Kotak Kosong Versus Otak Kosong Dan “Dewan Perwakilan Raja “Jawa”

OPINI & ARTIKEL843 Dilihat

Oleh Peter Lewuk

DINAMIKA demokrrasi lokal baik menyangkut pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, akhir-akhir ini diwarnai dengan wacana tentang “Otak Kosong” versus “Otak Kosong”.

Baik kotak kosong maupun otak kosong sama-sama merupakan alegori dan sinisme politik, yang ingin menggambarkan betapa terjadi kemunduran hebat dalam praksis demokrasi substansial di negeri ini.

Kalau sampai terjadi ada pilkada yang salah satu peserta atau kontestannya adalah Kotak Kosong, maka hal itu merupakan ironi demokrasi lokal dan pengkhianatan serta penghinaan terhadap keaulatan rakyat.

Tidak itu saja. Setelah secara aklamasi dipilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, melontarkan pernyataan: “Hati-hati dengan raja Jawa,bisa cilaka kita.” (Rabu, 21 Agustus 2024). Saya akan memberikan catatan kritis atas tiga isu tersebut di atas.

Apa Isi Kotak Kosong?

Bila kotak kosong menjadi peserta pilkada, maka akan terjadi beberapa hal
berikut ini.

Pertama, para elitokrat partai politik benar-benar sudah “gila”. Karena melakukan kartel politik untuk memonopoli penggabungan atau koalisi semua partai dan atau sebagian terbesar partai, agar calon yang mereka usung dapat menang mutlak dalam kontestasi pilkada.

Kedua, cilaka tiga belasnya kalau rakyat pemilih pun ikut-ikutan menjadi “edan”. Karena tergiur oleh politik uang sesaat (Rp. 50 – 100 rib), bansos, dan bantuan langsung tunai alias BTL, tidak kritis, membeo, untuk mendukung “Otak Kosong” alias calon hasil kartel politik. Sekalipun otak kosong akan memang,namun kemenangan tersebut menjadi terdelegitimasi.

Ketiga, dampak tragis dari monopoli politik adalah: Bila ada parpol yang tidak ingin bergabung dalam koalisi jumbo, namun jumlah kursinya di DPRD tidak memenuhi syarat pengajuan calon, maka parpol tersebut akan terkucilkan dan tidak dapat mengajukan calon, sekalipun memiliki kadar berkualitas. Lantas bagaimana parpol terkucilkan itu dapat menggunakan hak politiknya?

Keempat, berdasarkan Keputusan MK Bo. 100 Tahun 2015 dan UU Pilkada No. 10 Tahun 2015, keikutsertaan “Kotak Kosong” dalam pilkada adalah sah dan demokratis.

Oleh karena itu saya mengusulkan agar parpol terkucilkan itu menggunakan hak politiknya dengan cara berkampanye untuk kotak kosong. Dalam arti kepada rakyat pemilih perlu diberkan pendidikan politik dan pencerahan, agar paham bahwa kedaulatan dan aspirasi mereka dalam menentukan calon yang sesuai dengan penilaian dan hati nurani mereka, benar-benar dirampas oleh para elitokrat parpol. Dukungan rakyat untuk memenangkan kotak kosong merupakan bentuk perlawanan kedaulatan rakyat terhadap kesewenangan atau diktaturisme
para elitokrat parpol.

Kelima, untuk mencegah hadirnya kotak kosong dalam pilkada, dan untuk memberi kesan pilkada berlangsung demokratis,maka diciptakan “calon boneka”yang hanya akan menjadi “ayam sayur” bagi sang lawan berat dari pasangan yang diajukan koalisi jumbo.

Apa Isi Otak Kosong?

Manurut saya, sinisme dan alegori polittik “Otak Kosong” berati otak para
elitokrat parpol itu tidak diisi dengan rasionalitas dan moralitas imperatif dari
nilai-nilai kedaulatam rakyat dalam demokrasi substansial yang harus
direalisasikan.

Kalau demikian, apakah otak para elitokrat parpol itu benar-benar kosongmelompong ataukah ada isinya? Otak mereka sama sekali tidak kosong,melainkan ada isinya. Apa sajakah isinya? Isinya adalah “sampah-sampah politik”yang aromanya membusuki iklim demokrasi dan ruang publik.

