“Nggak ada yang menjamin kesehatan kita. Salah kebijakan bisa mati massal, dan kalau mati massal itu bisa genocide (genosida-red) juga karena pembunuhan bersifat massal,” ucapnya.
Yusril menilai landasan hukum pemerintah dalam penanganan COVID-19 masih bermasalah. Ia mencontohkan PPKM level 3-4 yang hanya diatur melalui Instruksi Mendagri.
Begitu pula terlibatnya Menteri BUMN Erick Thohir dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dalam penanganan COVID-19 yang dinilai tak sesuai tugas. “Kalau legitimasi dipertanyakan, orang memberi instruksi juga gimana, ya, tarik ulur, mundur maju mundur maju,” kata Yusril.
Yusril menyatakan, pemerintah perlu merapikan instrumen hukum dalam menangani pandemi corona, termasuk melibatkan dokter-dokter ketika mengambil kebijakan. “Dokter orang yang profesional tidak bisa diabaikan. Suara mereka ini harus menjadi pertimbangan utama dalam menangani urusan pandemi,” tutupnya.
Seperti yang kita ketahui, banyak negara, termasuk juga Indonesia memiliki program untuk mengadakan vaksinasi massal kepada seluruh rakyatnya. Program ini rencananya akan mulai dilaksanakan antara bulan November sampai awal tahun 2021 tergantung pada jumlah produksi vaksin yang telah diselesaikan dan siap untuk didistribusikan.
Bagi sebagian besar orang tentunya hal ini sangat dinantikan agar penyebaran virus COVID-19 dapat segera dihentikan.
Namun, di sisi lain, terdapat kekhawatiran akan adanya penularan massal akibat tidak ditaatinya protokol kesehatan karena anggapan bahwa tubuh akan kebal terhadap virus setelah dilakukan vaksinasi kepada seseorang.
Padahal, menurut salah satu artikel yang dimuat dalam Majalah Farmasetika, imun yang terbentuk akibat vaksinasi hanya akan bertahan selama 5 bulan saja.
Hal ini berdasarkan studi terhadap subjek, yakni 30.082 orang positif COVID-19 yang diskrining melalui Sistem Kesehatan Mount Sinai antara bulan Maret hingga bulan Oktober tahun ini.
Dalam pelaksanaan uji, peneliti menggunakan tes antibodi dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi keberadaan antibodi dalam tubuh seseorang untuk menghadapi virus COVID-19.
Selain mendeteksi keberadaan antibodi dalam tubuh, metode ELISA yang dikembangkan di Mount Sinai Health System, juga dapat mengukur tingkat kekuatan antibodi yang dimiliki oleh seseorang terhadap virus.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa kita tidak akan kebal terhadap virus selamanya karena antibodi yang telah diproduksi dapat menghilang/ melemah setelah jangka waktu tertentu.
Oleh karena itu, kita perlu untuk tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker, terutama saat bepergian atau menggunakan fasilitas umum.
Selain itu, kita juga perlu melakukan upaya lain, seperti konsumsi makanan yang sehat dan bergizi, berolahraga secara teratur, lalu jika perlu kita juga dapat mengkonsumsi suplemen kesehatan.
Sejak pemerintah melaporkan resmi kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020, hingga 24 Oktober 2020 terkonfirmasi 385.980 kasus positif COVID-19 di seluruh Indonesia.
Trend kasus yang beredar terus meningkat, belum terlihat adanya kecenderungan kurva melandai, dengan jumlah kasus harian cenderung di atas 4.000 selama 1 bulan terakhir.
Tingkat hasil tes positif/positivity rate (jumlah kasus dibagi jumlah orang yang dites COVID) sebesar 14,2%, jauh di atas standar aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 5% (lima persen).
Sebanyak 13.205 orang telah meninggal dunia (3,4%), sementara 309.219 telah sembuh. IAKMI berpendapat bahwa faktor paling penting untuk mengendalikan laju peningkatan kasus COVID-19 adalah dengan meningkatkan upaya kesehatan masyarakat yang output-nya adalah kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk melakukan hidup sehat.
Dalam konteks menghadapi COVID-19, fokusnya adalah konsistensi pembentukan perilaku masyarakat yang disiplin terhadap protokol kesehatan (pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga jarak) sehingga aman dari ancaman penularan COVID-19, yaitu melalui upaya edukasi pencegahan penularan virus dan komunikasi perubahan perilaku bagi masyarakat di tataran akar rumput serta bimbingan dan pengawasan dari aparat/tokoh masyarakat hingga penerapan sanksi.
Upaya tersebut diharapkan akan membentuk budaya perilaku hidup sehat masyarakat untuk generasi yang kuat dan produktif di masa depan. Terkait dengan rencana program vaksinasi COVID-19, PP IAKMI menyampaikan sikap dan rekomendasi sebagai berikut:
Pertama : Vaksinasi merupakan satu bagian dari intervensi kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk memberikan perlindungan spesifik terhadap penularan penyakit tertentu pada tingkat individu dan juga skala komunitas luas.
