JAKARTA KABARDAERAH.COM-Jakarta – Lakukan tugas pengawasan UU tentang Pangan terkait ketahanan pangan, menghadapi tantangan perubahan iklim, gangguan rantai pasok global, serta ketergantungan pada impor, Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI gelar rapat dengar pendapat umum bersama pakar pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (15/10/2024).
RDPU ini dilakukan dalam rangka Inventarisasi Masalah Pengawasan Atas UU Nomor 18/2012 tentang Pangan serta Perubahannya dalam UU Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
“Seluruh masukan dalam RDPU ini akan dicatat dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rekomendasi kebijakan serta strategi pengawasan yang lebih tepat sasaran,” ucap Ketua Komite II Badikenita Br Sitepu bersama Wakil Ketua Komite II Angelius Wake Kako, A. Abd Waris Halid dan La Ode Umar Bonte membuka rapat tersebut.
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, IPB University, Widiatmaka menyoroti dan memberikan masukan terkait implementasi UU Nomor 18/2012 tentang Pangan. UU tentang Pangan ini menurut Widiatmaka memiliki cakupan yang luas, mencakup ketahanan pangan, hak atas pangan, keamanan pangan, diversifikasi pangan, pengelolaan sumber daya manusia, serta perlindungan bagi produsen pangan.
“UU ini juga menetapkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menjaga sistem pangan yang berkelanjutan, serta mekanisme pengawasan dan sanksi hukum yang jelas,” beber Widiatmaka.
Widiatmaka melanjutkan, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan lebih berfokus pada ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan serta perlindungan bagi petani dan produsen lokal, sementara UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja lebih menekankan kemudahan investasi dan deregulasi dalam sektor agrikultura dan pangan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
“Rincian pasal-pasal tersebut dapat disempurnakan agar lebih adaptif terhadap tantangan masa depan, termasuk perubahan iklim, teknologi pangan, dan ketahanan pangan nasional,” lanjutnya.
Senada itu, Pakar Ketahanan Pangan IPB Irman Firmansyah menuturkan bahwa pemerintah harus menaruh perhatian kepada implementasi ketahanan pangan terhadap ekosistem, sosial dan budaya, sistem air, energi, dan pangan, serta ecological footprint di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa pemerintah perlu menstimulus kaum milenial untuk dapat berkontribusi dan terjun langsung dalam dunia pertanian. Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong kemudahan akses pendanaan bagi petani kecil, pengembangan pangan lokal pengganti beras seperti jagung, ubi kayu, dan sorgum (Diversifikasi pangan).
“Dibutuhkan alat akuntansi untuk memperkirakan konsumsi sumber daya dan asimilasi limbah dari populasi manusia atau ekonomi yang ditentukan dalam satuan luas lahan produktif yang sesuai,” jelasnya.
Menanggapi itu, beberapa senator menyoroti apa yang dipaparkan para ahli, salah satunya senator asal Sulawesi Barat Andri Prayoga Putra Singkarru terkait solusi dan langkah krusial apa yang harus dibenahi oleh pemerintah terlebih dahulu dalam penanganan ketahan pangan di Indonesia.
“Krisis pangan sudah di depan mata, perlu program regenerasi petani di Indonesia,” tukas Andri.
Selanjutnya, Senator NTB Mirah Midadan Fahmid menjelaskan pentingnya mendorong setiap daerah untuk melakukan diversifikasi pangan pengganti beras untuk mengatasi krisis pangan.
“Mengubah kebiasaan dari semula tergantung nasi ke konsumsi bahan pokok lainnya bagi masyarakat sesuai dengan produksi daerah masing-masing,” tuturya.
Senator asal Bali Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik prihatin atas nasib para petani di Indonesia yang menjerit karena harga pupuk mahal, kesusahan mempertahankan lahan pertanian dan pengelolaan sistem pengairan digerus para investor dalam menjaga ketahanan pangan.
“Posisi petani menjadi tidak terhormat padahal tugasnya sangat mulia dalam menyediakan pangan bagi masyarakat,” tegas Ni Luh.
Pada kesempatan itu, Wakil Ketua Komite II A. Abd. Waris Halid menyebutkan ketahanan pangan sangat krusial bagi Indonesia, perlu penyediaan lahan dan teknologi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam mencapai kemandirian dan ketahanan pangan.
“Ada yang salah dengan sistem penanganan kebutuhan pangan kita, karena jika dihitung kemampuan kita masih dalam tahap pemenuhan dan belum bisa mandiri pangan,” tukasnya.
Menutup rapat, Wakil Ketua Komite II Angelius Wake Kako mengungkapkan bahwa melalui RDPU bersama pakar bidang pangan sebelum kunjungan pengawasan di daerah, komite II mendapatkan pemahaman dan rekomendasi berbasis data untuk menyusun strategi pengawasan yang efektif serta merumuskan kebijakan yang akurat di sektor pangan.
“Seluruh masukan dalam RDPU ini akan dicatat dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rekomendasi kebijakan serta strategi pengawasan yang lebih tepat sasaran,” pungkasnya. **