Kalau Bisa Dipersulit, Jangan Dipermudah !

OPINI & ARTIKEL42 Dilihat

Oleh Peter Lewuk

PEMEO yang menjadi judul tulisan ini merupakan “virus birokrasi”, yang menular dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Virus birokrasi ini lebih ganas dari covid-19, HIV, ebola, dan sebagainya. Karena virus tersebut mengandung politik busuk, hiat jahat, kemunafikan, ketidakjujuran, mental korup, keserakahan, ketamakan, serta sok kuasa dari oknum-oknum pejabat pemerintah baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, pihak swasta penguasa uang, orang berpengaruh atau orang kuat.

Dalam kasus sengketa tanah eks HGU Nangahale-Patiahu, milik masyarakat adat Tana Ai, khususnya Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut, sudah sangat jelas dan terang-benderang ada amanat Konstitusi UUD NRI Tahun 1945, perundang-undangan turunannya, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah berkaitan dengan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat di seluruh Indonesia. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat atau “United Nations Declaration on The Rights of Indigenous People” Tahun 2007.

Rumusan klausul-klausul konstitusi, perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan peraturan pemerintah daerah serta deklarasi PBB, jelas dan terang-benderang serta indah nian untuk dibaca dan dipahami. Nah, masalah besarnya justru terletak pada implementasi yang, lagi-lagi, dijangkiti oleh virus birokrasi jahat itu tadi: “Kalau bisa dipersulit, jangan dipermudah”. Terus terang dan minta maaf, meski saya orang Tana Ai asli, tapi lantaran sudah lama ada di rantau, jadi saya kurang mengetahui dengan baik kasus tersebut, saya hanya tahu dari pemberitaan media saja. Berikut ini sekedar sedikit catatan kritis, mudah-mudahan bermanfaat.

Latar Teologis-Historis

Secara ontologis-teologis, keberadaan Bumi atau Nian Tana Ai dan manusia-manusia yang mendiami bumi tersebut, yang kemudian membentuk sistem ‘masyarakat adat matriarkat’, terdiri atas suku-suku (Sukun puluh wot lima ake rua plewong telu), semuanya itu pada hakikatnya adalah ciptaan segaligus anugerah dari Tuhan (Amapu: Ina Nian Tana pi pitu, Ama Lero Wulan tedang walu, gambaran tentang kedalaman misteri Tuhan, Sang Pencipta) Orang Tana Ai memahami dan mengimani Tuhan lewat wahyu kosmis atau wahyu alam sebelum puncak kepenuhan wahyu dalam diri Yesus Kristus diwartakan oleh Gereja Katolik kepada orang Tana Ai.

Kami orang Tana Ai menerima dan mengimani Yesus Kristus, Sang Juruselamat, setelah diwartakan oleh Gereja Katolik. Itulah sebabnya, ketika menulis skripsi sarjana muda tentang teologi konstekstual atau “Inkarnasi Teologi” (bukan Teologi Inkarnasi), saya bilang sama pater pembimbing saya, Pater Vlooswjik, SVD, dosen STFTK Ledalero (1980), bahwa “Yesus Orang Tana Ai”. Pater tanya, “Mengapa frater bilang begitu?” Saya jawab, “Yesus historis adalah orang Yahudi, tetapi Yesus Iman adalah orang Tana Ai.” Saya akan menuliskan tesis ini dan implikasinya terhadap adat Tana Ai pada kesempatan lain.

Jadi, Nian (bumi) Tana Ai dan seluruh Bumi beserta segala isinya telah ada sejak diciptakan Tuhan miliaran tahun, amat sangat-sangat jauh di kemudian Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. “Nian Tana Ai sudah ada selebum Indonesia menjadi negara merdeka. Nian Tana Ai juga bukan hadiah atau pemberian dari kaum feodal yang bermurah hati. Juga bukan pemberian Gereja Katolik. Dalam perjalanan sejarah, kolonial Belanda datang menjajah Tana Ai. Belanda tidak membawa ‘tanah’ dari negeri kincir angin dan dan bunga tulip itu untuk ‘menciptakan’ Nian Tana Ai, tetapi hanya membawa hukum kolonialnya untuk dipaksakan kepada bangsa dan daerah jajahannya.”

