Sekarang Kita Berebut, Setelah Itu, Bagaimana Mempertahankannya

OPINI & ARTIKEL50 Dilihat

Oleh : Tanzil SA Sejahtera

Pemilihan Presiden sama halnya dengan sebuah kompetisi. Strategi, ketrampilan, stamina serta faktor keberuntungan adalah bagian menentukan kemenangan seseorang.

Biasanya sang penantang berpeluang besar merebut gelar juara. Sebab sudah sejak jauh hari dia mempelajari kelemahan lawan, kemudian berusaha keras menutupi kekurangan lawan itu
dengan kelebihannya. Serta mempertahankan keunggulannya di sisi lain.

Dalam kontestasi Politik seperti sekarang, banyak para tokoh dan pengamat bahkan masyarakat optimis dengan kemenangan pasangan O2, Prabowi-Sandiaga Salahudin Uno.

Hal ini dapat difahami sebagai sesuatu hal yang sangat lumrah saja. Karena secara kasat mata dapat kita saksikan bagaimana meningkatnya ekspektasi kepada kandidat Presiden baru 2019 ini. Makin mendekati hari H kian bertambah saja dukungan. Baik dari tokoh Politik, kelompok Usaha dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, pada kampanye terbuka yang berlangsung belum sepekan, misalnya. Dapat kita lihat Bagaimana Prabowo dianggap sebagai “Ratu Adil” bagi segenap lapisan rakyat.

Kedatangan di tunggu berjam-jam, ketika mengetahui rombongan Prabowo datang. Tanpa dikomando siapapun masyakat berlarian mengejar sambil meneriakkan Prabowo…Prabowo…

Kemudian masyarakat yang berlari berebutan tadi mendekat hanya sekedar bersalaman, menyentuh atau cukup melambaikan tangan saja ke Prabowo. Untuk seterusnya mengiringi kendaraan sampai ke titik Capres Prabowo melakukan Orasi.

Yang membuat terharu adalah warga menggendong Prabowo beramai-ramai, begitu dia turun dari kendaraan.
Hal ini merupakan penghormatan kepada Capres idola mereka jangan sampai dibiarkan berjalan dan bersentuhan dengan Tanah.

Menurut pengamatan penulis, perlakuan masyarakat seperti apa yang mereka lakukan kepada Prabowo, tidak terjadi pada Petahana. Setidaknya selama masa berkampanye 4 bulan terakhir.

Bahkan ditempat titik atau daerah kemenangannya Jokowi sendiri. Seperti dikawasan Indonesia
Timur.

Justru Prabowo-lah yang menerima histeria masyarakat di kandang Jokowi. Seperti di Papua, Manado dan Makassar serta Mataram. Ke empat Provinsi ini 2014 lalu dimenangkan Jokowi.

Memang aura kemenangan itu kini semakin nyata. Akan tetapi, ibarat kompetisi tadi, merebut lebih mudah daripada mempertahankannya.

Sekarang seumpama Prabowo-Sandi duduk memimpin Negara dan Bangsa Indonesia, mampukah mereka melaksanakan Program kerja sebagaimana yang diucapkan di depan jutaan rakyat?

Setidaknya menurut penulis, ada tiga hal yang paling berat dan menjadi tantangan sangat rumit harus dipecahkan terlebih dulu oleh Presiden Prabowi-Sandi.

Pertama adalah memberantas mafia yang ada disekitar elit kekuasaan. Karena sudah menjadi rahasia, bahwa setiap berganti kekuasaan, orang yang menangguk untung pun berganti pula kelompoknya.

Bahkan kelompok mafia baru pun berpeluang berkoloborasi dengan Mafia sebelumnya yang sekarang berada di belakang 01.

Mafia tersebut kemungkinan bisa datang dari orang dekat Presiden dan Wakil serta para pembantu yang diberi kepercayaan.

Berkemungkinan juga muncul dari keluarga, teman bisnis, rekan satu organisasi, para timses, donatur dan lain sebagainya.

