Natal, Konflik Timur Tengah, dan Pelanggaran HAM

OPINI & ARTIKEL1218 Dilihat

Oleh Peter Lewuk

PADA setiap bulan Desember ada dua tanggal penting yang bermakna historis, teologis, politis dan universal. Pertama adalah 10 Desember sebagai hari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) oleh PBB tahun 1948.

Kedua adalah 25 Desember  sebagai hari ulang tahun tokoh histiris-teologis bernama Yesus Kristus, yang dirayakan oleh  umat Kristen sedunia.

Dalam konteks bulan Desember 2024 tahun ini, dunia menyaksikan kawasan Timur Tengah, yang secara alegoris saya juluki “Negeri Asal Tuhan” (dalam konteks Monoteisme-Trinitaris-Abrahamik tentu saja)   sedang dilanda peperangan.

Terhitung sejak 7 Oktober 2023, ketika Hamas-Palestina  menyerang Israel yang disusul dengan HIzbullah-Libanon dan Houti-Yaman serta Iran melancarkan perang melawan Israel.

Hlnga 8 Desember 2024, ketika koaliasi faksi-faksi milisi oposisi di Suriah dipimpin faksi milisi Hayat Tahir al-Sham (HTS) berhasil menggulingkan rezim oitoriter dinasti Bashar Al Assyad yang berkuasa selama hampir empat dekade.

Sementara itu Israel menggunakan kesempatan membombardir dan menghancurkan situs-situs militer dan persenjataan milik Suriah sambil menduduki Dataran Tinggi Golan, wilayah penyangga perbatasan Israel-Suriah.

Pertanyaan, bagaimana fenomena tersebut di atas dapat dinalar dan dipahami dalam konteks peranyaan Natal 2024 yang diwarnai dengan pelanggaran HAM berat di Timur Tengah?

Natal: Teologi Martabat Manusia

Dari perspektif  iman Kristen, Natal bisa dinalar dan dipahami dalam kerangka teologi martabat manusia. Bahwa nilai ultimat harkat dan martabat manusia justru terletak  pada: “Manusia diciptakan  menuru t citra Allah, yang  kemudian menjadi manusia dalam diri Yesus  Kristus demi menyelamatkan manusia”.

Sebagai makhluk ciptaan yang sesuai dengan citra A llah, manusia dilengkapi dengan roh dan nafas hidup, kuasa, kebebasan, dan akal pengetahuan untuk menguasai atau mengelola dunia ciptaan Tuhan demi kebaikan hidup manusia itu sendiri.

Namun, yang terjadi adalah manusia menyalahgunakan kuasa, akal pengetahuan, dan kebebasannya, yang  berakibat fatal. Yaitu tejadinya “kejahatan” yang kontraprodutif  dan kontradiktif dengan “kebaikan”  yang ketika awal mula usai penciptaan, Tuhan memberkati dan melihat: “Semuanya baik adanya”.

Jadi, kejahatan bukan berasal dari Tuhan, melainkan dari manusia. Diredaksikan  degan cara lain, maka kuasa, akal pengetahuan, dan kebebasan yang disalahgunakan itu  telah memunculkan “Si Jahat”, itulah “Iblis”. Dengan lain kata: Manusia telah menjadi Iblis bagi dirinya sendiri.

Dan, kejahatan paling fatal adalah ketika Iblis berhasil membuat manusia menjadi “Tuhan” untuk menyamai TUHAN sang pencipta. Inilah kejahatan DOSA yang berakibat manusia mengalami “kematian kekal”.  Jadi, dosa adalah pengkhianatan terhadap Tuhan  sang Pencipta dan nihilisasi  eksistensi dan martabat manusia.

Faktanya,  tidak ada manusia yang tidak mati di dunia ini. Entah mati karena sudah waktunya untuk mati, atau mati karena penyakit, kecelakaan, dan paling ironis dan tragis adalah “kematian terpaksa” sebagai korban peperangan antarnegara atau antarbangsa, dan antarsuku.

NAMUN  TUHAN adalah Allah yang mahakasih dan maharahim. Tuhan tidak akan membiarkan manusia mengalami kematian kekal. Maka sejarah keselamatan manusia dari kematian kekal pun dirancang dan dilaksanakan oleh Tuhan.

Tuhan harus masuk terlibat secara konkret dalam sejarah manusia dan dunia. Untuk mengajarkan manusia tentang nilai-nilai kehidupan yang tidak lain adalah Kerajaan Allah sebagai kerajaan kehidupan kekal, bukan kerajaan kematian kekal.

Tuhan harus “menjadi Manusia” atau “inkarnasi” dalam diri Yesus Kristus, yang tidak perlu dipersoalkan. Biasanya yang mempersoalkan inkarnai adalah  orang-orang fasik mengapa Allah harus menjadi manusia. Sesungguhnya peristiwa inkatnasi adalah misteri  rancangan kehendak, otoritas, kedaulatan, dan hak prerogatif Tuhan.   Momentum hitoris misteri inkarnasi itulah, yang  dirayakan pada setiap Natal.

