Filosofi Sederhana Komunikasi Ideal

OPINI & ARTIKEL130 Dilihat

Oleh: Prof Emeraldy Chatra

“Komunikasi yang baik itu bagaimana sih?”

Itu pertanyaan yang ‘sederhana’ yang pernah saya dengar, tapi membuat saya harus membaca dan merenung lebih banyak sebelum menjawabnya. Dari pencarian di wilayah teoretis ternyata tidak satu pun teori komunikasi yang dapat menjelaskannya secara komprehensif. Apakah karena kata baik itu mengandung nilai sementara ilmu cenderung bergerak kepada relativitas nilai? Saya tidak yakin karena ilmu komunikasi juga bicara tentang efektivitas, yang tentu saja mengandung nilai.

Saya bergerak ke situs internet, searching melalui Google. Dari sekian banyak situs komunikasi saya hanya menemukan istilah good communication di situs Touro Worldwide University, MichaelPage, The Pharmaceutical Journal, Leadership Choice, Mediate dan beberapa situs tidak terkenal lainnya.

Dengan key-word: good communication saya menemukan beberapa situs yang menggunakan kata good, tapi tidak dipasangkan langsung dengan communication. Kata good itu dipasangkan dengan skill , menjadi good communication skill. Makna pasangan tiga kata terakhir ini tentu tidak sama dengan good communication karena hanya membatasi pengertian pada keterampilan ( skill ), bukan pada kualitas komunikasi secara keseluruhan.

Namun satu tulisan dari Nancy Foster yang berjudul Good Communication Starts With Listening cukup menarik untuk diperhatikan. Tulisan Foster saya jadikan rujukan dalam pembahasan selanjutnya.

Seperti yang saya duga sebelumnya, tulisan-tulisan yang dipublikasikan melalui situs-situs itu hanya berupa butir-butir petunjuk praktis tanpa penjelasan tentang landasan teoretis maupun filosofisnya. Situs Leadership Choice memuat sebuah tulisan berjudul The Power of Good Communication in the Workplace , yang di alinea pertamanya tertulis: Good Communication is an important skill in any environment with human interactions. However, when it comes to communication in the workplace, good communication is an integral element to business success . Tapi setelah saya telusuri sampai selesai ternyata tulisan itu tidak mengelaborasi konsep good communication secara mendalam. Alasan mengapa sebuah komunikasi dikatakan baik terkesan samar-samar.

Petunjuk praktis tanpa basis nilai filosofis maupun teoretis tentu akan menimbulkan keraguan apakah memang benar demikian atau hanya sekedar spekulasi dan omong kosong? Basis nilai sangat penting dalam merumuskan langkah praktis karena menyediakan argumentasi yang rasional dan kekuatan persuasif.

Berangkat dari ketidakjelasan pengertian ‘komunikasi yang baik’ ( good communication ) itu saya membangun sebuah pemikiran filsafat komunikasi yang saya beri nama *Filsafat Komunikasi S-263*. Filsafat ini berisi penjelasan tentang prinsip dasar, proposisi, karakteristik, dan kata kunci yang saling terhubung membangun konstruksi ‘komunikasi yang baik’. Konstruksi tersebut ditancapkan pada sebuah medan interpretasi dan pemahaman atas sebuah ayat dalam Quran, yaitu ayat 263 dari Surat Al Baqarah yang berbunyi:

Perkataan yang menentramkan hati dan menutup-nutupi aib si fakir dengan tidak menceritakannya kepada orang lain, lebih baik dari sedekah yang disertai perkataan dan perbuatan yang menyakitkan. Allah tidak butuh kepada pemberian yang disertai sikap menyakiti. Dia akan memberikan rezeki yang baik kepada orang-orang fakir. Dan Dia tidak akan menyegerakan hukuman-Nya terhadap orang yang tidak bersedekah dengan harapan orang itu akan berubah sikapnya kemudian_ . (Al-Baqarah: 263)

*Give and Take sebagai Prinsip Dasar*

Model komunikasi paling sederhana dibangun atas empat elemen yaitu 1) komunikator, 2) pesan, 3) komunikatee, dan 4) umpan balik (feedback). Proses komunikasi yang terjadi dalam model tersebut adalah proses memberi dan menerima. Komunikator memberikan pesan kepada komunikator, dan komunikatee memberikan umpan balik kepada komunikator. Saat komunikator memberi, komunikatee berperan sebagai penerima, dan saat komunikatee memberikan umpan balik komunikator berganti peran jadi penerima.

