Pimpinan Polri harus Ingatkan Polda Sumbar dan ITWASDA, Polemik Tentang Perkara Bypass Teknik, Akan Membuat Kredibilitas Polri TURUN

KabarDaerah.com – Semuanya kehabisan cara, semua alasan telah dicoba, Jika tidak ditemukan cara lain, maka perkara yang terjadi di Bypass Teknik, harus tetap diproses, karena merupakan Tindak Pidana.

Sebaiknya pembaca diajak melihat jauh ke belakang, bahwa perkara bypass teknik, sebelum dilaporkan, sudah dihalangi. Terbukti 36 kali melakukan menyurati Kapolda Sumbar mulai dari Irjend (Pol) Teddy Minahasa sampai ke Irjen (Pol) Suharyono SIK SH. Semuanya surat kami menerangkan bahwa kami melapor sudah sampai ke Kapolda Sumbar.

Sudah diterangkan bahwa Perkara bypass teknik dihalangi, oleh Pimpinan Polda Sumbar sebelumnya, sepertinya Kapolda Sumbar yang baru lebih memilih untuk menghindar dari pelapor.

Sampai sampai Kapolresta Padang mempergunakan saksi AHLI yang dimitai keterangan atau berpendapatnya, bahwa tanggal perjanjian kerjasama Rusdi dan Indrawan berbeda, dengan demikian surat tersebut tandatangan diduga dipalsukan.

Kata LSM KOAD, justru yang kami lakukan melaporkan terkait Perjanjian kerjasama, Barang Servis dan barang titipan. Polri tidak perlu binggung, asal tujuan Polri adalah membuat terang perkara pidana dan mengungumpulkan bukti. tapi jika tujuan Polri bukan seperti yang disebutkan diatas, maka Polri dipastikan akan malu, dan kredibilitas Polri menurun.

Tanggapan ketua LSM KOAD, ” Perkara yang dilaporkan adalah tindak pidana, sedangkan yang diterangkan ahli adalah tentang perjanjian kerjasama yang menjelaskan hak keperdataan. relevansi antara keduanya perkara tidak ada. Sedangkan yang dilaporkan perbuatan, jika Surat Perjanjian Kerjasama diduga palsu tentunya juga harus diproses secara hukum”, sebutnya.

Antara pemalsuan surat sebagai bukti laporan dan pencurian di Bypass Teknik adalah sesuatu yang berbeda, tidak bisa disamakan.

Terlanjur, apa boleh buat nasi sudah jadi bubur, demikian kata yang pantas bagi sekelompok oknum yang berusaha menggagalkan laporan ketua LSM KOAD.

Mulai dari yang dilakukan Kapolsek Kuranji, penyelidikan tidak dilakukan sesuai aturan hukum dan UU, begitu juga pengaduan di Polresta Padang, menghentikan perkara tersebut tidak sesuai aturan UU.

Terpaksa bohong berkali kali. bahkan Kapolresta Padang Kombes Imran Amir sempat mengatakan kasus dihentikan karena terlapor meninggal dunia, beberapa hari sebelumnya kasat reskrim telah keluarkan surat SPPLid dengan alasan belum alat ada bukti.

Tidak kata yang lebih tepat, ‘ zalim ‘, membiarkan terjadi kejahatan terus menerus setiap hari, bukankah itu zalim yang teramat sangat, kata ketua LSM KOAD.

Tulisan ini sengaja dibuat ketua LSM KOAD untuk menjawab keterangan ahli yang dijadikan alasan Polresta Padang. Dalam usaha memperlambat proses hukum perkara Bypass Teknik.

Kata ketua LSM KOAD, ” Ilmu Itu Adalah Amanah dan harus digunakan untuk menegakkan kebenaran(Hukum, bukan untuk menggagalkan laporan)” , kata ketua LSM KOAD.

lanjutnya, ” Berikutnya penyidik mengganti alasan SPPLidik seenaknya, bahkan bohong berkali kali, sampai minta saksi ahli Dr Fitriati SH MH, namun itu juga sudah gagal, karena pelapor punya bukti rekaman yang mengatakan Fitriati tidak masuk pokok perkara, terakhir guru besar hukum Profesor Ismansyah SH MH, sepertinya juga telah dimanfaatkan penyidik Polresta, untuk untuk mendukung pendapat penyidik dengan mengatakan berbagai hal, terkait menjegal laporan kami “, kata ketua LSM KOAD.

Jawab Profesor Dr Ismansyah SH MH terkait keterangan ahli.

Kata ketua LSM KOAD, sebelumnya kami akan jelaskan tentang arti keterangan ahli menurut UU, sebaiknya penyidik Polri perlu pelajari lagi apa yang dilamksud dari pertanyaan tersebut.

Keterangan Ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan sesuai dengan Pasal 186 KUHAP.

Jadi bukannya kami tidak bersedia mendapatkan keterangan ahli, tidak ada satupun alasan yang diberikan negara melalui UU, sehingga pelapor harus menyediakan Keterangan AHLI yang dimaksud. Harus disadari bahwa penyidik Polri tetap harus melakukan proses hukum atas laporan dari masyarakat, yang terpenting sesuai aturan hukum dan UU, terhadap perkara yang dilaporkan masyarakat.

Keterangan ahli tidak bisa dijadikan alasan untuk menggagalkan, atau menjegal laporan kami. Keterangan ahli adalah salah satu alat bukti, itupun jika hakim bersedia mempergunakan. Sedangkan keputusan hakim hanya membutuhkan keyakinan hakim, setelah, membaca kronologiskejadian, korelasi dari bukti, ketarangan terdakwa, serta petunjuk yang didapat saat penyidikan.

Keterangan ahli adalah salah satu alat bukti ketika dikatakan dipengadilan. Ketika dikatan dalam permintaan keterangan penyidik Polri, nilainya sama dengan yang lain. Kerangan ahli adalah salah satu alat bukti di sidang pengadilan, pasal 186 KUHAP, demikian juga dengan keterangan terdakwa. Pasal 184 KUHAP menetapkan alat bukti adalah surat, petunjuk, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa.

Sedangkan diduga pelaku(terdakwa) Yenita, Ujang panik,  Mulyadi serta rekan rekan bekas karyawan belum dihadirkan guna diminta keterangannya, bahkan sampai hari ini. Telalu dini penyidik untuk memutus bahwa perkara dihentikan dengan SPPP, yang katanya berstatus penyelidikan.

Hal ini sudah membuat kita yang paham tertawa, staus perkara dalam SPPHP tertulis sedang penelitian dokumen. tapi dalam menghentikan dipakai istilah SPPP. bukan nya lucu apa yang dilakukan penyidik Polresta Padang tersebut.

Kenapa penyidik mengutamakan Keterangan Ahli sebagai alat bukti. Disini kita bisa lihat kepentingan Polresta Padang.

Karena hanya itu satu satunya jalan yang memungkinkan Polresta Padang untuk tidak melakukan proses hukum adalah Keterangan Ahli. Ahli mengatakan Perkara Bypass Teknik adalah perdata.

Sehingga pelapor tidak bisa membuktikan laporannya. Dalam hal ini Polri seharusnya malu, ternyata penyidik-penyidik Polri tidak punya kemampuan untuk membuat terang perkara pidana ini (LP/B/28/II/2023/ Polda Sumbar).

Pada hal sebelum dilimpahkan sudah diingatkan bahwa perkara LP/B/28/II/2023/Polda Sumbar, disebabkan oleh beberapa hal seperti:

  1. Perkara yang dilaporkan sebelumnya dialhkan ke pengaduan sehingga Penyidik bebas untuk memutar balik fakta. penyidik bisa menghinlangkan barang bukti, penyidik bisa mengatakan bahwa perkara sedang penyelidikan dll. Padahal berdasarkan barang bukti yang telah disita oleh Polsek Kuranji berupa mesin pompa air Kipor menunjukkan bahwa perkara sudah dalam penyidikan. berdasarkan gembok yang dihilangkan oleh penyidik merupakan tindak pidana yang seharusnya di proses Propam Polda Sumbar. Tapi jusru Propam Polda Sumbar malah melindungi pelapor telah menghilangkan barang bukti tersebut, dan itu dibela oleh IIWASDA dan Bidpropam Polda Sumbar. Ketika Hal ini yang terjadi maka dapat disimpulkan bahwa diduga perkara bypass teknik ini dihalangi mulai dari melapor sampai kepada proses hukum yang seharusnya dilalui.
  2. Enam perkara terjadi di Lima Puluh Kota, daerah hukum perkara TKP bukan Polresta Padang. jadi jelas tidak akan diproses oleh Polresta Padang. namun Dirreskrimum tetap melimpahkan ke Lima Puluh Kota.
  3. Tiga Pengaduan sebelumnya, walau bersusah payah namun tetap saja dihentikan dengan sepuluh kebohongan dari penyidik Polsek dan Polresta Padang.
  4. Katakanlah perkara sebelumnya sulit, Perkara yang dilaporkan berdasarkan LP/B/28/II/2023/Polda Sumbar harus diproses oleh Polda Sumbar, tapi Dirreskrimum jutru melempar ke Polresta Padang. pelapor tidak mengira bahwa halangan tersebut sebenarnya dari pimpinan Polda Sumbar sebelum, terlihat dari kesulitan penyidik Polsek dan Polresta dalam menghentikan perkara sebelumnya. sampai sampai Polsek dan Polresta Padang memeprhgunakan AHLI Profesor Dr Ismansyah SH MH.

