Ubah Citra Negatif, Polisi Harus Lakukan Penegakkan Hukum Dengan Adil

Sumbar.KabarDaerah.com – Polisi yang profesional adalah adalah Polisi yang lebih menekankan pendekatan pre-emtif dan preventif dibandingkan represif dalam penanganan Kamtibmas di suatu wilayah. Pendekatan pre-emtif  merupakan upaya proaktif dan internaktif dalam rangka pembinaan, penataan dan pemanfaatan potensi masyarakat dalam upaya merebut simpati rakyat, sedangkan pendekatan preventif  merupakan upaya yang bersifat pencegahan dan elimininasi setiap bentuk ancaman gangguan kamtibmas dengan memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk tercapainya tujuan tersebut Kapolri sedang menggalakkan konsep Presisi.

 

Karena itu, prasyarat utama yang harus dipenuhi agar polisi profesional dapat terwujud adalah terciptanya hubungan fungsional yang baik dan serasi antara polisi dan masyarakat. Namun hubungan ini akan terwujud apabila pencitraan masyarakat terhadap Polri positif, sehingga muncul sikap saling menghargai dan menghormati, serta saling mendukung dalam mewujudkan Kamtibmas yang kondusif.

 

Upaya Polri untuk mengubah citranya dari Polisi yang pada mulanya berkarakter militeristik sehingga dalam bertindak selalu menekankan pendekatan kekuasaan, menjadi Polisi yang dekat dengan masyarakat,  sudah lama digulirkan. Berbagai upaya telah dilakukan demi memperbaiki citra tersebut. Bahkan, untuk membuktikan komitmen tersebut.

 

Sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi anggota Polri lainnya. Komitmen ini semakin terbukti ketika Polri dengan berat hati, harus memeriksa beberapa mantan petinggi karena diduga terlibat dalam suatu tindak pidana, sebuah tindakan yang jarang terjadi di masa-masa lalu.

 

 

Namun demikian, tampaknya karakter-karakter anggota Polri yang arogan, ingin dilayani, brutal, berkompromi dengan hal-hal yang menyimpang,  tetap saja sukar untuk dihilangkan, terbukti dengan banyaknya kasus hukum yang menimpa aparat Polri.

 

 

Pelanggaran demi pelanggaran silih berganti mengemuka. Jenis pelanggaran yang  dilakukan oleh oknum Polri pun tidak berubah. Dalam kondisi demikian, maka citra polisi pun semakin buruk di mata publik. Memang benar bahwa Polisi juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Namun, masalahnya adalah apakah wajar apabila polisi akan selalu jatuh ke lubang yang sama? inilah pekerjaan rumah bagi semua insan bhayangkara dalam menemukan solusinya.

 

Harus diakui bersama, bahwa perubahan kultural  di tubuh Polri, salah satunya perubahan mental dan kepribadian anggota Polri,  merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan perubahan struktural maupun instrumental. Mengubah struktur organisasi Polri atau mengubah pola pendidikan di lembaga pendidikan Polri agar lebih menonjolkan aspek pemahaman terhadap perlindungan HAM, tentunya relatif mudah dilakukan dibandingkan mengubah karakter anggota Polri agar menjadi Polisi sipil.

 

Kesukaran untuk mengubah karakter negatif  yang ada di diri anggota Polri memang bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan mengingat karakter tersebut (militeristik) sudah tertanam dan berakar dalam jangka waktu lama, dampak dari kebijakan masa lalu,  sehingga mustahil apabila diubah dalam jangka waktu singkat.

 

Munculnya pencitraan negatif terhadap aparat Polri tentunya menimbulkan efek negatif, yang mana publik akan meragukan kemampuan polisi dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.  Harapan terwujudnya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap polisi seakan “jauh panggang dari api”, jauh dari kenyataan. Padadal, selama ini publik masih mengandalkan kekuatan polisi sebagai pilar utama dalam masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.

 

Beberapa upaya memperbaiki citra polisi ditengah-tengah derasnya kritikan sudah banyak dilakukan, diantaranya secara konsisten tanpa diskriminasi, diterapkannya penjatuhan sanksi tegas kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran, sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek jera.

 

Sanksi yang tegas pada aparat yang melakukan pelangggaran harus semakin banyak diupayakan, mengingat selama ini masyarakat memandang bahwa sanki yang dijatuhkan kepada aparat Polri seringkali lemah dan berhenti hanya pada penerapan sanksi disipliner sekalipun nyata-nyata oknum polisi tersebut melakukan kesalahan besar.

