Riba Versus Sedekah II

OPINI & ARTIKEL107 Dilihat

Oleh: Prof Emeraldy Chatra

RIBA bukan sekedar nama. Riba adalah alat untuk menguasai, menindas dan menghancurkan manusia, bangsa dan negara. Agar daya hancurnya lebih efektif tapi tidak terasa pada awalnya dibuatlah sistem ekonomi berbasis riba yang lazim disebut sistem ekonomi ribawi . Praxis utama dari sistem ekonomi ribawi adalah utang, sehingga utang dan riba selalu bergandengan tangan. Nama lain dari utang adalah kredit dan loan.

Dalam sistem ekonomi ribawi orang didorong agar selalu berutang dan menggemari utang, terutama kepada bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank. Sebagian orang, saking gemarnya berutang, mengalami semacam gangguan kejiwaan yang pantas diberi nama credit addict. Penderita credit addict selalu membeli benda-benda yang ia butuhkan secara kredit atau utang walaupun sebenarnya ia sanggup membayar tunai.

Berutang kini bukan hanya kegemaran individu, tapi juga badan-badan usaha bahkan negara. Sekarang agaknya tidak ada lagi negara di dunia yang tidak berutang kepada negara lain, atau berutang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF.

Ketika nilai tukar mata uang asing berada pada posisi stabil kebanyakan orang lupa bahaya yang tersimpan di balik utang yang mereka buat. Mereka mulai gelisah, kemudian menjerit ketika nilai mata uang mereka merosot tajam. Apa pasalnya?

Mari belajar dari apa yang terjadi di tahun 1998, ketika krismon (krisis moneter) melanda negara-negara ASEAN dan sejumlah negara lain di luar ASEAN seperti Korea dan Jepang. Indonesia termasuk salah satu negara ASEAN yang mengalami badai krismon dengan akibat yang parah.

Saya masih ingat suasana tahun 1998, ketika perusahaan banyak yang kolaps, baik karena harga mata uang asing terutama US dollar membubung sehingga tidak mampu lagi mengimpor komponen produksi. Akibat melonjaknya harga US dollar terjadi penarikan uang besar-besaran dari bank yang menyebabkan sejumlah bank jadi bangkrut.

Untuk menjaga cadangan dana, bank menaikkan suku bunga tinggi-tinggi. Maksudnya agar orang tidak menarik uangnya. Usaha itu efektif menarik perhatian para pemburu riba yang tidak melakukan transaksi dengan mata uang asing. Namun pada saat yang sama juga terjadi penarikan uang karena orang butuh rupiah lebih banyak untuk membeli mata uang asing biar tetap bisa mengimpor atau membayar utang valas yang jatuh tempo.

Di pihak lain orang tidak mampu lagi melakukan peminjaman karena suku bunga yang sangat tinggi. Pinjaman dengan bunga fluktuatif pun didera kenaikan suku bunga. Karena situasi keuangan sudah sangat buruk mereka memilih tutup toko dan pabrik. Kredit macet dengan sendirinya ikut mengacaukan dunia keuangan.

PHK massal terjadi dimana-mana karena badan usaha swasta kehabisan napas. Masyarakat pun panik bukan main karena kehilangan pekerjaan padahal menanggung utang kredit tidak sedikit. Sebagian ada yang benar-benar senewen melihat mobil dan rumahnya disita. Sorga utang mendadak jadi neraka yang menyengsarakan.

Akibat kenaikan harga mata uang asing maka mata uang lokal tersedot ke pundi-pundi penjual mata uang asing. Contohnya, bila sebelumnya hanya perlu Rp 8.000 untuk membeli satu dollar AS, sekarang perlu Rp 15.000. Tentu untuk dapat satu US dollar dibutuhkan rupiah lebih banyak.