Berikut ini saya akan menyajikan secara garis besar saja tentang sejarah kasus sengketa tanah bekas HGU Nangahale-Patiahu, dengan mereferensi narasi yang diberikan oleh Bapak John Bala, S.H. selaku kuasa hukum (teropongindonesianews.com, 9/2/2022).

Tahun 1912, kolonial Belanda merampok tanah adat Nangahale-Patiahu, milik Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut. Dengan landasan “hukum agraria” (“Agrarische Wet”), tanah Nangahale- Patiahu dikelola oleh perusahaan milik Belanda. Selanjutnya pada tahun 1926, Belanda mengalihkan hak sewa (“erfpacht”) kepada Misi Katolik dengan jual-beli seharga F 22,500.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang antara lain mengalihkan hak sewa atau “erfpacht” menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Selanjutnya pada 5 Januari 1989, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan Keputusan Nomor 41/HGU/89, yang memberikan HGU kepada PT Perkebunan Kelapa Diag, untuk jangka waktu 25 tahun, dan telah berakhir pada 31 Januari 2013.

Setelah berakhirnya masa berlaku HGU, maka berdasarkan PP Nomor 40 Tahun 1996, dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nomor 7 Tahun 2017, maka tanah bekas HGU itu menjadi “Milik Negara” dan berada di bawah penguasaan Kementerian ATR/BPN.

Dalam pada itu Perseroan Terbatas (PT) Kristus Raja Maumere (KRISRAMA) milik Keuskupan Maumere. mengurus HGU kepada Kementrian ATR/BPN, namun sampai sekarang belum diberikan oleh pemerintah, karena masih dalam sengketa. Amanat Konstitusi Bahwa eksistensi masyarakat adat Tana Ai, khusunya Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut beserta hak ulayat mereka atas tanah Nangahale-Patiahu itu diakui dan dijamin oleh negara, hal itu dapat diketahui dari amanat konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai berikut:

UUD NRI Tahun 1945 (setelah amandemen) Pasal 18 B Ayat (2) mengatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

Kemudian dalam Pasal 28 I Ayat (3) diatur bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perubahan zaman dan peradaban”. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari amanat konstitusi (sebelum amandemen), lahirlah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur, antara lain, tentang “hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat dan keterkaitannya dengan tanah negara bekas HGU yang ditentukan berdasarkan sejarah asal-usul”.

Sebagai turunan dari UU Pokok Agraria, maka dibuatlah peraturan-peraturan pemerintah, antara lain, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang “Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat”.

Sebagai penjabaran lebih lanjut dari amanat konstitusi (sebelum amandemen), lahirlah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur, antara lain, tentang “hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat dan keterkaitannya dengan tanah negara bekas HGU yang ditentukan berdasarkan sejarah asal-usul”.

Sebagai turunan dari UU Pokok Agraria, maka dibuatlah peraturan-peraturan pemerintah, antara lain, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang “Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat”. Dalam Pasal 2 Permendagri itu disebutkan bahwa “Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat”. Demi terwujudnya proses pengakuan dan perlindungan, maka gubernur dan bupati/walikota membentuk panitia dan menjalankan tahapan pengakuan dan penyelesaian sengketa dan sebagainya.

Selain Permendagri, juga peraturan dari kementerian terkait, yaitu Peratruan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 Tahun 2019 tentang “Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarkat Hukum Adat”. Peraturan dari kedua kementerian itu harus diimplementasikan oleh gubernur dan bupati/walikota dengan membuat “Peraturan Daerah” tentang Masyarakat Adat yang ada di wilayahnya. Misalnya, “Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Sikka” (apakah sudah ada atau belum, saya tidak tahu).

Baiklah, berikut ini saya akan mengutip satu pasal saja dari Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat sebagai bukti bahwa masalah tanah dan masyarakat adat memang dijamin juga secara internasional. Dalam Pasal 2 Deklarasi PBB itu disebutkan bahwa “Masyarakat adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka” (penekanan, dari saya).

