Hak Politik dan Alat Negara

OPINI & ARTIKEL50 Dilihat

Oleh : Ikhsan Yosarie

Sejumlah perwira tinggi aktif dari TNI dan Polri akan mewarnai jalannya Pilkada serentak 2018 nanti. Beberapa nama, misalnya Letnan Jenderal Edi Rahmayadi akan berlaga menjadi calon gubernur Sumatera Utara, kemudian Irjen Anton Charliyan sebagai calon wakil gubernur di Jawa Barat, Irjen Safaruddin sebagai calon gubernur di Kalimantan Timur, dan Irjen Murad Ismail yang akan maju sebagai calon gubernur Maluku.

Terjunnya beberapa perwira aktif TNI dan Polri ini kemudian menjadi polemik tersendiri, lantaran status mereka sebagai alat negara (TNI dan Polri) yang masih aktif. Dalam konteks demokrasi, khususnya di Indonesia, alat negara tentu harus bersikap netral dan tidak terlibat politik praktis.

Sehingga, deklarasi bahwa mereka akan maju pada pilkada 2018 yang dilakukan sebelum mereka memundurkan diri dari dinas keprajuritan menjadi sesuatu yang tidak etis dan berpotensi mengganggu netralitas dan profesionalitas sebagai alat negara.

Keterlibatan perwira aktif dalam politik praktis pada dasarnya menabrak beberapa aturan yang berlaku. TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 5 (2) mengamanatkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Amanat ini kemudian disambung dengan ayat (5)-nya, bahwa anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kemiliteran.

Selain TAP MPR, aturan hukum lainnya yang secara tegas melarang keterlibatan alat negara dalam politik praktis adalah UU No.34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Pada pasal 39 UU No.34 tahun 2004, terdapat larangan prajurit TNI untuk terlibat dalam beberapa hal, yaitu anggota partai politik, politik praktis, bisnis, dan dipilih dalam Pemilu atau jabatan politis lainnya.

Kemudian, dalam pasal 28 ayat (1) dan (2) UU No. 2 tahun 2002 mengamanatkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, serta tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.

HAM dan Alat Negara

Pro-kontra pengembalian hak politik militer kembali mencuat menjelang masa Pemilu atau Pilkada. Timing pembahasannya selalu berada disekitar sana. Hal ini dapat kita maklumi sebagai bagian dari hak setiap warga negara untuk memilih atau dipilih dalam pesta demokrasi.

Pengembalian hak politik militer, dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) sebenarnya memiliki dimensi kelogisannya sendiri. Bukan hanya sekedar kenangan indah ketika TNI berpolitik dimasa lalu, namun pasal 28 UUD 1945 sudah menjamin HAM setiap Warga Negara Indonesia (WNI).

Benang merahnya adalah prajurit TNI dan anggota Kepolisian juga merupakan WNI sesuai dengan pasal 28 ayat (1) huruf a UU No.34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan pasal 21 ayat (1) huruf a UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.

Di dalam pasal 28 UUD 1945, diatur perihal kemerdekaan berpendapat setiap warga negara, perlindungan dari diskriminasi, kepastian hukum, dan hak untuk mengembangkan diri. Amanat pasal 28 UUD 1945 tersebut secara tidak langsung mengarah kepada hak politik adalah sesuatu yang universal, dimana setiap warga negara pada dasarnya memiliki hak memilih dan dipilih tanpa adanya diskriminasi. Selama seseorang menjadi prajurit TNI dan/atau anggota Kepolisian yang notabene merupakan bagian dari Indonesia dan WNI, maka selama itu pula pada dasarnya setiap prajurit TNI dan anggota Kepolisian memiliki hak untuk berpolitik.

Akan tetapi persoalannya tidak hanya menimbang dimensi HAM warga negara, namun pertimbangan lainnya adalah dalam konteks demokrasi terjadi polarisasi status antara sipil-militer (alat negara). Alat negara tidak boleh berpolitik praktis lantaran memiliki tanggungjawab yang berbeda, yaitu pertahanan dan keamanan.

Demi mengemban amanat tersebut, alat negara kemudian dilengkapi dengan persenjataan lengkap. Artinya, posisi sebagai alat negara membuat semacam garis batas antara HAM dan WNI dalam konteks hak politik. Garis batas ini bukan berarti meniadakan atau diskriminasi, akan tetapi bagian dari dukungan terhadap pelaksanaan tugas.

