KabaeDaerah.com – Secara hukum telah terjadi pelanggaran dalam hal, penerbitan kartu Kuning hak guna pakai dan pengelolaan Pasar Banda Buek Lubuk kilangan kota Padang.
” Pasar Banda Buek tidak termasuk ke dalam aset yang dimiliki oleh Pemko Padang “, kata salah seorang pejabat yang tidak perlu kami sebutkan namanya.
Disatu sisi Pemko Padang mengatakan bahwa merekalah pemilik bangunan pasar, dilain pihak Kaum Pemilik Ulayat mengatakan belum pernah menyerahkan ke Pemko Padang.
Sementara, tahun 2017 lalu saat dilakukan rapat di Jakarta tanggal 8 Januari 2017, terlihat dari surat kesepakatan Kadis Perdagangan H Endrizal hanya sebagi Fasilitator.
H Endrizal SE hadir mewakili Wali Kota Padang, dalam melakukan negosiasi dengan pelaksana pembangunan.
Terlihat H Syafruddin Arifin SH salah satu pihak yang hadir dalam rapat tersebut, H Syafruddin Arifin SH adalah kuasa Direktur PT Syafindo Mutiara Andalas.
Belakangan diketahui. Setelah dilakukan investigasi oleh LSM KOAD dan Alliansi Anak Nagari Lubuk Kilangan, berdasarkan surat tanggal 12 Februari 2012 didapat data bahwa pihak Pemko Padang telah mengakhiri hubungan kerjasama yang mereka lakukan tahun 2006 lalu. Hubungan Kerjasama tersebut tidak pernah di Addendum.
Dari stemen ini, dapat ditarik kesimpulan, kuat dugaan bahwa Pemko Padang telah melakukan pelanggaran berbagai aturan hukum. hal ini membuat mereka yang berada di tempat tertentu ketakutan masalah ini diungkap. Kata ketua LSM KOAD lagi.
Dari keadaan ini, LSM KOAD tergerak keinginan untuk mencari jalan keluar, agar kedepan tidak terjadi pelanggaran pelanggaran yang berisiko hukum.
Zainal MKW Kaum Suku Melayu, Herman Daud MKW KAum Suku Jambak dan Herman Disin MKW Kaum Suku Tanjung adalah pemuka adat dari ketiga kaum dari suku suku tersebut diatas.
MKW Ketiga suku tersebut mengatakan bahwa mereka belum pernah menandatangani surat surat tanah, untuk diserahkan kepada Pemko Padang. Hal ini juga Pemko Padang katakutan, pasalnya 45% hasil pembangunan dan 25% hasil pengelolaan adalah merupakan bagian dari nagari Lubuk Kilangan. sapai saat ini tidak pernah diberikan. sementara Pemko Padang masih bersikukuh sebagai pengelola pasar Banda Buek, walau secara hukum tidak akan pernah terbukti.
Demikian juga Mairawati salah seorang kaum suku Jambak, mengatakan bahwa tanah kaum Jambak yang berada dipasar Banda Buek adalah tanah ulayat turun temurun dari nenek tertua adat terdahulu”, katanya.
Mairawati mengatakan belum pernah menyerahkan hak milik atas tanah mereka kepada pihak Pemko Padang, “Kami belum bernah melepaskan hak atas tanah kami”, jelas Mairawati.
“Kenapa, ketika kami berjualan ditanah kami, barang dagangan saudara kami dihancurkan Satpol PP atau SK4 Kota Padang.
Tentuya tim SK4 tidak mungkin bekerja tanpa perintah atasan. Diduga kuat mereka diperintah oleh atasan mereka dan hal itu jelas perbuatan pidana “, kata Mairawati.
Dijelaskan oleh LSM KOAD tentang gambaran PENYERAHAN SECARA HUKUM
Apakah penyerahan itu ?
