Oleh : Urbanus Ura Weruin
SALAH satu praktik pengadilan yang mengundang perdebatan publik, para ahli, kaum akademisi, dan para praktisi hukum beberapa waktu lalu adalah proses persidangan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah ketentuan pasal pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang terkait persyaratan usia minimal calon presiden dan/atau wakil presiden (capres-cawapres).
Putusan tersebut ‘meloloskan’ Gibran Raka Bumi Raka untuk mencalonkan diri sebagai cawapres mendampingi presiden Prabowo Subianto, dan kemudian terpilih sebagai Cawapres dalam pemilu 14 Februari 2024 lalu. Anwar Usman, paman Gibran, tidak hanya divonis bersalah Majelis Kehoramatan MK karena melanggar kode etik MK melainkan MK sendiri dipelesetkan menjadi mahkmah keluarga.
Perdebatan tentang politik dinasti ala presiden Jokowi pun menyeruak ke mana-mana. Tetapi, bagi kaum akademisi dan studi hukum kritis, opini hukum berbeda (dissenting opinion) di antara para hakim yang mengadili dan memutuskan perkara ini tetap menjadi jurisprudensi yang menarik untuk ditelaah. Dalam memutuskan perkara ini 6 hakim menyetujui sementara 3 hakim lain menyampaikan dissenting opinion dan alasan berbeda.
Perbedaan dan ketidaksepakatan para hakim yang mengadili dan memutus perkara ini memunculkan keraguan terhadap kebenaran, kepastian, dan keadilan hukum. Bukankah kebenaran dan kepastian putusan dibangun atas dasar fakta hukum yang objektif, lepas dari preferensi dan kepentingan pribadi atau kelompok para hakim?
Tulisan ini tidak bermaksud menilai objektifitas, kebenaran, dan keadilan putusan hakim. Fokus tulisan ini adalah menunjukkan problem epistemologis yang menyertai putusan pengadilan dengan disertai dissenting opinion. Apakah kebenaran hukum objektif atau subjektif? Apakah putusan hukum pasti atau tidak pasti? Apa dasar epistemologisnya?
Epistemologi Hukum
Gardiner (2019) menyatakan bahwa praktik hukum sangat bergantung pada epistemologi yang mendasarinya. Epistemologi hukum, untuk sebagian, berurusan dengan bukti, evidensi, kepastian, keraguan, kesaksian, argumen, ahli, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang berkaitan dengan praktik hukum adalah apakah bukti hukum merupakan sesuatu yang objektif? Apa dan bagaimana standard pembuktiannya? Dapatkah bukti hukum “melampaui keraguan yang dapat dipahami” (“beyond reasonable doubt”) atau “preponderance of evidence” dan bukti-bukti tersebut memenuhi standard kepercayaan kuantitatif-statistikal?
Pertanyaan-pertanyaan ini dianggap penting karena dari perspektif epistemologi sosial, yang dianggap sebagai bukti tidak lebih dari preferensi pribadi. Yang dianggap sebagai bukti hukum tidak lebih dari narasi dan representasi kejadian atau objek hasil seleksi pribadi terhadap berbagai fakta hukum yang ada. Itu sebabnya mengapa selalu diingatkan bahwa standar pembuktian hukum harus peka terhadap faktor-faktor yang berperan untuk menentukan bukti hukum (Gardiner, 2019).
Sebagai bagian dari epistemologi ilmu-ilmu sosial, epistemologi hukum tidak hanya menuntut agar setiap klaim didasarkan pada bukti melainkan juga menjelaskan alasan-alasan memadai yang menjustifikasi bukti-bukti tersebut. Alasan-alasan tersebut bisa merupakan alasan legal, alasan moral, alasan politik, ekonomi, praksis, dan epistemik (Gardiner, 2019). Epistemologi hukum tidak menampik bahwa prasangka atas bukti-bukti tertentu cenderung menyesatkan pencari fakta. Berkaitan dengan proses dan putusan pengadilan, epistemologi hukum mempertanyakan nilai-nilai epistemik seperti sensitivitas, reliabilitas, koherensi, inteligibilitas, pengetahuan, justifikasi, eksplanasi-deliberatif, struktur naratif pembuktian, nilai dan logika epistemik, kebenaran, dan keadilan menyeluruh (kolektif) (reasonableness) (Gardiner, 2019; Stein, 2018).
Politis
Sebagai bagian dari relasi kekuasaan dalam negara, praktik hukum pada umumnya tidak bisa dipisahkan dari peran kekuasaan politik. Dalam kasus di atas, sulit bagi setiap orang yang berakal sehat untuk menerima penyataan presiden bahwa ‘urusan pencalonan merupakan urusan partai politik’ dan bukan urusan presiden. Bahkan terhadap dissenting opinion para hakim yang memutus perkara di atas, presiden terlihat tak memiliki pendapat. Pada hal, penegakan hukum yang taat asas, adil, benar, dan pasti berada dalam kewenangan presiden.
