TANA AI adalah sebuah masyaraiat adat matriarkat, terletak di bagian timur Kabupatn Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berbatasan dengan Utara Laut Flores, Selatan Laut Sawu, Timur Kecamatan Wulanggitang, dan Barat Kecamatan Kewapante.
Meski sebagai orang Tana Ai asli, saya sudah setengah abad lebih tinggalkan kampung halaman saya, Watutena, Desa Udek Duen, Kecamatan Talibura. Saya bersama seluruh orang Tana Ai Diaspora atau perantauan, tetap mencintai tanah leluur kita.
Tulisan ini saya buat sebagai motivasi dan pendidikan serta pengajaran bagi anak cucu dan cicit saya di seluruh Tana Ai. Untuk memperkuat rasa percaya diri dan membina semangat pesratuan dan kesatuan masyarakat adat matriarkat Tana Ai. Untuk menjaga dan mencegah penyerobotan terhadap wilayah Tana Ai oleh pihak luar.
Ingat, Tana Ai adalah masa depan anak cucu generasi Tana Ai itu sendiri, bukan yang lain. Itulah yang saya maksudkan dengan “pembelaan adat”. Sebuah penegasan akan harkat dan martabat serta hak asasi masyaraiat adat matriarkat Tana Ai.
Dalam rangka pengajaran dan pengetahuan yang mendalam bagi anak cucu dan cicit saya di seluruh Tana Ai, saya ingin membuka wawasan kita, baik secara teologis-filosofis maupun secara konstitusional. Anggaplah kesempatan ini merupakan “kuliah digital” singkat untuk anak cucu saya se-Tana Ai yang sedang di sekolah tinggi.
Saya juga akan sedikit menyoroti sengketa HGU (Hak Guna Usaha) atas Tanah Ulayat mililik msayarakat adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut. Maaf pengetahuan saya akan kasus ini kurang mendalam karena tidak terlibat langsung, sehingga saya mohon dikoreksi.
Perspetif Teologis-Filosofis
Penjelasan ini tentu agak sulit bagi anak cucuku se-Tana Ai. Tapi tidak masalah. Teruslah sekolah dan belajar dengan rajin, dari sekolah dasar hingga tinggi. Agar menjadi cerdas, dan suatu saat akan mengerti tentang masalah yang sulit dalam tulisan ini.
Bagi anak cucuku se-Tana Ai yang akan kuliah, ambillah disiplin-disiplin ilmu terapan sesuai dengan kebutuhan membangun Tana Ai. Misalnya teknologi pertanian lahan kering, ekonomi dan bisnis.
Ingat, ketika kita mengalami kasus sengketa HGU Nangahale-Patiahu, tidak ada sarjana hukum asal Tana Ai yang tampil. (Atau mungkin sudah ada? Saya tidak tahu).
Kita mulai pembahasa topik di atas dengan penegasan bahwa “Tana Ai sudah ada sebelum gereja dan negara hadir”. Karena kita harus mulai dari hal yang mendasar, maka perspektif yang digunakan adalah teologis-filosofis.
Perspektif ini tidak bisa dipisahkan secara ketat. Teologi dan filsafat membahas hal yang sama, tetapi menggunakan terminologi dan cara penalaran yang berbeda. Contoh, tentang ”Sang Misteri”, teologi akan menggunakan kata “Tuhan” sedangkan filsafat menggunakan kata-kata “Sang Ada Mutlak”.
Baiklah, kita bedah soal “Tana Ai telah Ada” sebagai sebuah entitas masyarakat adat sebelum gereja dan negara hadir.
Sebelum misi gereja mewartakan agama Katolik ke Tana Ai, masyarakat adat matriarkat di sana telah menganut Agama Asli atau Agama Lokal.
Orang Tana Ai percaya akan adanya “Amapu”, Tuhan Sang Pencipta. “Ama” berarti “Bapak” dan “Pu (n) berarti “Memiliki” Jadi Tuhan adalah “Amapu”, Bapak Sang Empunya, yaitu sang Pencipta dan Pemilik.
Amapu itu realitas ilahi yang sangat rahasia, melampaui pemahaman akal budi manusia. Dalam bahasa teologis-filosofis, realitas ilahi, yakni “Tuhan Sang Ada Mutlak”, mewahyukan diri atau membuka selubung misteri diri-Nya ke dalam realitas makrokosmos yang dapat disaksikan, dilihat dan dialami. Realitas makrokosmos itu dahsyat dan mengagumkan, terdiri atas langit dan bumi beserta segala isinya.
