Siap siap…NKRI makin sulit, pajak dan biaya hidup makin tinggi.

Utang Tembus Rp 6000 T, Kemenkeu: Jangan Kuatir, Negara akan Bayar dari Kegiatan Ekonomi dan Pajak

Dikutip dari KOMPAS.TV – Hingga Desember 2020, utang pemerintah tercatat sebesar Rp 6.074,56 triliun. Jumlah itu terdiri dari utang luar negeri sebesar Rp 5.803,2 triliun dan utang dari dalam negeri sebesar Rp 271,36 triliun.

Besarnya utang tersebut tentu membuat rakyat bertanya-tanya, apakah pemerintah mampu membayarnya? Apa risikonya kalau utang itu tidak terbayar?

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah Indonesia tidak pernah punya rekam jejak gagal bayar. Lantaran, pemerintah selalu berupaya menjaga rasio utang tetap sehat.

Selain itu, membengkak nya utang pemerintah adalah akibat pandemi Corona yang menghantam semua negara. Pemerintah perlu banyak uang untuk menangani Covid dan memulihkan ekonomi.

“Penarikan utang memang lebih besar di 2020 karena pandemi. Tapi secara tahunan dari 2015 sebenarnya relatif stabil kecuali karena COVID-19 tahun lalu,” kata Yustinus saat menjadi pembicara sama seminar online Kantor Staf Presiden, Selasa (23/02/2021).

Kemenkeu mencatat, selama 2020 pemerintah berutang sebesar Rp 1.226,9 triliun. Sedangkan 3 tahun sebelumnya selalu dibawah Rp 500 triliun.

Pada 2017, pemerintah berutang Rp 422 triliun, 2018 sebesar Rp 372 triliun dan 2019 sebesar Rp 437 triliun.

Yustinus mengklaim, catatan utang pemerintah Indonesia masih lebih  baik dari negara lain. Misalnya defisit fiskal 2020 yang sebesar 6,1% terhadap PDB, negara lain banyak yang lebih besar defisit fiskalnya.

Lalu proyeksi IMF atas rasio utang RI terhadap PDB sebesar 38,5% di 2020. Menurut Yustinus proyeksi itu paling rendah se-ASEAN.

“Di ASEAN penambahan utang kita paling kecil. Ini sekaligus mengklarifikasi banyak tuduhan seolah-olah kita ini tukang utang dan utang kita sudah tidak aman. Kita bandingkan ternyata kita relatif lebih baik,” ujar Yustinus.

Lebih jauh, ia menegaskan, ketakutan akan hutang sebagai sesuatu yang berlebihan.

“ Rasa takut ini sering dimanipulasi seakan-akan utang ini akan menggerus atau mencabut masa depan kita. Seolah-olah bayi baru lahir itu menanggung utang. Padahal faktanya, yang membayar utang itu negara. Dari mana? Dari aktivitas ekonomi yang terus bertambah, terus meningkat, lalu ada pajak di sana, sebagian dipakai untuk melunasi itu”.

Besarnya utang pemerintah juga tidak akan mengganggu kedaulatan RI. Saat ini porsi utang lebih aman, karena mayoritas berasal dari utang, bukan pinjaman.

“Kebalik, kalau dulu pinjaman lebih besar dari utang sehingga ada isu kedaulatan. Sekarang isu kita adalah utang itu 86%, pinjaman hanya 14%,” pungkasnya.

 

Utang Tembus Rp 6.000 Triliun, BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar

Dikutip dari Liputan6.com, Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020. Dalam ringkasan eksekutif yang dirilis, BPK mengkhawatirkan utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.

Tercatat, jumlah utang yang gigantik ini melebihi rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International Moneter Fund (IMF)

Dalam penjelasan hasil revisi atas kesinambungan fiskal, BPK mengatakan pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.

“Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” jelas BPK, dikutip Liputan6.com, Rabu (23/6/2021).

Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan atau IDR, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen.

Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melebih rekomendasi IDR 4,6 hingga 6,8 persen dan rekomendasi IMF 7 hingga 10 persen.

“Rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 hingga 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 hingga 150 persen,” tulis BPK.

Adapun saat ini, utang pemerintah tercatat mencapai Rp 6.527,29 triliun atau sekitar 41,18 persen terhadap PDB.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu memastikan bahwa pemerintah terus menjaga utang dalam batas aman. Utang akan dikelola secara hati-hati dan makin efisien.