Pada hal, sesungguhknya perkara ini, dapat katakan perkara yang sangat mudah. dimana BUKTI lengkap, SUBJEK sudah ada, Perbuatan terlarang jelas jelas dilakukan, Pelanggaran atas UU juga ada, dalam kondisi tertentu juga terjadi. dimana syarat formal dan materil sudah lengkap.

Jadi yang menjadi dasar dari penyidik dalam menangani suatu perkara adalah alat bukti surat, petunjuk, barang bukti, keterangan saksi dari perbuatan diduga sebagai pelaku, Penyidik tidak bisa mengatakan bahwa perkara kami adalah perkara perdata. Tugas Polri adalah melakukan proses hukum sesuai aturan hukum dan UU. Polri tidak boleh berfubgsi sebagai HAKIM, belum apa apa sudah katakan perkara perdata.

Setelah Ombudsman-RI Kompolnas RI meminta klarifikasi kepada Kapolda Sumbar sebagai pimpinan penyidik, diterangkan bahwa penjelasan yang diberikan berdasarkan pendapat ahli adalah sebagai berikut:

Jauh hari sebelumnya Profesor Dr Ismansyah SH MH sudah mengetahui kronologis kejadian Bypass Teknik dari pelapor, dari awal sekitar awal Januari 2021, saat perkara pengaduan masih berada di Polsek Kuranji. Profesor Dr Ismansyah SH MH justru keberatan memberikan pendapat AHLI tersebut.

Namun kata pelapor, bahwa ” ketika kami yang meminta keterangan ahli, hanya dijawab Profesor Dr Ismansyah SH MH dengan menghindar.

Beliau tidak bersedia memberikan keterangan ahli saat itu. Berbagai alasan diberikan sehingga pelapor tidak bisa bertemu.

Kata ketua LSM KOAD, “Saya datang ke tempat Profesor mengajar di kampus S2 Hukum Muaro Padang dengan Rini istri saya ”.

Profesor Dr Ismansyah SH, MH menjelaskan bahwa, jika perkara pidana yang dilaporkan, maka semua barang Bypass Teknik akan disita oleh negara. Jika tidak ingin hak atas seluruh barang barang hilang, disarankan sebaiknya gugat secara perdata.

Selanjutnya kata ketua LSM KOAD, “ Rupanya Profesor Dr Ismasyah SH MH  tidak mengetahui bahwa laporan kami adalah tentang barang service. dan barang yang dititip juga, jadi tidak benar jika Profesor mengatakan hal tersebut.

Selayaknya tanda kita bersyukur bahwa, ilmu yang anugrahkan Tuhan seharusnya dipakai untuk menegakkan kebenaran, bukan melindungi kejahatan”.

“Ketika pelapor menanyakan tentang peristiwa yang kami laporkan, Perdata atau Pidana, Profesor memberikan jawaban mengambang. lain yang ditanya lain yang dijawab”.

Mari kita simak pendapat Profesor Dr  Ismansyah berikut, ketika diminta keterangan penyidik Polresta Padang terkait hal tersebut:

Pertama, Profesor Dr Ismansyah SH MH menanggapi perbedaan, tanggal dalam surat perjanjian kerjasama, sebagai sesuatu yang dapat dicurigai. Berikutnya keterangan Profesor Dr Ismansyah SH MH mengatakan bahwa, surat perjanjian tersebut diragukan kebenarnya dengan kata lain ada pemalsuan”.

Kata ketua LSM KOAD bahwa keterangan Profesor Dr Ismansyah SH MH tidak seperti yang diharapkan. beliau adalah guru besar, selayaknya kata yang keluar dari mulutnya dapat dipercaya. Profesor bersaksi berdasrkan ilmunya. kata ketua LSM KOAD.

Laporan pidana ketua LSM KOAD adalah terkait perbuatan Sekelompok orang (Mulyadi, Faisal Ferdian, Sulaiman Surya Alam, Yenita, Ujang Panik dan beberapa orang bekas karyawan Toko Bypass Teknik.

sangat disayangkan, justru yang disaksikan oleh ahli ini adalah alat bukti pelapor berupa surat perjanjian dan surat setoran modal (yang ditanda tangani oleh Rusdi dan Indrawan). Jika ini yang diragukan pelapor, jika Polri benar benar menegakkan hukum dan keadilan, masih ada bukti lain yang harus digali, seperti bukti setoran uang dari Rusdi, pembayaran yang dilakukan Mulyadi, Faisal Ferdian. Berikutnya bukti sisa barang yang dititip di gudang dan Bypass Teknik.

Seorang Profesor tentunya harus memberikan keterangan yang benar, tidak mengambang, terkait perkara yang dilaporkan, bukan terkait hal lain. Ilmu tentang hukum merupakan amanah.

Tidak wajar jika Profesor Dr Ismansyah SH MH memberikan jawaban lain yang dapat dijadikan alasan oleh penyidik untuk mengatakan bahwa perkara kami perdata.

Sehingga penyidik tidak harus melakukan proses hukum. penyidik sengaja melalaikan bahkan menghalangi penyelidikan.

Penjelasan ketua LSM KOAD/ DPW FRN DPW Sumbar/ Wakil Ketua umum PW FRN bidang DUMAS anggota Polri se Indonesia

Pasal 1320 adalah acuan dalam proses perkara ini, jadi sah atau tidaknya suatu perjanjian, tergantung dari terpenuhinya syarat.

Dalam hal ini Polisi seharusnya bukan pada posisi berlawanan dengan pelapor.

Pelapor hanya menjalankan haknya sebagai pelapor yang diberikan negara melalui Undang Undang.  Menurut ketua LSM KOAD lagi,

“Profesor Dr Ismanyah SH MH adalah seorang guru besar di Universitas Andalas(Unand), beliau adalah Dosen S2 UNAND Kampus di jalan Pancasila Muaro Padang. Selayaknya Ilmu yang ada pada profesor dipergunakan untuk menegakkan hukum. Bukan untuk menjeggal pelapor.

Perjanjian sah atau tidak tergantung dari terpenuhi syarat sah seperti yang kami terangkan berikut:

Kedua, Perkara LP/B/28/II/2023/Polda Sumbar, permintaan keterangan saksi telah dilakukan, beberapa orang telah diminta keteranganya. sekarang penyidik menunggu keterangan ahli dari pelapor.

Tanggapan ketua LSM KOAD,

Intinya, hakim dalam memutuskan perkara, mengacu kepada alat-alat bukti dan barang-barang bukti. Pembuktian merupakan hal yang sangat penting, dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara.

Apa yang dimaksud alat bukti dan apa yang disebut barang-barang bukti, berikut penjelsannya:

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah :

  1.   Keterangan saksi,
  2.   Keterangan ahli,
  3.   Surat,
  4.   Petunjuk, dan
  5.   Keterangan terdakwa.

Pertama. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan dipersidangan (Pasal 185 KUHAP). Dalam sidang pengadilan saksi bisa secara bebas menguraikan fakta-fakta yang diketahuinya, tanpa ada tekanan dan intimidasi. Tetapi keterangan seorang saksi saja tidak cukup. untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sehingga, minimal harus ada dua orang saksi.

Kedua. Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di acara sidang pengadilan (Pasal 186). Bukan yang keterangan yang dimita penyidik. Mana mungkin keterangan ahli bisa dipakai untuk mengatakan perkara yang kami laporkan perdata.

Apalagi perkembangan ilmu dan teknologi, terlebih lagi teknologi informasi berdampak pada kualitas dan modus kejahatan, sehingga memerlukan methode untuk pembuktian yang berbasis pengetahuan dan keahlian.

Siapakah yang dimaksud dengan Ahli..?, sehingga keterangannya diperlukan dan menjadi pertimbangan hakim. Dalam KUHAP tidak ditegaskan kriteria seseorang dianggap sebagai ahli. Namun hemat saya sebagai pelapor, “ seorang akademisi ataupun praktisi yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan dan pengalaman dibidang tertentu, bisa dianggap sebagai ahli. Namun Hakim lah yang akan menilai relevansi keterangan ahli dengan kasus yang sedang disidangkan.

Ketiga, Alat bukti lainnya adalah surat. Surat yang dimaksud disini, haruslah dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah jabatan berupa Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi, yang dibuat oleh pejabat berwenang, surat yang dibuat menurut ketentuan perundangan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu, surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal tertentu yang dimintakan secara resmi padanya.

