Sekelumit tentang Kerajaan Melayu di Pulau Paco

OPINI & ARTIKEL111 Dilihat

KabarDaerah.com– Nenek moyang Nusantara diduga kuat oleh para arkeolog adalah ras Austronesia. Ras ini mendarat di Kepulauan Nusantara dan memulai peradaban Neolitikikum.

Bukti arkeologi menunjukkan bahwa budaya neolitik dimulai sekitar 5000 tahun lalu di kepulauan nusantara. Bersamaan dengan budaya baru ini bukti antropologi menunjukkan muncul juga manusia dengan ciri fisik Mongoloid.

Populasi Mongoloid ini menyebar di kawasan Nusantara sekitar 5000 sampai 3000 tahun lalu dengan membawa bahasa austronesia dan teknologi pertanian. Jika kita bandingkan dengan masa Iskandar Zulkarnain sekitar 989 SM maka sangat mungkin kerajaan Kandis dengan rajanya yang bergelar Suri Maharaja Diraja adalah Raja Sulaiman penguasa Timur dan Barat.

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah pengkajian dan analisis yang komprehensif tentang bukti sejarah yang ada dan menelusuri hubungan historis suatu daerah dengan daerah lainnya.

Kerajaan Melayu Sumatera Asal Muasal Kerajaan Nusantara 

Berita tertua mengenai Melayu Kuno didapatkan dari berita Dinasti Tang di China, yang menulis kedatangan utusan dari Mo-lo-yeu (dibaca Melayu), tercatat pada tahun 644 dan 645.

Gambaran mengenai Melayu, tak terpisahkan dengan kerajaan Sriwijaya. Menurut Ninie, ketika bicara Melayu tidak mungkin mengesampingkan peninggalan Kerajaan Sriwijaya pula. Keduanya merupakan kerajaan maritim yang sibuk dengan aktivitas perdagangan sehingga tidak meninggalkan prasasti-prasasti sebanyak kerajaan di Jawa.

“Mungkin benar kerajaan ini sudah sangat tua. Namun memang bukti-bukti yang sahih belum kita temukan,” ujarnya. Tinjauan prasasti memang merupakan bukti paling otentik untuk mengungkap sejarah. Prasasti pun akan bercerita mengenai banyak hal. Makin banyak prasasti terdata, makin banyak sejarah yang dapat terungkap.

Persebaran bahasa Melayu Kuno ada di berbagai daerah di Pulau Sumatra, Jawa, hingga seluruh wilayah Nusantara. Juga di Semenanjung Malaya, Filipina, dan Thailand.

Tetapi berdasarkan penelitian Leksikostatistik (mempelajari asal-usul suatu bahasa) oleh Prof. Harimurti Kridalaksana, dikaji serta disimpulkan bahwa muasal bahasa Melayu Kuno dari Sumatra. Sebab di Sumatra-lah, dialek regional bahasa Melayu terbanyak ditemukan.

Karena itu, kita berharap lahan penelitian sejarah Melayu yang masih terbuka lebar ini bisa ditekuni. Ia mengistilahkan, penelitian harus bersifat ‘keroyokan’ dari segala disiplin terkait, tak hanya dari satu sisi atau berjalan masing-masing.

“Saya masih mempunyai keyakinan. Belum tentu sejarah Melayu (Kuno) itu gelap. ada kemungkinan hanya belum dilakukan penelitian mendalam, penelitian tentang Melayu Kuno harus dilakukan suatu saat ,” tambahnya.

Ternyata, jauh sebelum itu, di Pulau Sumatera, tepatnya di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, telah berdiri sebuah kerajaan yang sudah maju, kemudian dikenal dengan nama

KERAJAAN KANDIS

Kerajaan Kandis ini berdiri diperkirakan awal Abad ke-1 Masehi, sedangkan Kutai baru di abad ke-4. Meski banyak orang meyakini kalau kerajaan Kandis yang tertua di dunia. Beberapa peneliti masih meragukan keberadaan kerajaan ini. Keraguan ini terjadi karena penelitian dan jejak sejarah dari kerajaan ini masih belum banyak dilakukan.

Daerah kekuasaan Kerajaan Kandis, meliputi daerah Kuantan sekarang, mulai dari hulu Batang Kuantan, Negeri Lubuk Ambacang hingga ke Cerenti, saat ini. Ibukota kerajaan ini di Padang Candi, suatu tempat di pinggir Batang Kuantan. Dinamakan Padang Candi, karena di sana terdapat gugusan candi.