Rasionalitas penolakan terhadap pengembalian hak politik militer juga patut menjadi pertimbangan. Selain berlandaskan TAP MPR No. VII/MPR/2000, UU No.34 tahun 2004 tentang TNI, dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian sebagai landasan yuridisnya, juga terdapat beberapa alasan lain yang relevan.
Pertama, dalam konteks profesionalitas prajurit TNI.

Jauhnya militer turut serta dalam dunia politik, dikhawatirkan berimbas kepada terganggunya profesionalitasnya. Intensitas peran alat negara akan habis dalam dunia politik praktis. Sementara tugas utamanya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara akan terpinggirkan.

Ketika dahulu militer terlibat politik praktis, keterlibatannya hampir mencakup kesemua aspek kekuasaan politik. Bisa kita lihat dominasi ABRI pada (1) bidang administrasi pemerintahan, (2) pengurusan dan pembentukan partai politik, (3) jabatan-jabatan di birokrasi pemerintahan sipil, (4) posisi sebagai komisaris di BUMN, (5) pihak yang menjadi mediator ketika terjadi konflik dalam masyarakat (Asrinaldi, 2014).

Kedua, pengembalian hak politik alat negara berindikasi mengakibatkan perpecahan di dalam tubuh TNI-Polri. Tiap-tiap perwira menjadi basis politik, dan berupaya untuk memperluas pengaruh politiknya kepada prajurit atau anggota dibawahnya. Hal-hal seperti ini sangat berbahaya dalam menjaga kesolidan internal institusi, karena pengaruh pilihan politik praktis perwira.

Sosialisasi perihal demokrasi dan hak politik kepada para prajurit juga perlu diperhatikan. Pemahaman demikian tidak bisa hanya sebatas kepada para perwira. Sosialisasi tersebut harus sampai kepada satuan-satuan dibawahnya.

Jika demikian, akan ada indikasi salah komunikasi antara prajurit atau anggota dengan perwira dalam pelaksanaannya. Misalnya salah penafsiran terhadap instruksi atasan. Ketika atasan sekedar memberi pujian atau membahas salah satu tokoh politik atau calon kepala daerah, hal itu bisa ditafsirkan anggota bahwa atasan memihak kepada tokoh tersebut. Padahal hal tersebut belum tentu.

Kata lainnya adalah proses demokrasi yang belum matang di dalam tubuh alat negara. Under the command menjadi paradoks yang didapatkan prajurit apabila dihadapkan dengan hak politik yang cenderung bersifat merdeka atau bebas dari intervensi.

Kemudian yang ketiga adalah TNI dan Polri sebagai alat negara. Posisi sebagai alat negara, membuat pergerakan TNI dan Polri disesuaikan dengan keputusan politik negara. Dengan posisi itu juga, untuk menjaga fokus pertahanan, hak politik prajurit TNI ditiadakan. Secara filosofis, posisi TNI dan Polri yang demikian bisa ditafsirkan, ketika seseorang menjadi prajurit TNI atau anggota Kepolisian, maka bersamaan dengan itu ia memberikan atau mewakafkan HAM-nya untuk kepentingan negara.

Secara sadar atau tidak, hal demikian akan terjadi. Sehingga, pada kasus ini tidak logis pula apabila ketiadaan hak politik ditafsirkan sebagai tindakan negara merampas HAM prajurit TNI dan anggota Kepolisian dalam bentuk hak politik.

Penyerahan HAM prajurit TNI dan anggota Kepolisian dalam bentuk hak berpolitik kepada negara itu wajar. Sehingga membuat politik negara menjadi politik TNI dan Polri.

Tidak seperti warga negara biasa, prajurit TNI dan anggota Kepolisian merupakan warga negara yang diperlengkapi dengan senjata, dan menggunakan alutsista. Jika senjata-senjata tersebut memasuki dunia politik praktis, akibat buruk dan preseden buruk berdemokrasi menanti didepan mata kita.

Kedewasaan berdemokrasi menjadi catatan penting yang harus ditekankan kepada alat negara sebagai bagian dari reformasi. Dengan kedewasaan berdemokrasi, alat negara menyadari posisi dan tanggungjawabnya, dan mampu mendukung terwujudnya konsolidasi demokrasi.

(Penulis adalah pengamat militer)