Siapa yang Berhak?

Berdasarkan narasi tentang tata urutan amanat konstiusi UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas, maka pertanyaan penting adalah “Siapa yang berhak atas tanah bekas HGU Nangahale–Patiahu”? Apalagi faktanya, sekarang tanah bekas HGU itu telah menjadi “Tanah Negara”. Lalu apa implikasinya bagi status masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut di satu pihak, dan di pihak lain Perseroan Terbatas (PT) Kristus Raja Maumere (KRISRAMA), milik Keuskupan Maumere?

Menurut narasi Bapak John Bala, SH, jawaban atas pertanyaan di atas adalah “keduanya memiliki status yang sama dalam hal waktu penetapan hak”, tentu saja setelah terselesaikannya sengketa tanah bekas HGU tersebut secara cermat dan adil.

Dari seluruh kronologi proses penyelesaian sengketa bekas HGU yang panjang, belum selesai, dan melelahkan itu, Bapak John Bala, S.H. menarik beberapa kesimpulan, di antaranya sebagai berikut. Bahwa penyelesaian sengketa itu “tampaknya” dibiarkan “berlarut-larut” supaya dapat dimanfaatkan sebagai komoditas politik kampanye pemilu dan pilkada. Selain itu, ditemukan fakta bahwa dalam pengukuran luas tanah terjadi manipulasi yang merugikan pihak Suku Soge dan Goban.

Kedudukan Perseroan Terbatas (PT) Kristus Raja Maumere (KRISRAMA) milik Keuskupan Maumere, yang uskupnya dianggap memilki jaringan umat yang sangat luas, mempunyai potensi elektoral yang besar, sehingga pihak yang berkuasa lebih memilih berpihak pada PT KRISRAMA. Indikasi kesengajaan untuk memperlarut- larutkan proses penyelesaian sengketa tanah bekas HGU Nangahale-Patiahu dapat diketahui lewat fakta berikut ini.

Bahwa proses itu telah berlangsung sejak Bupati Paulus Moa, Bupati Alexander Longginus , Bupati Sosimus Mitang, Bupati Yoseph Ans Rera, dan sekarang Fransiskus Roberto Diogo.

Aneh bin ajaib, dari lima rezim yang berkuasa di Kabupaten Sikka, tak seorang bupati pun bisa menyelesaikan kasus tersebut! Ada apakah gerangan? Jawabannya, kembali ke pemeo: “Kalau Bisa Dipersulit, Jangan Dipermudah”. Kalau memang demikian adanya, dengan tegas saya katakan, ini adalah kejahatan politik luar biasa terhadap kami rakyat Tana Ai.

Hebat sekali, hanya untuk berkuasa, kami orang Tana Ai dijadikan objek politisasi elektoral! Ini pelajaran pahit sepahit empedu, agar kami orang Tana Ai terbuka mata dan pikiran.

Tahun 2024 akan ada pemilu dan pilkada. Kami orang Tana Ai punya hak untuk memberikan sanksi politik elektoral dengan jalan tidak memilih oknum calon yang datang ke kampung halaman kami dan mulutnya berbusa-busa dengan janji-janji, seperti yang selama ini dialami, namun ternyata kemudian sangat mengecewakan kami.

Opini Ngawur

Dalam pada itu, banyak opini yang ikut meramaikan sengketa tanah bekas HGU Nangahale-Patiahu. Di antaranya ada sarjana hukum yang memberikan opini ngawur dengan meminta orang Tana Ai untuk “membuktikan keabsahan atau legalitas eksistensi dirinya sebagai masyarakat adat Tana Ai berikut tanah tempat mereka berdiam, situs-situs religius, dan adat-istiadat serta budaya mereka.”