Catatan tentang Kerajaan Kandis ini, ditemukan dalam Kitab Negara Kertagama yang menyebutkan Kandis merupakan kerajaan berada dalam taklukan Majapahit. Berdasarkan sejarawan TG Th Pigeaud dalam bukunya, Java in the Fourtheenth Century: A Study in Cultural History, menyatakan, dalam Kitab Negara Kertagama Pukuh XIII:1 menyebutkan:

Rincian pulau negara bawahanm Malayu: Jambi dan Palemban, Karitan, Teba, dan Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Manankabwa, Siyak, Rkan, Kampar dan Pane, Kampe, Harw, dan Mandahilin, Timihan, Parlak, dan Barat. 

Kandis merupakan sebuah kerajaan yang berdiri sendiri, karena daerahnya memang subur, dan menghasilkan rempah-rempah, seperti lada. Tidak banyak diketahui tentang Kerajaan Kandis, apalagi setelah dikalahkan Jambi.

Berkaitan dengan nama Lubuk Jambi, konon nama tersebut masih terkait penyerangan Kerajaan Jambi ke Kandis. Ketika itu, pasukan Jambi melabuhkan perahu-perahunya di suatu lubuk (bagian terdalam sungai) dan menjadikan lubuk tersebut sebagai pangkalan menyerang Kandis. Lalu, nama itu kemudian dikenal dengan nama Lubuk Jambi.

Serangan tersebut meruntuhkan Kerajaan Kandis, namun muncul Kerajaan Kuantan sebagai penggantinya. Ini tergambar dari pantun Kandis-Kuantan, yang dikenal di kalangan masyarakat Kuantan.

Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 1 Sebelum Masehi, mendahului berdirinya kerajaan Moloyou atau Dharmasraya di Sumatera Tengah. Dua tokoh yang sering disebut sebagai raja kerajaan ini adalah Patih dan Tumenggung.

Maharaja Diraja, pendiri kerajaan ini, sesampainya di Bukit Bakau membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna. Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk Rajo Tunggal (lebih akrab dipanggil).

Datuk Rajo Tunggal memiliki senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo Dirajo.

Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan Kandis.

Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.

Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang, dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas.

Setelah kalah perang pemuka kerajaan Kandis berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh, maka mereka sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah. Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).

 

Berdasarkan Tambo Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah TunggalKerajaan Koto Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis, “Pada masa jayanya Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kandis,” . Maka berdirilah Kerajan Koto Alang pada tahun ke 2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).

KERAJAAN KOTO ALANG

“Berdirinya Kerajaan Koto Alang terjadi karena perebutan kekuasaan antara kerajaan,” Maka pada tahun 6M, Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang.
Perebutan kekuasaan tersebut dimenangkan Kerajaan Kandis, Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi, ”Itulah asal usul nama Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo (buka sila) di Dusun Botuang.
Karena tidak mau tunduk dibawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatra Barat).
Mereka berdua diperkirakan berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan, Kedua tokoh inilah yang menjadi tokoh adat legendaris di Minangkabau.
Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masih bisa ditemukan yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang ditemukan Raja Aur Kuning didalam kepala gajah tunggal disaat Raja Aur Kuning bertarung dan akhirnya  mengalahkan gajah tunggal, disebut Gajah tunggal karena mempunyai satu buah gading, Raja Aur Kuning membunuh gajah tersebut dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. Tempat Raja Aur Kuning membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat disebelah selatan Pasar Lubuk Jambi.
Dari sumber lain dapat kita pelajari tentang KERAJAAN KOTO ALANG
Situs Kerajaan Koto Alang ini telah sangat lama terlupakan. Hanya beberapa Tokoh adat yang tetap menjaganya. Walau dijaga, tetap saja tak lepas dari tangan jahil yang suka memperjual belikan Benda Cagar Budaya (BCB) yang terdapat di lokasi Situs Kerajaan Koto Alang ini. Pemerintah setempat nyaris tidak mengetahui keberadaannya (atau pura-pura tidak tahu). Hati terasa perih ketika Situs Kerajaan Koto Alang terabaikan begitu saja. Maka saya mencoba menelusurinya. Sobat netter mau tau cerita petualangan saya menelusuri Situs Kerajaan Koto Alang ini? Silakan lanjutkan baca cerita selengkapnya.

PENELUSURAN DI DUSUN BOTUANG

Saya menelusurinya bersama seorang teman dari Koran Kampus “Bahana Mahasiswa” Universitas Riau. Dari Pekanbaru menempuh perjalanan darat menuju Kota Taluk Kuantan ibu kota Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), pada minggu ketiga dan hari ketiga di bulan Oktober 2008, ujan rintik-rintik menemani perjalanan kami. Tujuannya adalah Kecamatan Kuantan Mudik, disitulah terdapat Dusun Botuang di Desa Sangau.