 

Upaya ini dilakukan untuk membuktikan bahwa polisi   juga tidak kebal hukum. Hukuman administrasi tidak lengkap tanpa ada pertanggungjawaban pidana. Karena itu, bagi polisi yang terindikasi kuat secara yuridis dalam pemeriksaan awal melakukan penyalahgunaan jabatan dan korupsi, kasusnya harus diserahkan ke pemeriksaan pidana. Lebih jauh, para polisi nakal tersebut seharusnya mendapatkan sanksi yang lebih berat dari para pelaku pidana biasa, karena mereka adalah penegak hukum yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat.

 

Hal yang tidak dapat diabaikan adalah perbaikan pola perekrutan terhadap calon anggota Polri. Bukan rahasia umum, apabila sejak masa perekrutan lalu lintas uang disinyalir sudah banyak berbicara dalam proses penentuan kelulusan bagi para pelamar, belum lagi pada saat penentuan jabatan (mutasi atau promosi).

 

Karena itu, perubahan metode, prosedur, dan proses pembinaan personal polisi harus jelas, sehingga dapat menghasilkan polisi yang berkarakter profesional. Indikatornya, masyarakat akan merasakan kualitas perlindungan dan pengayoman yang diberikan oleh anggota Polri, ketika masyarakat membutuhkan pelayanan.

 

Hal lain yang perlu dibenahi adalah optimalisasi peran masyarakat dalam mendukung tugas-tugas kepolisian. Bagaimana polisi dapat mengoptimalkan masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mengingat musuh polisi sebenarnya merupakan musuh masyarakat. Untuk itu, kerja sama antara polisi dengan masyarakat untuk menumpas “musuh” bersama tersebut diharapkan dapat lebih optimal. Konsep perpolisian masyarakat sudah terbukti mampu meningkatkan citra polisi sekaligus menekan angka kejahatan, sejatinya harus terus dikembangkan.

 

Polisi harus mengedepankan pendekatan humanis dalam menangani setiap  persoalan Kamtibmas. Sikap angkuh dan anarkis yang sering ditampilkan dalam  menyelesaikan persoalan harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, penyelesaian  persoalan Kamtibmas dengan pedoman menghargai hak asasi manusia (HAM) perlu dikedepankan. Melalui cara demikian, otomatis kedekatan Polri dan masyarakat  dapat tercipta. Selanjutnya, citra Polri di mata publik pun akan dapat terwujud dengan sendirinya.

 

Sebagai sebuah institusi yang berperan dalam pengamanan dan keamanan masyarakat, Polisi Republik Indonesia (Polri) masih perlu terus dibenahi untuk menjadi polisi yang profesional. Untuk menjadi polisi yang profesional, agar citra positif dapat terbangun, harus dilakukan berbagai pembenahan. Pembenahan harus dilakukan secara internal disertai kontrol dari luar. Tidak hanya pemimpinnya yang harus baik, tapi juga peran serta pihak luar dalam melakukan pengawasan.

 

Membiarkan institusi Polri dihuni oleh polisi-polisi yang tidak memiliki karakter sipil jelas sangat berbahaya, karena dapat merusak citra institusi kepolisian, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat, dan mengoyak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri. Oleh karena itu, pembenahan harus segera diwujudkan agar Polisi memperoleh citra positif dimata masyarakat sekaligus sahabat masyarakat. Bukankah, ibu kandung polisi adalah masyarakat itu sendiri?

 

Perubahan Sosial Masyarakat

Perubahan sosial yang begitu cepat mengakibatkan proses modernisasi dirasakan sebagai suatu yang berpotensi dapat menimbulkan keresahan dan ketegangan sosial. Keresahan sosial dan ketegangan sosial dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan terhadap atauran-aturan hukum yang telah disepakati dan telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.

 

Penyimpangan tersebut telah menyebabkan akibat negatif bagi negara ( pemerintah, dan masyarakat), maka untuk itu dalam rangka untuk mengembalikan dalam kondisi semula maka harus ada proses penegakan hukum. Penegakan hukum sebagai kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan tindak serangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

 

Faktor Mempengaruhi

Penegakan hukum merupakan suatu proses sosial, yang tidak bersifat tertutup tetapi bersifat terbuka, dimana banyak faktor yang akan mempengaruhinya.

Keberhasilan penegakan hukum akan sangat di pengaruhi oleh berbagai faktor, adapun faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah Substansi hukum, hukum diciptakan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, sebagai contoh UU dibuat oleh DPR, dalam menciptakan substansi atau isi hukum tersebut DPR sebagai lembaga yang diberi wewenang harus memperhatikan apakah isi UU itu betul-betul akan memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat atau justru di buatnya hukum akan semakin membuat ketidakadilan dan ketidakpastian dan malah merugikan masyarakat. Maka untuk itu substansi hukum sangat penting sekali.