Febrio mengakui bahwa pembiayaan utang pemerintah mengalami peningkatan signifikan sejak 2020. Peningkatan tersebut seiring dengan langkah fiskal untuk menangani pandemi covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.

“Ke depan, kami harus terus mengendalikan utang secara fleksibel dan penuh kehati-hatian,” katanya dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Rabu (16/6/2021).

Di samping itu, kebijakan fiskal yang extraordinary juga menyebabkan implikasi pada defisit APBN yang harus melebar hingga 6,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, pemerintah akan mengembalikan defisit APBN ke bawah 3 persen PDB seperti amanat UU 2/2020.

Febrio mengatakan pandemi Covid-19 menyebabkan rasio utang melonjak dari 30,2 persen terhadap PDB pada 2019 menjadi 39,4 persen PDB pada 2020. Sementara tahun ini, rasio utang

BI catat utang luar negeri Indonesia tembus Rp 6.000 triliun

dikutip dari KONTAN.CO.ID –   JAKARTA. Bank Indonesia melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal III 2021 tercatat sebesar tumbuh 3,7% year on year (yoy) atau US$ 423,1 miliar  setara dengan Rp 6.008 triliun.

Posisi utang ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya yakni sebesar 2,0% yoy. Perkembangan tersebut disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ULN sektor publik  dan sektor swasta.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono mengatakan, posisi ULN Pemerintah pada kuartal III 2021 sebesar US$ 205,5 miliar atau tumbuh 4,1% yoy, lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II 2021 sebesar 4,3% yoy.

“Perkembangan tersebut disebabkan oleh pembayaran neto pinjaman seiring lebih tingginya pinjaman yang jatuh tempo dibanding penarikan pinjaman,” kata Erwin dalam keterangan resminya, Senin (15/11).

Hal ini terjadi di tengah penerbitan Global Bonds, termasuk Sustainable Development Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta Euro, yang merupakan salah satu penerbitan SDG Bond konvensional pertama di Asia. Penerbitan SDG Bond ini juga menunjukkan upaya Indonesia dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan dan langkah yang signifikan dalam pencapaian SDG.

Menurut Erwin, ULN Pemerintah sudah dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel diutamakan untuk mendukung belanja prioritas Pemerintah, termasuk kelanjutan upaya mengakselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), antara lain mencakup dukungan pada sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib yakni 17,9% dari total ULN Pemerintah.

Kemudian, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial 17,3%, sektor jasa pendidikan 16,5%, sektor konstruksi 15,5%, dan sektor jasa keuangan dan asuransi 12,1%. Dari sisi risiko refinancing, posisi ULN Pemerintah aman karena hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN Pemerintah.

Erwin menjelaskan ULN Bank Sentral mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya meski tidak menimbulkan tambahan beban bunga utang. Dibandingkan kuartal II 2021, posisi ULN Bank Sentral pada tkuartal III 2021 mengalami peningkatan sebesar US$  6,3 miliar menjadi US$ 9,1 miliar terutama dalam bentuk alokasi Special Drawing Rights (SDR).

Sementara, pada Agustus 2021 IMF mendistribusikan tambahan alokasi Special Drawing Rights (SDR) secara proporsional kepada seluruh negara anggota, termasuk Indonesia, yang ditujukan untuk mendukung ketahanan dan stabilitas ekonomi global dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19, membangun kepercayaan pelaku ekonomi, dan memperkuat cadangan devisa global dalam jangka panjang.

Alokasi SDR dari IMF ini adalah kategori khusus dan tidak dikategorikan pinjaman dari IMF karena tidak menimbulkan tambahan beban bunga utang dan kewajiban yang akan jatuh tempo ke depan.

Lebi lanjut, untuk ULN swasta, Erwin mengatakan ULN tersebut meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. ULN swasta pada kuartal III 2021 tumbuh sebesar 0,2% yoy, setelah pada periode sebelumnya mengalami kontraksi 0,3% yoy.

Pertumbuhan ULN swasta tersebut disebabkan oleh pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan sebesar 1,0% yoy, melambat dari 1,6% yoy pada triwulan II 2021. Sementara itu, pertumbuhan ULN lembaga keuangan mengalami kontraksi sebesar 2,7% yoy) lebih rendah dari kontraksi triwulan sebelumnya sebesar 6,9% yoy.

Dengan perkembangan tersebut, posisi ULN swasta pada triwulan III 2021 tercatat sebesar US$ 208,5 miliar. Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan, dengan pangsa mencapai 76,4% dari total ULN swasta. ULN tersebut masih didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,1% terhadap total ULN swasta. “Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya,” pungkas Erwin.