Menurut sistim BW, perjanjian obligatoir (perjanjian jual beli, tukar menukar atau hibah) belum mengakibatkan peralihan hak milik atas benda. Perjanjian obligatoir hanya menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan benda. Setelah penyerahan itu dilakukan barulah hak milik atas benda beralih.
Menurut hukum, penyerahan ialah perbuatan hukum yang memindahkan hak milik. Dalam bahasa se-hari hari, penyerahan berarti tindakan menyerahan sesuatu barang yaitu dari tangan ke tangan.
Misalnya A membeli sebuah arloji dari B dan berdasarkan perjanjian jual-beli itu B “serahkan” arloji itu kepada A.
Berdasarkan Psl. 612 ayat 1 BW, penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan yang nyata dari tangan ke tangan oleh atau atas nama pemilik, sehingga penyerahan yuridis benda bergerak adalah sama (bertepatan) dengan penyerahan nyata dan dinamakan penyerahan nyata . Akan tetapi pada benda tak bergerak penyerahan yuridis tidak bertepatan dengan penyerahan nyata. Misalnya suatu persil (tanah serta rumah diatasnya) : penyerahan yuridis dilakukan dengan sebuah akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P.A.T.), sedangkan penyerahan nyata dilakukan dengan penyerahan kunci-kunci rumah tsb. Hanya penyerahan yuridis yang memindahkan hak milik atas persil tsb.
Perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaan.
Dalam sistim BW, hak milik atas sesuatu benda beralih ke pemilik dengan dua perbuatan hukum :
- Perjanjian jual-beli (Dinamakan perjanjian obligatoir karena menimbulkan perikatan).
- Penyerahan
Terjadi pertentangan di Nederland mengenai penyerahan, bahwa apakah penyerahan merupakan perbuatan hukum sepihak atau timbal-balik.?
Menurut kebanyakan sarjana, penyerahan adalah perbuatan hukum timbal-balik. Oleh karena tidak cukup kalau penjual memberi hak milik, akan tetapi pembeli harus juga menerimanya.
Perbuatan hukum timbal-balik ini dinamakan perjanjian kebendaan (Zakelijke overeenkomst). Jadi setelah perjanjian obligator masih diperlukan penyerahan atau perjanjian kebendaan agar hak milik atas benda beralih.
Syarat-syarat penyerahan.
Agar suatu penyerahan sah maka berdasarkan Pasal 584 BW, harus memenuhi dua syarat, yaitu :
- Penyerahan harus didasarkan atas sesuatu peristiwa perdata (rechtstilel) untuk memindahkan hak milik. Dengan kata lain penyerahan harus mempunyai sebab atau causa yang sah. Pada umumnya sebab dari penyerahan ialah perjanjian jual-beli. Tetapi sebab atau peristiwa itu bisa juga perjanjian hibah, perjanjian tukar menukar, suatu hibah wasiat (legaat : 957 db.), atau suatu perbuatan melawan hukum (1365)
- Penyerahan harus dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas terhadap benda.
Penyerahan harus dilakukan oleh yang berhak, sengaja BW menyebut ”yang berhak” dan bukan ”pemilik”, karena:
- Orang tua atau wali berhak menjual dan menyerahkan barang kepunyaan seorang anak yang belum dewasa;
- Seorang kuasa dapat menjual dan menyerahkan barang kepunyaan sipemberi kuasa, kalau memang kuasa diberikan untuk menjual barang tsb
- Seorang kurator dalam kepailitan berhak menjual dan menyerahkan barang-barang kepunyaan orang yang di nyatakan pailit
Penyerahan harus dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas terhadap benda ini tidak berlaku kalau benda yang diserahkan adalah benda bergerak yang tidak atas nama, yaitu berhubungan dengan berlakunya azas dalam pasal 1977 BW. Mis. A pinjamkan arlojinya kepada B, kemudian B menjual dan menyerahkan arloji itu kepada C, maka C menjadi pemilik meskipun penyerahan itu dilakukan oleh seorang yang ”tidak berhak”, asal saja C beritikad baik. (tidak mengetahui atau tidak dapat menduga bahwa B bukan pemilik).
