Oleh Peter Lewuk
MENYIKAPI konflik Timur Tengah, khususnya, Israel versus Palestina, banyak pihak berpendapat bahwa jangan dikaitkan dengan agama. Konflik tersebut bukan konflik antara agama Yahudi, Kristen, dan Islam, melainkan konflik geopolitik. Terutama perebutan kota Yerusalem antara Israel dan Palestina.
Namun demikian, menurut saya, konflik geopolitik tersebut sangat sarat dengan implikasi historis-teologis, yang berakar kuat dalam konflik rumah tangga Abraham selaku Bapak Monoteisme-Trinitaris-Abrahamik yang berada dalam kendali kedaulatan dan hak prerogatif TUHAN.
Monoteisme-Trinitaris-Abrahamik adalah pengakuan iman akan SATU TUHAN yang disembah oleh Abraham, yang kemudian diwarisi oleh tiga agama samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.
Konflik keluarga Abraham itu justru menjadi akar ideologisasi teologi kebencian yang dijadikan legitimasi ideologis konflik geopolitik, kurang lebh dua milenium sesudah Masehi.
Penting dicatat bahwa konflik Israel-Palestina memang bukan konflik antaragama samawi. Namun agama terutama para elite pemimpin tertinggi masing-masing, tidak bisa cuci tangan dan melarikan diri serta duduk manis sambil menonton dengan dalih itu masalah geopolitik, bukan masalah agama. Dengan cuci tangan, agama justru memperparah konflik berkepanjangan. Idealnya agama harus bisa memberi solusi konflik. Bukan maksud saya mengatakan perang antaragama.
[Catatan: dalam opini berikut ini secara teknis, saya akan mengemukakan seperlunya saja kutipan ayat-ayat kitab suci dan penulisan tahun-tahun, agar tidak ribet, namun tetap, menekankan episode-episode sejarah yang penting).
Keadilan TUHAN
Seperti diketahui, sejarah mencatat bahwa Abraham mempunyai dua istri. Yang tua bernama Sara dan yang muda bernama Hagar, perempuan Mesir yang menjadi Asisten Rumah Tangga Abraham. Tuhan menjanjikan kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi bangsa yang besar. Nama Abraham akan menjadi masyur dan akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Janji Tuhan itu bagi Abraham dan Sara tidak mungkin terwujud karena Sara mandul dan sudah lanjut usia.
Solusi hukum adat semitis pun diambil. Sara mengizinkan Abraham menikahi Hagar, yang kemudian melahirkian seorang anak laki-laki bagi sang nyonya Sara dan tuan Abraham. Nama anak itu adalah Ismail (Ismael), yang kemudian diusulkan oleh Abraham agar menjadi ahli waris.
Usulan tersebut tidak disetujui oleh Tuhan, yang kemudian memberkati Abraham dan Sara. Sesuai dengan janji-Nya, Tuhan menganugerahkan seorang anak laki-laki yang lahir dari rahim Sara bagi Abraham. Anak itu diberi nama Isak. Kedua anak laki-laki itu kemudian memicu konflik dan kebencian antara dua ibu mereka yaitu Sara dan Hagar. Karena Sara melihat Ismail berlaku kasar terhadap Isak. Usia Ismail kurang lebih empat belas tahun, Isak tiga tahun. Sara kemudian meminta Abraham mengusir Hagar dan Ismail, karena Sara tidak mau ahli waris dimiliki secara bersama-sama oleh Ismail dan Isak. Abraham tidak setuju dengan permintaan Sara, tetapi sebaliknya Tuhan justru setuju dengan Sara.
Sebagai solusi atas konflik rumah tangga Abraham itu, Tuhan membuktikan keadilan-Nya terhadap Ismail dan Isak.
Tuhan mmberkati Ismail dan keturunannya menjadi bangsa yang besar terdiri atas dua belas suku, memberkati mereka dengan tanah Hijaz/Arabia yang kaya raya akan sumber daya alam mineral dan emas. Kaum keturunan Ismail itu kemudian dikenal sebagai Bangsa-bangsa Arab-Muslim.
Demikian pula Tuhan memberkati Isak dan putranya yang bernama Yakub. Keturunan Yakub terdiri atas dua belas suku yang membentuk bangsa Israel. Nama Israel diberikan oleh Tuhan yang mengubah nama Yakub menjadi Israel (Kej. 32 : 28).
Karena dalam mimpinya, Yakub berhasil mengalahkan Tuhan yang menyamar sebagi seorang laki-laki. Jadi Yakub menang dalam pergumulan melawan Tuhan sekaligus manusia. Dengaan demikian Israel berarti Tuhan memberikan kekuatan dan kekuasaan-Nya kepada Israel.