Beberapa pihak sudah menunjukkan secara gamblang bahwa dissenting opinion perlu disikapi secara serius. Logacheva (2019) menyatakan opini-opini berbeda para hakim dalam putusan pengadilan seharusnya tidak dibiarkan menguap begitu saja melainkan perlu diperhitungkan dalam sistem dan paktik hukum. Ia tidak bisa diperlakukan sebagai ‘anak tiri’ dalam putusan kolegial pengadilan melainkan perlu diregulasi dalam dokumen primer sistem hukum. Tidak hanya karena pertimbangan-pertimbangan dalam dissenting opinion sering reasonable, deliberatif, luas, dan mendalam melainkan juga memiliki dampak positif yang luas, progresif, dan mendalam dalam pengembangan hukum.
Garoupa dan Graiz (2020) menyatakan bahwa dinamika sosial politik mempengaruhi putusan hukum. Keputusan hukum sering terkait dengan kepentingan. De Girolamo (2021) menyatakan bahwa pluralitas pendapat hakim dapat melahirkan collective dissent, bahkan pembangkangan terhadap hukum. Praktik pengadilan yang melibatkan penafsiran dan penalaran perlu mengakomodasi visi alternatif tentang penalaran, pertimbangan, dan kesadaran hukum masyarakat.
Kebenaran Hukum: Ketidakpastian
Putusan pengadilan dengan dissenting opinion secara tidak langsung menegaskan bahwa kebenaran hukum tidak lebih dari hasil interpretasi saja. Kebenaran interpretatif, ditentukan oleh pengetahuan penafsir, kerangka berpikir yang digunakan, pemahaman, analisis, dan pertimbangan hukum dilakukan terhadap kasus yang diputuskan dalam persidangan. Semua faktor ini pada dasarnya ditentukan oleh kapabilitas para hakim sendiri dan dengan demikian plural. Itulah sebabnya dapat diterima penilaian bahwa kebenaran putusan hakim pada sadarnya sangat subjektif alias tidak objetif. Tidak heran kalau sebagian orang menyatakan bahwa kebenara hukum sejatinya tidak pasti. Satu-satu nya kepastian hukum adalah ketidakpastiannya. Yang pasti adalah tidak pasti.
Adalah sesuatu yang kontradiktif jika putusan pengadilan yang pasti dan mengikat didasarkan pada pertimbangan hakim yang subjektif, plural, dan beragam dan dengan demikian tidak pasti? Bagaimana mungkin semua pihak yang bersengketa dapat menerima bahwa putusan pengadilan pasti dan mengikat kalau putusan itu sendiri sangat subjektif? Satu-satunya dasar epistemologis yang kuat untuk menerima putusan pengadilan adalah legalitasnya, yakni diputuskan oleh lembaga yang berwewenang mengadili.
Tetapi kewenangan lembaga tidak dengan sendirinya berbanding lurus dengan pertimbangan dan putusan yang dihasilkan. Terlalu banyak ruang bagi para hakim untuk memasukan pertimbangan dan kepentingan lain yang menyertai sebuah putusan. Kualitas sebuah putusan tidak ditentukan oleh kewenangan legal hakim, melainkan pada kualitas substantif putusannya. Kualitas tersebut terletak pada analisis, pertimbangan, dan penalaran hukum hakim yang menyertai putusan.
Dapat dimengerti mengapa Lynch dalam “Dissent: The Rewards and Risks of Judicial Disagreement in the High Court of Australia” (2003) menyerukan perlunya menyelidiki justifikasi kapasitas hak individual para hakim dalam menyuarakan ketidaksepahaman (disagreement) atau dissenting opinion dengan opini mayoritas para hakim dalam pengadilan. Menurut Lynch (2003) ketidaksepahaman seorang hakim dengan pertimbangan kolega para hakim lain membawa keuntungan politik, prosedural, dan perkembangan hukum.
Keadilan sebagai koheren-konsensual
Dari perspektif epistemologi koherensial, suatu pernyataan, termasuk penyataan putusan pengadilan, dianggap benar jika penyataan tersebut sesuai atau cocok dengan penyataan-pernyataan lain yang juga benar. Menurut teori koherensi, satu atau dua pernyataan dianggap benar bila konsisten dan didukung penyataan-pernyataan benar lain (tidak ada kontradiksi) (Sudarminta, 2002; Carr, 2023). Menurut Joachim (2024), “anything is true which can be conceived. It is true because, and in so far as, it can be conceived. Conceivability is the essential nature of truth”. Kebenaran sebagai koherensi mengacu pada kualitas atau esensi yang terkadung pernyataan itu sendiri, yakni mengandung elemen-elemen yang mendukung satu dengan yang lain (‘significant whole’) dan dapat dipahami secara jelas dan logis (Joachim, 2024). Teori koherensi mendasarkan kebenaran pada kesesuaian makna pernyataan tersebut dengan pernyataan-pernyataan lain dalam sistem (kepercayaan) yang ada.