Keempat. Petunjuk juga merupakan salah satu alat bukti, Petunjuk yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Petunjuk ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP dinyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Kelima. Keterangan Terdakwa. Dimaksudkan dengan keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Sedangkan keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti dipersidangan, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tida cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 KUHAP).

Inti dari ketentuan ini adalah keterangan terdakwa tersebut utamanya dinyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan keterangan di luar sidang, hanya dianggap sebagai tambahan jika diperlukan.

Penjelasan di atas baru terkait alat-alat bukti, belum membahas barang-barang bukti.

Berikutnya akan saya lanjutkan dengan kajian tentang barang-barang bukti.

Perihal barang bukti

Mengenai barang bukti telah diatur 16 klausul ketentuan di dalam KUHAP. yaitu Pasal 5 (1), Pasal 8 (3), Pasal 18 (2), Pasal 21 (1), Pasal 40, Pasal 45 (2), Pasal 46 (2), Pasal 111 (1), Pasal 181 (1), Pasal 194 (1), Pasal Pasal 194 (2), Pasal 194 (3), Pasal 197 (1), Pasal 203 (2), Pasal 205 (2), dan Pasal 273 (3) KUHAP.

Dalam KUHAP memang  tidak disebutkan secara tegas pengertian barang bukti. Namun jika dicermati isi dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa barang bukti ialah setiap benda yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana (delik) atau sebagai hasil dari suatu tindak pidana, atau benda yang digunakan untuk menghalangi proses penydikan suatu tindak pidana, yang disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Apa saja barang atau benda yang disita oleh penyidik yang dapat dijadikan sebagai barang bukti ?

Barang Bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

  • Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  • Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  • Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
  • Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
  • Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang

Dalam prakteknya di pengadilan, perihal barang bukti dinyatakan dengan tegas dalam Amar Putusan Hakim dengan kata-kata, “menetapkan barang-barang bukti berupa, misalnya antara lain dirampas untuk negara, dikembalikan kepada tersangka, dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk digunakan dalam perkara lain”.

Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa alat-alat bukti bertumpu dari informasi yang diberikan oleh orang, baik orang dalam kapasitas sebagai : saksi, ahli, pejabat berwenang, korban, maupun terdakwa tentang telah terjadinya perbuatan tindak pidana.

Sedangkan barang bukti merupakan informasi yang “diterbitkan” oleh suatu barang, baik barang tetap maupun barang bergerak.

Bagaimana jika ada yang merusak, menghancurkan atau menghilangkan barang bukti ? Terhadap hal ini telah ditentukan dalam Pasal  233 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yaitu:

“ Barang siapa yang sengaja merusak, menghancurkan, atau sengaja membuat tidak bisa digunakan lagi atau menghilangkan barang yang digunakan guna menyakinkan atau menjadi bukti kuasa yang berhak atau surat pembukti, surat keterangan, yang sementara atau selalu disimpan berdasarkan perintah kekuasaan umum atau yang diserahkan pada pegawai ataupun pada orang lain untuk kebutuhan jabatan, maka akan dihukum selama 4 tahun penjara ”.

Dalam hal perkara ini, keterangan ahli, hanya salah satu alat bukti, apalagi keterangan ahli yang dibacakan oleh petugas Ombudsman-RI hanya salah satu alat bukti yang diberikan penyidik.

Apalagi keterangan Ahli tersebut tidak memberikan keterangan terkait perbuatan yang dimaksud. penyidik masih berusaha menghalangi berjalannya proses hukum.

Jika surat surat dan barang bukti milik pelapor yang dijadikan alat bukti dipengadilan nantinya palsu, tentunya hal itu masalah lain.

Sekarang yang dilaporkan 15 perkara yang terjadi di Bypass Teknik, salah satunya adalah yang sedang diproses penyidik Polresta Padang. Polisi katanya sudah presisi, tapi kok cara kerjanya seperti ini, kata ketua LSM KOAD.

Negara telah menyediakan pengadilan untuk membuktikan suatu dugaan kejahatan yang telah terjadi, untuk itu diperlukan:

  1. Polisi sebagai penyelidik/penyidik
  2. Jaksa sebagai penuntut umum,
  3. Pengacara/advokat sebagai penasehat hukum.
  4. Pengadilan yang diisi oleh hakim yang berintegritas.

Yang tersebut diatas adalah kekuasaan Yudikatif di negara Indonesia, jadi Polri tidak bekerja sendiri, dan tidak boleh bekerja sendiri, sehingga penyidik Polri seakan akan pelaku tunggal dalam pelaksanaan hukum itu sendiri, Polri seakan akan berhak memutuskan bahwa perkara Bypass teknik adalah perdata, walaupun berdasarkan pendapat seorang PROFESOR DR ISMASYAH SH MH sekalipun. dalam mermberikan pendapatnya, PROFESOR DR ISMASYAH SH MH harus menyadari bahwa polri tidak boleh meutuskan perkara ini perdata atau pidana, Hakim yang seharusnya memutus perkara ini, kata ketua LSM KOAD.

Dalam hal ini pelapor telah menyerahkan barang bukti berupa berbagai surat, foto dan lain lain terkait setidaknya 15 tindak pidana yang terjadi di Bypass Teknik, seperti yang diterangkan dalam kronologis perkara. jsutru dalam proses Kapolsek Kuranji seperti sengaja menghilangan Barang bukti. yang kami serahkan.

Mari kita simak penjelasan melalui tulisan berikut:

Perundang-undangan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Prof. Subekti menyimpulkan bahwa dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dikandung suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian (kebebasan berkontrak).

Perkataan “semua” mengandung pengertian tentang diperbolehkannya membuat suatu perjanjian apa saja (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya, seperti undang-undang, sedangkan Pasal-Pasal lainnya dari hukum perjanjian hanya berlaku bila atau sekadar tidak diatur atau tidak terdapat dalam perjanjian yang dibuat itu (Subekti, 1984).

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas sebagai pancaran hak asasinya. Asas ini berhubungan pula dengan isi perjanjian, yaitu untuk menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perkataan “semua”  mengandung pengertian seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang (Badrulzaman, 2001).

Kebebasan berkontrak berarti kebebasan untuk memilih dan membuat kontrak, kebebasan untuk membuat dan tidak membuat kontrak, dan kebebasan para pihak untuk menentukan isi dan janji mereka, dan kebebasan untuk memilih subjek perjanjian. Dalam hukum kontrak, kebebasan berkontrak memiliki makna yang positif dan negatif. Positif dalam arti para pihak memiliki kebebasan  untuk membuat kontrak yang mencerminkan kehendak bebas para pihak, dan negatif berarti para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak yang mengikat itu tidak mengaturnya (Khairandy, 2003:42).

Kebebasan berkontrak (Freedom of Contract), hingga saat ini tetap menjadi asas penting dalam sistem hukum perjanjian baik dalam civil law system, common law system maupun dalam sistem hukum lainnya. Hal ini dikarenakan, Pertama, asas kebebasan berkontrak merupakan suatu azas yang bersifat universal yang berlaku disemua negara di dunia ini. Kedua, asas kebebasan berkontrak ini mengandung makna sebagai suatu perwujudan dari kehendak bebas para pihak dalam suatu perjanjian, yang berarti juga sebagai pancaran atas pengakuan hak  asasi manusia (Rahman, 2003:15).

Kebebasan berkontrak berkembang sejak lama seiring dengan berkembangnya ajaran laissez faire-nya Adam Smith yang menekankan prinsip non intervensi oleh negara terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar. Smith menginginkan suatu  political economy, agar perundang-undangan tidak digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak, karena kebebasan ini sangat penting bagi kelanjutan perdagangan dan industri. Ajaran para filosof ekonom pada abad XIX seperti dinyatakan oleh Adam Smith dan Jeremy Bentham tersebut, berpandangan bahwa tujuan utama legislasi dan pemikiran sosial harus mampu menciptakan the greatest happiness for the greatest number. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu yang titik tolaknya adalah kepentingan individu pula, dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak (Sjahdeini, 1993:23).

Dalam perkembangannya ternyata asas kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan, karena asas ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah, maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang semacam itu akhirnya akan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak. Dalam perkembangannya asas ini, menimbulkan kepincangan dalam kehidupan masyarakat, sehingga negara perlu turut campur tangan melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan dari asas kebebasan berkontrak untuk melindungi pihak yang lemah (Sjahdeini, 1993:17).

Fenomena adanya ketidak seimbangan dalam berkontrak sebagaimana tersebut di atas dapat dicermati dari beberapa model kontrak, terutama kontrak-kontrak konsumen dalam bentuk standar/baku yang didalamnya memuat klausul-klausul yang isinya (cenderung) berat sebelah. Dalam praktik pemberian kredit di lingkungan perbankan, misal terdapat klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian, atau klausul yang membebaskan bank dari kerugian nasabah  sebagai akibat tindakan bank. Dalam kontrak sewa beli, misalnya terdapat klausul yang berisi kewajiban pembayaran seluruhnya dan seketika apabila pembeli sewa menunggak pembayaran dua kali berturut-turut. Dalam kontrak jual-beli, misalnya terdapat klausul barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan (Hernoko, 2008:3; Sjahdeini, 1993:193-239; Hatta, 2000).