Sesuai hak prerogatif dan kedaulatan Tuhan, Israel dikhususkan sebagai “bangsa pilihan” dengan “Tanah Terjanji” yaitu Kanaan, atau “Eretz Yisrael”, artinya “Tanah Israel’ (Palestina/Israel modern). Tuhan juga memberkati Israel dengan kekayaan kualitas kecerdasan sumber daya manusia (SDM), agar kemudian menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Tuhan juga berjanji akan memberkati bangsa yang memberkati Israel, sebaliknya akan mengutuki bangsa yang mengutuk Israel.
Jauh di masa modern keturunan Ismail dan keturunan Isak saling konflik berkepanjangan memperebutkan tanah Palestina/Israel dan kota Yerusalem.
Seharusnya sebagai konsekuensi logis dari klaim monoteisme-trinitaris-Abrahamik, maka bangsa Arab-Muslim wajib menaati dan menghormati hak prerogatif TUHAN yang menetapkan hak kepemilikan Tanah Terjanji kepada “bangsa pilihan-Nya”: Yahudi/Israel.
Namun faktanya, bangsa Arab-Muslim tidak mematuhi kedaulatan dan hak prerogatif TUHAN. Pada abad ketujuh Masehi Arab-Muslim menjajah Palestina/Israel serta melakukan Arabisasi dan Islamisasi atas Palestina dan mengklaim sebagai milik mereka, bukan milik Yahudi/Israel. Preseden perlakuan kasar Ismail terhadap Isak yang memicu konflik benar-benar terbukti tergenapi di kemudian hari.
Israel: Penjajah atau Dijajah?
Bila ada kejujuran historis terhadap Israel, maka sesungguhnya justru Israellah yang sepanjang sejarahnya menjadi bangsa yang senantiasa dijajah. Sejarah mencatat bahwa kurang lebih selama tiga milenium Israel adalah bangsa yang diperbudak dan dijajah oleh berbagai bangsa. Penyebab utama adalah ketidaksetiaan Israel terhadap TUHAN, sehingga Tuhan menghukum Israel dengan cara “pendidikan iman dan kesetiaan” yang sangat keras, yaitu Israel diperbudak, dibuang dan dijajah bangsa lain. Hubungan Tuhan dan bangsa pilihan-Nya itu adalah hubungan yang bersifat dialektis antara kasih-setia Tuhan dan ketidaksetiaan Israel. Sebandel apa pun Israei, Tuhan pasti akan tetap dalam kasih setia-Nya dan menyelamatkan Israel dari tangan penjajah. Tuhan melindungi Israel terhadap bangsa-bangsa lain.
Setelah diperbudak selama 430 tahun oleh rezim Firaun-Mesir, Tuhan membebaskan Israel dari perbudakan di bawah pimpinan Musa.
Selanjutnya selama empat puluh tahun Israel mengembara di gurun Sinai. Namun ini bukan sembarang pengembaraan, melainkan proses pendidikan iman dan kesetiaan kepada Monoteisme. Ditandai dengan peristiwa bersejarah sangat penting bagi Israel. Apakah itu?
Tuhan bersama Musa menetapkan dasar-dasar konstitusional-teologis-ideologis yang disebut DEKALOG (Sepuluh Hukum) dan berbagai aturan turunannya (baca Taurat Musa), yang menjadi basis pembentukan negara monarki-teokratis ketika Israel sudah menentap di Tanah Terjanji Kanaan.
Seperti disebutkan di atas, pendidikan iman yang keras di gurun Sinai, juga pada masa-masa selanjutnya, berdampak pula pada perilaku dan karakter Israel yang keras kepala dan tegar tengkuk, namun juga menjadi bangsa yang kuat menghadapi tantangan.
Sebelum memasuki Tanah Terjanji ada satu lagi peristiwa penting bagi Israel. Yaitu Tuhan bersama Musa menetapkan operasi intelijen pertama di dunia, yang menjadi cikal bakal badan intelijen Israel modern, yaitu Mossad untuk luar negeri dan Shin Bett untuk dalam negeri dan yang lainnya.
Berdasarkan hasil operasi intelijen di Tanah Kanaan yang telah dihuni oleh suku-suku bangsa lain, dan perlindungan Tuhan, maka Israel di bawah pimpinan Yosua dapat menaklukkan Kanaan dan mendiami Tanah Terjanji itu.
Israel membangun negara monarki teokratis dengan ibu kota Yerusalem, di atas landasan konstitusi Dekalog. Israel mengalami masa kejayaan terutama di bawah kepemimpinan Raja Daud dan Salomo, yang mendirikan Bait Allah yang megah di Yerusalem.