Begitu pula Tuhan Sang Ada Mutlak mewahyukan diri dalam reailtas mikrokosmos, dengan manusia sebagai pusat dan subjek personalitas penguasa segala isi makrokosmos. Dalam teologi dasar kristen ini disebut ”wahyu kosmis” atau wahyu alam.
Dalam penghayatan agama asli, orang Tana Ai menyapa “penampakan” realitas ilahi’ dalam realitas makrokosmos itu dengan sapaan “Amapu Nian Tana Lero Wulan”. Nian Tana adalah bumi dan Lero Wulan adalah Langit terutama Lero berarti Matahari dan Wulan berarti Bulan.
Demikian pula adanya realiitas manusia yang perempuan dan yang laki-laki membuat orang Tana Ai menyapa Nian Tana sebagai Ibu dan Lero Wulan sebagai Bapa.
Lengkapnya disapa “Ina Nian Tana-Ama Lero Wulan”, suatu dwitunggal makrokosmos, yang “melahirkan” (baca menciptakan) atau membuat segala isi bumi ini ada.
Termasuk “bumi Tana Ai dan manusia Tana Ai” ada karena Amapu menciptakannya. Dalam “Oda Ngeng Nian Ngerang Tana” atau kisah asal-usul bumi-manusia dinarasikan leluhur Tana Ai, misalnya:
‘’Ina Nian Tana bua, Ama Lero Wulan gae. Bua ue nora wari, gae kera nora pu. Sukun pulu wot lima, ake rua plewong telu. // Deri nian gera tana. Opi uma, kare tua. Uma ihin gete, tua dolo mosan’’.//
Syair singkat di atas mempunyai mkna bahwa orang Tana Ai diciptakan untuk hidup bersaudara dan bermasyarakat, mempunyai hak untuk memiliki tanah dan mengolahnya (bertani) demi kemakmuran. Kalimat “deri nian gera tana” mengandung makna “Hak memiliki dan mendiami tanah atau bumi”.
Kearifan lokal (local wisdom) suku Tana Ai tersebut di atas bersama kearifan lokal milik seluruh suku di Indonesia itu akan dijadikan norma mormata (hukum positif) sekaligus norma normans (acuan praksis) dalam konstirusi UUD ’45 ketika negara Indonesia sudah berdiri (akan dikemukakan di bawah).
Ada paralelisme penting antara apa yang ada dalam Injil Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan apa yang ada dalam ritus agama asli Tana Ai. Saya sebutkan tiga hal saja.
Pertama, Abraham mendirikan “batu” sebagai tanda pengingat pertemuan Abraham dengan TUHAN. Dalam ritus Gren Mahe Tana Ai sejak nenek moyang didirikan loh-loh batu meruncing ke atas sebagai simbol hubungan dengan Amapu atau bahasa teoiogisnya disebut transendensi.
Juga batu-batu datar dengan posisi di kaki loh-loh batu yang didirikan itu. Sebagai lambang kehadiran Amapu di tengah-tengah orang Tana Ai. Bahasa teologisnya disebut imanensi. Paralel pertama ini, dalam bahasa Tana Ai saya sebut: “Moan Abraham mula mahe, orang Tana Ai juga mula mahe”.
Kedua, dalam agama Yahudi ada ritus penyembelian hewan kurban. Dalam ritus agama asli Tana Ai juga ada ritus penyembelian hewan kurban.
Ketiga, ada unsur “darah” dari hewan kurban dalam ritus agama Yahudi dan ritus agama asli Tana Ai. Unsur “darah” dalam ritus kedua agama ini paralel — meski tidak sama – dangan “darah Yesus” yang ditumpahkan demi keselamatan manusia dalam agama Kristen.
Dengan menyebut paralelisme ini, saya mau mengatakan hal terpenting berikut ini. Bahwa Yesus Kristus sebagai puncak dan kepenuhan wahyu justru menggenapi, menyempurnakan, memberkati, dan menyucikan wahyu alam yang telah dihayati orang Tana Ai. Kehadiran Yesus di dunia ini tidak meniadakan tidak menghilangkan realitas alam makrokosmos dan mikrokosmos sehingga wahyu kosmis tetap berlangsung hingga dunia kiamat.
Meniadakan wahyu Allah dalam realitas makrokosmos dan mikrokosmos yang dihayati orang Tana Ai sebagai peristiwa religius-kultural adalah sebuah kekeliruan berteologi kristen. Apalagi mengtutuk sebagai kafir, tentu tidak boleh dilakukan gereja Katolik.