 

Berharap mereka tidak hanya menjadi corong UU namun juga berfikir lebih luas dan mendalam. Selain itu, sarana dan prasarana, penegakan hukum membutuhkan sarana-prasarana seperti bagi polisi peralatan yang memadai dan tentunya bisa digunakan, apa jadinya jika dalam penegakan lalu lintas motor yang digunakan untuk patroli motor yang sudah usang, atau dalam penyusunan berkas masih menggunakan mesin ketik manual, sarana dan prasarana ini tentu berkaitan dengan anggaran, maka anggaran untuk penunjang benar-benar dimanfaatkan untuk itu.

 

Budaya Hukum Masyarakat

 

Peran masyarakat sipil, seperti lembaga masyarakat, perlu didudukkan dalam undang-undang, apalagi pluralisme hukum merupakan suatu keniscayaan di alam Indonesia. Oleh karena itu, untuk menuju ke arah negara demokrasi, perubahan undang-undang kepolisian perlu dilakukan dengan tidak bersifat vertikalistis dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.

 

Selain itu, harus dihindari hegemoni kepolisian atas kelembagaan lain yang tersusun secara terselubung dalam teks-teks untuk kepentingan parsial dengan alasan demi kepentingan umum. Penegakan hukum bukanlah diruang hampa, penegakan hukum dilakukan di tengah-tengah masyarakat, maka untuk itu penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik jika masyarakat tidak mendukung, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, partisipasi itu dapat dilakukan dengan aktif untuk mematuhi hukum dan juga jika ada pelanggaran hukum dapat melaporkan kepada yang berwenang.

 

Masyarakat juga harus aktif melakukan pengawasan terhadap penegak hukum agar tidak terjadi penyimpangan dalam penegakan hukum. Di dalam menjalankan fungsinya sebagai alat keamanan,terutama dalam menjalankan tugas pokoknya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta menegakkan hukum, Polri tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, termasuk oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Hal ini akan bisa dicapai apabila kita mampu membangun Polri yang tangguh dan berwibawa. Polri yang tangguh dan berwibawa hanya akan terujud apabila didukung oleh organisasi yang mantap dan didukung oleh personil yang professional.

 

“Upaya membangun Polri yang mandiri dan membentuk citra Polisi sebagai sahabat dan pelindung masyarakat, adalah tanggung jawab kita bersama, tetapi dalam pelaksanaannya sangat tergantung dengan kemauan politik Pemerintah.”

 

Peneliti Populi Center Nurul Fatin Afifah mengungkapkan, setelah mengungkap rekayasa kasus pembunuhan Brigadir J, institusi Polri wajib berbenah diri. Kepercayaan publik harus diraih kembali agar segala kebijakan yang ditelurkan nantinya berjalan lancar.

 

“Kepercayaan publik adalah variabel penting dalam mewujudkan good governance dan menjadi modal sosial sebuah institusi dalam menjalankan tugas serta fungsinya,” ujar Nurul saat berbincang. (sumber Kompas.com)

 

Akar persoalan ketidakpercayaan publik terhadap Polri, menurut Nurul, tidak sebatas pada kasus pembunuhan Brigadir J saja, melainkan yang utama yakni kinerja dan relasi personel kepolisian dengan masyarakat.

 

Polri dinilai perlu meningkatkan kinerja melalui terobosan-terobosan dalam pelayanan publik. Inovasi dan perbaikan integritas diyakini Nurul akan menjawab ekspektasi masyarakat.

 

Hal senada juga diungkapkan pengamat kepolisian Bambang Rukminto. Menurut dia, penuntasan kasus pembunuhan Brigadir J tidak serta merta mengembalikan kepercayaan publik yang sebagaimana diuraikan sebelumnya sedang mengalami tren penurunan.

 

“Bila kasus itu dituntaskan dengan menyeret pelaku utama dan otak pembunuhan ke pengadilan, bisa jadi itu hanya akan menjadi obat pereda nyeri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Polri,” ujar Bambang.

 

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keterangan pers terkait penyidikan kasus penembakan Brigadir J di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyatakan melalui Tim Inspektorat Khusus (Irsus) telah melakukan pemeriksaan terhadap 25 personel polri terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam perkara penembakan Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam

 

Masyarakat melihat problem di tubuh Polri bukan semata pada tingkah laku oknum, melainkan sistem yang belum bisa berdampak positif bagi kinerja, integritas, independensi, serta kultur personel.

 

Berkaca pada kasus pembunuhan Brigadir J, terbukti sistem yang ada di tubuh Polri tidak mampu mengantisipasi munculnya kelompok oknum yang merekayasa kasus. Bambang mengungkapkan, uraian yang disampaikan Kapolri menunjukkan bahwa kelompok ini mengakar secara sistemik, terstruktur dan masif.