Cara-cara penyerahan dalam hal ini penyerahan tanah.
Penyerahan hak milik atas tanah diatur dalam pasal-pasal 616-620 BW., akan tetapi pasal pasal tersebut tidak pernah berlaku.
Menurut peraturan peralihan keperundang undangan baru (S. 1848 No. 10) yang tetap berlaku ialah Ordonansi Baliknama (S. 1834 No. 27).
Kemudian berdasarkan UU Pokok Agraria penyerahan hak milik atas tanah diatur dalam P.P. No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran Tanah (L.N. 1961 No. 28). Menurut pasal 19 dari Peraturan Pemerintahan ini maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Oleh Yurisprudensi ditetapkan bahwa pemindahan hak milik terjadi pada saat dibuatnya akta jual-beli dimuka Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P.A.T).
Selanjutnya PP No. 10 tahun 1961 ini telah direvisi dengan PP No. 24 tahun 2007 tentang pendaftaran tanah.
Dalam Pasal 23 PP ini dikemukakan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
Jadi dalam hal ini Pemko Padang harus membuktikan telah terjadi akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
Penyerahan rumah atu bangunan tanpa tanah.
Menurut sistim BW, tidak mungkin seorang (A) mempunyai hak milik atas sesuatu gedung permanen yang berdiri diatas tanah kepunyaan seorang lain (B), terkecuali jika A itu mempunyai hak opstal (hak guna bangunan) atas tanah tsb.
Jadi yang umum ialah bahwa pemilik tanah adalah juga pemilik dari bangunan atau tanaman diatas tanah itu (pasal 571, 600 dan 601 B.W.).
Satu-satunya pengecualian adalah bilamana seorang mempunyai hak opstal atas tanah seorang lain (pasal 711 dan berikut B.W).
Akibat dari sistim BW ini ialah bahwa seorang penyewa tanah tidak mungkin memiliki sesuatu rumah atau gedung permanen yang berdiri diatas tanah sewa itu, oleh sebab ia tidak mempunyai hak opstal atas tanah itu tetapi hanya hak sewa.
Berbeda dengan Sistim Hukum Adat adalah lain sekali.
Hukum adat tidak mengenal azas ”accessie” (pasal 571 ayat 1 B.W.) tetapi mengenai azas ”pemisahan horizontal”, yaitu bahwa hak pemilihan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi juga pemilikan bangunan yang ada diatasnya. jadi Barang siapa yang membangun, dialah pemilik bangunan yang dibangunnya itu.
Hanya saja terkait dengan bangunan pasar Banda Buek, penyebab dibangunnya pasar tersebut adalah kesepakatan Niniak mamak panghulu Banda Buek Lubuk Kilangan dengan Pemko Padang, yang terjadi Tahun 2006 lalu.
Hanya saja kata ketua LSM Komunitas Anak Daerah, ” berdasarkan investigasi yang dilakukan bersama aliansi anak nagari, didapat kesimpulan bahwa telah terjadi sejumlah penjualan yang dilakukan oleh Pemko Padang yang dibuktikan dengan Kartu Kuning hak pakai dari para pedagang.
Kata LSM KOAD lagi, ” mana mungkin kartu kuning berupa hak pakai tersebut bisa diterbitkan ketika tidak penyerahan oleh kaum suku Tanjung, Melayu dan Jambak kepada pihak Pemko Padang, sedangkan Seluruh bangunan telah dijual oleh Pemko Padang tanpa memberikan hak kaum suku anak nagari “.