Untuk mencapai Dusun Botuang ini dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dari pusat Kota Taluk Kuantan, Situs Kerajaan Koto Alang itu berada disini, dinamakan Padang Candi karena diduga kuat disitu terdapat sebuah candi yang telah sangat lama tebenam. Untuk sampai kelokasi Padang Candi ini kami melewati sebuah sungai kecil bernama Sungai Salo dan dilintasi dengan jembatan gantung yang terbuat dari kayu, bagi orang yang tidak terbiasa melewatinya akan merasa gamang karena sewaktu dilewati ia bergoyang-goyang.

Kerajaan Koto AlangDusun Botuang ini banyak menyimpan Benda Cagar Budaya (BCB) yang sering ditemukan penduduk setempat secara tak sengaja, sewaktu menggali tanah untuk berkebun dan atau hanya sekedar menata halaman rumah, seperti perhiasan yang terbuat dari emas: cincin, kalung, gelang, juga jarum penjahit dan mata kail. Menurut cerita penduduk setempat, Herlita menceritakan awal temuan ini, ketika salah seorang penduduk bermimpi didatangi orang tak dikenal untuk menggali sebuah guci yang berisikan perhiasan, setelah digali ditempat yang ditunjukkan orang tak dikenal dalam mimpim itu. Namun sayang guci itu kembali membenamkan diri, karena “Sewaktu bermimpi guci itu minta didarahi dengan darah Kambing Hitam, karena sulit didapat diganti dengan darah Anjing Hitam, makanya dia kembali tenggelam kedalam tanah,” terang Herlita.

Hal ini dibenarkan oleh Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang, “semenjak itu banyak masyarakat yang mengambil tanah disekitar bekas penggalian guci itu untuk didulang di Sungai Salo, dan menemukan emas, malahan ada yang telah berbentuk cincin, gelang, mata kail dan jarum penjahit, kejadiannya sekitar tahun tujuh puluhan,” kata Rabu Jailani. Karena suatu hal penggalian dibekas ditemukannya guci itu dihentikan atas kesepakatan tokoh-tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.

Selain perhiasan yang terbuat dari emas yang paling sering ditemukan penduduk setempat adalah batu bata kuno, berukuran sekitar satu jengkal kali dua jengkal persegi—jengkal orang dewasa. “Kalau kita gali dengan kedalaman sekitar satu meter saja, kita bisa menemukan batu bata kuno ini masih tersusun rapi didalam tanah,” kata Rabu Jailani. Dari ditemukannya batu bata kuno tersebut banyak dilakukan penelitian-penelitian dan penggalian-penggalian. Pada tahun 1955 M pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol, dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya.

”Dulu masyarakat setempat tidak mengenal nilai dari arca tersebut sebagai benda cagar budaya yang tak ternilai harganya sebagai situs suatu peradaban kuno, akhirnya masyarakat menjualnya,” ungkap Yasir Kepala Desa Sangau. ”Sangat disayangkan,” sesalnya. Pada penggalian terakhir yang diketahui pada tahun 2007 dilakukan oleh Badan Purbakala Batu Sangkar bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau tanpa sepengatahuan Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah.

Pada penggalian sebelumnya mereka menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis pada kepingan emas yang saat ini tidak diketahui keberadaannya. ”Kita kecolongan waktu itu,” terang Suhernita Kepala Seksi (Kasi) Pengkajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Dinas Budaya Kesenian dan Pariwisata (Disbudsianipar) Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), Suhernita menambahkan, adanya kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan saat ini Disbudsianipar Kab. Kuansing fokus pada pembangunan fisik, “Untuk tahun ini kita fokus pada pembangunan fisik untuk objek parawisata Air Terjun Guruh Gemurai yang ada di Desa Kasang, Kecamatan Kuantan Mudik,” terangnya.

Hal ini dibenarkan oleh Drs. Syafrinal, M.Si kepala Disbudsianipar, yang baru menjabat sekitar enam bulan yang lalu, “Banyaknya kelemahan yang kita alami dalam perawatan objek pariwisata dan situs-situs bersejarah sangatlah merugikan kita.” Ungkap Syafrinal sewaktu kami jumpai di ruang kerjanya Komplek Perkantoran Pemerintah Daerah (Pemda) Kab. Kuansing, Kamis (23/10) lalu.

Untuk mengantisipasi kejadian serupa, Syafrinal telah berusaha semaksimal mungkin, “Kita telah membentuk tim pengumpul data objek pariwisata dan situs sejarah disetiap kecamatan,” selain itu Syafrinal mengharapkan sumbangsi kita bersama, dan pihak swasta yang mau menanamkan modalnya untuk pengembangan objek pariwisata dan situs bersejarah yang ada di Kab. Kuansing. “Saya bangga dengan yang dilakukan pemuda saat ini yang merawat seni, budaya dan parawisata Kuansing melalui media internet, salah satunya sungaikuantan.com yang saya lihat serius dalam hal ini,” ungkap Syafrinal.