Problematika di atas tentunya merupakan tantangan bagi para yuris untuk memberikan jalan keluar terbaik demi terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan para pihak (win-win solution contract), disatu sisi memberikan kepastian hukum dan disisi lain memberikan keadilan. Meskipun disadari untuk memadukan kepastian hukum dan keadilan, merupakan perbuatan yang amat sulit, namun melalui instrumen kontrak yang mampu mengakomodir perbedaan kepentingan secara proporsional, maka dilema pertentangan “semu” antara kepastian hukum dan keadilan tersebut akan dapat dieliminir. Bahkan akan menjadi suatu keniscayaan terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan para pihak (Hernoko, 2008:6).

Dari deskripsi tersebut di atas terdapat suatu permasalahan untuk selanjutnya dilakukan pembahasan, yaitu bagaimanakah pembatasan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang dilakukan dalam perjanjian komersial?

Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum, namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh faham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance (dan semakin ditumbuhkembangkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah periode Revolusi Perancis. Sebagai asas yang bersifat universal yang bersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas (Sjahdeini, 1993:75; Badrulzaman, :110).

Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan)”. Menurut faham individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak (Hernoko, 2008:94).

Menurut Treitel, asas kebebasan berkontrak dalam sistem hukum Inggris digunakan untuk menunjuk kepada dua asas umum (general principle).

  1. Pertama, mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak. Asas ini tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian oleh para pihak. Ruang lingkupnya meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat.
  2. Kedua, mengemukakan bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian (Sjahdeini, 1993:38-39;  Suryono, 2010:350).

Di Amerika Serikat, kebebasan berkontrak adalah kehendak yang bebas untuk membuat atau tidak membuat suatu perikatan yang mengikat mengenai urusan-urusan pribadi seseorang, termasuk hak untuk membuat perjanjia-perjanjian kerja, dan untuk menentukan syarat-syarat yang dianggap baik sebagai hasil perundingan atau tawar-menawar dengan pihak lainnya. Termasuk pula hak untuk menerima kontrak yang diusulkan pihak lainnya (Sjahdeini, 1993:45).

Dalam doktrin klasik hukum kontrak Perancis menganut paham bahwa kebebasan berkontrak berkaitan dengan kehendak bebas para pihak. Para pihak memiliki otonomi kehendak, yakni kehendak untuk menentukan hukumnya sendiri. Kewajiban kontraktual bersumber dari kehendak para pihak yang menjadi dasar kontrak.

Doktrin ini menekankan pada kebebasan individu untuk membuat kontrak tidak bernama (ombenoemde, innominat contracten); sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, para pihak bebas membuat kontrak yang diinginkan (Khairandy, 2003:91).

Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 ayat (1) BW harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang lain, sebagai berikut (Suryono, 2009:351-353,  Hernoko, 2008:102-103) :

Pasal 1320 ayat (1) jo Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

Pasal 1320 ayat (1) menyatakan sebagian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.

Berdasar dua pasal dalam KUH Perdata tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut Contradictio interminis, adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat.

Adanya konsensus dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt servanda menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati, konsekuensinya hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.

Cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut, seolah-olah membuat pernyataan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian dan mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang bagi yang membuatnya. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketentuan umum dan kesusilaan” (Subekti, 1984:5).

Perkataan “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas ini berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat (Badrulzaman, 2001:84).

Pasal 1320 Poin (4) jo. Pasal 1337 KUH Perdata

Pasal 1320 poin (4) KUHPerdata menyatakan salah satu syarat sahnya perjanjian apabila dilakukan atas “suatu sebab yang halal”. Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Dapat disimpulkan, bahwa asalkan bukan karena sebab (causa) yang halal (dilarang) oleh undang-undang, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.

Pasal 1329 jo. Pasal 1330 dan 1331 KUH Perdata

Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan : “setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh undang-undang”. Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan “tidak cakap untuk membuat perjanjian” adalah :

  1. Orang-orang yang belum dewasa ;
  2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ;
  3. Wanita yang sudah bersuami.

Pasal 1331 KUH Perdata menyatakan “orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka perbuat dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan dalam undang-undang”.

Dapat disimpulkan bahwa KUH Perdata tidak melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendaki. Undang-undang hanya menentukan bahwa orang-orang tertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian.

Setiap orang bebas untuk memilih pihak dengan siapa membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian.

Bahkan, apabila seseorang membuat perjanjian dengan lainnya yang menurut undang-undang tidak cakap membuat perjanjian, maka perjanjian tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

  1. Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian-perjanjian”. Pasal ini menegaskan bahwa asalkan menyangkut barang-barang yang bernilai ekonomis, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.
  2. Pasal 1335 KUHPerdata yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.
  3. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
  4. Pasal 1339 KUHPerdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.
  5. Pasal 1347 KUHPerdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak.
  6. Ketentuan Buku III KUHPerdata kebanyakan bersifat hukum pelengkap (anvullend recht, optional) artinya para pihak dapat secara bebas membuat syarat-syarat atau aturan tersendiri dalam suatu perjanjian menyimpang dari ketentuan undang-undang, namun jika para pihak tidak mengatur dalam perjanjian, maka ketentuan buku III KUHPerdata akan melengkapinya untuk mencegah adanya kekosongan hukum sesuai dengan isi materi perjanjian yang dikehendaki para pihak.
  7. Buku III KUHPerdata, tidak melarang kepada seseorang untuk membuat perjanjian itu dalam bentuk tertentu, sehingga para pihak dapat secara bebas untuk membuat perjanjian secara lisan ataupun tertulis, terkecuali untuk perjanjian tertentu harus dalam bentuk akta otentik.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi :

  1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
  2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
  3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
  4. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.
  5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Sjahdeini, 1993:47).

Dalam hal pembuatan kontrak maka para pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak.
  2. Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai causa.
  3. Tidak mengandung causa palsu (dilarang UU).
  4. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum.
  5. Harus dilaksanakan dengan itikad baik (Hernoko, 2008, 103).

Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak

Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya bergeser ke arah paradigma kepatutan. Walaupun kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting dalam hukum perjanjian baik dalam civil law maupun common law, tetapi ia tidak lagi muncul seperti kebebasan berkontrak yang berkembang pada abad sembilan belas. Sekarang kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta dalam praktek-praktek kegiatan ekonomi dalam masyarakat (Khairandy, 2003:2).

Kebebasan berkontrak memang perlu pembatasan, dikarenakan faktanya kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian komersial sering kali tidak seimbang, sehingga dimungkinkan sekali pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar yang lemah dalam suatu perjanjian akan banyak dirugikan. Lebih-lebih jika pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi yang kuat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah untuk keuntungan bagi pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi kuat tersebut. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan peraturan hukum yang adil.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pembatasan kebebasan berkontrak, diantaranya (Patrik, 1986:9-10; lihat juga Sofwan; Khairandy, 2003:3) :

  1. Makin berpengaruhnya ajaran itikad baik dimana itikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya perjanjian ;
  2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan ;
  3. Berkembangnya lapangan ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-badan hukum, perseroan-perseroan dan golongan-golongan masyarakat lain, seperti buruh dan tani ;
  4. Berkembangnya aliran dalam masyarakat yang menginginkan kesejahteraan sosial ;

Keinginan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah.

Pembatasan kebebasan berkontrak dari negara, misalnya, jelas sekali dalam perundang-undangan, untuk menentukan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan polis asuransi, upah minimum, kondisi kerja dan syarat-syarat kerja, serta program-program asuransi bagi pekerja yang diharuskan sehubungan dengan perjanjian kerja antara pengusaha dan para pekerjanya. Di Amerika Serikat, misalnya campur tangan negara diterapkan pada hukum perburuhan, hukum anti trust, peraturan-peraturan bisnis, dan kesejahteraan masyarakat.

Di Indonesia, pembatasan asas ini, nampak dalam ketentuan berbagai pasal dalam KUHPerdata, sebagaimana telah diuraikan diatas, yaitu : 1320, 1330, 1332, 1335, 1337, 1338, 1339.

Pengadilan dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak juga diberikan sepenuhnya untuk membatasi asas tersebut, apabila memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi dan kewenangan Hakim itu sendiri yang mempunyai otonomi kebebasan yang meliputi (Sutantio, 1990:144):

  1. Menafsirkan peraturan perundang-undangan.
  2. Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar hukum.
  3. Menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan peraturan perundang-undangan.
  4. Dibenarkan pula melakukan contra legem apabila ketentuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum.

Memiliki otonomi yang bebas untuk mengikuti Yurisprudensi.

Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak, apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.

