Oleh Peter Lewuk
SEBUAH PERISTIWA BERSEJARAH yang dinanti-nantikan oleh bangsa, negara, dan rakyat Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. akhirnya terpenuhi sudah, atas berkat rahmat Allah yang mahakuasa.
Sepanjang 79 tahun kemerdekaan Indonesia, sudah ada tiga paus, selaku kepala negara Vatican dan pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia, berkunjung dan bersilaturahmi ke Indonesia. Paus Paulus VI pada tahun 1970, Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989, dan Paus Fransiskus tahun 2024.
Tiga peristiwa bersejarah tersebut membuktikan bahwa hubungan diplomatik antara Vatican dan Indonesia bejalan baik dan produktif. Bukti hubungan produktif itu dapat diverifikasi dari peran partisipatif Gereja Katolik di Indonesia dalam ikut membangun bangsa dan negara. Terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial kemanusiaan. Sebaliknya negara Indonesia mengakui keberadaan dan kegiatan agama kafolik di Indonesaia yang pluralistik dalam agama.
Paus Pancasilais
Menjelang kunjungan kenegaraan dan kunjungan apostolik Paus Fransiskus, saya menulis artikel opini bertajuk: “Vatican, Diplomasi Hak Asasi Bumi, dan Persaudaraan Manusia” (www suarakatolik.com, 4 Agustus 2024).
Kemudian, setelah menyaksikan pemberitaan media massa, baik media cetak dan media elektronik maupun media sosial, selama 3-6 September 2024, dengan rasa hormat yang tinggi dan bangga, saya mengucapkan: “Viva Paus Pancasilais, Terima Kasih.” Artinya, Panjang Umur Bapak Paus Pancasilais, Terima Kasih! Tentu saya tidak sedang bercanda, tidak mengada-ada, dan tidak berlebih-lebihan tentang jukukan Pancasilais bagi Paus Fransiskus. Saya serius menanggapi performa kunjungan paus.
Saya berharap tidak ada orang Indonesia yang “tesinggung” dengan julukan itu. Mungkin ada yang berkata, Pancasila ‘kan ideologi negara Indonesia, Pancasila bukan ideologi negara Vatican, kok bisa Paus disebut Pancasilais?
Ingatlah akan sejarah pidato monumental Bung Karno di hadapan para pemimpin dunia di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 30 September 1960. Bahwa “Pancasila tidak hanya memiliki arti nasional saja, melainkan juga arti internasional”. Dengan kata lain, Pancasila mengandung nilai-nilai universal yang dapat diterapkan secara global.
Dengan mengikuti logika Bung Karno, sang filsuf penggali Pancasila, saya berani mengatakan, bahwa sebagai pemimpin dunia yang berpengaruh besar, Paus Fransiskus telah mengamalkan Pancasila seperti yang dikatakan dan diharapkan Bung Karno.
Di Vatican, ada dua hal penting bagi para pejabat Vatican bila berbicara tentang Indonesia. Yaitu: Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yang tentu saja diperkenalkan oleh duta besar Indonesia untuk Vatican, para misionaris katolik Indonesia yang ditugaskan di Vatican, dan dari mempelajari sejarah dunia termasuk Indonesia.
Refleksi Teologis-Politis
Izinkan saya memberikan beberapa refleksi teologis-politis singkat dan sederhana, agar mudah dipahami perihal Paus Pancasilais.
Paus Fransiskus memang menghayati spiritualitas Santo Fransiskus Asisi yang berbela rasa dengan kaum miskin dan papa. Namun, menurut saya, baik Paus Fransiskus maupun Santo Fransiskus Asisi, sama-sama mengahayati spiritualitas Sang Guru Agung, Yesus Kristus, Pendiri Gereja Katolik sedunia, supermodel keteladanan kepemimpinan yang berbela rasa dengan rakyat kecil. Yesus sang pemimpin yang sederhana, pemimpin yang menjaga konsistensi antara pikiran, perkataan, dan perbuatan-Nya
Baik Vatican maupun Konferensi Waligereja Indonesia sama-sama sepakat tentang tema kunjungan apostolik. Yaitu: Faith, Fraternity, dan Compassion atau Iman, Persaudaraan, dan Belarasa. Apa implikasi tema tersebut dikaitkan dengan Paus Pancasilais?
Dalam pidatonya di hadapan para pejabat pemerinah dan negara di istana negara, ada dua frasa penting yang disebut oleh Paus Fransiskus. Yaitu: Pembukaan Undang-Undang Dasar dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat tercantum lima dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila meski kata atau nama Pancasila tidak disebutkan secara eksplisit.
Pertama, dalam konteks sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Paus Fransiskus dan umat katolik di Indonesia adalah manusia-manusia beragama, tepatnya beriman katolik. Dan bersama umat beragama lain paus dan umat katolik di Indonesia sangat menjunjung tinggi semangat toleransi yang otentik. Paus Fransiskus juga meminta Gereja Katolik di Indonesia bersifat terbuka terhadap keragaman realitas Indonesia, termasuk bidang agama.
Kedua, berkaitan dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, Magisterisum Gereja Katolik yang dipimpin oleh paus, megajarkan umat katolik agar menghargai harkat dan marabat kemanusiaan setiap manusia dengan berlaku adil terhadap sesama tanpa diskriminasi dan dalam semangat berbela rasa dengan manusia-manusia lemah yang dimarginalisasikan.
Manusia akan dihargai sebagai manusia beradab kalau dia berlaku adil terhadap sesamanya. Sebaliknya bisa dikatai biadab kalau berlaku diskriminatif dan berlaku tidak adil terhadap sesamanya.