Para pastor harus mampu menjelaskan masalah ini kepada umat katolik masyarakat adat Tana Ai yang sampai sekarang tetap merayakian ritus religius-kultural mereka. Teologi kontekstual harus dipraktikkan. Juga pemerintah daerah tak boleh mencap adat keagamaan asli orang Tana Ai sebagai penghambat pembangunan.
‘’Kalau pemerintah kurang serius atau setengah hati membangun Tana Ai, jangan dengan enteng menyalahkan adat dan budaya Tana Ai’’.
Perspektif Konstitusional
Berbicara tentang perspektif konstitusional berarti berbicara tentang hadirnya negara untuk menjamin hak dan kewajiban orang Tana Ai dan seluruh suku, budaya, dan tradisi di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Merdeka dari kolonialisme dan imperialisme.
UUD NRI Tahun 1945 (setelah amandemen) Pasal 18 B Ayat (2) mengatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”
Kemudian dalam Pasal 28 I Ayat (3) diatur bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perubahan zaman dan peradaban”.
Sebagai penjabaran lebih lanjut dari amanat konstitusi (sebelum amandemen), lahirlah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur, antara lain, tentang “hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat dan keterkaitannya dengan tanah negara bekas HGU yang ditentukan berdasarkan sejarah asal-usul”
Sebagai turunan dari UU Pokok Agraria, maka dibuatlah peraturan-peraturan pemerintah, antara lain, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang “Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat”.
Dalam Pasal 2 Permendagri itu disebutkan bahwa “Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat”. Demi terwujudnya proses pengakuan dan perlindungan, maka gubernur dan bupati/walikota membentuk panitia dan menjalankan tahapan pengakuan dan penyelesaian sengketa dan sebagainya.
Selain Permendagri, juga peraturan dari kementerian terkait, yaitu Peratruan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 Tahun 2019 tentang “Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarkat Hukum Adat”.
Peraturan dari kedua kementerian itu harus diimplementasikan oleh gubernur dan bupati/walikota dengan membuat “Peraturan Daerah” tentang Masyarakat Adat yang ada di wilayahnya.
Nah, saya berharap Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka telah memiliki “Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Sikka”, yang akan dijadikan landasan hukum penyelesaian sengketa tanah, semisal sengketa HGU tanah ulayat di Nagahale-Patiahu.
Berikut ini saya juga mengutip satu pasal saja dari Deklarasi PBB (2007) tentang Hak-hak Masyarakat Adat sebagai bukti bahwa masalah tanah dan masyarakat adat memang dijamin juga secara hukum internasional.
Dalam Pasal 2 Deklarasi PBB itu disebutkan bahwa “Masyarakat adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka”
Sejarah Singkat HGU Nangahale
Tahun 1912, kolonial Belanda merampok tanah adat Nangahale-Patiahu, milik Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut. Dengan landasan “hukum agraria” (“Agrarische Wet”) kolonial, maka tanah Nangahale-Patiahu dikelola oleh perusahaan milik Belanda. Selanjutnya pada tahun 1926, Belanda mengalihkan hak sewa (“erfpacht”) kepada Misi Katolik dengan jual-beli seharga F 22.500.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang antara lain mengalihkan hak sewa atau “erfpacht” menjadi Hak Guna Usaha (HGU).
Selanjutnya pada 5 Januari 1989, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan Keputusan Nomor 41/HGU/89, yang memberikan HGU kepada PT DIAG untuk jangka waktu 25 tahun, dan telah berakhir pada 31 Januari 2013.
Setelah berakhirnya masa berlaku HGU, maka berdasarkan PP Nomor 40 Tahun 1996, dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nomor 7 Tahun 2017, maka tanah bekas HGU itu menjadi “Milik Negara” dan berada di bawah penguasaan Kementerian ATR/BPN.
Dalam pada itu PT Kristus Raja Maumere atau PT KRISRAMA, milik Keuskupan Maumere mengurus HGU kepada Kementrian ATR/BPN, namun sampai sekarang belum diberikan oleh pemerintah, karena masih dalam sengketa. (Sumber: disarikan dari teropongindonesianews.com, 9/2/2022).
Mengapa Berlarut-larut?
Penyelesaian sengketa HGU Nagahale-Patiahu memang sangat berlarut-larut. Mengapa? Ada virus akut birokratisme Indonesia, menular dari pusat pemerintahan negara hingga ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Virus birokratisme akut yang koruptif busuk itu saya rumuskan dalam pemeo: “Kalau bisa dipersulit, jangan dipermudah”.