Selanjutnya terjadi masalah antara Israel dan Tuhan. Kemasyuran Salomo berakibat fatal. Yaitu pengkhianatan terhadap monoteisme dengan suburnya politeisme. Ini adalah akibat buruk dari Salomo yang berpoiligami dengan perempuan-perempuan bangsa lain yang menyembah banyak dewa-dewi, sehingga politeisme “menulari” Israel.
Tentu saja Tuhan marah besar. Akibatnya, Israel terpecah dua. Israel Utara dengan ibu kota Samaria dan didiami oleh sepuluh suku. Israel Selatan dengan ibu kota Yerusalem dan dihuni oleh dua suku, yaitu Yehuda dan Benyamin.
Tuhan juga menghukum Israel, yang mengalami pembuangan dan penjajahan oleh bangsa Persia (sekarag Iran). Demikian juga Yudea dijajah bangsa Babilon (sekarang Irak). Bait Allah di Yerusalem dihancurkan oleh raja Babel, Nebukadnezar.
Setelah 70 tahun hidup dalam pembuangan, Tuhan meminta Raja Koresh Agung dari Persia memulangkan Israel, membekali mereka dengan perbendaharaan yang cukup, terutama untuk pembangunan kembali Bait Allah.
Selanjutnya sejarah mencatat bahwa Israel kembali dijajah oleh bangsa Yunani dan bangsa Romawi hingga pada zaman Yesus atau zaman Masehi.
Dua Milenium Diaspora
Pada tahun 70 Masehi, Jenderal Titus memimpin bala tentara Roma berperang melawan Yahudi/Israel, menghancurkan Yerusalem dan Bait Allah yang telah dipugar dan dipermegah oleh Raja Herodes, sang “raja boneka” Roma. Persis seperti yang dinubuatkan oleh Yesus 40 tahun sebelumnya tentang nasib Yerusalen (Mat. 24: 1-2). Sejak saat itu orang-orang Yahudi terpencar ke seluruh dunia dan hidup dalam diaspora hampir dua milenium. Mereka terserak ke Eropa, Amerika, Timur Tengah, Asia dan Afrika.
Untuk menghapus ingatan orang Yahudi akan “Eretz Yisrael” (Tanah Israel) dan tidak berontak terhadap Roma, maka pada tahun 135 Masehi, Kaisar Romawi bernama Hadrianus mengganti nama Yudea-Israel menjadi “Syria Palestina”, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Palestina saja hingga sekarang, tapi tidak ada kaitan dengan bangsa Filistin kuno yang berasal dari Pulau Kreta, Yunani. Bangsa kuno itu sudah punah sama sekali. Kaisar Hadrianus juga mengganti nama kota Yerusalem dengan nama “Aelia Capitolina”. Sungguh ada upaya sistematis untuk menghapus jejak historis Yahudi/Israel. Penghapusan jejak historis Israel inilah yang kemudian mau dilanjutkan oleh Arab-Muslim Palestina.
Sejarah selanjutnya mencatat bahwa pada abad ketujuh Masehi, Tentara Arab-Muslim di bawah pimpinan Khalifah Umar bin Khatab (sahabat Nabi Muhammad) untuk pertama kalinya menjajah dan menaklukkan Palestina dan menguasai Yerusalem (638 Masehi), melakukan Arabisasi dan Islamisasi atas Palestina.
Sejak abad ketujuh itulah Palestina dan Yerusalam serta sisa orang-orang Yahudi dan Kristen yang masih berdiam di sana, dikuasasi secara bergantian oleh khalifah-khalifah Islam.
Arab-Muslim, si penjajah itu berhasil mencetak rekor sejarah yang sangat membanggakan umat Islam di dunia. Yaitu menjadikan Yerusalem sebagai kota suci ketiga setelah Mekkah dan Madinah.
Di Yerusalem Tinur dibangun dua masjid yang berdiri megah hingga saat ini yaitu: Masjid Kubah Emas (695) dan Masjid Alaqsa (705). Diyakini bahwa di tempat yang dibangun masjid itu Nabi Muhammad mengalami peristiwa transendental-metahistoris dari Mekah ke Yerusalem kemudian ke surga, yang populer disebut Is’ra-Miraj.
Selain penjajahan oleh khakifah-khalifah Islam. juga pendudukan dan penguasaan kota Yerusalem oleh kaum Muslim memicu perang salib antara tentara salib Kristen versus jihad Islam yang berlangsung antara tahun 1097 dan 1444. Adapun khalifah Islam terakhir yang menguasai Palestina dan Yerusalem adalah Turki Otoman yang kalah Perang Dunia pertama, sehingga Palestina yang dijajah khalfah Otoman itu jatuh ke tangan Inggris (1917).