Ketiga, dalam konteks sila Persatuan Indonesia, paus dan umat katolik di Indonesia menjunjung tingga “keberagaman dalam persatuan” sebagai satu bangsa. Buktinya paus memuji bhinneka tunggal ika yang menjadi jiwa dari sila ketiga dari Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia.
Dalam konteks giobal, dengan kujungan ke berbagai negara, paus sesungguhnya mempromosikan nilai-nilai universal yang dapat mempersatukan atau menjadi komitmen besama semua negara di dunia yakni: perdamaian, martabat kemanusian, dan persaudaraan manusia yang harus dijunjung tinggi.
Keempat, dalam konteks sila keempat dari Pancasila, kunjungan paus ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dapat dimaknai sebagai ajang misi demokrasi global. Paus ingin “mendengarkan” aspirasi para pemimpin dunia bersama rakyatnya dan berdialog dengan mereka tentang tanggung jawab bersama menciptakan perdamaian dunia.
Bagaimana caranya? Caranya adalah melalui praksis politik belarasa atau politik kasih terhadap manusia dan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan berdemokrasi, baik pada level nasional maupun level global.
Kelima, dikontekskan dengan sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka lawatan paus ke berbagai negara, termasuk Indonesia, mempunyai makna bahwa paus memperjuangkan keadilan global bagi seluruh kemanusiaan yang harus diwujudnyatakan oleh semua pemimpin negara di dunia. Tanpa keadilan global, maka akan mudah terjadi konflik dan perang, sehingga perdamaian sulit tercapai.
Keadilan dan kesejahteraan ekonomi adalah hak setiap bangsa dan negara bersama rakyatnya masing-masing. Terutama negara-negara miskin atau sedang berkembang. Penjajahan politik dan ekonomi oleh negara kuat terhadap negara lemah harus ditolak.
Demikian beberapa refleksi teologis-politis singkat dan sederhana, yang menjadi alasan mengapa saya menyebut beliau adalah “Paus Pancasilais”.
Praksis Keteladanan
Dari berbagai pendapat, tanggapan, kesan, dan apreasi, baik kalangan pejabat negara dan pemerintah, kalangan tokoh lintas agama, maupun kalangan pengamat dan cendekiawan, dapat disimpulkan dua kata penting menyangkut performa Paus Fransiskus. Yaitu: “keteladanan” dan “kesederhanaan’, baik sebagai salah seorang tokoh pemimpin dunia berpengaruh besar, maupun dalam hal praksis kepemimpinan yang berbela rasa dengan rakyat kecil.
Pertanyaan: What next, paskalawatan diplomatik-apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia, agar jangan sampai berlalu begitu saja tanpa makna dan tanpa kenangan bersejarah?
Jawawaban atas pertanyaan ini adalah: Praksis keteladanan kepemimpinan dan kesederhanaan yang berbela rasa. Baik yang dipraktikkan oleh para pemimpin Indonesia, maupun oleh para pemimpin gereja katolik di Indonesia, serta para tokoh pemimpin masyarakat.
Kepemimpinan yang berbela rasa adalah kepemimpinan yang prorakyat kecil. Dalam konteks ini, ada satu pesan paus yang relevan dan signifikan. Bahwa Tuhan telah memberkati Indonesia dengan sumber daya alam yang kaya raya. Makna yang dapat diambil adalah bahwa para pemimpin negara Indonesia bertanggung jawab mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, agar mereka terbebas dari belenggun kemiskinan, akibat ketidakadilan struktural sosial-ekonomi.
Secara moral, tidaklah etis apabila oknum elite penguasa dan elite politik pamer kemewahan dan hedonisme di tengah puluhan juta rakyat Indonesia yang masih miskin.
Gereja Katolik di Indonesia?
Bagi gereja katolik di Indonesia. “what next” paskalawatan apostolik Paus Fransiskus? Saya ingin kemukakan hanya dua hal penting saja.
Pertama, suksesnya penyelenggaraan seluruh rangkaian acara lawatan apostolik di Indonesia, semakin menegaskan adanya “percaya diri” dengan berpegang teguh pada prinsip: “Meskipun orang katolik di Indonesia adalah minoritas dalam kuantitas, namun sebaliknya orang katolik di Indonesia adalah mayoritas dalam kualitas”.
Kedua, saya yakin dan percaya bahwa kerja sama yang baik dan produktif antara pihak hierarki dan kaum awam dalam gereja katolik di Indonesia, akan mempermudah praksis keteladanan dan belarasa yang telah dibuktikan oleh Paus Fransiskus. Tidak hanya bagi orang katolik saja, melainkan juga bagi sesama saudara dan saudari sebangsa dan setanah air, yang secara historis-faktual masih termarginalisasikan oleh ketidakadilan struktural sosial-ekonomi.
Terima Kasih
Akhirul kalam, pantas dan layak disampaikan terima kasih kepada: Tuhan mahapengasih yang telah memberkati suksesnya lawatan apostolik Paus Fransiskus di Indonesia.
Terima kasih kepada Paus Fransiskus pribadi yang telah memberikan contoh keteladanan dan kesederhanaan.
Terima kasih atas kerja sama yang baik dan produktif antara pemerintah Indonesia dengan Vatican serta Konferensi Waligereja Indonesia.
Terima kasih kepada seluruh umat katolik dan rakyat Indonesia yang telah dengan penuh gembira menyambut Paus Fransiskus.***
*) Penulis adalah cendekiawan masyarakat adat matriarkat Tana Ai, Flores, NTT.