 

Kapolri sampai harus menurunkan personel Brimob dalam setiap proses penyidikan kasus ini. Meski nyatanya kelompok oknum ini kalah, tetapi hal itu menunjukkan ada persoalan serius di tubuh Polri yang mesti dibenahi.

 

Oleh sebab itu, Bambang menilai, Kapolri harus konsisten memanfaatkan momen kasus ini untuk bersih-bersih di dalam institusi sekaligus mewujudkan sistem yang lebih baik.

 

“Kapolri harus konsisten menggunakan kasus ini sebagai momentum untuk membersihkan kelompok-kelompok yang sudah jelas-jelas mengusik rasa keadilan masyarakat dengan menyampaikan kejanggalan-kejanggalan yang dianggap sebagai upaya untuk menutupi kejahatan yang dilakukan personel kepolisian,” ujar Bambang.

 

“Tanpa ada konsistensi untuk membuktikan komitemen untuk membenahi internal secara transparan dan akuntabel, sepertinya masih berat bagi Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat,” lanjut dia.

 

Bahkan, bisa jadi akan muncul trauma publik bila kelompok jahat di tubuh institusi ini tidak dibersihkan secara tuntas.

 

Komitmen Kapolri, Polisi Arogan Tak Ada Tempat, Bermasalah Langsung Copot

 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan tidak ada tempat lagi bagi polisi arogan atau bermasalah di institusi. Dia memastikan polisi bermasalah tidak akan ditegur, melainkan langsung dicopot dari jabatannya dan ditindak tegas dengan pemecatan. “Kalau ada laporan, saya tidak perlu tegur lagi, langsung saya proses, saya langsung copot. Ini berlaku untuk semuanya, apakah itu polki apakah itu polwan,” kata Sigit melalui akun resminya @listyosigitprabowo di Instagram, Senin (12/9).

Jenderal bintang empat itu menyampaikan tindakan tegas itu ia lakukan demi melindungi 430 ribu anggota Polri dan 30 ribu PNS yang telah bekerja dengan baik membangun Korps Bhayangkara.

Dia juga tidak ingin kelakuan beberapa oknum merusak citra institusi Polri. “Saya harus mencopot, saya harus menindak, terhadap rekan-rekan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dan ini terus saya ulang-ulang karena saya sayang dengan 430 ribu polisi dan 30 ribu PNS yang juga bekerja dengan baik,” ujarnya.

Kapolri itu tidak mentoleransi adanya aparat kepolisian yang terlibat dalam pelanggaran terkait dengan penyakit masyarakat, seperti perjudian, narkoba dan lainnya. Menurut dia, negara membutuhkan peran Polri dalam memulihkan perekonomian nasional.

Hendaknya anggota Polri aktif dan menindak kejahatan guna menjaga perekonomian negara stabil. “Jadi, kalau masih ada yang kedapatan melanggar terkait masalah judi, terkait dengan masalah penyakit masyarakat, negara sedang pusing, bebannya cukup berat terhadap kejahatan-kejahatan kekayaan negara, tolong diberantas,” tegasnya. Mantan Kadiv Propam Polri itu mewanti-wanti jajarannya untuk menghindari pelanggaran khususnya yang mencederai rasa keadilan masyarakat. S

ikap anggota Polri mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap institusi. “Pelanggaran-pelanggaran yang kalau anggota lakukan, maka itu akan semakin menurunkan kepercayaan publik kepada Polri,” pesannya. (sumber: JPNN.com)

 

Saran Ketua LSM KOAD sebagai lembaga swadaya masyarakat yang cukup aktif melakukan kritik terhadap proses pelaporan tindak pidana dan penanganan perkara di kepolisian adalah agar Polisi bertransformasi menjadi POLRI PRESISI yang mematuhi :

  1. Tribrata Polri
  2. Patuhi atasan selama mereka benar, jika perintahnya salah tinggalkan mereka.
  3. Patuhi UU Kepolisian, Perkapolri, KUHAP dan UU Kepolisian
  4. Lakukan Tranformasi Polri dengan lebih Presisi (Prediktif, Responsif Transparan dan Berkeadilan

 

Jauhi sifat arogan, jika benar kata kapolri bukan hanya sekedar ucapan agar masyarakat kembali percaya kepada polisi maka, Polisi nakal yang suka melanggar aturan kepolisian, kerjanya hanya nongkrong sana sini. Bersiap siaplah untuk diberhentikan.

 

Jika hal ini tidak dilakukan, maka nama baik Polri makin lama makin terpuruk, masyarakat tidak akan percaya kepada pilisi, sehingga akan timbul keinginan untuk membubarkan kepolisian. (Tim)