Virus ini lebih ganas dari covid-19, HIV, ebola, dan sebagainya. Karena virus tersebut mengandung politik busuk, niat jahat, kemunafikan, ketidakjujuran, mental korup, kolusi, keserakahan, ketamakan, egoisme serta sok kuasa dari oknum-oknum pejabat pemerintah baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, pihak swasta penguasa-uang, orang berpengaruh atau orang kuat sebagai beking.
Nah, apakah berlarut-larutnya penyelesaian sengketa HGU Nangahale-Patiahu disebabkan oleh virus akut birokratisme yang dilitanikan di atas? Saya tidak menduduh, tapi silahkan jawab sendiri dengan jujur. Terutama dijawab oleh para politisi yang wakil rakyat dan para pejabat pemerintah daerah Kabupaten Sikka. Juga dijawab secara jujur oleh para pejabat gereja di Keuskupan Maumere.
Yang jelas fakta berbicara bahwa sengketa ini telah berlansung sejak Bupati Paulus Moa, Bupati Alexander Longginus, Bupati Sosimus Mitang, Bupati Yoseph Ans Rera, dan Bupati Roby Idong. (Belum dihitung bupati terpilih dalam pilkada 2024).
Aneh bin ajaib, dari lima rezim yang berkuasa di Kabupaten Sikka, tak seorang bupati pun bisa menyelesaikan kasus tersebut! Ada apakah gerangan? Jawabannya, kembali ke pemeo: “Kalau Bisa Dipersulit, Jangan Dipermudah”.
Atau adakah pemeo lain yang berbunyi: “Kalau menyngkut orang Tana Ai, jangan dipermudah, melainkan dipersulit saja”.
Kalau memang demikian adanya, maka dengan tegas saya katakan, ini adalah kejahatan politik luar biasa terhadap kami rakyat Tana Ai.Sementara itu, saya mohon dengan hormat kepada Bapak Uskup Keuskupan Maumete, tolong tegakkan prinsip Gereja Katolik yaitu: Solidaritas, Subsidiaritas, dan Belarasa, terhadap kami umat katolik Tana Ai.
Jangan pandang kami orang Tana Ai sebagai rakyat saja, sehingga menjadi urusan Pemda Kabupaten Sikka. Kami juga umat katolik, sehingga menjadi tanggung jawab Bapak Uskup beserta jajaran pejabat penting Gereja Katolik Keuskupan Maumere. Jangan biarkan kami pikul sendiri salib sengketa ini. Jadilah Simon dari Kirene untuk kami umat katolik Tana Ai.
Hentikan Opini Ngawur
Selama masih dalam proses penyelesaian sengketa HGU, mohon jangan ada opini ngawur yang bikin runyam. Seperti pernah terlontar opini seorang sarjana hukum (bukan orang Tana Ai), yang meminta orang Tana Ai untuk “membuktikan keabsahan atau legalitas eksistensi dirinya sebagai masyarakat adat Tana Ai berikut tanah tempat mereka berdiam, situs-situs religius, dan adat-istiadat serta budaya mereka”.
Padahal semua yang diminta untuk dibuktikan itu secara “intrinsik-an sich-eksistensial” dan mutatis mutandis atau dengan sendirinya telah menjadi realitas “Gabe” (bahasa Jerman), artinya pemberian atau ter-beri-kan. Realitas ciptaan Tuhan, sehingga tidak perlu dibuktikan.
Bahwa khusus tentang pembuktian hukum mengenai sertifikat hak kepemilikan tanah, itu urusan pemerintah, yang harus proaktif mengadakannya untuk mereka, bukan meminta orang Tana Ai membuktikannya sendiri.
Apa kerja dinas ATR/BPN Kabupaten Sikka? Apa pula kerja wakil rakyat Kabupaten Sikka, yang mewakili Tana Ai? Percuma orang Tana Ai memilih mereka. Juga percuma orang Tana Ai memilih bupati dalam pilkada Kabupaten Sikka.
Opini seperti itu, saya sebut sebagai “falasia logika kontra-kodrat”, atau juga “tautologi”, yaitu pengulangan pernyataan yang tidak perlu. Contoh, meminta “seorang lelaki untuk membuktikan dirinya adalah laki-laki”, padahal kodratnya sebagai laki-laki adalah fakta ter-beri-kan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu dibuktikan.
Opini seperti ini juga merupakan logika “circulus-diabolus”, suatu lingkaran setan logika opini yang tidak ada jalan keluarnya, sehingga membingunkan orang Tana Ai, yang merasa eksistensinya sebagai orang Tanah Ai beserta tanah dan adatnya tidak perlu dibuktikan.
