yang menyebutkan dari Hindi (India). Sementara itu, nasab Yunan adalah keturunan dari Yafets bin Nuh. Mungkinkah orang-orang Indonesia keturunan dari Yafets bin Nuh?

Menurut sebagian ahli sejarah, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari rumpun Melayu Austronesia.

Awalnya, nenek moyang Indonesia ini tinggal di daratan Indo-China (Vietnam), kemudian mencari daerah yang lebih luas. Mereka pun menyebar dengan menggunakan perahu bercadik.

Pendapat ini menjelaskan, sekitar 2.000-300 SM, perpindahan rumpun Melayu Austronesia dari teluk Tonkin ke pulau-pulau di Nusantara melalui dua jalur, yakni selatan (penyebaran kebudayaan kapak persegi), dan kedua melalui utara (penyebaran kebudayaan kapak lonjong).

Adapun wilayah penyebaran rumpun Melayu Austronesia ini adalah Indonesia, Malaysia, Mikronesia, Melanesia, dan Polinesia. Lalu, menyebar lagi hingga kepulauan Madagaskar dan pulau Paskah. Perpindahan itu disebabkan oleh bencana alam, ketiadaan binatang buruan, serta adanya serangan dari bangsa lain.

Menurut Bachtiar Rifai, pemerhati sejarah dan kebudayaan Indonesia, rumpun melayu Austronesia yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia, berkembang melalui dua jalur.

Bachtiar menjelaskan, migrasi pertama rumpun melayu yang disebut juga dengan Protomelayu (melayu tua) dari Vietnam masuk ke semenanjung Malaya, lalu ke Sumatra dan kalimantan. Sedangkan dari jalur timur, melalui Taiwan, Filipina, Kalimantan, dan Sulawesi.

Dari sini berkembang suku Batak, Dayak, dan Toraja. Ketiga suku ini mempunyai kebudayaan yang sangat mirip.

Selanjutnya, pada migrasi kedua, dilakukan oleh bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda), dengan jalur migrasi melalui Yunan-Vietnam, Semanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Sehingga, berkembang suku Jawa, Melayu, Minang, dan Bugis.

Adapun orang Papua, Timur, Ambon, NTB, NTT, dan sekitarnya merupakan migrasi dari keturunan suku Negroid, Wedoid, Semang, dan Aborigin.

Ragam Bahasa dan Dialek

Sejak kapankah adanya perubahan bahasa manusia? Yang pasti, ketika Adam diturunkan ke bumi, ia hanya menggunakan satu bahasa. Kemudian, bahasa itu diturunkan hingga kepada anak cucunya. Bahasa apakah itu?

Tak ada keterangan resmi, apakah bahasa Arab, Suryani, Ibrani, Inggris, Prancis, Spanyol, Indonesia, atau lainnya.

Abu Hanifah Al-Dainuri, sebagaimana dikutip Sami bin Abdullah Al-Maghluts, menyatakan, pada masa Jamm (anak cucunya Nabi Nuh), terjadi kekacauan bahasa (language isolates).

Anak-anak Nuh sudah semakin banyak sehingga semakin padat penduduknya. Seluruhnya menggunakan bahasa Suryani, yaitu bahasanya Nabi Nuh AS.

Pada suatu masa, terjadi kekacauan bahasa di antara mereka. Ungkapan mereka mengalami perubahan dan sebagian bercampur pada sebagian lainnya sehingga setiap kelompok berbicara dengan bahasa sendiri, yang diikuti oleh keturunan mereka hingga sekarang.

Kemudian, mereka keluar dari wilayah Babilonia dan masing-masing kelompok berpencar ke arah masing-masing. Kelompok yang pertama kali keluar adalah anak-anak Yafets dan mereka terdiri atas tujuh orang bersaudara, yakni At-Turk, Al-Khazar, Shaqlab (Slave), Taris, Menesk, Kumari (Gomari), dan Shin. Mereka mengambil arah dan menetap di bagian antara Timur dan Utara.

Kemudian, anak-anak Ham bin Nuh yang berjumlah tujuh orang menyusul langkah anak-anak Yafets. Mereka adalah al-Sind, al-Hind (India), Zandj (negro), Habsy (Ethiopia), Nubah, dan Kan’an. Mereka menuju ke wilayah antara Selatan dan Dabur (barat) Babilonia.

Sementara itu, anak-anak Sam bin Nuh tetap tinggal bersama dengan anak paman mereka, Jamm, raja di tanah babel, dengan segala perubahan dan perbedaan bahasa mereka.

Ada pula yang mengatakan, asal mula bahasa adalah bahasa Arab. Dari Arab ke Mesir, terus ke Eropa. Dari huruf hijaiyah ‘Alif, Ba, Ta, Tsa’ lalu berkembang menjadi ‘alfa, betha, omega’.

Sebagian lagi, dari Arab ke Persia, India, Melayu. Seperti Dwi, Ika, Diva yang merupakan kata-kata dari India. Adapun bahasa Cina berkembang ke bahasa Jepang dan Korea.

Lalu, dari manakah bahasa Polynesia yang mendiami pulau-pulau Pasifik, seperti Papua, Aborigin di Australia, Hawaii, dan sekitarnya? Wa Allahu A’lam. sya/berbagai sumber

Jangan anggap tulisan ini cerita lucu tahayul yang membuat kita mencibir, yang bisa memahami cerita ini hanya bisa bagi yang manusia beriman.

Sebagai penulis, saya sangat percaya dengan dunia lain, alam Gaib, sehingga dapat diketahui bahwa, untuk lebih meyakinkan bahwa cerita diatas adalah sebuah kebenaran, kita bisa cari keterangan dari dunia gaib dengan memanggil arwah para leluhur terdahulu.

Untuk itu, penulis sudah melakukan, oleh sebab itulah penulis beranikan merangkum tulisan tulisan terkait benua Atlantis yang hilang cikal bakal peradaban manusia di dunia . (TIM)