Penghentian Penyelidikan Harus Melalui Mekanisme Gelar Perkara

Sumbar.KabarDaerah.comProf.H.Muhammad Tito Karnavian, Ph.D saat menjadi Kapolri telah menerbitkan peraturan terbaru sehubungan dengan Penyidikan Tindak Pidana dalam lingkup Polri, peraturan tersebut termuat dalam dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang diterbitkan pada tanggal 4 Oktober 2019. Perkap ini sebagai petunjuk acuan pelaksanaan mengenai penyidikan tindak pidana agar Penyidik Polri dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang secara profesional, transparan dan akuntabel, Responsibility dan berkeadilan.

 

Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) ini merupakan penyempurnaan dan penyesuaian dengan pekembangan hukum, pengganti Perkap 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang telah dicabut dengan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 06 tahun 2019 tentang Pencabutan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Terdapat hal baru yang ditambahkan dan yang sebelumnya tidak ada dalam perkap pendahulunya, terkait penanganan penyidikan, diantaranya :

Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

1. Pengehentian Penyelidikan

Pasal 9 Perkap 6 / 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana , menjelaskan bahwa hasil Penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik, wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana. Hasil Gelar perkara yang memutuskan :

  1. Merupakan tindak pidana, dilanjutkan ke tahap penyidikan;
  2. Bukan merupakan tindak pidana, dilakukan penghentian penyelidikan; dan
  3. Perkara tindak pidana bukan kewenangan Penyidik Polri, laporan dilimpahkan ke instansi yang berwenang.

2. Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Pasal 12 Perkap 6 / 2019 menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat materiel dan syarat formil. Keadilan Restoratif adalah Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula.

 

A.Persyaratan materil, meliputi :
Tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum, serta adanya prinsip pembatas diantaranya bahwa kesalahan pelaku relatif tidak berat (kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan bukan residivis), serta pada tindak pidana dalam proses penyelidikan dan penyidikan (sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum).

 

B.Persyaratan formil, meliputi :

  1. surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
  2. surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;
  3. berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;
  4. rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan
  5. pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

3. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) merupakan pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan, dibuat setelah diterbitkannya Surat perinatah Penyidikan dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan. (Pasal 14 ayat (1) Perkap 6 / 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana).

 

Pasal ini sudah mengacu padal Putusan Nomor : 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, korban/pelapor, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.

 

  1. Apakah ada dasar hukumnya untuk menentukan kriteria seseorang sebagai tersangka suatu tindak pidana?
  2. Apakah dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan laporan/tuduhan dari Pelapor bahwa seseorang sebagai pelaku tindak pidana, Polisi dapat menentukan bahwa orang tersebut adalah Tersangka tanpa melakukan pemeriksaan saksi-saksi terlebih dulu, kecuali menerima keterangan dari Pelapor semata (bukan dalam hal tertangkap tangan)?
  3. Apakah yang dimaksud dengan BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP itu dapat diartikan sebagai laporan dari Pelapor saja?
  4. Apakah hal ini tidak berarti semua orang dapat dituduh sebagai Tersangka perbuatan pidana, jika si Pelapor menghendakinya? Bagaimana apabila semua orang yang tidak menyukai seseorang kemudian melaporkan kepada Kepolisian bahwa orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana?

 

Jawaban untuk pertanyaan no. 1 dan 2:

Menurut pasal 1 angka 14 KUHAP, Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Jadi, seseorang dinyatakan menjadi tersangka apabila ada bukti permulaan bahwa ia patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Jawaban untuk pertanyaan no. 3 dan 4:

Dalam KUHAP sendiri tidak ada batasan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Oleh karena itu, pengertian bukti permulaan yang cukup merujuk pada Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana.

Merujuk pada kedua peraturan di atas, bukti permulaan yang cukup adalah minimal ada laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah. Jadi, tidak cukup kalau hanya ada laporan dari pelapor. Harus ada minimal satu alat bukti yang sah menurut KUHAP.

Sebelum melakukan penyidikan, maka penyidik wajib
menyiapkan administrasi penyidikan sebagai berikut:

  1. laporan Polisi (LP)
  2. Laporan Hasil Penyelidikan (LHP)
  3. Surat Perintah Penyidikan sesuai batas waktu berdasarkan
    kriteria bobot perkara
  4. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
  5. Rencana Kegiatan Penyidikan
  6. Rencana kebutuhan anggaran penyidikan

 

Dasar hukum:
  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
  2. Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol)
  3. Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana