Koalisi dan Perselingkuhan Kader Partai Politik

Ditulis Oleh  :  Saliful Huda Ems

Lawyer dan Pemerhati Politik

 

 

Menjelang masuknya tahun politik, tentu banyak peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini, diantaranya adalah mulai terbentuknya uji coba kerjasama antar partai politik. Herannya banyak politisi dan media yang memberikan istilah untuknya sebagai koalisi partai. Istilah ini sesungguhnya sangatlah keliru dalam pandangan Ilmu Hukum Tata Negara, karena koalisi itu harusnya terjadi setelah diadakannya Pemilu, dimana masing-masing partai politik peserta Pemilu dapat diketahui hasil perolehan suaranya, lalu mereka yang menginginkan dapat dukungan politik lebih banyak dari partai lainnya yang memiliki kesamaan kepentingan. Mereka kemudian memutuskan untuk berkoalisi dengan partai lain yang dikehendakinya. Sedangkan jika sebuah partai merasa sudah kuat kalau mau berkuasa sendirian, ia bisa saja tak memerlukan koalisi.

Kalau sebelum diadakannya Pemilu kemudian ada partai politik yang ingin bergabung atau melebur dengan partai lainnya, itu namanya fusi atau peleburan partai politik. Istilah Koalisi Partai sendiri sebenarnya lebih dikenal di negara yang menganut Sistem Parlementer, bukan di negara yang menganut Sistem Presidensial seperti di Indonesia. Koalisi Partai di negara yang menganut Sistem Parlementer ini bisa terjadi, manakala Partai Politik pemenang Pemilu menginginkan terjadinya stabilitas pemerintahan yang akan diperolehnya, hingga nantinya terbentuklah Pemerintahan Koalisi. Selain itu Koalisi Partai juga berfungsi untuk meraih dukungan politik yang lebih banyak lagi dari beberapa partai lain yang memiliki perwakilannya di parlemen. Sedangkan partai politik yang tidak ikut dalam koalisi partai yang berkuasa, otomatis akan berkoalisi pula dan menjadi kelompok oposisi pemerintah.

Di Indonesia yang menganut Sistem Presidensial, partai politik yang memperoleh suara banyak dan memenuhi Presidential Threshold, otomatis bisa mengajukan sendiri calon Presiden dan Wakil Presidennya. Sedangkan untuk partai yang kalah dan tidak memenuhi Presidential Threshold harusnya tetap mendukungnya, karena dalam Sistem Presidensial istilah Oposisi itu juga tidak dikenal, kecuali di negara yang menganut Sistem Parlementer. Olehnya, apa yang selama ini terjadi dalam praktek perpolitikan di Indonesia, tentulah banyak yang salah kaprah. Dan karena itu pula pada akhirnya, disaat menjelang Pilpres partai-partai politik yang sebelumnya memproklamirkan diri telah berkoalisi dengan partai tertentu, seperti yang saat ini terjadi Koalisi Gerindra dengan PKB, atau Koalisi Golkar dengan PAN dan PPP biasanya akan bubar di tengah jalan. Dan yang lebih memalukannya lagi itu seorang mantan Presiden dua periode, yang ngemis-ngemis ke Ketua Umum Partai NASDEM untuk memaksakan anaknya yang politisi pemula itu untuk jadi Calon Wakil Presiden yang akan diusung Partai NASDEM. Pemilu saja belum kok sudah ngemis duluan ke partai lain.

Koalisi yang tidak permanen bukanlah koalisi, tetapi uji coba kerjasama partai politik. Dan karena uji coba kerjasama partai politik ini arahnya lebih banyak pada sebuah manuver politik untuk tes ombak (test the water), sejauh mana reaksi partai politik lainnya dan sejauh mana reaksi masyarakat terhadapnya, maka uji coba kerjasama partai politik yang demikian tidaklah perlu terlalu diperhitungkan. Pada akhirnya koalisi-koalisian ini akan bubar dengan sendirinya setelah Pemilu selesai, dan didapatkan masing-masing perolehan suaranya. Gerindra misalnya, setelah nantinya tahu bahwa PKB ternyata jadi partai gurem karena ditinggalkan oleh warga Nahdliyin, maka dengan sendirinya Gerindra akan kabur dari PKB dan merapat ke partai lain yang lebih menjanjikan untuk berkoalisi dengannya.

Karena Koalisi Partai tidak menjadi hal yang penting bagi kita, maka hal yang perlu dilakukan oleh partai politik di negara yang menganut Sistem Presidensial seperti Indonesia ini, sebenarnya adalah kewaspadaannya pada kader-kader partainya yang berselingkuh dengan calon presiden atau wakil presiden yang akan diusung oleh partai lainnya. Mereka inilah yang seharusnya lebih layak untuk dipikirkan oleh partai politik, sebab jika tidak demikian maka kader peselingkuh itu eksistensinya akan sangat membahayakan bagi partai tersebut. Apalah artinya kemenangan Pemilu bagi partai tertentu, jika nantinya mereka salah mengusung calon presiden atau wakil presiden hanya karena adanya konspirasi jahat atau perselingkuhan politik dari kadernya dengan calon presiden atau wakil presiden yang akan diusung oleh partai lainnya?.

Perselingkuhan kader politik ini nampaknya sudah terjadi di beberapa partai, khususnya di PDIP. Bagaimana mungkin beberapa orang kader PDIP begitu gencarnya menyerang kader terbaik sesama partainya, yang punya potensi besar untuk diusung jadi Capres dan menang dalam Pilpres? Kalau PDIP masih membiarkan kader-kadernya bermanuver dengan cara menyerang sesama kader partainya sendiri yang berpotensi untuk menang dalam pertarungan Pilpres, lalu apa artinya kerja kerasnya PDIP selama ini untuk melakukan kaderisasi dengan melalui tempaan panjang proses tumbuhnya leadership baru di partainya, terlebih ketika partai tersebut nantinya sudah memperoleh kemenangan dalam Pemilu? Sapere aude.