Kerajaan Koto Alang

Kerajaan Koto Alang Diduga berada di Dusun Botuang?

Banyaknya ditemukan Benda Cagar Budaya (BCB) di Dusun Botuang, diduga kuat di sini berdiri kerajaan Hindu dengan nama Kerajaan Koto Alang, walau belum ada penelitian secara ilmiah yang mengungkapkannya. Mahmud Sulaiman (68)—Bergelar Datuk Tomo, seorang tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, adalah keturunan Raja Kerajaan Koto Alang. Padang Candi yang terdapat di Dusun Botuang ada dibawah pengawasannya sebagai tokoh adat.

Kalau ada orang atau peneliti yang ingin tahu cerita detail tentang Padang Candi maka masyarakat Dusun Botuang merekomendasikan Datuk Tomo kepada peneliti tersebut, “Kami disini tidak tahu banyak tentang sejarah Padang Candi, yang mengetahuinya ya yang mengawasi Padang Candi, yaitu Datuk Tomo,” terang Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang. Hal ini di benarkan pula oleh Yasir Kepala Desa Sangau, “Kalau sejarah Padang Candi kami serahkan kepada tokoh adat yang berwenang terhadap Padang Candi, dia Datuk Tomo,” kata Yasir, “Semua perangkat desa tidak ada yang mengetahuinya secara detail,” tambah pria tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, sewaktu kami temui di ruang kerjanya Kamis (23/10) lalu.

Sehingga kami penasaran dan langsung menelusurinya, lalu tim kami berkunjung kekediaman Datuk Tomo yang berada di Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, dan ia menceritaka tentang Padang Candi kepada tim BM dari petikan Tambo Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. Tambo tersebut telah hancur dimakan zaman, sekarang Datuk Tomo kembali berusaha membukukannya dari hasil ingatannya, dan dari hasil penelitian tim Penelusuran Kerajaan Kandis, di Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.

Tim ini di koordinatori oleh Pebri Mahmud Al-Hamidi, beranggotakan Drs. H. Syafri Yoes, Triwan Hardi, SH., Agusrisal SR, Hardimansyah, Jhon Herizon Patra, Raja Bastian, SE., Drs. H. Mukhlis MR., MSi., Ikatan Keluarga Kuantan Mudik (IKKM) Pekanbaru, dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Kuantan Mudik (HPMKM) Pekanbaru. Yang diarahkan oleh Penghulu Pucuk Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal (Mahmud Sulaiman Dt. Tomo dan Syamsinar Dt. Rajo Suaro) beserta seluruh Pemangku Adat dalam Wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. “Setelah bahan-bahan telah terkumpul semua dan dapat dipertanggung jawabkan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku,” ucap Datuk Tomo.

Berdasarkan Tambo tersebut kerajaan Koto Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis, “Pada masa jayanya Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kandis,” kata Datuk Tomo. Maka berdirilah Kerajan Koto Alang pada tahun ke 2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).

“Berdirinya Kerajaan Koto Alang maka terjadilah perebutan kekuasaan antar kerajaan,” Maka pada tahun 6 M Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang. Dimenangkan Kerajaan Kandis. Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi, ”Itulah asal usul nama Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo—buka sila, di Dusun Botuang.” Karena tidak mau tunduk dibawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatra Barat) dan mereka berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan, ”Kedua tokoh inilah yang menjadi tokoh adat legendaris Minangkabau.” ungkap Datuk Tomo.

Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masi bisa ditemukan yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang ditemukan Raja Aur Kuning didalam kepala Gajah Tunggal sewaktu Raja Aur Kuning mengalahkan Gajah Tunggal-karena mempunyai satu gading, dibunuh dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. ”Tempat Raja Aur Kuning membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat disebelah selatan Pasar Lubuk Jambi, Mustika Gajah dan Gading Tunggal, masih saya simpan, kecuali Gading Tunggal yang telah dijual salah seorang keluarga saya, ketika saya tidak berda dikampung pada tahun 1976, sangat disayangkan,” kata Datuk berjanggut ini. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah Mati tersebut dinamakan dengan Batang Simujur, yang berarti mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.

Seorang sejarawan Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang, dan terhenti karena sesuatu hal, ”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas didalam Kitab Negara Kertagama, Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini terhenti dengan kendala SDM dan dana,” terang Suwardi. Sampai tulisan ini terbit belum ada pembenahan terhadap situs bersejarah yang terdapat di Dusun Botuang, Desa Sangau, Kec. Kuantan Mudik, Kab. Kuansing, Propinsi Riau tersebut.