Mengalirnya rupiah ke pundi kelompok tertentu dengan sendirinya menyebabkan krisis likuiditas. Kelompok itu tidak akan menggelontorkan rupiah yang sudah ada di tangan mereka selain untuk kembali membeli mata uang asing dan menjualnya dengan harga lebih tinggi.

Uang hanya berputar di sektor itu saja, tidak mampir di sektor real. Mereka mencetak keuntungan untuk memperbesar skala bisnis keuangan atau menyimpan di bank untuk mendapatkan riba yang lebih tinggi. Jangan harap UMKM akan kecipratan agak sedikit saja dari laba mereka.

Keadaan makin parah dengan kebijakan bunga tinggi dari lembaga perbankan, yang menghambat aliran dana ke kantong masyarakat. Uang yang dapat keluar pun tidak mengalir ke masyarakat tapi kepada pedagang valas karena pada masa itu perdagangan valas sangat menguntungkan. Bila kita ibaratkan uang itu air, dan masyarakat adalah ikan, dalam masa krismon 1998 masyarakat seperti ikan yang megap-megap akibat kekeringan air.

Krisis likuiditas yang mengacaukan perekonomian sudah menjadi resiko sistem ekonomi ribawi. Peredaran uang sangat rentan terhadap kenaikan suku bunga dan dinamika pasar mata uang. Lembaga keuangan dalam sistem ekonomi ribawi seakan mempunyai kompresor yang dapat menyedot uang dari masyarakat, kemudian menumpuknya, menyalurkan ke sektor yang menguntungkan mereka saja, dan hanya akan menyalurkan kepada masyarakat apabila nafsu menyedot uangnya (dengan riba dan utang) terlampiaskan.

Sebenarnya ketika terjadi krisis likuiditas uang yang berada di tangan masyarakat masih banyak, bahkan sangat banyak. Tapi uang itu tersebar di kantong-kantong warga. Ada yang jumlahnya hanya beberapa puluh ribu rupiah, ada juga yang beberapa juta. Penyebaran yang sedemikian rupa menyebabkan uang itu tidak mempunyai kekuatan menyelamatkan masyarakat ketika terjadi krisis likuiditas.

Pada saat itulah sedekah menjadi jalan keluar paling jitu untuk menyelamatkan masyarakat dari deraan krisis. Melalui sedekah yang terkelola sebagian dari uang masyarakat dapat dimobilisasi kemudian disalurkan kembali ke sektor real baik melalui hibah, pinjaman tanpa bunga, atau syirkah (kerja sama).

Dengan adanya pembagian uang sedekah secara cuma-cuma kaum miskin yang tidak sanggup membeli beras dapat diselamatkan. Korban PHK dapat membuat usaha sesuai kemampuannya dengan pinjaman modal tanpa bunga. Pengusaha yang masih bernapas, tapi tersenggal-senggal karena kesulitan menambah modal dapat segar kembali dengan pasokan dana syirkah.

Masalahnya, bagaimana memobilisasi dana masyarakat kalau masyarakat belum dapat diyakinkan bahwa sedekah dapat menyelamatkan banyak orang? Justru ketika ekonomi sulit orang cenderung jadi lebih kikir karena ketakutan. Sebagian malah makin kelihatan serakahnya dengan menyimpan uang di bank demi bunga tinggi. Ia tidak peduli atau tidak sadar bahwa langkah itu menyengsarakan masyarakat.

Dalam kondisi seperti itu penting sekali menanamkan keyakinan bahwa sedekah tidak akan memiskinkan. Justru sebaliknya sedekah dapat menghidupkan ekonomi yang lumpuh, melancarkan peredaran uang, dan memberi kesempatan kepada banyak orang mendapatkan rezeki. Orang yang dimaksud mungkin anak atau saudaranya sendiri. Uang yang disedekahkan itu akan kembali lagi dalam bentuk uang atau rezeki lain seperti kurangnya kriminalitas atau normalnya roda produksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar. ***

(Penulis adalah Akademisi Universitas Andalas, Bagian 2 dari 2 tulisan)