Disini, dapat kita pertanyakan begitu besar keinginan Polri dalam Palda Sumbar, Polresta Padang, Polsek Kuranji untuk tidak melakukan proses hukum laporan perkara bypass teknik, bahkan yang sudah berbentuk LP sekalipun. kata ketua LSM KOAD.

Asas kebebasan berkontrak tidak lagi bersifat absolut, karena dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang, sehingga terjadi suatu penyalahgunaan kesempatan atau keadaan (misbruik van omstandigheden) (Atmadja, 1987:45).

Hakim memiliki kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran rasa keadilan, bukan Polri yang menghambat perkara agar sampai di pengadilan justru menjadi tugas dan fungsi Polri melakukan proses verbal agar perkara sampai dipengadilan. Penyidik punya kepentingan untuk mengupulkan barang bukti dan mengungkap perkara, karena itulah tugas penyidik Polri.

Ketuaq LSM KOAD mempertanyakan PRESISI yang diprogram oleh Kapolri, kenapa bawahannya tidak sejalan dengan progranm tersebut, bukankan hal itu adalah sia sia belaka, jika Kapolri tidak bisa melaksanakan Presisi yang digagas Kapolri, sebaiknya Kapolri jangan mengumbar Polri presisi segala, kata ketua LSM KOAD.

Dalam konteks hukum perjanjian, kewenangan tersebut meliputi kewenangan untuk mengurangi, bahkan meniadakan sama sekali suatu kewajiban kontraktual dari suatu perjanjian yang mengandung ketidakadilan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum sendiri, yaitu merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi perjanjian harus memuat nilai-nilai keadilan, yaitu suatu kepatutan yang berkembang dalam masyarakat (Khairandy, 2003, 35, Subekti, 1984:43, Mertokusumo, 1993:71).

Melalui interprestasi yang baik, hukum akan hidup dari masa ke masa dan memberikan rasa keadilan bagi mereka yang mendambakannya. Ketika menghadapi kasus ataupun sengketa yang mengandung keadaan tertentu atau yang belum diatur dalam perundang-undangan, ataupun telah diatur dalam perundang-undangan, namun substansinya terlalu umum, abstrak, dan bertentangan dengan kepentingan umum atau tidak sesuai dengan kepatutan; maka dalam keadaan seperti ini, hakim harus mengfungsikan dirinya sebagai “judges as laws maker”. Penemuan hukum yang dilakukan tidak sekedar menginterprestasi/melaksanakan undang-undang saja, tetapi juga penemuan hukum, dalam arti melakukan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Setiawan, 1991:140-141;  Lotulung, 1999:55; Harahap, 1977:184; Mertokusumo, 1993:3).

Kesimpulan

Dari apa yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada kebebasan berkontrak (freedom of contract)   yang mutlak.

Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan.

Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Jadi sudah sangat jelas bukan, keterangan ketua LSM KOAD, sekarang tinggal penyidik melakukan tugasnya.

Daftar Pustaka

  • Badrulzaman, Mariam Darus, dkk., 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
  • Harahap, M. Yahya, 1977, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Buku Kesatu, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
  • Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Perjanjian, Yogyakarta, LaksBang Mediatama.
  • Khairandi, Ridwan, 2003, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Pascasarjana.
  • Mertokusumo, Sudikno, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya.
  • Patrik, Purwahid, 1986, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
  • Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung, PT. Alumni.
  • Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia.
  • Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasa.

Jurnal/Majalah

  • Atmadja, Asikin R.Z. Kesuma, 1967, Pembatasa Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan, Varia Peradilan Tahun II, No. 27, Februari.
  • Lotulung, Paulus Effendi, 1999, Peranan Yurisprudensi dalam Sistem Civil Law, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 8.
  • Sutantio, Retnowulan, 1990, Perjanjian Menurut Hukum Indonesia, Varia Peradilan, Tahun V, No. 56, Mei.
  • Suryono, Leli Joko, 2009, Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian, Jurnal Media Hukum, No. 2, Desember.
  • Setiawan, 1991, Pengaruh Yurisprudensi terhadap Peraturan Perundang-Undangan, Varia Peradilan, Tahun VI, No. 65, Februari.

 

Surat hasil klarifikasi Ombudsman RI tanggal 14 November 2021

OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA PERWAKILAN PROVINSI SUMATERA BARAT

Jl. Sawahan No.58, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang  Sumatera Barat No.Telp: 0751-892521, Layanan Pengaduan: 0811 955 3737 .

Email:[email protected], Website:www.ombudsman.go.id

Nomor : B/0679/LM.12-03/0254.2023/XI/2023 14 November 2023

Sifat : Biasa

Perihal : Pemberitahuan Perkembangan Laporan

Yth sdr Indrawan, Jalan Muhammad Yunus, Gg Bali No 6D, RT.03/RW.03, Kel. Lubuk Lintah, Kec. Kuranji, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, 0821 72752694

Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat telah menindaklanjuti laporan Saudara.

Laporan yang Saudara sampaikan mengenai dugaan maladministrasi tidak memberikan pelayanan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu Polresta Padang terhadap keberatan Pelapor terkait substansi surat Nomor: B/3106/VIII/2023/Reskrim,tertanggal 16 Agustus 2023.

Tindak lanjut dimaksud yaitu telah meminta penjelasan/klarifikasi secara langsung kepada terlapor pada tanggal 01 November 2023, bertempat di Mapolda Sumbar.

Penjelasan Terlapor telah disampaikan Ombudsman secara langsung kepada Saudara pada tanggal 14 November 2023, bertempat di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat. Secara tertulis, penjelasan yang disampaikan terlapor tercantum dalam Berita Acara Permintaan Keterangan Nomor: 018994.2023, pada intinya sebagai berikut:

  1. Menindaklanjuti Laporan Polisi Nomor: LP/B/28/II/2023/SPKT/ Polda Sumbar, tanggal 10 Februari 2023, Terlapor meminta klarifikasi kepada Saudara pada tanggal 29 Maret 2023. Saudara hadir memenuhi undangan Terlapor. Permintaan klarifikasi lanjutan dilakukan kepada Saudara pada tanggal 8 April 2023. Pada tanggal 27 Juli 2023, Terlapor juga meminta klarifikasi kepada istri Saudara, anak Saudara atas nama Zaki dan saksi yang dihadirkan atas nama Ilyas.
  2. Pada pemeriksaan tanggal 29 Maret 2023, Saudara mengajukan saksi atas nama Marlin, Ivan, dan Bayu. Saksi tersebut telah dipanggil oleh Terlapor, tetapi tidak dapat dihadirkan oleh Saudara.
  3. Pemeriksaan terhadap Terlapor atas nama Faisal dan Surya Alam dilakukan tanggal 18 Mei 2023. Mulyadi yang merupakan adik kandung Rusdi tidak dapat hadir karena alamat tidak ditemukan. Dari pihak Terlapor menghadirkan saksi atas nama Arif Fuadi yang merupakan Kepala Desa Rambai, Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman. Hal ini dikarenakan surat keterangan kematian Rusdi dari pihak Faisal diketahui oleh Kepala Desa Rambai tertanggal 8 November 2021.
  4. Surat keterangan kematian Rusdi dari Wali Nagari Sarilamak yang dihadirkan oleh Pelapor ditindaklanjuti oleh Polresta Padang dengan surat klarifikasi Nomor: B/1975/V/2023/Reskrim tanggal 28 Mei 2023, namun Wali Nagari Sarilamak tidak memenuhi undangan.
  5. Undangan klarifikasi kepada Lurah Sungai Sapih melalui surat Nomor: B/1974/V/2023/Reskrim tanggal 28 Mei 2023. Lurah tidak memenuhi undangan, sementara penyidik membutuhkan keterangan terkait pembatalan surat keterangan usaha atas nama Indrawan tertanggal 9 November 2021.
  6. Pada saat pemeriksaan 29 Maret 2023, Pelapor menyampaikan bahwa objek laporan polisi adalah penjualan Toko Bypass Teknik tanggal 3 Agustus s/d. 8 November 2021 dengan total senilai Rp288.000.000,00 yang dibagi dua, yang mana sebagian dari nilai tersebut adalah keuntungan yang menjadi hak Pelapor sebesar 40% dengan nilai Rp57.600.000,00. Data tersebut Saudara ambil dari buku penjualan toko tanpa seizin pegawai toko. Atas hal tersebut, Penyidik/Penyidik Pembantu meminta keterangan ahli atas nama Prof. Dr Ismansyah SH, MH, pada tanggal 24 Juli 2023. Menurut Ahli, keabsahan surat diragukan karena tanggal dalam surat perjanjian kerjasama berbeda antara tanggal pembuatan dan tanggal ditanda tangani. Selain itu, Pelapor melakukan hubungan hukum dengan (alm.) Rusdi, bukan dengan anak (alm.) Rusdi/Terlapor. Akibatnya, tidak ada hubungan hukum antara Pelapor dan Terlapor. Penyidik/Penyidik Pembantu memberikan surat pemberitahuan perkembangan hasil penelitian laporan tanggal 16 Agustus 2023 dan menyarankan agar Pelapor menempuh jalur hukum lain.
  7. Setelah Penyidik/Penyidik Pembantu Polresta Padang mendapatkan pelimpahan perkara dari Polda Sumbar melalui Bag Wassidik Polda Sumbar, ditindaklanjuti dengan gelar perkara tanggal 1 Agustus 2023 di Polda Sumbar yang difasilitasi oleh Bag Wassidik. Gelar perkara tersebut dihadiri oleh Saudara, istri Saudara, Faisal, dan Surya Alam. Gelar perkara tersebut juga melibatkan Itwasda, Propam, dan Bidkum Polda Sumbar. Hasilnya sudah disampaikan kepada Saudara bahwa peristiwa yang dilaporkan bukan peristiwa pidana.
  8. Setelah terbit surat pemberitahuan perkembangan hasil penelitian laporan tanggal 16 Agustus 2023, Saudara menyampaikan keberatan terhadap hasil gelar perkara kepada Penyidik atas nama Bripka Dedy Suherman. Saudara juga menyampaikan bahwa Saudara memiliki ahli hukum yang dapat menerangkan bahwa peristiwa yang dilaporkan merupakan peristiwa pidana. Penyidik meminta Saudara untuk menghadirkan ahli hukum tersebut. Saudara menyampaikan bahwa mahal untuk menghadirkan ahli. Penyidik menanggapi Saudara dengan mempersilahkan menyampaikan siapa ahli dimaksud dan Polresta Padang akan menindaklanjuti kepada ahli yang disebutkan. Namun, hingga 1 November 2023, Saudara tidak kunjung memberikan data ahli tersebut kepada Penyidik.
  9. Saat ini LP Nomor: LP/B/28/II/2023/SPKT/Polda Sumbar, tertanggal 10 Februari 2023, belum SP2 Lidik karena masih menunggu apakah Saudara memiliki alat bukti lain berupa ahli pidana. Gelar perkara khusus terhadap LP Saudara akan dilakukan kembali dalam bulan November 2023. Berkaitan dengan hal tersebut, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat meminta Saudara untuk memberikan tanggapan yang disertai dokumen pendukung terhadap pokok penjelasan di atas dalam tenggat waktu 14 hari sejak diterimanya surat ini. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan Saudara tidak memberikan tanggapan, maka pemeriksaan terhadap laporan Saudara dapat dihentikan sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d dan ayat (4) Peraturan Ombudsman Nomor 48 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan.