Zionisme dan Proklamasi Kemerdekaan
Selama hampir dua milenium hidup di diaspora, orang Yahudi mencatat kemanjuan sangat signifikan terutama di bidang bisnis, ekonomi, perdagangan dan keuangan serta sains dan teknologi. Banyak orang cerdas terutama bidang sains dan penerima nobel adalah tokoh-tokoh berdarah Yahudi. Hasil kecerdasan mereka dinikmati oleh seluruh dunia. Benar kata Tuhan bahwa Israel akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, meski mereka dinista, dimusuhi, dan dihina serta mau dihilangkan dari muka bumi.
Sementara itu, situasi politik dan keamanan sebelum, selama, maupun sesudah perang dunia pertama (1914-1918) dan perang dunia kedua (1939-1942) menciptakan situasi “kondusif” bagi Yahudi diaspora.
Kalau negara-negara lain sibuk berperang satu sama lain, maka orang Yahudi diaspora berpikir keras bagaimana agar mereka mempunyai negara sendiri, tidak hanya menjadi warga negara lain, tempat mereka terserak..
Tahun 1896 lahirlah Zionisme yang diprakarsai oleh Theodore Herzl dan dilanjutkan oleh Chaim Weizmann. Pada intinya zionisme adalah gerakan nasionalisme Yahudi internasional untuk membebaskan diri dari penjajahan Muslim dan Kristen serta mendirikan negara Yahudi merdeka di tanah leluhur mereka yang telah dijajah dan dikuasai oleh bangsa lain berabad-abad.
Sejarah selanjutnya terus memihak Yahudi. Tahun 1917 khalifah Turki Otoman yang menguasai Palestina selama 400 tahun itu kalah dari Inggris dalam Perang Dunia I. Tahun 1920 Liga Bangsa-Bangsa (kemudian menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB) memberikan mandat kepada Inggris selaku pemenang perang, sehingga Palestina kemudian berada di bawah pemerintahan mandat Inggris.
Kemudian menteri luar negeri Inggris, Balfour mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang melegitimasikan Yahudi untuk memiliki negara sendiri di Palestina. Tentu saja ini mendapat perlawanan hebat dari pihak Arab-Palestina. Inggris yang kewalahan menghadapi masalah ini, kemudian menyerahkan persoalan ini kepada PBB.
Pada tahun 1947 PBB melalui Resolusi 181 membagi Palestina menjadi dua negara (solusi dua negara), yaitu negara “Arab Palestina” dan negara “Yahudi Palestina”. Yerusalem Timur, di mana terdapat tiga situs religius bagi Yahudi, Kristen, dan Islam, dijadikan sebagai “Corpus Separatum” atau wilayah terpisah, yang berada di bawah pengawasan internasional dan tidak dapat dimiliki oleh kedua belah pihak yang berkonflik.
Setelah melalui voting, hasilnya 33 negara setuju, dan 13 negara-negara Arab menolak. Karena menginginkan Kota Yerusalem menjadi ibu kota Arab-Palestina. Juga ingin menghapus Israel dari peta dunia.
Di pihak lain, Israel yang setuju dengan resolusi itu gerak cepat tak mau kehilangan momentum. Esok harinya, 14 Mei 1948 dipimpin David Ben Gurion, kemerdekaan Israel pun diproklamasikan. Dengan demikian, Israel zaman kuno memiliki tiga tokoh bapak bangsa yaitu Abraham, Isak, dan Yakub. Israel modern memiliki tiga bapak bangsa pula yaitu, Theodore Herzl, Chaim Weizmann (yang menjadi presiden pertama Israel), dan David Ben Gurion (yang menjadi perdana menteri pertama Israel).
Menyikapi proklamasi kemerdekaan Israel itu, lima negara Arab yaitu Suriah, Libanon, Mesir, Yordania, dan Irak langsung melancarkan perang terhadap Israel pada hari kemerdekaan itu memang. Namun perang dimenangkan oleh Israel, meski kemerdekaannya baru berusia beberapa jam.
Perang yang disebut Perang Arab-Israel pertama atau “perang kemerdekaan” itu (1948) kemudian dilanjutkan dengan Perang Enam Hari (1967), dilanjutkan lagi dengan perang Yom Kipur (1973). Semua perang tersebut di atas dimenangkan oleh Israel.
Palestina Sudah Merdeka?