Padahal semua yang diminta untuk dibuktikan itu secara “intrinsik-an sich-eksistensial” telah menjadi realitas “Gabe” (bahasa Jerman), artinya pemberian atau ter-beri-kan, realitas ciptaan Tuhan, sehingga tidak perlu dibuktikan. Bahwa khusus tentang pembuktian hukum mengenai sertifikat hak kepemilikan tanah, itu urusan pemerintah, yang harus proaktif mengadakannya untuk mereka, bukan meminta orang Tana Ai membuktikannya sendiri. Apa kerja dinas ATR/BPN Kabupaten Sikka? Apa pula kerja wakil rakyat Kabupaten Sikka, yang mewakili Tana Ai? Percuma orang Tana Ai memilih mereka.

Opini tentang “pembuktian” seperti diminta oleh sang sarjana hukum itu, saya sebut sebagai “falasia logika kontra-kodrat”, atau juga “tautologi”, yaitu pengulangan pernyataan yang tidak perlu. Contoh, meminta “seorang lelaki untuk membuktikan dirinya adalah laki-laki”, padahal kodratnya sebagai laki- laki adalah fakta ter-beri-kan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu dibuktikan.

Opini seperti ini juga merupakan logika “circulus-diabolus”, suatu lingkaran setan logika opini yang tidak ada jalan keluarnya, sehingga membingunkan orang Tana Ai, yang merasa eksistensinya sebagai orang Tanah Ai beserta tanah dan adatnya tidak perlu dibuktikan, kecuali pembuktian hukum yang menjadi urusan pemerintah daerah untuk diadakan bagi masyarakat adat Tana Ai. Dan, kebingungan itu dapat menjadi objek manipulasi empuk untuk kepentingan politik elektoral pada pemilu atau pilkada.

Selanjutnya, justru “Gabe” pada gilirannya meniscayakan “Aufgabe”, yaitu tugas dan kewajiban bagi negara maupun bagi masyarakat adat. Kedua entitas itu “saling berkewajiban satu terhadap yang lain”, yang bersifat imperatif-mutlak.

Konkretnya begini: negara berkewajiban memberikan legalitas, antara lain, berupa “sertifikat hak kepemilikan tanah kepada masyarakat adat”, tentunya setelah semua proses dan prosedur penyelesaian sengketa tanah, sesuai peraturan hukum yang berlaku, telah dilaksanakan secara cermat dan adil serta tidak berlarut-larut yang merugikan masyarakat. Sebaliknya, masyrakat adat pun berkewajiban terhadap negara dengan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) kepada negara, serta semua kewajiban lainnya sebagai warga negara.

Kolusi Gereja dan Penguasa?

Dari narasi tentang sejarah muncul dan berkembangnya kasus, proses dan tahap-tahap perjuangan masyarakat adat Tana Ai, khususnya suku Soge Natarmage dan suku Goban Runut, sebagaimana dipaparkan oleh kuasa hukum, yaitu Bapak John Bala, S.H., dapat diduga ada potensi “kolusi antara gereja, dalam hal ini pihak Keuskupan Maumere dan PT KRISRAMA milik keuskupan, dengan pihak penguasa.

Sekiranya ada kolusi antara kedua pihak ini, maka sangat disayangkan gereja melakukan “kejahatan moral dan rohaniah” terhadap umatnya. Kalau dulu Yesus membela nasib rakyat kecil, maka sekarang Gereja Katolik Keuskupan Maumere lebih mementingkan uang, kekayaan, dan bisnis lewat PT Kristus Raja Maumere (KRISRAMA) miliknya daripada membela dan memperjuangkan hak-hak dan nasib umat katolik masyarakat adat Tana Ai. Terkesan gereja katolik ikut memarginalkan dan mendiskriminasikan umat katoliknya sendiri.

Dengan demikian, sekali lagi benarlah pemeo: “Kalau bisa dipersulit, jangan dipermudah”, karena ada kepentingan “ada udang di balik batu” atau “noran mu’a wali watu unen. Artinya ada udang di balik batu ” dari kasus tersebut. Coba Anda bayangkan, sudah ada lima bupati dan lima ketua DPRD yang berkuasa di Kabupaten Sikka, toh kasus tersebut tak kunjung selesai juga?.