Demikian, atas perhatian dan kerjasama yang baik diucapkan terima kasih. Kepala Perwakilan,Yefri Heriani

Tembusan Yth:

Ketua Ombudsman Republik Indonesia, di Jakarta.

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BsrE

PENJELASAN PELAPOR TERKAIT HASIL KLARIFIKASI DENGAN TERLAPOR

HASIL KLARIFIKASI DENGAN TERLAPOR OMBUDSMAN

Menindaklanjuti Laporan Polisi Nomor: LP/B/28/II/2023/SPKT/ Polda Sumbar, tanggal 10 Februari 2023, Terlapor meminta klarifikasi kepada Saudara pada tanggal 29 Maret 2023. Saudara hadir memenuhi undangan Terlapor. Permintaan klarifikasi lanjutan dilakukan kepada Saudara pada tanggal 8 April 2023. Pada tanggal 27 Juli 2023, Terlapor juga meminta klarifikasi kepada istri Saudara, anak Saudara atas nama Zaki dan saksi yang dihadirkan atas nama Ilyas.

TANGGAPAN PELAPOR

Benar terlapor telah meminta klarifikasi pada tanggal tanggal 29 Maret 2023. Saya hadir memenuhi undangan Terlapor. Permintaan klarifikasi lanjutan dilakukan kepada Saudara pada tanggal 8 April 2023. Pada tanggal 27 Juli 2023, Terlapor juga meminta klarifikasi kepada istri Saudara, anak Saudara atas nama Muhammad Zaki Arasy dan saksi yang dihadirkan atas nama Muhammad Ilyas. Tetapi tidak benar tanggal 29 Maret 2023, Saya mengajukan saksi atas nama Ivan dan Bayu. IVAN DAN BAYU adalah Karayawan Faisal tidak mungkin mau bersaksi untuk saya),Tapi benar atas nama Marlim. Marlim benar telah diundang oleh penyidik, tetapi saat itu, tidak bisa hadir, karena ada urusan keluarga ke Bandung.

HASIL KLARIFIKASI DENGAN TERLAPOR OMBUDSMAN

Pemeriksaan terhadap TERLAPOR atas nama Faisal dan Surya Alam dilakukan tanggal 18 Mei 2023. Mulyadi yang merupakan adik kandung Rusdi tidak dapat hadir karena alamat tidak ditemukan. Dari pihak Terlapor menghadirkan saksi atas nama Arif Fuadi yang merupakan Kepala Desa Rambai, Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman. Hal ini dikarenakan surat keterangan kematian Rusdi dari pihak Faisal diketahui oleh Kepala Desa Rambai tertanggal 8 November 2021.

TANGGAPAN PELAPOR

Mulyadi, Faisal Ferdian dan Sulaiman Surya Alam adalah terlapor sehingga ketika Mulyadi tidak hadir memberikan keterangan tentunya keterangan tidak lengkap, karena keterangan mereka nantinya akan menjadi keterangan terdakwa Dalam sidang di pengadilan nantinya adalah salah alat bukti. Keterangan mereka sangat penting karena mereka diduga sebagai pelaku tindak pidana yang dilaporkan.

HASIL KLARIFIKASI DENGAN TERLAPOR OMBUDSMAN

Surat keterangan kematian Rusdi dari Wali Nagari Sarilamak yang dihadirkan oleh Pelapor ditindaklanjuti oleh Polresta Padang dengan surat klarifikasi Nomor: B/1975/V/2023/Reskrim tanggal 28 Mei 2023, namun Wali Nagari Sarilamak tidak memenuhi undangan.

Undangan klarifikasi kepada Lurah Sungai Sapih melalui surat Nomor: B/1974/V/2023/Reskrim tanggal 28 Mei 2023. Lurah tidak memenuhi undangan, sementara penyidik membutuhkan keterangan terkait pembatalan surat keterangan usaha atas nama Indrawan tertanggal 9 November 2021.

TANGGAPAN PELAPOR

Kami kutip dari jawaban diatas, bahwa penyidik membutuhkan keterangan terkait pembatalan surat keterangan usaha/SKU atas nama Indrawan tertanggal 9 November 2021.

Pada hal laporan kami tidak terkait dengan bukti SKU. bahwa Polisi punya kepetingan untuk menggagalan, menjegal laporan kami. Tidak terbantahkan, kami mengalami sendiri.

Laporan kami di Polresta Padang waktu kejadian Tindak Pidana  adalah tanggal 3 Agustus 2021 s/d 8 November 2021, sebelum Rusdi meninggal dunia. Jadi, keterangan Lurah Sei Sapih dan keterangan Wali Nagari Sarilamak tidak diperlukan.

Dari hasil klarifikasi dengan penyidik Polresta Padang diketahui bahwa, Ketika kami melaporkan perbuatan seseorang (Subjek), seharusnya yang diselidiki adalah Apa dan bagaimana terjadinya perbuatan terduga si pelaku, selanjutnya penyidik mendalami data penjualan yang dilaporkan. Dalam catatan harian, terdapat Vibrator EY.2.0 , Scafolding dan kelengkapannya, dll. Bukan mempermasalahkan buku penjualan yang saya ambil dari toko Bypass Teknik.

Penyidik seharusnya, meminta keterangan saksi yang melihat kejadian tersebut, melakukan olah TKP di tempat kejadian perkara/TKP guna membuat terang perkara pidana yang kami laporkakan.

Sementara yang diutamakan oleh penyidik adalah pemeriksaan saksi kepemilikan barang dan bukti kepemilikan Barang. Artinya penyelidikan yang dilakukan masih bertujuan sama dengan tiga pengaduan sebelumnya.

Benar apa yang telah pelapor katakan sebelum ke Dirreskrimum dan Kapolda Sumbar melalui surat, laporan mingguan. Dengan dilimpahkannya laporan kami  ke Polresta Padang. akan terjadi konflik kepentingan, karena pengaduan yang lebih mudah, tidak bisa diselesai/disidik oleh Polresta Padang, salah satu perkara, TKP nya di Limapuluh Kota, juga tidak akan diselidiki oleh Polresta Padang, ditambah janji dari Kapolda untuk melakukan proses hukum di Polda Sumbar.

Dengan demikian Dirreskrimum dan Bagwassidik tidak patuh dengan Kapolda Sumbar. Dari cara penyidik Polresta Padang melakukan penyelidikan, terlihat bahwa Polresta Padang berkeinginan sekali menghalangi/menggagalkan laporan kami, bahkan jika tetap terpaksa berjalan, akan menjegal laporan kami.

