Antara Hoax dan Terorisme

Oleh : Anton Permana.

Wacana pemerintah melalui statemen Menkopolhukam Wiranto akan menjerat pelaku hoax dengan UU Anti Terorisme kembali membuat gaduh publik nasional. Sampai TV One pun menjadikannya sebagai bahasan khusus di ILC malam tadi (26/03/2019).

Berbagai macam argumentasi dilontarkan oleh para narasumber, para pakar, dan juga pihak politisi. Baik yang pro, maupun yang kontra.

Namun penulis mencoba menganalisis dengan cara yang sederhana saja, apa sebenarnya yang sedang terjadi dinegeri ini. Motivasi dan agenda siapa yang sedang bermain dipusaran politik negara ini. Karena ada semacam tarikan gelombang dahsyat yang seolah tidak rela melihat negara ini hidup dengan tenang dan damai.

Masyarakat seakan dikuras energinya untuk menuju sebuah titik yg bernama perpecahan. Semua komponen bangsa seakan dipaksa untuk saling berbenturan. Setiap spasi perbedaan dielaborasi menjadi sebuah konflik persiteruan yg tajam. Dimana masing pihak mengklaim diri dan kelompoknya yang paling merasa benar, paling cinta negara, paling bersih, dan mempunyai sugesti besar untuk saling menghabisi lawan politik yang tidak sejalan.

Perbedaan garis politik, seolah menjadi sebuah medan pertempuran untuk saling menghabisi satu sama lain. Inilah wajah politik bangsa kita hari ini. Demokrasi tidak lagi menjadi instrumen negara untuk menjadi tools mencapai kesejahteraan melalui pemilu, tetapi telah menjadi ‘tujuan’ politik dalam merebut kekuasaan. Halal maupun haram.

Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Karena bangsa ini tidak kekurangan para pakar dan para intelektual. Namun kita sangat minim akan sosok para negarawan, yang menjadi suluh dalam kegelapan politik, yang menjadi sosok penyejuk ketika situasi politik memanas menggelegak, yang menjadi penengah ketika ada yang bersiteru, yang menjadi bapak bangsa ketika ada anak bangsa yang berkelahi, bisa menjernihkan air yg keruh, serta dapat mengurai benang yang kusut sekusut apapun.

Bangsa ini rindu akan sosok negarawan seperti ini. Bukan pemimpin yang justru jadi provokator untuk mengadu domba rakyatnya sendiri.

Kembali kepada judul diatas. Wacana pemerintah untuk menjerat pelaku hoax dengan UU Anti Terorisme sangat menarik untuk kita bahas. Karena ;

Pertama, kenapa wacana ini diusulkan pemerintah menjelang event Pemilu, dimana pemerintah itu sendiri (rezim berkuasa sekarang ini) adalah bahagian dari peserta kontestasi Pemilu itu sendiri ???

Wajar pertanyaan ini disampaikan oleh masyarakat khususnya para ahli hukum. Karena, wacana ini rentan dengan muatan politik untuk dijadikan sebagai instrumen ‘menggebuki’ musuh politik penguasa hari ini. Instrumen ini sangat rentan dan berbahaya untuk disalah gunakan pemerintah yang berkuasa demi mencapai tujuan politik kekuasaannya.

Kedua, hoax dan terorisme itu kita sepakati bersama sebagai bahaya dan ancaman nyata bagi keutuhan bangsa dan negara. Karena mempunyai daya rusak yang sangat dahsyat terhadap masyarakat. Namun, dalam perspektif penegakan hukum, pemerintah tidak berhak menjustifikasi sepihak setiap tindakan ataupun perbuatan melawan hukum dimasyarakat. Yang berhak itu adalah pihak penegak hukum dlm hal ini pihak penyidik kepolisian maupun kejaksaan.

Namun masalahnya dalam konteks sistem politik Indonesia saat sekarang ini, para penegak hukum samgat rawan untuk dijadikan alat kekuasaan dalam menghabisi lawan lawan politiknya. Karena sistem politik presidensial yang dapat mengangkat Kapolri, Kejagung, bahkan panglima TNI sekalipun menjadikan aparatur negara rentan menjadi alat penguasa.

Ketiga, perlu kesepahaman bersama tentang defenisi hoax dan terorisme ini. Jangan sampai defenisi hoax dan terorisme ini disama ratakan untuk dijadikan ‘stempel’ penguasa dalam memberangus setiap kelompok, orang, yang menjadi musuh politiknya.

Jangan sampai stempel pelaku hoax dan terorisme ini menjadi justifikasi represif pemerintah kepada masyarakat yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah. Hal ini berbahaya, karena hal ini bisa menjadi implementasi kembali ISA (International Security Act) zaman orde baru yang sudah dihapuskan melalui reformasi. Ini jelas langkah mundur bagi semangat reformasi kita.