Mereka ini bisa menentukan, menunjuk bahkan seolah mewakili pejabat Negara yang dikenalnya.

Hal itu terjadi selain karena kedekatan, karena mereka juga memiliki jaringan, punya finansial dan link yang kuat. Baik di dalam maupun ke luar.

4.5 tahun menjadi Presiden, indikasi Jokowi terbelenggu oleh kekuatan 9 Naga, sehingga tidak dapat berbuat banyak, bisa pula diindikasikan ke sana?

Ke dua adalah perlunya menegakkan supremasi hukum yang berkeadilan bagi siapapun. Sehingga pedang bisa menancap kemana saja yang bersalah dan melindungi yang benar.

Ini, artinya, Presiden haruslah punya target membenahi semua aparat berwenang yang menjadi ujung tombak. Polisi, Jaksa serta para Hakim.

Selain membenahi mental aparat, Jangan lupa di sini pun banyak juga mafia perkara yang mencari nafkah belasan tahun. Berkeliaran sebagai layaknya pegawai di kantor tersebut.

Keberadaan mereka pun diketahui sejumlah oknum aparat. Tapi mau bilang apa? Karena mereka dianggap “membantu” kantong sebagian oknum berseragam itu tadi.

Mafia, makelar yang menjadi calo perkara itulah memperjual-belikan perkara di Pengadilan, Kejaksaan maupun di Kepolisian. Bahkan mereka tahu kisaran tarif besar-kecilnya Uang yang harus dikeluarkan untuk menularkannya dengan bebas atau keringanan hukuman.

Ke tiga adalah menertibkan Aparatur Sipil Negara yang menjadi tulang punggung Pemerintah. Karena sebelum bahkan sesudah reformasi perilaku PNS tak banyak berubah. Karena mental sebagian besar aparat rusak.

Kasus yang menimpa mantan ketua Partai PPP, Romahurmuzy adalah contoh kecil perilaku mental aparat yang dijangkiti kuman.

Adanya adagium ditengah masyarakat terhadap PNS menyebutkan begini: Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah.
Nah, hal ini diakui masih banyak terjadi ditengah pelayanan aparat ketika melayani masyarakat. Mulai dari tingkat kelurahan sampai jajaran paling tinggi disegala sektor. Baik bidang Kesehatan, Pendidikan, Pelayanan Administrasi dan lain sebagainya.

Dari ketiga hal penting yang disebutkan di atas adalah gambaran sangat jelas menghambat bahkan mencederai kredibilitas Presiden terpilih.

Tidak cukup hanya membuka lapangan kerja, menurunkan tarif listrik, mengontrol harga sembako serta meningkatkan pendapatan masyarakat.

Meskipun itu terlaksana, Lebih penting lagi tentulah menegakkan hukum, terutama kepada yang diberi wewenang menjalankannya.

Karena harus difahami. untuk menjadi teladan mestilah di mulai. dari kalangan terdekat, yakni segenap pembantu Pemerintah hingga menjadi contoh bagi segenap rakyat.

Tapi, apabila hukum untuk penyelenggara Negara yang bernaung dalam komunitas ASN itu tidak dilakukan. Mereka akan menjadi pihak pertama yang merong-rong wibawa Pemerintah dan akan menjadi senjata bagi oposisi menyerang Pemerintah yang sah.

Untuk itu segala bentuk “mafia” atau apapun istilahnya, mulai tingkat tertinggi dilingkar kekuasaan sampai kelas Teri di Kelurahan dan lain-lain, haruslah di basmi dulu dengan aturan hukum yang tegas hingga pelayanan Publik dan kesetaraan bisa terlaksana. Tanpa itu jangan berharap banyak.

Tidak mudah merubah kebiasaan buruk, apalagi kearah sebuah sikap mental lebih baik. Tapi dengan mandat rakyat yg kuat diberikan kepada Pemerintah segalanya menjadi mudah. Asalkan ada kemauan melaksanakannya. **

(Penulis adalah Wartawan senior tinggal di Jakarta)