Renungan Jumat Agung: Salib, Derita, dan Harapan

OPINI & ARTIKEL365 Dilihat

Oleh : RD. Leo Mali

HARI INI, Gereja memasuki keheningan Jumat Agung—hari ketika langit menjadi kelabu, dan bumi seakan ikut menangis menyaksi kan Pencipta hidup disalibkan oleh ciptaan-Nya sendiri. Namun dalam keheningan dan duka itu, sabdaTuhan menuntun kita kepada kedalaman misteri kasih yang tak terhingga, yang mengubah salib dari simbol kutukan menjadi lambang harapan dan kemenangan.

Kitab Yesaya 52:13–53:12 menyingkapkan kepada kita gambaran seorangHamba Tuhan yang menderita, “tertikam oleh karena pemberontakan kita, diremukkan oleh karena kejahatan kita” (Yes. 53:5).

Sosok Hamba ini bukanpahlawan yang dielu-elukan, melainkan pribadi yang wajah-Nya tidak dikenali, hinadan tak dihiraukan orang.

Namun justru melalui luka-luka-Nya, kita disembuhkan;
melalui penderitaan-Nya, kita diperdamaikan dengan Allah. Renungan profetikini menjadi jendela yang terbuka menuju misteri salib Kristus.

Dalam terang Ibrani 4:14–16 dan 5:7–9, kita mengenal Yesus sebagai ImamBesar yang bukan hanya mempersembahkan korban, melainkan menjadi korban itu sendiri.

Dalam ketaatan-Nya, Ia menanggung keluh dan jerit umat manusia, “denganratap dan tangis” di hadapan Bapa. Ia taat sampai mati, dan dari ketaatan-Nya itu, lahirlah sumber keselamatan bagi semua yang percaya. Bukan karena kekuatan kita, tetapi karena kasih-Nya yang setia. Puncak dari semuanya terungkap dalam kisah sengsara menurut Yohanes 18:1–19:42.

Dalam Injil ini, Yesus tampak tidak sekadar sebagai korban, tetapi sebagai Raja yang agung, yang mengatur segala langkah menuju penggenapan kasih Allah. Ia tidak lari dari penderitaan, tetapi justru memeluk salib dengan penuhkeagungan.

“Sudah selesai” (Yoh. 19:30)

Kalimat ini bukan ungakapan kekalahan, tetapi deklarasi kemenangan. Sebab dalam saat kematian itu, selubung Bait Suci terbelah, kuasa dosa dan maut diruntuhkan, dan pintu Firdaus kembali terbuka.

Jumat Agung adalah undangan untuk memandang salib bukan dengankengerian semata, melainkan dengan mata iman. Di atas kayu salib, segala luka danderita dunia dipeluk oleh Allah sendiri. Derita bukan lagi akhir dari cerita hidup kita, melainkan jalan menuju pemurnian dan penyembuhan.

Dalam salib, Allah tidakmenjanjikan hidup bebas dari penderitaan, tetapi Ia hadir di dalamnya.

Ia menjadikan setiap air mata yang tumpah dari jatuh bangun perjuangan hidup kita bermakna. Iamengubah setiap luka menjadi pintu kasih. Bagi dunia yang sering kali kehilangan harapan—karena perang, kekerasan, penyakit, dan ketidakadilan—salib Kristus adalah cahaya yang tak padam.

Ketika manusia menyangka segalanya telah berakhir, Tuhan justru memulai sesuatu yang baru. Ketika harapan manusia runtuh, harapan ilahi bersinar: Roh Kudus kini berkarya dalam hati mereka yang terbuka, menerangi, menghibur, dan membarui dunia.

Salib bukan akhir dari hidup, melainkan jalan menuju kepenuhan hidup. Di dalamnya, kita belajar bahwa ketaatan kepada Allah tidak selalu mudah, namun selalu membawa buah keselamatan.

Kita dipanggil bukan hanya untuk mengagumi salib, tetapi untuk memikul salib kita setiap hari, dalam kesetiaan dan cinta, sebagaimanaKristus telah memikul salib-Nya untuk kita.

Hari ini, mari kita hening sejenak di bawah kaki salib. Lihatlah wajah Yesus yang berdarah namun penuh kasih. Dengarkan detak jantung-Nya yang masihberdetak untuk dunia.

Serahkan luka-luka hidup kita kepada-Nya, karena Dia telah memikul semua beban kita. Dan bangkitlah kembali dalam pengharapan: bahwadalam salib, kita menemu kan arti penderitaan; dalam derita, kita menemukankekuatan; dan dalam kematian Kristus, kita menemukan hidup yang tak akan pernahberakhir.

Salib adalah tanda penderitaan yang membawa harapan. Karena itu salibbagi orang-orang Yahudi adalah tanda penghinaan, salib bagi orang-orang Yunani adalah tanda kebodohan, tapi salib bagi kita orang-orang Kristen adalah tandakemenangan.

Sebab di dalam Kristus yang disalibkan, kita percaya: kasih selalu lebih besar daripada maut. **