Secara teologis-filosofis, asal-usul identitas eksistensi orang Tana Ai telah terbuktikan dan terberikan secara mutatis mutandis alias dengan sendirinya.
Kemudian secara konstitusional diatur hak kepemilikan tanah oleh negara Indonesia yang hadir paska kemerdakaan dari kolonialisme, jauh setelah masyarakat adat Tana Ai terlebih dahulu ada.
Oleh karena itu, dalam kasus ini, pembuktian secara hukum tentang Serifikan Hak Milik menjadi urusan Pemkab SIKKa untuk diadakan bagi masyarakat adat Tana Ai.
Selanjutnya, justru “Gabe” pada gilirannya meniscayakan “Aufgabe”, yaitu tugas dan kewajiban bagi negara maupun bagi masyarakat adat. Kedua entitas itu “Saling berkewajiban satu terhadap yang lain”, yang bersifat imperatif-mutlak.
Konkretnya begini: negara berkewajiban memberikan legalitas, antara lain, berupa “sertifikat hak kepemilikan tanah kepada masyarakat adat”, tentunya setelah semua proses dan prosedur penyelesaian sengketa tanah, sesuai peraturan hukum yang berlaku, telah dilaksanakan secara cermat dan adil serta tidak berlarut-larut yang merugikan masyarakat.
Sebaliknya, masyrakat adat pun berkewajiban terhadap negara dengan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) kepada negara, serta semua kewajiban lainnya sebagai warga negara.
“Win-win-win Solutions”
Menurut saya, ada dua hal penting dalam rangka solusi sengketa HGU Tanah Ulayat Nangahale-Patiahu, yang sejak tahun 2017 menjadi “Milik Negara” berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nomor 7 Tahun 2017.
Petama, untuk mempermudah proses negosiasi para pihak tentang penyelesaian sengketa, maka Kementerian ATR/BPN harus “MEMBATALKAN” Kepemilikan Negara atas bekas HGU yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nomor 7 Tahun 2017.
Akan ada ruang yang bebas untuk bernegosiasi antara tiga pihak (negara, gereja, dan masyarakat adat Tana Ai), apabila bekas HGU itu tidak diklaim dimiliki oleh salah satu pihak. Jadi, harus dinyatakan menjadi STATUS QUO.
Kedua, Pemerintah Kabupaten Sikka harus terlebih dahulu memiliki landasan hukm berupa: “Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Sikka” sebagai landasan hukum penyelesaian sengketa agraria secara komprehensif, berkualitas, berkeadilan, dan berkekuatan hukum tetap. Puji Tuhan kalau Perda dimaksud sudah ada. (Kalau belum?)
Bertolak dari landasan hukum Perda termaksud dan pembatalan “Milik Negara”, maka dilakukan musyawarah-mufakat demi kemanfaatan tiga pihak yang saya sebut: win-win-win solutions.
Pertama, pihak masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut kemabali mendapatkan hak asasinya atas tanah ulayat Nangahale-Patiahu secara adil yang dilegalisasi dengan sertifikasi hak milik oleh Badan Pertanahan Nasional.
Kedua, pihak Keuskupan Maumere mendapat kemanfaatan melakukan konrak periodik (25 tahun msalnya dan bisa kontrak ulang) untuk HGU dengan pihak masyarakat adat suku Soge Natarmage dan Suku Gobang Runut. Dengan pembayaran uang sewa atau kontrak secara adil dan dinotarisasi.
Ketiga, pihak negara mendapat kemanfaatan menarik pajak dari pihak masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut serta pajak dari pihak Keuskupan Maumere. Juga mendapatkan ruang untuk fasilitas publik dalam bentuk jalan negara atau jalan provinsi dari Kabupaten Sikka ke Kabupaten Flores Timur via Waigete, Patiahu, Nangahale, Talibura, Nebe, Boganatar dan Hikong. Hanya satu saja ruang fasilitas publik, yaitu jalan negara/provinsi. Ruang lain sudah tidak ada.
Akhirul Kalam
Demikian kuliah digital singkat untuk anak cucu dan cicit saya se-Tana Ai dengan topik “Tana Ai Sudah Ada Sebelum Gereja dan Negara Hadir, Sebuah Pembelaan Adat”.
Sekali lagi saya mohon maaf bila ada kesalahan data ketika menyoroti kasus sengketa tanah ulayat Nangahale-Patiahu.***
*) Penulis adalah cendekiawan masyarakat adat matriarkat Tana Ai, Flores, NTT.