Pertanyaan:  Bisakah Natal membawa damai dan kasih persaudaraan di Timur Tengah? Saya tidak yakin.Namun saya tetap percaya bahwa perayaan  Natal adalah perayaan pemuliaan martabat manusia oleh Allah melalui hidup, karya, dan ajaran-ajaran Yesus tentang nilai-nilai kerajaan Allah yang harus diamalkan di dunia ini menuju kerajaan Allah yang kekal. Ingat doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus!

Saya percaya pada praksis penyelamatan manusia oleh Yesus  Kristus sebagai jamiann kehidupan kekal paska kematian manusia dari muka bumi ini  hingga akhir zaman.

Sebaliknya saya tidak percaya dan tidak berharap pada para pemimpin dunia berwatak iblis. Egoisme setanik tidak akan  mampu menghadirkan damai sejati di  muka bumi ini.

Hanya Tuhanlah yang berkuasa menghadirkan perdamaian sejati di bumi Timur Tengah, di Rusia-Ukraina dan belahan dunia lainnya yang “merencanakan” konflik demi hegemoni geopolitik. Kapan damai sejati  itu terjadi?  Saya tidak tahu,. Itu urusan Tuhan.

Perang: Dosa Pelanggaran HAM Berat

Natal sebagai peristiwa teologis pemuliaan martabat  manusia mudah dipahami berkaitan dengan Hak-hak Asasi Manusia. Bahwa keluhuran martabat manusia justru dijamin  melalui penghargaan dan implementasi pasal-pasal dalam piagam HAM universal yang terdiri atas 30 pasal.           Dengan demikian, perang adalah dosa pelanggaran HAM berat.

Berkaitan dengan Natal dan pelanggaran HAM, perlu diketahui bahwa Raja Herodes , sang “raja boneka” kolonial Roma melakukan pelanggaran HAM berat ketika mengetahui kabar tentang Raja yang baru lahir, yaitu Yesus, sang Mesias Raja Damai.

Raja Herodes menganggap Yesus adalah saingan politik bagi kekuasaannya, sehingga ia memerintahkan pembunuhan terhadap anak-anak berusia di bawah dua tahun dengan perhitungan Yesus juga ikut terbunuh.

Namun “gatot” alias  gagal total, karena orangtua Yesus telah terlebih dahulu mengungsikan-Nya ke Mesir, dan kemudian  pulang ke kampung Nazaret setelah Herodes meninggal dunia.

Kata “dosa” pelanggaran HAM mungkin tidak relevan bagi Herodes dan para pemimpin dunia berwatak diabolik-setanik penganut ideologi “si vis pacem, para bellum” alias “kalau mau damai, persiapkanlah senjata perang”, sebuah ideologi kontradiktif.

Kata dosa tidak ada dalam kamus para penguasa yang telah berubah menjadi Iblis. Melalui diplomasi meja perundingan mereka bicara lantang  tentang solusi damai, tetapi dengan syarat begini-begitu, sambil tetap memproduksi senjata untuk “bisnis pembunuhan manusia dan penghancuran ekologis” mana kala terjadi perang.

Sebagaimana Iblis adalah pembunuh manusia  demikian pula para pemimpin pemuja perang. Mereka tidak peduli dengan larangan membunuh yang diberikan oleh Tuhan.  Bahkan Tuhan diajak serta untuk membunuh dalam perang. Nama Tuhan terdengar lantang  diserukan sebelum bom meledak dan asap menggumpal di udara.

Padahal dengan mengobarkan perang, banyak segi HAM dilanggar. Paling pertama dan utama adalah  “hak untuk hidup”, yang dilanggar dengan sengaja mencabut nyawa manusia melalui perang.

Perang melanggar hak rakyat untuk hidup merdeka di negaranya yang berdaulat, sehingga harus terjadi pengungsian besar-besaran. Perang melanggar hak rakyat atas ekonomi dan kesejahteraan, karena negaranya menghabiskan uang pajak untuk membeli senjata.

Perang melanggar hak rakyat atas kesehatan, lantaran  timbulnya wabah penyakit, pencemaran lingkungan, tak terjaminnya sanitasi. Perang melanggar hak anak-anak unutuk belajar karena sekolah tutup. Dan, masih banyak hak lainnya yang dilanggar oleh perang. Pembaca bisa mendata sendiri segi-segi pelanggaran hak lainnya oleh perang.

Akhirul Kalam

Timur Tengah “negeri asal Tuhan” itu sudah sejak ribuan tahun dilanda konflik dan perang.  Dalam konflik dan perang sudah pasti terjadi pelangaran HAM berat. Apakah Natal bisa membawa damai di “negeri asal Tuhan” itu?

Saya tidak yakin. Biarlah Tuhan yang berurusan dengan para penguasa  yang “memuja ilah  perang” dan mengabaikan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.

Saya hanya khawatir, jangan sampai Tuhan akan “berperang” melawan para penguasa  negara pemuja “ilah perang”.

Sebab ingat: “Jangan ada padamu ilah lain di samping-Ku” (hukum pertama Dekalog di Gunung Sinai). Jika Tuhan;ah yang berperang, maka hal  itu adalah “kutuk”.

Itulah sekedar refleksi sederhana saya tentang Natal, Konflik Timur Tengah, dan pelanggaran HAM berat. Selamat Natal 2024!***

*) Penulis adalah cendekiawan masyarakat adat matriarkat Tana Ai, Flores, NTT.