Paska tiga perang tersebut di atas, hubungan Israel dan Palestina berlangsug secara dialektis-konfliktual antara gerakan-gerakan perlawanan jihad Islam terhadap Israel, yang disebut intifada, yang dijedah dengan gencatan-gencatan senjata.
Hingga kemudian lahirlah rezim PLO (Palestinian Liberation Organization), atau Organisasi Pembebasan Palestina, dipimpin oleh Yasser Arafat, yang mendeklarasikan kemerdekaan Palestina pada 15 November 1988 dari jauh yaitu di Aljazair. Palestina lalu membuka hubungan diplomatik dengan negara lain. Misalanya dengan Indonesia ada kedutaan Palestina di Jakarta. Meski kemerdekaan Palestina tidak diakui oleh Israel, namun kemerdekaan ifu diakui oleh banyak negara dan PBB.
Deklarasi kemerdekaan itu tidak otomatis membuat Palestina berdaulat penuh untuk disebut “negara Palestina” melainkan disebut “Otorota Palestina” yang hingga sekarang masih berjuang menuntut kemerdekaan dan kedaulatan penuh sebagai sebuah negara,
Serjarah selanjutnya mencatat bahwa pada tanggal 12 September 2024, dalam sidang ke-79 PBB memberi hak istimewa kepada Palestina yaitu mendapat “Kursi Setara Anggota PBB”.
Nah, cilaka tiga belasnya adalah Palestina sendiri tidak serius merawat momentum kemerdekaan sejak tahun 1988 untuk membangun dirinya menjadi negara yang berdaulat dan menyejahterakan rakyatnya.
Sebaliknya di internal Palestina sendiri terjadi konflik berkepanjangan antara faksi Fatah (PLO) yang menguasai Tepi Barat dan faksi Hamas yang menguasai Gaza. Fatah di bawah Presiden Mahmoud Abbas lebih moderat dan mengedepankan dialog dengan Israel untuk mencapai kesepakatan.
Beda dengan Hamas, yang terbentuk pada tahun 1987 dan oleh dunia internasional dicap sebagai organisasi teroris. Hamas yang menang dalam pemilu 2005, lebih mengutamakan perang dengan keyakinan ideologis bahwa Israel dapat terhapus dari peta dunia.
Konflik internal dan perbedaan prinsip antara Fatah dan Hamas justru menjadi hambatan utama dalam perundingan damai dengan Israel. Juga penting diketahui bahwa konflik Palestina-Israel tak kunjung selesai karena pihak Fatah menginginkan agar Palestina merdeka dengan ibu kota Yerusalem Timur.
Sebaliknya Hamas menghendaki Israel hilang sama sekali sebagai sebuah entitas negara di muka bumi, sehingga yang ada hanyalah negara Palestina saja. Jelas dua keinginan yang berbeda ini ditolak mentah-mentah oleh Israel. Juga ditolak oleh orang-orang waras, yang membaca sejarah Israel dan Palestina dengan jujur, objektif, dan tidak manipulatif demi kepentingan subjektif sepihak.
Seperti diketahui, dengan prinsipnya yang mau melenyapkan Israel lewat jihad Islam atau perang dan tidak mau berdialog itu, maka pada 7 Oktober 2023 Hamas secara tiba-tiba menyerng Israel yang tengah merayakan hari raya keagamaan mereka. Ribuan roket menghujani Israel. Hamas menyerbu dan menculik, membunuh, dan menyandera tidak hanya orang Israel tetapi juga beberapa warga dari negara-negara lain yang bekerja atau saat itu ada di sana.
Serangan Hamas ditanggapi “secara perang” oleh Israel, yang tanpa ampun memerangi Hamas dan Gaza Dibanding korban di pihak Israel, korban pihak Hamas dan penduduk serta properti di Gaza paling parah. Ini karena Hamas menggunkan penduduk dan properti atau bangunan sebagai tameng.
Menyaksikan Hamas dan Gaza diperangi Israel, maka Milisi Hizbullah di Libanon pun meryerang Israel. Demikian pula Milisi Houti di Yaman yang merasa solider dengan Hamas, juga menyerang Israel. Sayangnya banyak pemimpin Hamas maupun Hizbullah terbunuh dalam konflik tersebut selain tentu saja korban di pihak penduduk Gaza dan Libanon yang tidak bersalah.