Kerajaan tertua di Pulau Jawa berdasarkan bukti arkeologis adalah kerajaan Salakanegara dibangun abad ke-2 Masehi yang terletak di Pantai Teluk Lada, Pandeglang Banten. Diduga kuat mereka berimigrasi dari Sumatra.

Sedangkan Kerajaan tertua di Sumatra adalah kerajaan Melayu Jambi (Chu-po), yaitu Koying (abad 2 M), Tupo (abad ke 3 M), dan Kuntala/Kantoli (abad ke 5 M). Menurut cerita/tombo adat Lubuk Jambi yang diwarisi dari leluhur mengatakan bahwa disinilah lubuk (asal) orang Jambi, oleh karena itu daerah ini bernama Lubuk Jambi. Dalam tombo juga disebutkan di daerah ini terdapat sebuah istana kerajaan Kandis yang sudah lama hilang.

Istana itu dinamakan istana Dhamna, berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh sungai yang jernih. Penelusuran peninggalan kerajaan ini telah dilakukan selama 7 bulan (September 2008-April 2009), dan telah menemukan lokasi, artefak, dan puing-puing yang diduga kuat sebagai peninggalan Kandis dengan ciri-ciri lokasi mirip dengan sketsa Plato (347 SM) tentang Atlantis. Namun penemuan ini perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.

Nusantara merupakan sebutan untuk negara kepulauan yang terletak di kepulauan Indonesia saat ini. Catatan bangsa Tionghoa menamakan kepulauan ini dengan Nan-hai yang berarti Kepulauan Laut Selatan.

Catatan kuno bangsa India menamainya Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah Seberang, yang diturunkan dari kata Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang) dan disebut juga dengan Swarnadwiva (pulau emas, yaitu Sumatra sekarang). Bangsa Arab menyebut daerah ini dengan Jazair al-Jawi (Kepulauan Jawa).

Migrasi manusia purba masuk ke wilayah Nusantara terjadi pada rentang waktu antara 100.000 sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia purba “out of Africa“. Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan ini ketika masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke timur, sisa tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarta), gua Babi dan gua Niah (Kalimantan).

Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (imigrasi) dilakukan oleh ras Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM (Wikipedia, 2009).

Bangsa nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang cukup baik, mereka paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi.

Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).

Kepulauan Nusantara saat ini paling tidak ada 50 populasi etnik yang mendiaminya, dengan karakteristik budaya dan bahasa tersendiri.

Sebagian besar dari populasi ini dengan cirri fisik Mongoloid, mempunyai bahasa yang tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa. Bahasa mereka merupakan bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang.

Sedangkan di Indonesia bagian timur terdapat satu populasi dengan bahasa-bahasa yang tergolong dalam berbagai bahasa Papua.

Pusat Arkeologi Nasional telah berhasil meneliti kerangka berumur 2000-3000 tahun, yaitu penelitian DNA purba dari situs Plawangan di Jawa Tengah dan Gilimanuk Bali. Penelitian itu menunjukkan bahwa manusia Indonesia yang hidup di kedua situs tersebut telah berkerabat secara genetik sejak 2000-3000 tahun lalu.

Pada kenyataannya hingga sekarang populasi manusia Bali dan Jawa masih memiliki kekerabatan genetik yang erat hingga sekarang.

Hasil penelitian Alan Wilson tentang asal usul manusia di Amerika Serikat (1980-an) menunjukkan bahwa manusia modern berasal dari Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lampau dengan kesimpulan bahwa hanya ada satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu Afrika.

Hasil penelitian ini melemahkan teori bahwa manusia modern berkembang di beberapa penjuru dunia secara terpisah (multi origin). Oleh karena itu tidak ada kaitannya manusia purba yang fosilnya ditemukan diberbagai situs di Jawa (homo erectus, homo soloensis, mojokertensis) dan di Cina (Peking Man) dengan perkembangan manusia modern (homo sapiens) di Asia Timur.

Manusia purba ini yang hidup sejuta tahun yang lalu merupakan missing link dalam evolusi. Saat homo sapiens mendarat di Kepulauan Nusantara, pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih tergabung dengan daratan Asia sebagai sub-benua Sundaland. Sedangkan pulau Papua saat itu masih menjadi satu dengan benua Australia sebagai Sahulland.

Teori kedua yang bertentangan dengan teori imigrasi Austronesia dari Yunan dan India adalah teori Harry Truman. Teori ini mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia berasal dari dataran Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (era pleistosen). Populasi ini peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban.