Tiga Petaka Dahsyat Kalau Pemerintah Tak Mampu Bayar Utang

Dikutip dari Detikcom

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkhawatirkan kemampuan membayar utang pemerintah. Sebab, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara.
Hal di atas memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang. detikcom merangkum sejumlah risiko yang akan dihadapi Indonesia jika pemerintah tak mampu membayar utang. Berikut informasi selengkapnya:

1. Picu Krisis
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, jika pemerintah sampai gagal bayar utang, khususnya utang luar negeri maka bisa memicu krisis seperti 1998.

“Karena utang luar negeri kita itu kritis, dan kalau ini merambat sampai ke utang luar negeri, terjadi gagal bayar utang luar negeri maka krisis 1998 akan terjadi, akan memicu krisis moneter, rupiah akan turun,” katanya kepada detikcom, Jumat (25/6/2021).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian mengatakan jika berkaca dari sejarah, sesuatu yang berpotensi dilakukan pemerintah ketika kepepet untuk membayar utang, yaitu mencetak uang.

Jika cetak uang sampai dilakukan pemerintah, seperti yang dilakukan di zaman Presiden Soekarno melalui Bank Indonesia, yang bisa terjadi adalah inflasi naik tinggi. Semakin banyak uang dicetak semakin tinggi pula inflasinya.

“Dampaknya akhirnya apa? akhirnya orang pada panik kan, ‘nanti kita beli barang makanan bagaimana’ itu akhirnya terjadi krisis multidimensional, nanti orang-orang akan menjarah, kriminalitas naik, ya wajar karena pendapatan masyarakat nggak nutup lagi pengeluarannya,” tambah Dzulfian.

2. Sulit Ngutang Lagi
Dzulfian mengatakan sekalinya Indonesia gagal bayar utang maka terancam di-blacklist, atau lembaga pemeringkat utang akan membuat peringkat RI jeblok.

“Bahkan bisa sampai kalau kita gagal bayar utang dan jumlahnya besar itu bisa peringkat utangnya itu sampai dipredikat junk bond atau surat utang kita itu sampah, nggak ada nilainya. Jadi mau kita jual nggak ada yang mau karena ‘ngapain kita beli surat utang Indonesia orang nanti duit kita nggak balik, dia nggak mampu bayar kan’,” ujarnya.

Sementara itu, jika melihat penerimaan negara terus melemah, ditambah beban utang, khususnya bunga yang terus mengalami kenaikan, itu membuat pemerintah semakin ketergantungan utang untuk menjalankan program-program.

“Nah itu bisa dijalankan dengan artinya utang itu harus meledak, harus melonjak, utangnya harus tinggi. Nah, ini lama-lama jadi tidak sustain, karena itu kan kalau utang tinggi kan otomatis kemampuan kita bayar kalau pendapatan kurang terus ya kemampuan bayarnya melemah,” tambah Anthony.

3. Pajak Naik
Di tengah pertaruhan pemerintah dalam membayar utang, dampak yang bisa dialami masyarakat atas kondisi itu adalah naiknya pajak, di mana pemerintah bisa saja berupaya menggenjot penerimaan untuk bayar utang melalui instrumen pajak tersebut.

“Nah, permasalahannya bagi masyarakat, pertama masyarakat harus bayar pajak lebih tinggi. Terus kedua adalah bahwa ini akan terjadi inflasi,” sebut Anthony.

Dzulfian menilai pemerintah sudah kewalahan dalam mencari uang. Wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako misalnya, menjadi indikasi kondisi tersebut.

“Sebagaimana kita tahu kan sekarang pemerintah lagi empot-empotan nyari duit, cari tambahan pendapatan negara makanya kan kemarin heboh kita sembako mau dipajaki, tapi kan akhirnya ngeles cuma sembako-sembako premium. Itu kan karena publik berteriak,” jelasnya.

Indrawan ketua LSM KOAD mengatakan :

“Resiko terburuk adalah terjadi kekacauan, kejahatan merajalela dan yang paling kita takutkan adalah kebebasan yang selama ini sudah mulai ada di NKRI akan kembali terjual artinya ketika kehidupan Rakyat yang telah dibuat sulit dengan berbagai cara. akhirnya kita akan ikut apa yang menjadi keinginan mereka yang menginginkan negeri ini kembali terjajah sempurna.(TIM)