Sementara itu, Iran yang menjuluki Israel sebagai “setan kecil” dan Amerika sebagai “setan besar” itu merasa tidak tenang atau terancam. Tadinya Iran melawan Israel melalui tiga proksinya yaitu Hamas, HIzbullah, dan Houti. Namun Iran kemudian secara terbuka menyerang Israel, yang juga balas menyerang Iran. Keduanya pun sesumbar akan menggunakan senjata pamungkas supercanggih mereka, yaitu nuklir. Ini pertanda dimulainya perang dunia ketiga, yang akan melibatkan sekutu-sekutu kedua belah pihak? Biar waktu yang akan menjawab.
Konflik Israel versus Hamas, Hizbullah, Houti, dan Iran belum tuntas penyelesaiannya, kemudian muncul lagi perang saudara di Suriah, yang mengundang keterlibatan Israel, Turki, Iran, Rusia, dan Amerika. Oh betapa malang nasib dunia Timur Tengah!
Ideologisasi Teologi Kebencian
Jujur saja! Yahudi adalah sasaran empuk kebencian Kristen di masa lalu dan Muslim garis keras radikal hingga dewasa ini. Kebencian dan permusuhan Kristen terhadap orang Yahudi dilatarbelakangi oleh apa yang disebut “Deicidium”, yaitu pembunuhan atau penyaliban Yesus Kristus yang dituduhkan oleh Kristen terhadap Yahudi. Padahal kematian Yesus adalah rancangan sejarah keselamatan yang dikehendaki oleh Tuhan, yang juga ditegaskan dan diamini oleh Yesus semdiri. Jadi, deicidium adalah sebuah kekeliruan teologis fatal pada pihak Kriseten masa lalu.
Selain deicidium, juga Yahudi menjadi korban keganasan “inkuisisi”, Semula inkuisisi adalah pengadilan gereja katolik terhadap para bidat, namun kemudian diberlakuikan juga untuk Yahudi dan Islam.
Demikian pula, Yahudi keliru memahami Yesus yang diharapkan menjadi Mesias politik agar membebaskan mereka dari penjajahan bangsa asing yaitu Roma. Yahudi malah menuduh Yesus menista agama dengan menyebut diri-Nya Allah, sehingga harus dihukum mati, yang ketika itu menggunakan hukum Roma, yaitu disalib. Kalau menggunakan hukum Yahudi, yaitu hukum Taurat, maka Yesus harus dirajam sampai mati.
Deicidium selanjutnya melahirkan ideologi antisemitisme (anti Yahudi), yang dipraktikkan Kristen selama Perang Salib melawan Jihad Islam memperebutkan kota Yerusalan yang dijajah dan dikuasai oleh Arab Muslim sejak abad ketujuh Masehi. Selama Perang Salib, Yahudi juga menjadi sasaran tentara salib.
Puncak antisemitisme adalah ketika diktaktor gila bernama Adolf Hitler dari partai Nazi menguasai Jerman dan membunuh kurang lebih enam juta Yahudi yang dikenal dengan peristiwa Holokaus.
Setelah berabad-abad disharmoni antara Kristen dan Yahudi, akhirnya dipulihkan kembali melalui dua peristiwa bersejarah penting. Pertama, penghapusan tuduhan deicidium ketika diadakan Konsili Vatican II (1962-1965) oleh gereja katolik. Kedua, menjelang berakhirnya abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, atas nama gereja katolik seluruh dunia Paus Yohanes Paulus II meminta maaf atas dosa-dosa gereja katolik di masa lalu terhadap Yahudi dan Islam.
Dari perspektif Muslim, kebencian dan permusuhan terhadap Yahudi dinyatakan secara eksplisit oleh Allah dalam kitab suci Muslim.
Bahwa “Allah sangat membenci umat Yahudi dan Nasrani sehingga Allah memerintahkan umat Muslim untuk tidak berteman dengan Yahudi dan Nasrani (bdk. QS 5: 51).
Juga “Allah menanamkan kebencian dalam hati orang Yahudi hingga akhir zaman, sehingga umat Islam harus memerangi Yahudi sampai hari kiamat” (bdk. QS 5: 64). Luar biasa! Betapa Allah SWT sangat membenci Yahudi dan Nasrani, lalu memerintahkan Muslim memerangi Yahudi dan Nasrani.
Nah, teologi kebencian itu kemudian diideolgisasi oleh milisi Muslim garis keras dan radikal. Artinya dijadikan basis dan cita-cita perjuangan untuk menghapuskan Israel dari peta dunia dan menjadikan wilayah itu milik Palestina dan umat Islam. Ituiah cita-cita ideologis Hamas yang menguasai Gaza.