Padahal telah ada mandat yang jelas dari konstitusi maupun perundang-undangan serta peraturan pemerintah dan pemerintah daerah untuk penyelesaian kasus- kasus seperti itu. Baik pihak gereja maupun pemerintah daerah Kabupaten Sikka (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) “setengah hati” menyelesaikan sengketa bekas HGU Nangahale-Patiahu.

Kalau dulu di Palestina, Yesus sebagai imam projo pertama keluar masuk kampung, naik turun perahu untuk mewartakan kerajaan Allah dan melayani rakyat kecil, menyembuhkan mereka yang sakit, memberi makan kepada mereka yang lapar, maka sekarang para imam dan uskup bergaya elitis, serta maunya dilayani, bukan melayani. Yesus tidak pernah mementingkan tempat tinggal yang nyaman. Beda dengan mereka yang dipanggi oleh Yesus untuk menjadi imam dan uskup zaman now. Mereka nyaman di “istana” mereka, sementara umat dan rakyat tak berdaya menghadapi penguasa dan pengusaha.

Ironis memang! Masak’ gereja katolik, dalam hal ini pastor dan uksup, tidak bisa membantu menyelesaikan kasus tanah Nangahale-Patiahu, padahal itu salah satu tugas kenabian mereka, yaitu mewartakan dan memperjuangkan keadilan bagi rakyat dan umat. Jangan takut ambil risiko, seperti telah dibuktikan oleh Yesus, yang dengan keras mengeritik elite agama dan elite penguasa. Yesus bahkan bilang bahwa “Herodes Antipas itu serigala”, sehingga Herodes mau membunuh Yesus.

Dengan demikian, tidak salah juga dugaan bahwa kasus ini sengaja dibiarkan berlarut-larut agar bisa dipolitisasi dan dioreng-goreng oleh para oknum caleg dan oknum cabub/cawabub dengan menjanjikan dirinya akan tampil sebagai “juruselemat” pada kampanye politik pilkada dan pemilu. Ada indikasi kejahatan memanipulasi “keluguan” masyarakat adat Tana Ai yang sejak dulu disterotipekan secara negatif dan gampang didiskriminasikan.

Bahakan sudah lima periode pemerintahan di Kabupaten Sikka dengan lima orang bupati, ternyata belum bisa menyelesaikan kasus tersebut, ini sungguh di luar nalar sehat. Apakah mereka berpikir dalam otak dan hati mereka, bahwa kalau menyangkut orang Tana Ai, biarkan saja berlarut-larut supaya gampang dimanipulasi! Sebaliknya kalau menyangkut “orang bukan Tana Ai”, selesaikan secepatnya”? Bila demikian adanya, sungguh suatu pengkhiatan yang sangat menyakitkan!

Perintah Presiden

Pada Rabu, 15 Juni 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan perombakan kebinet. Di antaranya presiden melantik Bapak Jenderal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam kesempatan itu, presiden memberikan dua perintah penting menyangkut pertanahan. Yaitu “menyelesaikan sengketa tanah dan melakukan sertifikasi tanah”.

Masyarakat adat Tana Ai sangat mengharapkan Bapak Menteri Hadi Tjahjanto, agar dengan segala otoritas yang dimilikinya dapat mengeksekusi perintah presiden itu dengan tegas, khsusnya sengketa tanah bekas HGU Nangahale-Patiahu.

Kasus pertanahan di Indonesia telah menjelma menjadi “extra ordinary crime”, kejahatan luar biasa, sehingga perlu “extra ordinary action” pula. Para oknum pejabat birokrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah yang berlibat dalam kejahatan pertanahan beserta oknum swasta yang ikut bermain, semuanya harus ditangkap, diproses hukum, dan kirim mereka ke bui.

“Kepada Orang Tana Ai (OTA) selama hayat masih dikandung badan, mari kita terus berjuang mempertahankan hak kita karena dijamin oleh konstitusi. Dan kepada Bapak John Bala, S.H. saya angkat topi atas pendampingan yang telah Bapak berikan dan semoga berhasil tuntas. Amapu benjer kita orang Tana Ai dan para rekan penasihat hukum, dari mana pun mereka berasal.”

*)Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.