Keempat, menjerat pelaku hoax dgn terorisme, dapat mengaktifkan naluri otoriter dan kediktatoran penguasa kepada rakyatnya. Karena, prinsip penegakan hukum itu adalah ranah pidana, dimana secara konstitusional pendekatan hukum pidana ini dalam bernegara adalah jalan terakhir dalam mengurus tata kelola negara setelah konstitusi sebagai pengekang kekuasaan, dan kearifan serta kebijaksanaan sebagai ruh mengelola negara. Sesuai dengan misi negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.

Kelima, bagaimana kalau yang melakukan hoax itu adalah bahagian dari penguasa itu sendiri ? Apakah akan berani penegak hukum melakukan penindakan hukum yang sama terhadap masyarakat sesuai azas hukum equality before the law ?

Sedangkan fakta yang terjadi hari ini adalah, telah terjadi diskriminasi dan ketidak adilan hukum secara kasat mata ditengah masyarakat. Bagi yang pro pemerintah, seakan dilindungi dan bisa berbuat apa saja. Namun berbeda apabila yang melakukan pelanggaran hukum itu adalah kelompok yang berseberangan dengan penguasa, penegak hukum akan agresif dan cepat melakukan tindakan hukum.

Keenam, hoax khususnya didunia maya (digital) sebenarnya sudah mempunyai perangkat aturan hukum sendiri untuk mengaturnya yaitu melalui UU ITE. Sedangkan UU terorisme juga mempunyai aturan hukum sendiri yaitu UU Anti Terorisme. Jadi mengkaitkan dan wacana menggunakan UU anti terorisme untuk menjerat pelaku hoax tidak lebih dari bentuk kepanikan tingkat tinggi pemerintah hari ini akan sebuah halusinasi paranoid yang berlebihan dalam menghadapi situasi politik hari ini.

Artinya, ini menunjukan pemerintah yang secara konstitusional itu harus dan wajib NETRAL dalam kegiatan politik praktis, hari ini sudah terseret terlalu dalam kedalam pusaran arus kekuasaan karena secara langsung telah menjadi alat dan hamba sahaya kekuasaan. Ini sangat berbahaya didalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia. Karena pola seperti ini hanya dapat terjadi pada negara komunis dengan partai tunggalnya atau negara berbentuk monarki kerajaan yang diktatorian.

Ketujuh, penulis berhipotesa, menjerat pelaku hoax dengan UU Anti Terorisme hanyalah wacana akal-akalan pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya. Agar mempunyai power yang luas tanpa batas untuk menghabisi musuh politiknya. Menjadikan musuh politik seolah menjadi musuh negara. Memaksa membenturkan antara negara dengan musuh politiknya dengan framing dahsyat bernama hoax dan terorisme.

Kalau dulu trend politiknya menghabisi musuh politik (khususnya ummat Islam) dengan isu radikalisme dan terorisme, sekarang trendnya berubah karena masivenya dunia teknologi digital menjadikan isu hoax dan ujaran kebencian sebagai momok baru bagi negara.

Polanya adalah, membuat framing bahwa pihak yang bersebrangan dengan rezim sekarang adalah kelompok pendukung khilafah, kelompok terorisme radikal, anti pancasila, ingin membuat negara Islam.

Ditambah lagi membangun stigma pihak lawan rezim hari ini adalah pembuat hoax, pembuat ujaran kebencian, dan pemerintahan sekarang inilah yang paling bersih dan suci dimuka bumi ini.

Benang merah antara dua framing ini sudah sangat jelas dan terang benderang dihadapan kita hari ini. Kesimpulannya adalah, semua tidak lebih dari strategi politik penguasa hari ini untuk menggunakan segala cara agar tetap menjadi pemenang pemilu. Jelas sudah semuanya.

Pemerintah yang lagi panik ini, berkeinginan mempunyai kekuasaan yang seluas-luasnya untuk menghabisi para musuh politiknya dgn isu hoax dengan cara penindakan ala menindak teroris. Dan ini sangatlah berbahaya. Indonesia akan menjadi negara paling diktator diatas dunia. Karena negara akan dapat berbuat apa saja, memenjarakan, bahkan menghabisi lawan politiknya kapan saja.

Untuk itu, tidak ada sebaik kita mengembalikan bangsa ini kepada rel nya. Yaitu srbuah bangsa yang berPancasila. Sebuah bangsa yang sebenarnya mempunyai kultur nusantara yang sangat baik, unggul, ramah, welas asih, dan saling menghormati.

Cuma sekarang, ambisi politik berbagai pihak telah mencabik-cabik keharmonisan bangsa ini. Politik telah menjadi panglima. Fungsi negara telah hilang berganti menjadi alat kekuasaan. Dan ini semua harus dihentikan. Dengan cara yang konstitusional. Yaitu memilih pemimpin pemimpin yang negarawan. Bukan ‘kaleng-kalengan’. Wallahualam.

(Penulis adalah alumni PPRA LVIII Lemhannas RI tahun 2018).