Usaha tersebut terlihat:

  • Pertama, dari kebohongan-kebohongan yang dilakukan sebelumnya
  • Kedua, perbuatan dalam melakukan penyelidikan, jelas-jelas tidak berkeadilan. Karena mendahulukan pemeriksaan saksi ahli dari saksi perbuatan.
  • Ketiga, bahkan penyidik Polresta Padang seperti sengaja melalaikan proses yang seharusnya dilakukan. sambil mencari jalan lain, hingga bisa mengatakan perkara tersebut adalah perkara perdata.

Jalan lain yang dimaksud adalah meminta kerangan saksi ahli. Pada hal terduga pelaku Mulyadi  saja belum dipanggil/diundang, tentunya belum dimita keterangan. Oleh sebab itu, kami sangat keberatan dengan cara yang dilakukan penyidik Polresta Padang, dalam menangani perkara yang kami laporkan.

Dapat menduga bahwa laporan Perkara LP/B/28/II/2023/Polda Sumbar akan kembali dihentikan, seperti tiga pengaduan sebelumnya.

Seharusnya, setelah saksi-saksi diperiksa, penyelidikan lanjutan dilakukan dengan melakukan olah TKP (Toko Bypass Teknik), menyita mesin Kipor 4 inc yang tersisa, mesin Robin EY.2.0, menghitung seluruh barang yang tersisa, memasang garis Polisi. (sempurnakan penyelidikan lanjutan)

HASIL KLARIFIKASI DENGAN TERLAPOR OMBUDSMAN

Pada saat pemeriksaan 29 Maret 2023, Pelapor menyampaikan bahwa objek laporan polisi adalah penjualan Toko Bypass Teknik tanggal 3 Agustus s/d. 8 November 2021 dengan total senilai Rp288.000.000,00 yang dibagi dua, yang mana sebagian dari nilai tersebut adalah keuntungan yang menjadi hak Pelapor sebesar 40% dengan nilai Rp57.600.000,00. Data tersebut Saudara ambil dari buku penjualan toko tanpa seizin pegawai toko. Atas hal tersebut, Penyidik/Penyidik Pembantu meminta keterangan ahli atas nama Prof. Ismansyah, pada tanggal 24 Juli 2023. Menurut Ahli, keabsahan surat diragukan karena tanggal dalam surat perjanjian kerjasama berbeda antara tanggal pembuatan dan tanggal ditandatangani. Selain itu, Pelapor melakukan hubungan hukum dengan (alm.) Rusdi, bukan dengan anak (alm.) Rusdi/Terlapor. Akibatnya, tidak ada hubungan hukum antara Pelapor dan Terlapor. Penyidik/Penyidik Pembantu memberikan surat pemberitahuan perkembangan hasil penelitian laporan tanggal 16 Agustus 2023 dan menyarankan agar Pelapor menempuh jalur hukum lain.

Tanggapan Pelapor

“Data tersebut Saudara ambil dari buku penjualan toko tanpa seizin pegawai toko”

agar penyidik Polri paham, maka pelapr menjelaskan

Kepemilikan usaha dan barang objek kerjasama yang berada di usaha Toko Bypass Teknik adalah pemilik modal, sehingga buku buku penjualan harian tentunya juga milik kami berdua dengan Rusdi. Sehingga tidak ada salahnya jika buku tersebut saya ambil, dasarnya ada di perjanjian kerjasama(Rusdi dan Indrawan). Pegawai toko adalah karyawan usaha Bypass Teknik yang digaji setiap hari. Karyawan tidak punya hak atas kepemilikan barang objek usaha Toko Bypass Teknik.

Dikutip “ Menurut Ahli, keabsahan surat diragukan karena tanggal dalam surat perjanjian kerjasama berbeda antara tanggal pembuatan dan tanggal ditandatangani.

Keabsahan Surat Perjanjian Kerjasama tidak tergantung dari perbedaan tanggal, tapi tergantung dari terpenuhinya pasal 1320 KUHAP. Selama perjanjian tersebut memenuhi syarat sah, maka tidak ada satu orang pun yang dapat mengatakan diragukan (kecuali Rusdi) walaupun itu dari keterangan ahli (Profesor Dr Ismasyah SH MH).

Pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian kerjasama diperlukan adanya syarat sah seperti, “sepakat, cakap, Hal terntu, Sebab yang halal. Sedangkan pasal 1338 menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Tentunya bukan bagi pihak lain.

Jadi Pihak yang diikat dengan perjanjian kerjasama adalah Rusdi, bukan pihak lain. Pihak lain tidak boleh mengambil manfaat dari objek perjanjian kerjasama tersebut. negara telah berlaku adil dengan dinyatakan bahwa pihak ketiga/lain tidak bisa menaggung akibat perjanjian kerjasama tersebut (pasal 1340 KUHAP).

Polri harus benar benar memahami bahwa aturan hukum baik hukum perdata, maupun hukum pidana, semua menjadi acuan ketika Polri mengungkap perkara. Polri tidak boleh melanggar perkapolri nomor 7 tahun 2022 tentang KEPP. disitu ditulis jelas bahwa Polri dilarang berbagai hal tentang pelaknsanaan penyelidikan atau penyidikan. Bahkan mulai dari melapor

Hanya kami berdua dengan Rusdi yang memiliki hak dalam usaha tersebut, apalagi jika kita lihat Pasal 1340 KUHPerdata lebih jelas lagi hak Rusdi dan Indarawan. Sedangkan pihak lain atau pihak ketiga tidak boleh mengambil manfaat dari perjanjian kerjasama Rusdi dan Indrawan.

Jika dikatakan bahwa perjanjian kerjasama tidak sah, tentunya kita harus mengetahui bahwa syarat sah suatu perjajian kerjasama pasal 1320 KUHPerdata, jika Subjek bermasalah diselesaikan dipengadilan. tapi, jika Objek yang bermasalah Perjanjian kerjasama batal demi hukum.

Pasal 1646 KUHPerdata berbunyi “persekutuan modal bubar jika salah satu meninggal dunia”.

Dikutip “ Pelapor melakukan hubungan hukum dengan Rusdi(alm), bukan dengan anak Rusdi(alm)/Terlapor. Akibatnya, tidak ada hubungan hukum antara Pelapor dan Terlapor”.

Bahwa benar tidak ada hubungan hukum antara pelapor dan terlapor, sesungguhnya tidak diperlukan adanya hubungan hukum, dalam kejadian ini justru, jika ada hubungan hukum, penggelapan atau perdata dulu.

Karena memang tidak ada hubungan hukum Indrawan dengan terlapor, maka seluruh yang diambil oleh pihak ketiga/lain (anak, adik Rusdi) adalah pencurian.

Karena ada yang gembok yang dirusak kemudian gembok tersebut hilang dari BAP Polsek Kuranji, makanya kami menduga telah terjadi pencurian dengan pemberatan.

Justru karena tidak ada hubungan hukum (tidak ada hak), pelaku mengambil tanpa hak, seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain. 40% modal Bypass Teknik kepunyaan saya(pelapor).

Hasil Klarifikasi Dengan Terlapor 

Setelah terbit surat pemberitahuan perkembangan hasil penelitian laporan tanggal 16 Agustus 2023, Saudara menyampaikan keberatan terhadap hasil gelar perkara kepada Penyidik atas nama Bripka Dedy Suherman.

Saudara juga menyampaikan bahwa Saudara memiliki ahli hukum yang dapat menerangkan bahwa peristiwa yang dilaporkan merupakan peristiwa pidana. Penyidik meminta Saudara untuk menghadirkan ahli hukum tersebut. Saudara menyampaikan bahwa mahal untuk menghadirkan ahli. Penyidik menanggapi Saudara dengan mempersilahkan menyampaikan siapa ahli dimaksud dan Polresta Padang akan menindaklanjuti kepada ahli yang disebutkan. Namun, hingga 1 November 2023, Saudara tidak kunjung memberikan data ahli tersebut kepada Penyidik.

Tanggapan Pelapor

Janganlah zalimi masyarakat, kami sebagai pelapor sudah sangat capek, sampai sampai SPPHP dirubah,  kepanjangannnya dari Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan menjadi Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penelitian Dokumen.

Sebagai Pelapor, Kami tidak pernah memiliki ahli hukum Pidana, dan tidak pernah mengatakan bahwa kami memiliki ahli hukum kepada penyidik. Selain tidak punya kepentingan, kami tidak punya uang untuk membayar ahli pidana.

Polri jangan lupa bahwa Kami melapor diberikan hak oleh Negara untuk itu kami dilindungi oleh UU, Polri adalah sebagai penegak hukum yang ditugaskan oleh Negara Polri jauga diatur oleh UU dan aturan lainnya. Polri tidak bisa bebas melakukan segala sesuatunya, semua diatur oleh KUHAP dan Perkapolri, mulai dari melapor, penyelidikan ataupu penyidikan, sampai kepada hal hal yang dianggap perlu untuk mengungkap suatu perbuatan pidana.

