Quo Vadis Indonesia?

OPINI & ARTIKEL1183 Dilihat

Oleh Peter Lewuk

ADA sebuah pertanyaan iseng yang menggelitik saya ketika mendengar gonjang-ganjing tentang reshuffle Kabinet Merah Putih.

Pertanyaan itu adalah Quo vadis Indonesia? Artinya hendak ke manakah Indonesia? Pertanyaan ini melahirkan rentetan saling berkaitan satu sama lain quo vadis selanjutnya.  Yaitu quo vadis Kabinet Merh Putih, quo vadis GBHN, dan quo  vadis MPR RI?

Asal-Usul

Berhubung istilah quo vadis sudah lazim digunakan orang dalam percakapan, maka  bagi yang belum tahu asal-usul istilah tersebut, saya akan kemukakan berikut ini.   Quo vadis berasal dari bahasa Latin. Berkaitan dengan sebuah peristiwa historis-ajaib.

Ketika orang Kristen dianiaya oleh Penguasa Roma, Santo Petrus hendak melarikan diri. Namun secara ajaib ia bertemu dengn Yesus Kristus, Sang Gurunya dahulu di Palestina tahun 30-33 Masehi.

“Hendak ke manakah engkau, Petrus?” tanya sang Guru. Petrus menjawab bahwa dirinya hendak melarikan diri dari penganiayaan di Roma.

Kata Sang Guru, “Apakah saya harus ke Roma untuk disalibkan kedua kalinya?”  Petrus sadar bahwa dirinya pernah menyangkal Yesus tiga kali, lalu bertobat dan kembali lagi ke Roma  melanjutkan Amanat Agung yang diberikan sang Guru kepadanya dan para murid. Akhirnya Petrus menjadi martir dengan disalibkan terbalik yaitu kepala ke bawah, berkebalikan dengan penyaliban sang Guru.

Kisah Inspiratif

Saya ingin menggali makna inspiratif dari kisah historis-ajaib itu Bahwa pertanyaan sang Guru mengandung makna “Petunjuk dan Penuntun Arah” bagi Misi Amanat Agung yang harus dijalankan oleh Petrus selaku sang pemimpin gereja katolik.

Dalam versi kekinian, saya ingin mengatakan bahwa keberhasilan Gereja Katolik mengemban amanat misioner universal itu, justru dikarenkana Gerja berjalan menurut “GBHI” alias Garis Besar Haluan Ilahi”. Sevisi dengan sang Guru yang adalah “Jalan, Kebenaran, dan Hidup” di bawah arahan dan bimbingan kuasa Roh Kudus.

Garis Besar Haluan Ilahi  itu ditetapkan dalam Ajaran Iman dan Susila serta Ajaran Sosial Gereja Katolik, yang berlaku universal, ternasuk juga bagi gereja katolik di Indonesia.

Quo Vadis Kabinet Merah Putih?

Mohon maaf, saya tidak hendak membandingkan Gereja Katolik dengan pemerintah negara Republik  Indonesia.

Namun, menurut saya signifikansi inspiratif kisah itu bagi adanya suatu “Penuntun Arah Perjalanan Bangsa Indonesia” adalah penting demi mencapai tujuan bernegara, yang diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Ketika pidato perdana berapi-api sebagai kepala negara pada pelantikan 20 Oktober 2024,  rakyat mendapat kesan ada harapan yang akan dibawa. oleh Presiden Prabowo.

Ada pengamat mengatakan Presiden Prabowo akan menyusun zaken kabinet alias kabinet ahli yang profesional, efisien, kapabel, efektif,  berkualitas, dan berkinerja produktif-positif.

Namun ketika Kabinet Merah Putih diumumkan, ternyata rakyat disuguhkan “Kabinet Obesitas”. Hasil kompromi dan politik dagang sapi, bagi-bagi jabatan kepada  koalisi partai dan “orang-orang yang berkeringat” ketika  menjadi Tim Sukses memenangkan pertarungan pilpres 2024.

Jelas, kabinet obesitas melahirkan birokratisme baru yang berbiaya tinggi, sementara rezim Jokowi mewariskan kondisi ekonmi dan anggaran negara  bermasalah.

Belum lagi masalah   kompetensi profesonal dan mental psikologis atau karakter kepribadian  sang menteri yang akan ikut mempengaruhi plus-minus kinerja sang menteri.

