LGBT, Depopulasi dan Bisnis

Oleh: Emeraldy Chatra

Satu hal yang penting sekali dipahami oleh masyarakat saat ini adalah bahwa fenomena LGBT itu tidak alamiah. LGBT itu hasil rekayasa sosial. LGBT itu ideologi, dan seks sesama jenis adalah ritualnya. Tidak salah kalau saya mengatakan LGBT itu identik dengan komunisme.

LGBT adalah gerakan sosial yang dimulai sejak tahun 1920-an di Eropa, kemudian menjalar ke seluruh dunia. Tahun 1948 kaum LGBT berhasil mengelabui dunia dengan menggolkan ‘benteng’ mereka melalui PBB yaitu Deklarasi Umum Hak-hak Azasi Manusia. Di balik ‘benteng’ itulah mereka bergerak melakukan reorientasi seksual orang-orang yang mulanya strike (normal) menjadi gay, lesbi, atau biseksual.

Apakah bisa orientasi seksual orang dirubah?

Jawabannya: sangat bisa. Mereka yang belajar ilmu komunikasi, khususnya komunikasi antar pribadi mudah mengerti bagaimana proses perubahan itu terjadi. Tidak butuh waktu lama, yang penting komunikasi persuasif (kadang-kadang disertai koersi juga) berjalan sempurna.

Oleh sebab itu, LGBT tidak ada kaitannya sama sekali dengan fenomena homoseksual pada masa-masa sebelumnya. Apalagi dengan fenomena zaman Luth. LGBT adalah gerakan baru, yang berkembang menjadi epidemi global.

Tahun 1980an barulah gerakan LGBT menjadi global. Pusat gerakan beralih dari Eropa ke Amerika Serikat. Kaum Chabad, Cabal, dan para industrialis pendukung New World Order (NWO) berada di belakangnya.

Tujuan mereka menyebarkan homoseksualitas ke seluruh dunia adalah depopulasi (mengurangi penduduk dunia). Depopulasi adalah salah satu program pokok NWO. Sebelumnya mereka sudah menjalankan program Keluarga Berencana yang terkesan sangat rasional, namun kurang berhasil.

Namun sebelum mencapai tingkat depopulasi yang diinginkan mereka berusaha mendapatkan keuntungan maksimal. Gerakan LGBT dijadikan gerakan ekonomi juga. Di AS organisasi LGBT mewajibkan setiap anggotanya meng-gay kan orang paling tidak tiga setahun.

Populasi LGBT yang makin lama makin banyak merupakan potensi ekonomi yang sangat menggiurkan. Anggota LGBT didoktrin dengan konsep brand loyalty . Mereka diajar setia kepada merek-merek tertentu, yaitu merek-merek yang dimiliki oleh sponsor mereka. Oleh sebab itu anggota LGBT pasti akan minum kopi di Starbucks, pakai sepatu Nike, makan burger di McDonald, menggunakan produk-produk Microsoft, dan lainnya. Mengapa demikian? Karena perusahaan-perusahaan itulah sponsor mereka.

Lebih kurang 400 perusahaan global menjadi sponsor gerakan LGBT di dunia ini 1). Perusahaan-perusahaan itu disebut  the friend of LGBT . Sebagai teman, kaum LGBT harus setia dan harus selalu mengonsumsi produk temannya juga. Jadi, kaum LGBT adalah captive market yang potensinya sangat terukur. Itulah sebabnya mengapa organisasi LGBT di AS selalu menghitung buying power atau purchasing power anggotanya setiap tahun 2).

Dengan skenario seperti itu maka tidak mengherankan kalau gerakan LGBT menjadikan anak-anak muda tajir menjadi sasarannya. Para artis, pengusaha muda sukses, anak-anak orang kaya menjadi sasaran penting untuk direkrut menjadi anggota. Tentu saja dengan cara merubah selera seksual mereka yang menyukai kaum sejenis. ***

Sumber Bacaan

1) https://www.huffingtonpost.com/2015/03/05/marriage-equality-amicus_n_6808260.html

2) https://www.bloomberg.com/news/articles/2016-07-20/lgbt-purchasing-power-near-1-trillion-rivals-other-minorities

(Tulisan ini sudah terbit sebelumnya di Harianhaluan, penulis adalah Dosen Universitas Andalas Padang)