Dalam Piagam Hamas pada tahun 1988, pasal 6 ditegaskan bahwa “Gerakan perlawanan Islam adalah gerakan Palestina yang terkemuka, yang kesetiaannya kepada Allah dan dalam kehidupannya adalah Islam. Gerakan ini berupaya mengibarkan panji-panji Allah di setiap jengkal Palestina”. Dalam pasal 11 ditegaskan bahwa “Tanah Palestina adalah suci atau wakaf bagi seluruh umat Islam sepanjang masa dan tidak dilepaskan oleh siapa pun”.
Ideologisasi teologi kebencian oleh milisi Muslim garis keras dan radikal justu menjadi penghalang paling utama bagi solusi konflik Israel-Palestina. Sekian kali upaya perundingan damai dan gencatan senjta, maka sekian kali pula dilanggar atas nama ideologi dan teologi kebencian.
Solusi Konflik: Sebuah Usul
Demi keadilan, perdamaian, dan martabat kemanusiaan, maka konflik Israel-Palestina harus diakhiri, dengan genjatan senjata secara permanen. Opsi solusi dua negara dalam koeksistensi damai adalab rasional, adil, dan beradab. Dan menurut saya, solusi dua negara perlu dilengkapi dengan pembentukan “Badan Otorita Situs Tiga Agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam”.
Dengan solusi dua negara, maka Palestina dapat menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh, dengan ibu kota yang ditentukan sendiri oleh Palestina. Bukan ibu kota Yerusalem.
Penting dipahami bahwa selama menduduki Palestina, tidak satu pun dari khalifah-khalifah Islam itu, menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota. Bahwa Yerusalem kemudian menjadi kota suci ketiga dengan dua situs masjid Islam di Yerusalem Timur, itu adalah hasil dari penjajahan, diulang hasil penjajahan, yang diberi legitimasi dengan “klaim” terjadinya peristiwa metahistoris-transendental, yaitu Is’ra-Mi’raj, bukan peristiwa historis-faktual. Hanya bisa dipercaya saja, bisa juga tidak.
Berbeda dengan Israel yang kepemilikannya atas Yerusalem bersifat orisinal, otentik, permanen, faktual-historis dan legal sejak zaman Raja Daud jauh sebelum agama Islam lahir dan sebelum penjajahan Arab Muslim yang terjadi pada abad ketujuh Masehi.
Penting diketahui, bahwa terjadi “kesalahan sejarah” yang dilakukan oleh Arab Palestina dengan menolak resolusi PBB 181 pada tahun 1947 tentang solusi dua negara. Kemudian setelah babak belur berkonflik dengan Israel, sekarang Palestina menuntut ulang solusi dua negara. Seluruh kesalahan ditimpahkan ke Israel. Dalam hal ini siapa yang goblok, Palestina atau Israel? Silahkan jawab sendiri.
Lagi pula apa manfaatnya berperang memperebutkan Yerusalem dengan akibat rakyat hidup dalam deraan kesengsaraan akibat ganasnya perang berkepanjangan. Adalah lebih rasional, beradab, dan manusiawi membangun dan menyejahteraan rakyat Palestina ketimbang terus mencari masalah dengan Israel yang lebih unggul dalam banyak hal.
Dengan solusi dua negara, diharapkan ilusi untuk menghapus Israel dari peta dunia harus dihapus pula dari ingatan kaum milisi Muslim radlkal, ekstrem, dan irasional.
Demikian pula sebaliknya, Israel dapat hidup merdeka dan berdaulat dengan ibu kota Yerusalem seutuhnya yang telah dimilikinya secara orisinal dan legal. Israel tidak perlu dihantui lagi oleh negara-negara Muslim yang mengelilinginya dan sewaktu-waktu “kumat” dapat menyerang Israel untuk menghapuskannya dari peta dunia. Israel juga harus menghapus ambisinya membangun negara Israel raya yang berpotensi meniadakan Palestina dan negara-negara di sekelilingnya.
Lantas bagaimana dengan Badan Otorita Situs Tiga Agama Abrahamik? Badan ini adalah pengganti “corpus separatum di bawah pengawasan internasional”, yang pernah diusulkan oleh PBB. Kepemimpinan badan ini bersifat kolektif-kolegial oleh pemuka tiga agama samawi itu.
Dalam klausul-klausul statuta Badan Otorita ini dicantumkan secara adil hak dan kewajiban para pihak demi koeksistensi damai dalam semangat kasih persaudaraan yang otentik, tidak pura-pura.
Badan ini dibiayai bersama-sama oleh Israel, Palestina, dan PBB Tugas utamanya adalah menjaga, merawat, dan melestarikan situs-situs religius itu, agar para peziarah nyaman berwisata rohani ke sana. Juga membangun toleransi antara berbagai agama yang ada di Israel. Badan ini tidak akan merugikan pihak Yahudi, Kristen, dan Islam. Untuk keamanan dibentuk Satpam yang diambil dari tiga pihak.