Pendapat ini diperkuat oleh Umar Anggara Jenny, mengatakan bahwa Austronesia sebagai rumpun bahasa yang merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur.

Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar Anggara Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho, 2009).

Teori awal peradaban manusia berada di dataran Paparan Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan oleh Santos (2005). Santos menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis.

Hasil analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah seperti piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec, peninggalan peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis geografis (seperti luas wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi, dan cara bertani) menunjukkan bahwa sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda Land merupakan pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan Benua Atlantis.

Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya. Pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Nusantara kuno serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan lainnya kemungkinan besar akan menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara.

[1] Koordinator Tim Penelusuran Peninggalan Kerajaan Kandis di Lubuk Jambi Negeri Gajah Tunggal, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau

[2] Dikumpulkan dari cerita yang diwarisi secara turun temurun oleh Penghulu Adat Lubuk Jambi

Dalam menelusuri sejarah Kerajaan Melayu, satu-satunya sumber sejarah yang menceritakan keberadaan kerajaan ini adalah catatan-catatan yang berasal dari kronik Tiongkok yang dibuat pada masa Dinasti Tang berkuasa pada abad ke VII-X Masehi. Kronik Tiongkok tersebut adalah catatan dari I Tsing, seorang bhiksu yang melakukan perjalanan dari Tiongkok ke India untuk mempelajari Dharma Budha di negeri dimana ajaran ini berasal, dan catatan dari Wang P’u seorang pejabat kerajaan di jaman Dinasti Tang.

Dalam perjalanannya dari Tiongkok ke India pada 671 M,  I Tsing menuliskan bahwa dirinya singgah terlebih dahulu di Kerajaan Sriwijaya selama enam bulan guna memperlajari  “sabdawidya” ( tata bahasa Sanskerta) sebagai persiapan untuk memepelajari Dharma Budha  di India nantinya.

Setelah enam bulan berada di Kerajaan (negeri) Sriwijaya I Tsing kemudian dikirim oleh raja Sriwijaya ke Kerajaan (negeri) Melayu dan tinggal di sana selama dua bulan sebelum akhirnya berangkat ke Kedah dan melanjutkan perjalannya.

Ketika telah selesai belajar Dharma di India dan kembali ke negeri Tiongkok pada 685 M, I Tsing menuliskan bahwa ketika singgah di Kedah, ternyata Kedah sudah menjadi daerah dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Pun demikian ketika singgah di Kerajaan (negeri) Melayu, kerajaan ini pun juga sudah berada dalam kekuasaan kerajaan Sriwjaya pula.

Senada dengan I Tsing, Wang P’u (961 M) juga meceritakan dalam bukunya bahwa pada tahun 645 M, kerajaan Melayu telah mengirimkan utusannya yang pertama ke Tiongkok. Namun pada tahun 670 M, setelah ada  kerajaan Sriwijaya, tidak ada lagi utusaan yang dikirim oleh kerajaan Melayu ke Negeri Tiongkok.

Dari catatan perjalanan I Tsing dan catatan dari Wang P’u ini dapat diketahui bahwa pada mulanya di pulau Sumatera ada dua kerajaan yang sama-sama berdaulat dan hidup berdampingan dalam waktu yang bersamaan yaitu Kerajaan Melayu dan Kerajaan Sriwijaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya Kerajaan Melayu ini terintegrasi dan menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya.

Meskipun berdasar kronik tiongkok keberadaan dua kerajaan ini diberitakan berada dalam waktu yang sama, namun diduga Kerajaan Melayu ini muncul lebih awal dibandingkan dengan Kerajaan Sriwijaya. Alasan yang dipergunakan adalah alasan bahasa, dimana bukti-bukti sejarah yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya ini semuanya mempergunakan bahasa Melayu Kuno. Kerajaan Melayu lebih dahulu mengenal tulisan dan mempergunakannya yang artinya masa sejarah kerajaan Melayu lebih dahulu hadir di pulau Sumatera jika dibandingkan dengan kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu, sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera (Swarnadwipa) atau Swarnabumi (Thai: Sovannophum) yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum akhirnya terintegrasi dengan Kerajaan Sriwijaya (Thai: Sevichai) pada tahun 682.

Penggunaan kata Melayu telah dikenal sekitar tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon. Kemudian dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.

Pendapat Prof. Slamet Muljana, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya.

Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.

Dalam prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit.

Dalam naskah-naskah kronik Tiongkok, istilah San-fo-tsi digunakan untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya.

Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Tiongkok.

Kronik Tiongkok mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang).

Dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Tiongkok yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong.

Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya. Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya.

Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.

