Renungan Kamis Putih
Oleh : RD. Leo Mali
PADA malam sebelum sengsara-Nya, Yesus berkumpul dengan para murid untuk merayakan Paskah. Namun, bukan hanya kenangan pembebasan dari Mesir yang dikenangkan, melainkan suatu tindakan profetik yang mengguncang nalar para murid: Ia bangkit dari tempat-Nya, menanggalkan jubah, mengambil sehelai kainlenan, mengikatkannya pada pinggang, dan membasuh kaki serta membersihkan kaki para murid (Yoh 13:1-15).
Ini bukan sekadar tindakan kerendahan hati, melainkan puncak pewahyuan identitas dan misi-Nya: Sang Guru menjadi hamba, Sang PutraAllah merendahkan diri menjadi pelayan. Dalam tindakan ini, Yesus mengajarkankasih melalui sebuah tindakan pelayanan yang konkret.
Di dunia Yahudi abad pertama, membasuh kaki adalah tugas budak —danbukan sembarang budak, tetapi budak perempuan dari kalangan non-Yahudi. Tugas ini dianggap begitu hina hingga bahkan murid seorang rabi pun tidak diwajibkan melakukannya untuk gurunya. ( 1Samuel 25:41, bdk. Talmud Kidduhsin 22b) Maka ketika Yesus membasuh kaki para murid, Ia melampaui batas-batas norma sosial dan religius.
Ia tidak hanya merendahkan diri. Ia menghancurkan hirarki sosial demi menegaskan satu kebenaran: bahwa kasih yang sejati bukanlah dominasi atau pengaruh, melainkan pengosongan diri, kenosis, demi keselamatan yang lain.
Tindakan Yesus membasuh kaki murid-muridNya mencerminkan puncak perwujudan eksistensi manusiawi yang otentik. Dalam tradisi eksistensial, manusia tidak dipahami hanya sebagai animal rationale atau makhluk berpikir, melainkan sebagai being-for-others, makhluk yang hidup dan berada untuk yang lain.
Emmanuel Levinas menegaskan bahwa wajah sesama yang hadir di depan kita menuntut sebuah tanggung jawab etis. Maka ketika Yesus membasuh kaki para murid-Nya, Ia hadir sebagai Yang Lain, yang mengangkat martabat para murid-Nya.
Dengan mencuci kaki, Ia mengambil semua yang kotor dari kaki mereka, membersihkan mereka dari hal-hal yang hina. Ia sendiri kemudian menjadi hina dan kotor agar mereka dimuliakan. Tindakan Yesus dalam membasuh kaki, menjadi sebuah simbol sekaligus kesaksian yang nyata.
Di sinilah pentingnnya pesan Santo Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Missio : “Manusia (terutama di jaman ini) lebih percaya kepada seorang saksi ketimbang seorang guru; dan jika mereka percaya kepada seorang guru, itukarena ia juga seorang saksi” (RM 42).
Paling kurang di Indonesia hingga akhir tahun 90-an, orang takut bicara di depan umum. Namun kini, semua orang bebas dan pandai bicara tentang semua hal. Setiap orang punya klaim tentang apa yang dianggap benar. Pesan-pesan bersliwerandi mana-mana.
Namun orang semakin sadar bahwa kata-kata saja tak lagi cukup. Yang dibutuhkan adalah sebuah teladan dan kesaksian. Dalam tindakan membasuh kaki, Yesus mengajar dengan teladan. Ia tidak hanya berbicara tentang kasih, tapi IAsendiri adalah kasih itu.
Dalam membasuh kaki, Ia menunjukkan bahwa keselamatan adalah hasil dari kuasa kasih yang tampak dalam kerelaan melayani. Dalam dunia yang dipenuhi hasrat untuk menguasai, tindakan ini menjadi kontra-narasi yang menyentuh kedalaman hati manusia.
Dengan kontra narasi ini, membasuh kaki bukanlagi soal air dan baskom, tetapi soal kesiapan untuk “membungkuk” dan hadir sebagai sehabat yang setia di hadapan luka-luka dan persoalan sesama dalam kehidupan bersama yang nyata.
“Bagi kita, membasuh kaki dapat berarti: mendengarkan seorang saudara atau teman yang bergumul dengan masalah yang dihadapi; mencari jalan keluar bersama ibu-ibu yang terjerat dan dikejar-kejar oleh pinjaman online; menampung keluh kesah para remaja atau anak muda yang kehilangan arah dan putus asa (bahkan nyaris bunuh diri), mendampingi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual di sekitar kita, membangun solidaritas dengan keluarga-keluarga miskin dan terpinggirkan di KUB masing-masing; menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah – terutama sampah plastik yang dapat mencemarkan lingkungan- secara sembarangan.”
Tindakan Yesus adalah dasar perutusan kita. Kita semua dipanggil untuk menjadi saksi yang hidup dengan bersedia ‘mengotori tangan’ demi menjangkau mereka yang terluka.
Setiap orang beriman terutama seorang imam, tidak hanya berbicara dari menara gading pengetahuan, melainkan dari pengalaman di jalan-jalan kehidupan yang kotor dan berdebu, seperti Yesus yang memilih handuk dan baskom, bukan tongkat kuasa dan takhta.
Perayaan Kamis Putih memaksa kita untuk terus mencari: kaki siapa yang perlu saya basuh hari ini? Luka siapa yang perlu saya sentuhdan sembuhkan hari ini? Dan dalam hal apa saya harus menanggalkan jubah kehormatan dan mengikat kain pelayanan di pinggangku?
Pertanyaan ini teramat penting. Sebab dalam dunia kita yang terluka saat ini, Injil diberitakan bukan hanyalewat kata-kata, tetapi terutama lewat kesaksian hidup. **