Muali dari Kapolri sampai Kapolda, Kapolresta, Kapolsek, diwajibkan oleh negara untuk menegakkan aturan dan UU tersebut. Tidak benar jika suatu aturan yang dibuat oleh Polri sehingga melappor, penyelidikan penyidikan terganggu. bahkan sampai sampai Polri seakan akan memutus perkara, seakan akan Polri mengambil alih fungsi hakim.

Hasil Klarifikasi Terlapor Ombudsman

Saat ini LP Nomor: LP/B/28/II/2023/SPKT/Polda Sumbar, tertanggal 10 Februari 2023, belum SP2 Lidik karena masih menunggu apakah Saudara memiliki alat bukti lain berupa ahli pidana.Gelar perkara khusus terhadap LP Saudara akan dilakukan kembali dalam bulan November 2023.

Berkaitan dengan hal tersebut, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat meminta Saudara untuk memberikan tanggapan yang disertai dokumen pendukung terhadap pokok penjelasan di atas dalam tenggat waktu 14 hari sejak diterimanya surat ini.

Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan Saudara tidak memberikan tanggapan, maka pemeriksaan terhadap laporan Saudara dapat dihentikan sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d dan ayat (4) Peraturan Ombudsman Nomor 48 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan.

Tanggapan Terlapor atau ketua LSM KOAD atau Wakil Ketua Umum

Dalam hal perkara ini, keterangan ahli, hanya salah satu alat bukti, apalagi keterangan ahli yang dibacakan oleh petugas Ombudsman-RI tidak menunjukkan bahwa Polri terbebas dari kepentingan, ketika Polri mematuhi tugas dan wewenangnya seperti taat dan patuh dengan Tribrata dancatur karya, UU kepolisian, seharusnya Polri melakukan penyelidikan terkait perbuatan, bagaimana terpenuhinya unsur pidana pasal yang disangkakan. Kesaksian ahli, hanya salah satu alat bukti. Hakimlah yang ditugaskan negara untuk memgadili perkara dalam sidang pengadilan.

Keterangan Ahli Prof Ismansyah tidak memberikan keterangan terkait perbuatan yang dimaksud. Keterangan Ahli Prof Ismansyah sebagai guru besar Unand malah memberikan keterangan yang menguatkan bukti pelapor adalah diduga palsu karena tanggal berbeda.

Dalam hal ini, maksud dari penyidik dapat dibaca dari cara kerja yang dilakukan.dalam hal laporan kami penyidik tidak berbuat sebagaimana seharusnya, penyidik ikut serta menghalangi berjalannya proses hukum.

Jika surat surat dan barang bukti milik pelapor yang dijadikan alat bukti dipengadilan nantinya palsu, tentunya hal itu masalah lain.

Sekarang yang dilaporkan 15 perkara yang terjadi di Bypass Teknik, salah satunya adalah yang sedang diproses penyidik Polresta Padang.

Pasal 1320 adalah acuan dalam proses perkara ini, jadi sah atau tidaknya suatu perjanjian, tergantung dari terpenuhinya syarat, bukan dari perbedaan tanggal perjanjian kerjasama(kesalahan yang tidak disengaja), selain perjanjian kerjasama pelapor punya bukti setoran modal sebesar Rp72.500.000 berupa mesin mesin bekas yang telah dibeli, ditanda tangani oleh Rusdi dan Indrawan.

Dalam hal ini Polisi seharusnya bukan pada posisi berlawanan dengan pelapor. Dimana Pelapor hanya menjalankan hak sebagai pelapor yang diberikan UU.

Menurut pelapor, “ Profesor Dr Ismanyah SH MH adalah seorang guru besar di Universitas Andalas (Unand), beliau adalah Dosen S2 UNAND Kampus di jalan Pancasila Muaro Padang. Selayaknya Ilmu yang diliki Profesor dipergunakan untuk menegakkan hukum, bukan untuk menjegal pelapor.

Dikutip Perkara LP/B/28/II/2023/Polda Sumbar, dalam hal permintaan keterangan saksi telah dilakukan, beberapa orang telah diminta keteranganya. namun ada beberapa yang belum dilakukan seperti Yenita, Ujang panik, Mulyadi, dan beberapa orang lainnya,  sekarang penyidik justru menunggu keterangan ahli dari pelapor.

Tanggapan pelapor,

Intinya, HAKIM dalam memutuskan perkara, mengacu kepada alat-alat bukti dan barangbarang bukti. Pembuktian merupakan hal yang sangat penting, dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara.

Apa yang dimaksud alat bukti dan apa yang disebut barang-barang bukti, Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah :

  1.   Keterangan saksi, (dipersidangan)
  2.   Keterangan ahli, (dipersidangan)
  3.   Surat, (Copy bukti awal yang diberikan ke penyidik)
  4.   Petunjuk, dan didapatkan oleh penyidik dari penyelidikan/penyidikan
  5.   Keterangan terdakwa. (dipersidangan)

Ketua LSM KOAD menjelaskan perihal alat bukti diatas secara lengkap:

  1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan dipersidangan (Pasal 185 KUHAP). Dalam sidang pengadilan saksi bisa secara bebas menguraikan fakta-fakta yang diketahuinya, tanpa ada tekanan dan intimidasi. Tetapi keterangan seorang saksi saja tidak cukup. untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sehingga, minimal harus ada dua orang saksi.
  2. Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di acara sidang pengadilan (Pasal 186). Bukan yang keterangan yang dimita penyidik Polri. Mana mungkin keterangan ahli bisa dipakai untuk mengatakan perkara yang kami laporkan perdata. Apalagi perkembangan ilmu dan teknologi, terlebih lagi teknologi informasi berdampak pada kualitas dan modus kejahatan, sehingga memerlukan methode untuk pembuktian yang berbasis pengetahuan dan keahlian. Siapakah yang dimaksud dengan Ahli..?, sehingga keterangannya diperlukan dan menjadi pertimbangan hakim. Dalam KUHAP tidak ditegaskan kriteria seseorang dianggap sebagai AHLI tersebut. Namun hemat kami sebagai pelapor, “ seorang akademisi ataupun praktisi yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan dan pengalaman dibidang tertentu, bisa dianggap sebagai ahli. Namun Hakim lah yang akan menilai relevansi keterangan ahli dengan kasus yang sedang disidangkan.
  3. Alat bukti lainnya adalah surat. Surat yang dimaksud disini, haruslah dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah jabatan berupa Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi, yang dibuat oleh pejabat berwenang, surat yang dibuat menurut ketentuan perundangan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu, surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal tertentu yang dimintakan secara resmi padanya.
  4. Petunjuk juga merupakan salah satu alat bukti, Petunjuk yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP dinyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
  5. Keterangan Terdakwa. Yang dimaksudkan dengan keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sedangkan keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan hanya dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti dipersidangan, asalkan keterangan itu didukung oleh satu alat bukti yang sah, sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Dia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain (Pasal 189 KUHAP). Inti dari ketentuan ini adalah keterangan terdakwa tersebut yang utama adalah dinyatakan dalam persidangan di pengadilan. Sedangkan keterangan di luar sidang, hanya dianggap sebagai tambahan jika diperlukan, demikian penjelasan terkait alat-alat bukti.

Jadi tidak pada tempatnya, ketika keterangan ahli dijadikan oleh penyidik sebagai alasan utama dalam menghentikan perkara. Ketika pelapor tidak memberikan saksi ahli, laporan dihentikan. Pada hal, laporan Bypass Teknik diduga telah terjadi setidaknya 15 peristiwa pidana. Perkara  LP/B/28/II/2023/Polda Sumbar baru yang ketiga, masih ada 11 peristiwa pidana yang akan dilaporkan.

Terakhir, kami telah sampai di Kompolnas RI, klarifikasi telah dilakukan dengan Kaplda Sumbar dan dijawab oleh ITWASDA.

Ketua yakin bahwa ITWASDA seblumnya telah meminta jawaban dari penyidik terkait, bahkan sampai mabes Polri jawaban ITWASDA sama.

Kata kunci Bidpropam Polda Sumbar menghadapi perkara ini, terindikasi melindungi pelapor Polsek Kuranji dan Polresta Padang, Bidpropam Polda Sumbar tidak segan segan mengatakan Ne Bis In Idem. walau sebenarnya Bidpropam tau, Nidpropam berharap pelapor bypass teknik dungu, tidak paham dengan hukum.

Mabes Polri menghadapi perkara ini seperti kebingungan, penyidik Divpropam dan ITWASUM Polri berpangkat jendral bintang satu, seperti menghindar dari perkara ini. begitu juga hal nya dengan ITWASUM Polri juga Jendral bitang satu, juga demikian halnya. Mereka seakan sudah tau. Kata wakil ketua umum Bidang Dumas anggota Polri se Indonesia.  (Red)