Proses komunikasi dalam model tersebut dimulai dari aktivitas memberi. Tidak akan terjadi komunikasi kalau komunikator tidak melakukan pemberian pesan. Aktivitas menerima pesan hanyalah konsekuensi atau akibat dari adanya proses memberi. Oleh sebab itu yang terjadi dalam komunikasi adalah memberi dan menerima atau give and take , bukan take and give . Sekedar ilustrasi, tidak ada jawaban yang mendahului pertanyaan.

Prinsip give and take dalam komunikasi bertentangan dengan yang dikatakan oleh Forster bahwa komunikasi yang baik dimulai dari mendengarkan ( good communication starts with listening ). Model Foster adalah take and give, sebuah turunan dari model berpikir yang lazim di Barat dan erat kaitannya dengan keserakahan, bahkan kapitalisme. Dengan model take and give orang cenderung hanya melakukan take dan melupakan give. Give hanya sisa-sisa dari yang sudah di-take (taken).

Prinsip give and take itu sama persis dengan prinsip bersedekah. Bersedekah juga aktivitas memberi. Akibat dari sedekah itu, sesuai dengan janji Allah, orang akan menerima balasan yang berlipat ganda. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan rezeki (dalam bentuk materi maupun nonmateri) dari Allah orang harus terlebih dulu memberikan sedekahnya. Bukan sebaliknya.

Agar mendapatkan rezeki berlipat ganda orang harus menyedekahkan yang terbaik, yang berguna, bukan sisa-sisa dari apa yang ia punyai. Bukan pula harta yang tidak bermanfaat atau dapat menimbulkan kerusakan. Memberikan bom yang siap meledak kepada orang di tengah pasar tentu bukan sedekah yang dimaksud.

Prinsip yang sama berlaku dalam komunikasi. Pesan yang diberikan kepada komunikatee haruslah yang terbaik dan bermanfaat. Memberikan pesan yang tidak bermanfaat atau dapat menimbulkan kerusakan kepada orang lain bukanlah komunikasi yang baik. Hoax atau fitnah adalah jenis-jenis pesan yang dapat merusak dan menimbulkan kerugian kepada orang lain, karena itu pemberiannya kepada orang lain tidak menghasilkan komunikasi yang baik.

Dalam bersedekah tidak dibolehkan menyakiti hati orang lain, sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat Al Baqarah 263. Menyampaikan pesan komunikasi juga demikian. Pesan yang disampaikan dengan cara yang tidak baik sehingga membuat orang menjadi sakit hati tidak menciptakan komunikasi yang baik, justru komunikasi akan mengantarkan orang kepada konflik.

Pemikiran di atas selanjutnya membawa saya pada sebuah proposisi yang berbunyi: Komunikasi yang baik itu equivalen dengan bersedekah. Agar dapat membangun komunikasi yang baik orang harus belajar dari makna komprehensif sedekah.

*Tujuh Karakteristik Komunikasi yang Baik*

Filsafat Komunikasi S-263 selanjutnya menurunkan tujuh karakter yang saling berhubungan dalam menciptakan komunikasi yang baik, yaitu:

1. Pesan yang terbaik (benar dan berguna)
2. Penyampaian yang tulus dan ikhlas
3. Disampaikan dengan cara terbaik
4. Tidak menyakitkan hati
5. Mendengar dengan ikhlas dan sepenuh hati
6. Menanggapi dengan baik
7. Tidak membuat kesan tidak bersyukur

Kualitas komunikasi akan terlihat dari apa yang dihasilkannya. Komunikasi yang baik mengantarkan orang yang berkomunikasi pada kesepahaman, kesepakatan, kerja sama dan kekuatan kolektif. Sebaiknya komunikasi yang buruk akan mengantarkan orang pada perselisihan, konflik dan perpecahan.

Dengan demikian komunikasi yang baik mempunyai tiga kata kunci, yaitu:
• Memberikan yang terbaik
• _Give and take_, bukan _take and give_
• Membangun kekuatan kolektif

*Penutup*

Tulisan ini hanyalah uraian ringkas yang berisi pokok-pokok pikiran dari Filsafat Komunikasi S-263. Tulisan ini juga sebuah permulaan, sebuah titik berangkat untuk dikembangkan lebih luas lagi.

Sebagai catatan akhir, Filsafat Komunikasi 2-263 adalah filsafat yang menjadi pegangan bagi kajian-kajian komunikasi dalam ruang lingkup Sekolah Komunikasi Limau Manis. Berdasarkan filsafat ini para pengkaji Sekolah Komunikasi Limau Manis dapat memberikan kritik terhadap praxis komunikasi yang terjadi di tengah masyarakat. Kritik tersebut dimaksudkan untuk mendorong terjadinya perbaikan kualitas komunikasi agar tidak menimbulkan mudarat dan lebih memberi manfaat. ***

( Penulis Adalah Akademisi Universitas Andalas)