Komisi II DPR RI: TNI/Polri “Aktif” Yang Jadi Pj Kepala Daerah Harus Mundur !

BERITA UTAMA767 Dilihat

JAKARTA-Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus mengatakan, Pj. Kepala daerah yang berlatar belakang Militer atau Polisi agar mundur meski tidak diatur dalam UU ASN tetapi sebaliknya normanya diatur dalam 3 Undang Undang lain.

Hal tersebut disampaikan dalam diskusi Dialektika Demokrasi yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI di Media Center DPR/MPR/DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan,Jakarta,Kamis (23/6/2022).

“Mendagri sekarang sedang membuat aturan baru terkait Pj Kepala Daerah yang dijabat Militer atau Polisi. Kita sedang tunggu aturannya dan media agar menyuarakan ini”, kata Guspardi Gaus.

Lanjut politisi PAN itu, bahwa awalnya Komisi II DPR RI melakukan revisi terhadap undang-undang tentang kepemiluan menjadi sebuah undang-undang omnibus law. Antara undang-undang Nomor 10 2016 kemudian undang-undang nomor 7/2017 dan UU tentang partai politik, itu satu kesatuan yang rencana akan menjadi inisiatif dari komisi II.

“Namun dalam perjalanan waktu, banyak sorotan dari berbagai partai politik yang berada di luar Senayan. Mereka meminta kami untuk tidak melakukan revisi karena terkesan DPR ganti undang-undang. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, kita hentikan prosesi terhadap yang sudah berjalan itu. Berdasarkan kesepakatan, artinya adalah rencana kami ketika itu,” papar Guspardi.

Jadi, ini sekedar historis saja yang ingin saya sampaikan, sehingga PJ-PJ itu tidak seperti yang sekarang. Nah, ini historikal dalam rangka meminimalisir hal-hal yang menimbulkan dinamika sebagaimana dialami saat ini.
Dikatakan, bahwa pada keputusan Mahkamah Konstitusi, memang terjadi juga debatable tentang pejabat yang diisi oleh TNI/Polri aktif, yang tidak boleh itu adalah TNI/Polri aktif .

Apa yang dimaksud TNI/Polri aktif, ini juga menimbulkan ranah berbedaan pendapat. Pihak pemerintah mengatakan bahwa aktif yang dimaksudkan itu adalah TNI/Polri aktif di didalam struktural di institusinya. Artinya kalau dia menjabat sebagai apakah kodim, Kodam dan sebagainya, itu tidak dibenarkan,itu yang dikatakan oleh pemerintah.

“Sedangkan kalau TNI/Polri yang ditugaskan kepada 10 institusi, dia sudah sama dengan jabatan ASN lainnya. Berita kritisan saya ini sangat viral dan ini yang paling banyak juga di samping rendang Ambo, jadi rendang ambo itu lebih dari 40 sumber berita yang mengekpos berita saya,” ujarnya.

Guspardi menyebut, berita yang paling viral. Tentang PJ ini, saya ketika itu menkritisi kebijakan pemerintah. Karena MK memerintahkan untuk membuat aturan main, memerintahkan, taruhlah MK dalam hal ini setuju dengan dari jabatan yang 10 institusi tersebut.

Menurut Guspardi, untuk melakukan penunjukan PJ ini, pemerintah harus membuat aturan-aturan main yang berkaitan dengan aturan-aturan yang disebutkan di atas. Awalnya pemerintah mengatakan, aturan yang lama sudah ada.

“Padahal kondisinya berbeda dengan PJ-PJ sebelumnya. Hal ini saya pernah diskusikan dengan bapak Tito (Mendagri) dan beliau merasa kewalahan untuk menyamakan visi dan persepsi terhadap persoalan ini. Akhirnya ketika kami ada RDP dengan beliau, saya sempat berdialog juga dengan bapak Tito sebagai menteri dalam negeri, ada gagasan dan rencana untuk membuat aturan-aturan teknis sebagaimana yang di amanahkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut,” urai Guspardi.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Anggota Komisi II DPR Drs. H. Anwar Hafid, M.Si juga menjelaskan beberapa poin terkait tema soal pejabat sementara kepala daerah.

“Sebetulnya hal tersebut sudah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu, dan itu tidak problem, tidak menjadi seksi, tapi ketika Tahun 2022 ini dilakukan pengangkatan, maka itu menjadi sebuah hal yang menjadi perhatian publik. Sehingga saya melihat ada beberapa hal kenapa ini menyita perhatian publik.”

Pertama, bahwa memang durasi waktu itu, kalau dulu kita “short time” sedangkan sekarang “long time”, kira-kira begitu, makanya ini menjadi seksi, karena ini long time, prosedurnya masih biasa-biasa saja.

“Kedua, karena dipicu oleh beberapa belet. Ibarat orang berkelahi itu sulit untuk melerainya. Putusan MK 67, kemudian undang-undang TNI, undang-undang Polri, undang-undang ASN, undang-undang pemerintah daerah, undang-undang administrasi pemerintahan, undang-undang Pilkada. Coba bayangkan, ini kalau kita lihat semangat semua undang-undang ini tetap sama, bagaimana mendudukan para pejabat non ASN itu,” jelas Anwar Hafid.

Lanjutnya, dalam jabatan politik bahkan dari semua aturan-aturan itu saya melihat, hanya satu. Sebetulnya, yang kita sepakat dulu.

“Maka yang jadi seksi itu karena adanya TNI/Polri. Jadi, TNI/Polri aktif kemudian ditunjuk menjadi pejabat sementara, sementara keputusan MK (Mahkamah Konstitusi ) sudah mengatakan itu tidak boleh, harus mundur,” pungkasnya.

Poin kedua, kata Anwar Hafid, bahwa Undang-undang TNI/Polri harus mundur, Undang-undang Pilkada pun harus mundur, undang-undang administrasi pemerintahan juga begitu, undang-undang pemerintah daerah lebih-lebih lagi harus.

“Sehingga satu-satunya yang memberi ruang itu adalah undang-undang ASN, yang memberi ruang kepada TNI/Polri untuk bisa bekerja di 10 instansi kementerian yang disebutkan tadi.”

Ketiga, ini harus dirubah memang, saya sepakat harus ada relaksasi aturan teknis soal pejabat di zaman sekarang menghadapi 2022-2023 ke depan ini, yang lebih banyak lagi.

“Oleh karena itu, saya tentu sangat mendorong menteri dalam negeri harus membuat segera aturan teknis tersebut. Karena tidak bisa lagi dipakai yang lama itu, enggak boleh lagi dipakai yang dulu karena tadi itu yang paling sederhana itu short time dengan long time, gak bisa lagi dipakai,” tegasnya.

“Saya sangat sependapat tadi, kalau memang otonomi daerah, maka harus dibuat-aturan bahwa, pengisian pejabat daerah dengan durasi waktu yang panjang itu harus dipilih oleh rakyat di daerah itu,” pungkas Anwar Hafid. ** DL.