Pemimpin Itu Mengambil Alih Masalah Bukan Melempar Tanggung Jawab

Oleh : Tanzil Sa Sejahtera

Benarkah Presiden Jokowi petugas partai atau Boneka mainan yang bisa diatur, diarahkan orang dibelakang, untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan lain dan sebagainya?

Saya tidak mengatakan ya atau tidak! Tapi kalau melihat berbagai fenomena di dunia maya, banyak sekali anekdot, meme, tulisan serta foto yang diposting pengguna Media sosial seolah mengatakan, ya benar, begitulah realita Jokowi?

Lihatlah dunia maya beberapa foto kreatifitas menggambarkan Jokowi bagaikan seorang bayi besar dalam pangkuan ibunya. Kedua gambar itu mirip seperti Megawati dan Jokowi. Tampak Jokowi mengedot ompeng dalam balutan sarung dan Megawati seakan bernyanyi tembang jawa agar bayi besar itu tidur pulas.

Ada pula meme Presiden tertawa terbahak diselingi ucapan imajiner pembuatnya. Dan tidak kalah menarik saat Jokowi sungkem pada Megawati. Di sini tergambar seorang anak yang berbhakti, takut serta patuh kepada ibunya. Gambar semacam itu di share ke media sosial hingga tenar ke publik sejak lama. Beragam pula bentuk dan satire-nya.

Bagi penulis, sebenarnya bukan itu substansinya, meskipun ada kaitannya juga.
Yang lebih penting adalah masalah tanggung jawab seorang pemimpin terhadap tindakan serta sikap dan perilaku bawahan atau pembantu Presiden kepada rakyat sehingga menjadi sorotan dalam maupun luar negeri.

Seperti sekarang, rakyat dihebohkan berbagai pertanyaan serius menyangkut kericuhan aksi 21-22 Mai. Banyak korban tewas, hilang dan masuk ke Rumah Sakit. Hingga sekarang Presiden tidak sepatah kata pun menanggapi hal itu.

Ketika Mabes Polri bertatap muka bersama sejumlah Wartawan baru-baru ini, dijelaskan sejumlah hal dalam kerusuhan 21-22 Mai
yang dipicu aksi demo Bawaslu selama dua hari. Dijelaskan kerusuhan dimulai karena dipicu ulah kelompok masyarakat pelaku perusakan atau vandalisme. Mereka menghancurkan sarana Polisi di komplek Polri di Petamburan dan di Slipi.

Di situ Polisi tidak menjelaskan jumlah korban dari unsur massa yang tewas, hilang serta dirawat. Begitu pula nama, alamat, usia korban. Bahkan masyarakat mengetahui sejumlah pelaku aksi ditahan Polisi dari salah satu ormas yang berinisiatif mencari orang yang belum kembali.

Juru bicara Polri M. Iqbal ketika itu tampaknya lebih fokus menyoroti penyebab bentrokan dan akibatnya kepada petugas lapangan serta kerugian harta benda. saat kerusuhan itu Polisi juga banyak jadi korban. Guna memperjelas di tayangkan slide layar lebar di ruang konferensi Press dan tampak sejumlah aparat sedang di rawat. Ada berat ada ringan.

Sebelumnya, diwaktu rakyat melaksanakan hak demokrasinya 17 April bahkan sesudahnya tercatat lebih 600 KPPS dan petugas lain meninggal. Lebih 11.000 terbaring di RS tidak diketahui lagi perkembangannya, termasuk oleh media.

Saat berita tewasnya ratusan petugas lagi tranding topik di media sosial dan menjadi tanda tanya besar. Sejumlah dokter berinisiatif bahkan menawarkan kepada negara agar dilakukan penyelidikan untuk mengetahui penyebab kematian petugas tersebut.

Presiden Jokowi atas nama pemerintah sedikitpun tidak muncul niatnya menanggapi musibah besar. Padahal sebelumnya jauh menjelang Pemilu, Presiden mengatakan saatnya rakyat melaksanakan pesta demokrasi, “Yang namanya pesta itu mesti senang, damai dengan suasana aman,” ujar Jokowi suatu waktu. Tapi Ketika Pemilu berubah menjadi bencana besar, dia diam.

Ada dua lembaga Pemerintah yang merespon bencana kemanusian pada Pemilu tahun ini. Satu kementerian Kesehatan kedua KPU sendiri.

Menteri Kesehatan menolak adanya pengusutan kematian petugas KPPS secara medis, tanpa menyebut alasannya. Sedangkan Arief Budiman, ketua KPU dengan enteng saja menyimpulkan penyebab kematian yang masif itu kelelahan.? Sedang Bawaslu hanya mengucapkan belangsungkawa melalui Bilboard ukuran besar didinding gedung sebelah atas kantor Bawaslu di jalan Thamrin, Jakarta.

Kedua jawaban pejabat Negara ini justru sebaliknya menimbulkan tanya besar. Mengapa Menkes menolak? Apakah dia tahu penyebab kematian massal. Seandainya terungkap menyebabkan bencana baru pemerintah?

Selain itu, Jika seandainya Menteri Kesehatan tidak taju penyebab kematian, apakah pelarangan otopsi permintaan Presiden sebagai atasannya? Sehingga Menteri hanya menyampaikannya saja ke publik?

Tentang alasan Arief Budiman yang menyimpulkan kelelahan jadi penyebab kematian. Seorang tokoh masyarakat dan mantan penasehat sebuah institusi Negara kepada penulis mengatakan argumennya begini. ” Bila kelelahan penyebab tewasnya ratusan petugas KPPS itu, maka yang mati duluan Jokowi, karena dialah paling lelah selama berbulan berkampanye sambil memikirkan Negara.” Tidurnyapun paling 2-3 jam semalam,” katanya.

Kasus yang dikemukakan di atas, hanyalah sebagian kecil saja masalah dari ekses Pemilu serentak 2019. Akan tetapi mengguncang secara Nasional serta diperhatikan secara serius oleh dunia.

Sedangkan proses terselenggaranya Pemilu sendiri tak pula kalah hebat masalahnya dengan eksesnya. Entah mana yang lebih parah bila membandingkan ke dua hal tersebut. Pemilukah atau eksesnya?

Kesimpulan yang dapat penulis sampaikan di sini, apapun masalahnya, yang terjadi sosok Presiden Jokowi tak terlihat. Dia ada pada acara seremonial atau kegiatan melontarkan kebijakan standar saja. Bila muncul persoalan atas kebijakan tersebut apalagi menyangkut persoalan hukum Jokowi seperti cenderung menyerahkannya kepada Menteri atau pengambil kebijakan di institusi lembaga itu.

Padahal seorang pemimpin tugasnya antara lain mengambil alih masalah, bukan melempar tanggung jawab. Sebab itulah sejatinya salah satu karakter Pemimpin.

(Penulis Wartawan Senior tinggal di Jakarta)