Disepakati tahun 2006, bahwa 45% hasil bangunan, 25% ahrsil pengelolaan adalah hak suku suku pemilik ulayat nagari Banda Buek Lubuk Kilangan, seluruhnya raib. Dalam perkara ini pihak nagari tidak mempermasalahkan siapa yang menjual kepada pedagang. Hanya saja berdasarkan bukti hukum yang merupakan alat bukti di Pengadian kelak Pemko Padang yang melakukan penyerahan ke Pedagang., kata ketua LSM KOAD. lanjutnya lagi,
Seperti rapat yang dilakukan di Dinas Perdagangan satu minggu lalu, Pemko Padang menyatakan bahwa:
- Bangunan pasar milik adalah Pemko Padang, pada hal berdasarkan surat surat yang diterbitkan Pemko Padang terbit diluar ketentuan hukum yang berlaku. Seperti kesepakatan misalnya, seharusnya diikuti oleh penjanjian kerjasama. sementara Perusahaan yang membangun telah dihentikan tahun 2012 oleh Walikota Padang yang ditanda tangani Mahyeldi sebagai wakil Walikota saat itu.
- Restribusi dan pajak dipungut oleh dinas Perdagangan Pemerintah kota Padang. Kaum suku suku tidak mendapatkan hak atas hasil tanah mereka yang dipakai pemko Padang, sedangkan tanah tersebut adalah tanah milik kaum suku suku di Banda Buek Lubuk Kilangan.
“Pemilik tanah jelas merasa ditipu oleh oknum oknum yang menjabat di Pemko Padang. disatu sisi mereka tidak mau menyelesaikan masalah, dilain sisi oknum Dinas Perdagangan terus melakukan pungutan tanpa memperdulikan, sah atau tidak perbuatan yang mereka lakukan “, kata Ketua LSM KOAD.
Jika Pemko Padang mengatakan bahwa mereka melakukan pembangunan dipasar Banda Buek, hal ini diduga kuat adalah pelanggaran atas UU Tipikor.
Kata ketua LSM KOAD lagi, tahun 2018, H Endrizal SE sebagai Kadis Perdagangan dilakukan pembangunan struktur samping kiri bangunan pokok dan membagunan renovasi tanpak depan Pembangunan, disaat Covid 19 akhir tahun 2021.
Pemko Padang telah melakukan pembangunan di Pasar Banda Buek. Disaat H Endrizal dan Andree Algamar sebagai Kadis Perdangangan Kota Padang.
Dana yang dipakai adalah APBD dana DID yang berasal anggaran negara. Hal itu diduga kuat melanggar UU Tindak pidana korupsi, kata ketua LSM KOAD.
Tambahnya lagi, Yang jelas perbuatan hukum yang dilakukan sebelum adanya penyerahan adalah perbuatan melawan hukum, pelakunya diduga kuat melanggar aturan hukum negara.
Kata LSM KOAD, ” agar hal itu bisa diselesaikan, maka Pemko Padang harus kembali melakukan kerjasama dengan Nagari dan perusahaan yang ditunjuk pihak Nagari Lubuk Kilangan “, sebutnya.
Kita harus berpedoman kepada aturan yang berlaku, agar tidak terjebak ke dalam masalah hukum yang dapat menyita konsentrasi.
Setelah berlakunya UU Pokok Agraria yg mengadakan unifikasi Hukum Tanah dan yg menetapkan bahwa ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang-angkasa ialah Hukum Adat, ”(pasal 5 U.U.P.A.), maka azas accessie harus dianggap tidak berlaku lagi.
Dimana dapat saja terjadi bahwa A adalah pemilik tanah dan B pemilik bangunan yang terletak diatas tanah tsb, meskipun B tidak mempunyai hak-guna-bangunan atas tanah tsb.
Pertanyaan sekarang ialah bagaimanakah penyerahan hak milik atas rumah atau gedung tanpa tanah ? Tentunya BW tidak mengatur hal ini.
Oleh karena seperti telah dikatakan BW menganut azas accessie yang tercantum dalam pasal 571 ayat 1 BW.
Jadi untuk ini kita harus menilik pada praktek dan menurut praktek biasanya dilakukan dengan surat jual-beli dengan disaksikan oleh Kepala Kecamatan. tulisan ini sengaja diterbitkan agar Pemko Padang dapat mengambil gambaran tentang apa yang mereka lakukan. (Red)