Selain kesesuaian antara pernyataan dengan fakta yang diungkap dalam persidangan (korespondensial), kebenaran putusan pun bergantung pada kebenaran ide, gagasan, pertimbangan, dan penalaran yang menyertainya. Ketidaksepakatan atau perbedaan pendapat para hakim menununjukkan bahwa kesesuaian itu masih diperdebatkan. Tepatnya, konsensus sebagai salah satu dasar pembenaran sebuah putusan, tidak terpenuhi. Persoalannya adalah bagaimana mungkin ketidaksepakatan yang menyertai putusan dapat dianggap pasti dan mengikat? Atau dengan rumusan yang lebih tepat, bagaimana suatu putusan yang tidak pasti harus dianggap sebagai sesuatu pasti dan mengikat?
Konsensus para hakim dapat menjadi salah satu kriteria utama justifikasi putusan pengadilan. Pertanyaan-pertanyaan tentang netralitas, objektifitas, dan keadilan hukum dapat diredam ketika putusan pengadilan disetujui secara kolegial para hakim. John Staddon dalam Truth as a Consensus of Experts (2024), dengan mengutip Rauch (2021), menyatakan bahwa kebenaran tidak lain dari konsensus para ahli.
Kebenaran dan keadilan hukum pada dasarnya bersifat “reality-based community”. Kebenaran dan keadilan hukum tidak sepenuhnya bergantung pada pengetahuan dan kesepakatan individu tentang fakta melainkan bergantung pada konsensus elit (elite consensus) dan konsensus publik (public consensus). Perbedaan pendapat harus dianggap sebagai truth and justice-seeking (Staddon, 2024).
Dari sudut pandang epistemologi konsensual, kebenaran sebuah klaim atau putusan bergantung pada kesepakatan para anggota komunitas ilmiah (ahli) dan kesepakatan sosial (social agreements). Philip Pettit ([1982] 2024) dalam “Habermas on Truth and Justice” menyatakan bahwa asumsi dasar pandangan kebenaran sebagai konsensus menurut Habermas adalah anggapan bahwa orang akan secara jujur menyatakan apa yang diklaim dan penyataan tersebut intelligible dalam ideal speech situation dan dalam suatu wacana liberatif yang reasonable.
Dalam perspektif ini, kebenaran dan keadilan hukum terletak pada konsensus kolektif para hakim. Keadilan terletak pada diskusi deliberaif putusan yang adil terkati proses yang deliberatif dan hasil yang konsensual. Keadilan sebagai kebenaran diselidiki melalui theoretical discourse, sebuah pertimbangan diskursif tentang keadilan. Sehingga semua yang berpartisipasi dalam discourse membuat klaim kebenaran yang sama, intelligible, jujur, rightness, atau justice.
Konsensus publik
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara epistemologi konsensual harus dianggap cacat karena tidak dirumuskan berdasarkan konsensus kelegial hakim dan konsensus publik. Putusan semacam ini tidak hanya dianggap tidak netral, subjektif, individualistik, tidak objektif, dan tidak adil melainkan juga membahayakan hukum karena integritas hakim dipertanyakan. Karena dissenting opinion menyuburkan perasaan ambigu (ambiguous feelings) terhadap objektifitas, koherensi, dan kepastian hukum.
Konsensus para hakim dan konsensus publik terhadap putusan hakim diperlukan karena berdampak pada legitimasi, tingkat kepercayaan, dan kepatuhan publik terhadap hukum. Dalam negara demokratis modern, legitimasi putusan pengadilan tidak hanya berciri demokratis melainkan ‘meta-constitutional’. Menurut Kelemen (2013), kualitas putusan pengadilan perlu dinilai dari judicial independence dan transparent decision-making. Pendapat mayoritas hakim pun perlu mempertimbangkan perspektif lain dari para hakim yang mengajukan dissenting opinion.
Berdasarkan prinsip epistemologis ini, putusan yang tidak bulat dengan alasan yang berbeda mengharuskan agar temuan fakta memenuhi standar “tanda keraguan” dan pendapat mayoritas hakim pun tetap terbuka dan perlu dipertimbangkan kembali oleh hakim yang lebih tinggi. ***
*) Penulis, Staf Pengajar FEB Universitas Tarumanagara – Jakarta.