Antara lain sebagai berikut:

Pertama, pragmatisme. Berkoalisi untuk menang dan membagi-bagi jatah jabatan. Kemudian diciptakan peluang untuk “membisniskan” jabatan baik demi kepentingan individu elitokrat maupun demi kepentingan partai mereka.

Kedua, kebohongan publik, di panggung depan politik, mulut berbusahbusah berteriak kepentingan rakyat. Di panggung belakang, kongkalikong siapa dapat apa kalau sudah menang pilkada, pilpres, ataupun pileg.

Ketiga, kejahatan kekuasaan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk melakukan rekayasa manipulasi konstitusi, hukum, dan peraturan perundangundangan demi memuluskan proyek politik nepotisme.

Keempat, kartel politik menyuburkan elitokrasi dan plutokrasi dan atau fulustokrasi. Berakibat kemiskinan struktural, kesenjangan sosial ekonomi,kesenjangan kemajuan antardaerah.

Kelima, terjadi dekadensi moral dan etika politik yang menyuburkan mentalitas koruptif dari pusat sampai daerah. Dekadensi moral berakibat pemerkosaan terhadap hukum, sehingga hukum hanya menjadi alat kekuasaan untuk menjatuhkan lawan politik. Hukum sebagai panglima digantikan dengan kekuasaan sebagai panglima.

“Dewan Perwakilan Raja “Jawa”

“Hati-hati dengan raja Jawa, bisa cilaka kita.” Pernyataan Bahlil itu jelas memancing ragam tafsir. Tidak disebutkan siapa nama raja Jawa versi Bung Bahlil.

Tetapi, sebut saja itu “penguasa” yang sudah diketahui publik. Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar itu dapat ditafsirkan begini. “Jangan Anda main-main dengan raja Jawa. Bisa cilaka Anda! Lihat saja. Bak sang matador perkasa, raja Jawa berhasil mengalahkan Banteng Moncong Putih, milik PDI Perjuangan”..

Setelah itu, dengan mengenakan busana berwarna kuning, raja Jawa versi Bahlil itu, nyaman menikmati angin segar di bawah Pohon Beringin yang rindang, milik Partai Golkar, salah satu partai besar anggota Koalisi Indonesia Maju alias KIM plus. Mudah-mudahan pohon beringin itu tidak digergaji atau dipangkas.

Bak gayung bersambut, pernyataan Bahlil itu secepat kilat memicu perubahan budaya politik para politisi KIM plus di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Mendadak DPR seakan-akan berubah menjadi “Dewan Perwakilan Raja (DPR) “Jawa” (dalam arti alegori sinisme politik tentu saja).

Para politisi KIM plus bersama pemerintah melakukan perlawanan terhadap Putusan MK Nomor 60 Tahun 2004, yang menurunkan ambang patas parlemen dari 20 persen menjadi 7,5 persen. Agar parpol non KIM plus, termasuk PDI Perjuangan, dapat mengajukan calon kepala daerah dalam pilkada serentak 2024.

Perlawanan KIM plus DPR terhadap MK, sangat jelas bertujuan menjegal parpol lain, terutama PDI Perjuangan, agar tidak dapat mengajukan calon dalam pilkada serentak, terutama di Jakarta, sebagai barometer politik nasional.

“DPR” bukan lagi membela dan memperjuagkan kepentingan aspirasi rakyat yang berdaulat, melainkan melayani nafsu angkara murka raja Jawa (versi Bahlil, Ketua Umum  Partai Golkar), yang hendak membunuh demokrasi. Demi memuluskan proyek politik kolusi dan nepotisme. Sungguh sangat memalukan! Daulat rakyat dikangkangi oleh daulat raja. Di usianya yang ke-79, Republik ini dipermainkan dan dipermalukan oleh para elitokrat oportunis-tunahati nurani yang mengkhianati para pahlawan dan para bapak-ibu pendiri bangsa yang besar ini.***

*) Penulis adalah cendekiawan masyarakat adat matriarkat Tana Ai, Flores,
NTT.