Oleh karena itu, IAKMI memberikan dukungan kepada pemerintah untuk pengadaan vaksin COVID-19 di Indonesia sebagai salah satu upaya penanganan pandemi COVID-19;
Kedua : Agar program vaksinasi COVID-19 dapat dilaksanakan secara efektif, maka pengembangan Vaksin COVID-19 harus dibuat sesuai standar pembuatan vaksin yang baik sehingga memenuhi 3 hal yakni:
- Memiliki tingkat keamanan yang tinggi, sehingga tidak menimbulkan dampak buruk dan membahayakan bagi orang yang divaksinasi;
- Memiliki tingkat efikasi (kemanjuran) yaitu mampu membentuk antibodi COVID-19 yang dapat memberikan perlindungan terhadap penularan COVID-19 untuk waktu yang lama;
- Seluruh hasil proses pengembangan Vaksin COVID-19, khususnya uji coba kepada 1.620 masyarakat Indonesia di Bandung hendaknya dikomunikasikan secara terbuka kepada masyarakat luas, di-review oleh reviewer internasional yang bereputasi, serta mendapatkan izin penggunaan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Ketiga. Program vaksinasi bukanlah sebuah solusi akhir penanganan Pandemi COVID-19. Oleh karena itu kami mengimbau agar upaya pencegahan penularan/preventif terus digencarkan dan melibatkan seluruh unsur dan komponen bangsa secara lebih luas hingga menjangkau langsung masyarakat di tingkat akar rumput.
LSM KOAD yang berkedudukan di Sumbar menyayangkan, sepertinya covid-19 adalah propaganda yang direncanakan agar masyarakat TAKUT, sehingga satu satunya cara adalah dengan VAKSIN. berikut akan dipaksakan, tentunya kita curiga dengan keadaan ini. kita dibuat tidak berdaya.
Tentunya hal ini sangat naif, seperti sudah tidak ada kebebasan lagi, Indonesia memiliki banyak orang pintar. yang dapat membaca keadaan yang sedang terjadi. kita sebagai masyarakat bawah harus berpendirian kuat. agar hidub kita jangan jadi permainan orang berduit. katanya
Sehingga ketua LSM KOAD berpendapat bahwa COVID tidak perlu ditakutkan, biaya penangganannyapun tidak perlu sebesar yang di anggarkan oleh pemerintah, dimana saat negara sedang dalam keadaan berhutang besar.
Apa jadinya jika hal ini tidak kita sadari segera, yang paling terasa bagi masayarakat akibat dari Issue covid ini adalah kemiskinan, dan resiko berikut adalah banyak generasi penerus Indonesia yang akan (dibuat) meninggal karena wabah Covid-19.
Dengan alasan memberikan perlindungan akan berusaha melakukan vaksinasi kepada siswa SD,SMP dan SMA, kemudian beberapa bulan kemudian banyak masyarakat yang kena Covid-19, terakhir dikatakan dalam berita nasional bahwa akan ada jenis baru yang lebih berbahaya.
ketua LSM KOAD “Masyarakat tidak perlu cemas jika terpaksa divaksin, seluruh penyakit ada obatnya silakan hubungi Nomor 082172752694, kami akan bantu keluhan masyarakat yang sudah divaksin,” kata Indrawan ketua LSM KOAD.
Beredar di media sosial Facebook sebuah unggahan video terkait potensi bahaya antibody-dependent enhancement (ADE) pada vaksin Covid-19.
Dalam video tersebut terdapat penjelasan yang menyebut vaksin akan semakin ganas menyerang tubuh manusia setelah terkena antibodi, hal ini terjadi karena terdapat potensi ADE.
Dilansir dari liputan6.com, Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Sinovac, Kusnandi Rusmil mengatakan bahwa tidak ada fenomena ADE dalam vaksin Covid-19.
ADE adalah fenomena reaksi ketika pemberian antibodi (berupa vaksin atau lainnya) menjadi tidak efektif, bahkan malah memperkuat infeksi, sehingga muncul suatu kejadian imunopatologis berat.
Kusnandi menerangkan fenomena ADE terjadi bila sebuah kuman atau virus memiliki antigen lebih dari satu, sedangkan virus penyebab Covid-19 hanya memiliki satu antigen.
Selain itu, dikutip dari sehatnegeriku.kemkes.go.id, Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid menegaskan bahwa fenomena ADE sejauh ini terlihat pada infeksi dengue, tidak pada kandidat vaksin Covid-19.
Sayangnya, peningkatan yang terjadi pada fenomena ini bukanlah hal yang baik dan kita inginkan. Yang justru terjadi adalah adanya peningkatan derajat keparahan suatu penyakit, yang terjadi akibat adanya antibodi tertentu pada tubuh.