Saat ini, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok untuk menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya.

Hal serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Prasasti Melayu Kuno tidak banyak diungkap. Padahal beberapa kalangan pakar dari bidang sejarah, arkeologi, maupun etnografi linguistik, menduga Kerajaan Melayu Kuno di Sumatra.

“Logikanya, prasasti Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu Kuno,” tutur Dr. Ninie Susanti Y., ahli efigrafi dari Fakultas Ilmu Budaya UI dalam ceramah umum arkeologi yang bertajuk ‘Menelisik Prasasti Melayu Kuno’ bersama Masyarakat Arkeologi Indonesia di Museum Tengah Kebun, Jakarta Selatan, Selasa (7/2).

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatra yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan Dharmasraya. Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak.

Untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dengan Singasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit.

Sementara itu, Dara Jingga dinikahi oleh seorang “DEWA”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa.

Mengenai hal ini ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Hal ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286.

Saat itu, Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini.

Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman. Adityawarman sendiri kemudian menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja (ini adalah sebuah cerita atau teori kemungkinan)

Dalam Kitab Nagarakretagama

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatera. Namun, interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah “wilayah” kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatra. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang.

Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarna bhumi dan pada tahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya.

Selanjutnya, ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (Daerah Minangkabau), dengan gelar : Maharaja Diraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.

Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya.

Kemudian, gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Berdasarkan catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatra) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk’ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya).

Sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Tiongkok, yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377.

Dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman. Pada naskah tersebut ada menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya.

Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang. (as/rs)

Berikut ini nama-nama raja Kerajaan Melayu (Dharmasraya):

  1. 1. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183). Sumber: Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Dharmasraya.
  2. 2. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1286). Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur, pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Dharmasraya. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Dharmasraya.
  3. 3. Akarendrawarman (1300). Sumber: Prasasti Suruaso. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Dharmasraya atau Suruaso.
  4. 4. Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. (1347). Sumber: Arca Amoghapasa. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Suruaso atau Pagarruyung.
  5. 5. Ananggawarman (1375). Sumber: Prasasti Pagaruyung. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Pagaruyung.

Sebagai orang Minang akan mudah tersinggung jika ada yang latah mengungkit-ngungkit soal nenek moyang kita yang tidak jelas, apalagi kalau ada yang “kurang ajar” menggugat kesakralan mitos sebagai keturunan asli dari Maharaja Iskandar Zulkarnain (Alexander Yang Agung).

Namun pada kenyataannya kelompok yang pendukung (walaupun banyak yang irrasional), kaum penentang (yg banyak emosional) serta kaum moderat (yang tidak punya pendirian) sama-sama pula banyaknya.

Dalam metode ini atau katakanlah metodologi, saya banyak bersinggungan dengan serpihan fakta-fakta antropologi, yang akan saya sajikan berikut :