Indonesia: Nonblok atau “Goblok”?
Menurut Pembukaan UUD 1945, penjajahan di atas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Juga Indonesia wajib ikut memelihara ketertiban dan keamanan dunia berdasarkan atas kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan. Lantas bagaimana sikap Indonesia dalam konflik Israel-Palestina?
Ternyata Indonesia sejak awal telah melanggar UUD 1945 dengan bersikap blok kepada Palestina. Sebaliknya mengutuk Israel sebagai zionis kafir dan penjajah. Pertanyaan nakal pun muncul yakni: Indonesia itu negara nonblok ataukah “negara goblok”?
Mengapa “goblok”? Karena tidak konsisten dan konsekuen melaksanakan amanat konstitusi dan prinsip politik luar negeri yang bebas-aktif dan nonblok. Indonesia tertular “virus akut ahistorisme” yaitu “ketidakjujuran dan pemutarbalikan serta manipulasi fakta sejarah”. Israel dituduh sebagai penjajah. Padahal sebaliknya justru Arab-Muslimlah yang mula-mula terlebih dahulu menjajah dan menaklukkan Yahudi-Israel pada abad ketujuh Masehi serta abad-abad selanjutnya berbagai khalifah Islam menguasai “Paletina Eretz Yisrael”.
Dalam debat di media sosial dan televisi, juga demo-demo bela Palestina, para apologet Muslim dan orator menutup rapat-rapat fakta kejahatan sejarah bahwa Arab-Muslimlah yang pertama kali menjajah Yahudi/Israel dan terus-menerus “mulut besar” menuduh Israel sebagai penjajah.
Padahal melalui gerakan politik nasionalisme internasional yaitu Zionisme, Israel-Yahudi diaspora hanya merebut kembali tanah leluhur mereka yang telah dikuasai Arab-Muslim berabad-abad. Juga Israel berhak membela diri ketika diserang.
Bahwa Palestina terus menderita korban perang, itulah konsekuensi perang yang juga dialami Israel. Justru sejarah penderitaanlah yang membuat Israel menjadi bangsa yang kuat, hasil pendidikan oleh Tuhan atas mereka.
Israel menggunakan talenta kecerdasannya untuk membentengi diri di tengah-tengah negara-negara Arab-Muslim yang menjadikan Israel sebagai “musuh bersama”.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia merdeka tahun 1945. Israel merdeka pada tahun 1948. Hanya beda tiga tahun. Namun virus akut ahistorisme membuat Indonesia sejak awal tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Apalagi Israel tidak pernah menjajah Indonesia, tetapi dimusuhi, dibenci dan dicaci maki sebagai kafir oleh banyak Muslim di Indonesia, aneh bin ajaib.
Indonesia di bawah mantan presiden Jokowi dan Presiden kedelapan, Prabowo Subianto, gencar mengutuk Israel, hanya karena takut tidak didukung atau dipilih mayoritas pemilih Muslim dalam pilpres dan pilkada.
Para pemimpin Indonesia sebaiknya jangan memberi contoh buruk kepada rakyat Indonesia tentang menanam kebencian dan kutuk terhadap Israel, Bisa jadi bumerang nanti. Ingat krisis moneter 1998, siapa yang “bermain”?
Bantuan kemanusiaan dari Indonesia untuk korban perang di Gaza sudah tepat dan benar, tetapi harus disertai dengan sikap politik luar negeri yang bebas-aktif dan nonblok, bukan blok pada salah satu pihak saja.
Memperjuangkan kemerdekaan bagi Palestina boleh saja, tetapi jangan lupa masalah Papua. Jangan sampai Indonesia sibuk mengutuk Israel, lalu bumerangnya justru Papualah yang “merdeka”.
Jangan kira Israel tidak tahu tentang “kelakuan” Indonesia. Israel memiliki kecanggihan lobi dan kegiatan “intelijen digital”. Kita sangat membutuhkan kedewasaan dan kecanggihan, serta kecerdasan dalam berdiplomasi.
Indonesia dengan klaim sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, ternyata tidak mampu menjadi juru damai justru karena virus ahistorisme dan “politik munafik-goblok”. Haram membuka hubungan diplomatik, namun halal bergaya dengan produk dari zionis yang kafir, haram, dan penjajah. Kasihan deh lu, Indonesia!*** [Diolah dari berbagai sumber].
*) Penulis adalah cendekiawan masyarakat adat matriarkat Tana Ai, Flores, NTT.