Oleh karen itu, tindakan reshuffle kabinet Merah Putih akan signifikan bila tidak hanya mengganti menteri yang tidak perform atau tidak berkualitas, melainkan terutama memangkas atau merampingkan kabinet obesitas dengan menyusun ulang zaken kabinet.

Quo Vadis GBHN?

Apa kaitan Kabinet Merah Putih dengan GBHN atau Garis Besar Haluan Negara? Jelas ada korelasi. Penjelasannya begini. Bila ada GBHN yang menetapkan nomenklatur jumlah kementerian dan atau departemen yang pasti dan baku untuk pemerintahan negara, maka setiap kepala negara dan kepala pemerintahan baru yang terpilih dalam pemilu tidak perlu mengatur jumlah besar kecilnya kabinet secara “semau gue”. Ia hanya  akan memilih orang yang tepat untuk jabatan kementerian yang ditetapkan GBHN. Alias the right person on the right place.

Pengalaman GBHN dan operasionalisasinya dalam bentuk Repelita dan Pelita atau program pembangunan lima tahunan, sangat bagus. Tetapi dibuang oleh MPR Reformasi sejalan dengan tindakan merendahkan harkat dirinya sendiri.

Sangat disayangkan GBHN yang sejak lama diwacanakan dibahas untuk dihidupkan kembali, sama sekali tidak “nongol” alias tidak ditetapkan dalam Sidang Umum MPR hasil Pemilu 2024. Kalau GBHN itu ada, maka Presiden Prabowo tidak akan menyusun kabinet obesitas sesuai dengan kemauan pribadi dan tim kabinetnya.

Lantas apa kerjaan MPR Reformasi sepanjang rezim Susilo Bamang Yudhoyono dan rezim Jokowi? Wacana menghidupkan kemabli GBHN sangat heboh di MPR. Hasilnya mana? Ingat dua puluh tahun bahas GBHN dengan menghabiskan anggaran negara tidak sedikit. Hasilnya, sekali lagi, mana? Bila tidak ada hasilnya, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai korupsi.

Quo Vadis MPR?

Dengan “merendahkan” dirinya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara, maka MPR Reformasi menjelma menjadi “makhluk aneh”. Ada tetapi tidak ada.

Ada tetapi tidak produktif terutma menegakkan harkat dan martbat konstitusi Proklamasi, UUD 1945 dan ideologi negara, Pancasila.

Padahal imperatif filosofis kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi konstitusional yang dianut Indonesia berada di tangan rakyat. Dengan demikian, lembaga representasi kedaulatan rakyat itu pun mutatis muntandis  atau dengan sendirinya menjadi lembaga tertinggi negara.

Konsekuensi imperatif filosofis-konstitusional bagi MPR tentu saja sebagai lembaga kedaulatan rakyat yang tertinggi MPR berkwajiban mengadakan GBHN.

Akibat absennya GBHN, maka selama era Reformasi, pemerintah terpilih berjalan menurut “Garis Besar Haluan Keinginan Pribadi Presiden dan Tim Kabinrtnya.

Wacana tentang kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi pun tidak kalah hebohnya. Namun hasilnya mana?

Akhirul Kata

Mengakhiri pertanyaan tentang Quo Vadis Indonesia, saya ingin kemukakan dua catatan.

Pertama, secara intelektual-akademis maupun politis, saya memberikan tantangan bagi MPR hasil pemilu 2024 untuk berani melakukan “Supervisi Komprehensif atas Empat Amandemen UUD 1945. Terutama berkaitan dengan pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi beserta Tupoksinya, maupun megembalikan GBHN, beserta masalah-masalah prinsipiel lainnya.

Hasil supervisi itu diberlakukan pada pemerintahan baru yang terbentuk melalui pemilu 2029.

Kedua, Presiden Prabowo diharapkan memiliki konsistensi yang kuat antara kata dan perbuatan. Terutama komitmen pemberantasan korupsi secara radikal sesuai hukum yang berlaku. Khususnya  korupsi yang terjadi pada rezim Jokowi, baik korupsi finansial maupun koriupsi kebijakan. Ataukan Presiden Prabowo bingung, lantaran adanya “sapu kotor membersihkan lantai kotor”?***

*) Penulis adalah cendekiawan masyarakat adat matriarkat Tana Ai, Flores, NTT.