ASAL ORANG MINANG

  1. Layak juga Anda ketahui, ekspedisi penaklukan Kerajaan Macedonia ke dunia timur berakhir dengan keputusan tidak bulat pada tahun 327 SM di tepian sungai Hypasin (sungai Indus). Sungai ini sekarang berada didekat perbatasan Pakistan-India. Tentara Macedonia yang dalam perjalanannya berubah menjadi laskar multirasial (tidak semuanya orang Macedonia/Yunani asli) tidak semuanya mengikut perintah Iskandar Zulkarnain untuk menghentikan ekspedisi penaklukan ke timur. Beberapa faksi dengan tetap membawa panji-panji kehormatan Iskandar Zulkarnain meneruskan perjalanan menyusuri pesisiran pantai Malabar India, sampai India Selatan dan Srilanka, bahkan ada pula yang menyeberangi laut ke selatan sehingga sampai di Sumatra, seperti wilayah Pantai Barat dan Aceh. Jamak diketahui, penduduk Aceh sejatinya adalah pendatang dari India Selatan juga (kebanyakan dari Madras).
  2. Pada masa permulaan abad masehi (tahun 1) sampai beberapa abad kemudian, di India Selatan berkuasa kerajaan Cola Mandala yang pengaruhnya sampai ke Srilanka, Siam (Thailand), Myanmar dan tentu saja Sumatra. Pada saat bersamaan, kerajaan-kerajaan besar di Indonesia seperti Sriwijaya baru saja tumbuh. Imigran India Selatan banyak yang menyebar sampai Sumatra, terutama Aceh dan Pantai Barat. Pantai Barat adalah wilayah internasional yang ramai (untuk ukuran masa itu).
  3. Kalau dikait-kaitkan antara fakta sejarah Kerajaan Pagaruyung Hindu (masa Adytiawarman yang dikenal sebagai Dang Tuanku) dengan tokoh-tokoh dalam tambo, dengan asumsi tambo benar, maka selisih waktu antara Adityawarman dan Para niniak yang turun dari Gunung Marapi tidak akan lebih dari seribu tahun. Sehingga dengan asumsi itu, bisa diramal tahun turunnya niniak kita itu sekitar tahun 300-400 M.
  4. Suku Chaniago ada yang mengatakan berasal dari kata Cino Niago, atau orang Cino yang pandai berniaga. Sedangkan suku Bodi, tentu sangat erat dengan kata Boddhi (Bodhisatwa) yang lekat dengan ajaran Buddha dari India.
  5. Tahun 1550-an (berdasarkan buku Plakat Panjang), seorang utusan Portugis yang bertualang ke pedalaman Minangkabau, kaget melihat kemajuan pertanian dan tata kelola sistem pertanian di daerah pedalaman Sumatra, yang menurutnya sangat maju, mirip dengan yang dilakukan orang-orang berperadaban tinggi.
  6. Di Pariaman, sampai saat ini masih berlaku adat Uang Jemputan yang ternyata ditemukan pula di beberapa negara bagian di India.
  7. Di daerah Kerala, Tamil Nadu, India. Ditemukan komunitas yang menganut matrilineal sekaligus mengaku keturunan Iskandar Zulkarnain juga.
  8. Kalau Anda cermat memperhatikan, orang Minang itu sangat beragam ciri fisiknya, namun secara umum, rata-rata bercirikan Asia Selatan (Orang Pesisiran Pariaman, Padang, Pasaman Barat, Ranah Pasisia), Asia Timur (Orang Luhak Nan Tigo, Pasaman, Solok, Alam Surambi Sungai Pagu, Kurinci) dan Asia Tenggara/Melayu (Orang Rantau Timur, Riau, Sawahlunto, Sijunjuang). Kalau Anda pernah berkunjung ke Srilanka, Tamil Nadu, Madras dan wilayah Benggala, Anda akan merasa mudah bersua dengan wajah-wajah yang akrab dengan Anda di wilayah Pariaman atau Padang. Kalau Anda sering bertandang ke Filipina atau Thailand, mungkin pula Anda akan menyangka bertemu salah-satu kenalan Anda yang asal Bukittinggi. Begitu pula jika Anda pernah berkunjung ke Semenanjung atau Sarawak.
  9. Pada masa penjajahan Kerajaan Pagaruyung Hindu (1347-1450) rata-rata prasasti ditulis dalam dua bahasa, yang terlihat dari dua jenis aksara yang dipakai. Yaitu aksara pallawa berbahasa sansekerta (bahasa resmi Kerajaan Singasari/Majapahit) dan satunya lagi aksara India Selatan yang sering ditemui dalam prasasti-prasasti terkait penyebaran agama Buddha. Adakah perlu dibuat prasasti dalam suatu bahasa (India Selatan) jika tidak ada pembacanya?
  10. Sebagaimana kita ketahui, gelar-gelar para nenek moyang itu seperti Maharaja Diraja, Cati Bilang Pandai, Harimau Campa dan lain-lain sangat beraroma daerah asalnya yaitu India Selatan, Siam dan Tiongkok.

Sumber:

http://www.sungaikuantan.com/2008/11/kerajaan-koto-alangdusun-botuang.html

Sumber bacaan:

  1. Datoek Toeah. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Pustaka Indonesia. Bukit Tinggi.
  2. Graves, E. E. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
  3. Hall, D. G. E. tanpa tahun. Sejarah Asia Tenggara. Usaha Nasional. Surabaya.
  4. Kristy, R (Ed). 2007. Alexander the Great. Gramedia. Jakarta.
  5. Kristy, R (Ed). 2006. Plato Pemikir Etika dan Metafisika. Gramedia. Jakarta.
  6. Marsden, W. 2008. Sejarah Sumatra. Komunitas Bambu. Depok.
  7. Olthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Penerbit Narasi. Yogyakarta.
  8. Samantho, A. Y. 2009. Misteri Negara Atlantis mulai tersingkap?. Majalah Madina Jakarta. Terbit Mei 2009.
  9. Suwardi MS. 2008. Dari Melayu ke Indonesia. Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta.
  10. Wikipedia. Ensiklopedi Bebas. http://wikipedia.org.
  11. https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Melayu
  12. https://nationalgeographic.grid.id/read/13281668/kerajaan-melayu-kuno-sumatra-diduga-lebih-tua-daripada-sriwijaya
  13. https://historia.id/kuno/articles/tujuan-perjalanan-i-tsing-biksu-dari-tiongkok-DOwKX