Cara Sederhana Mengukur Siapa Kandidat Pemenang Pilpres

Oleh : Anton Permana

Ada empat indikator sederhana untuk mengukur peluang pemenang dalam sebuah kontestasi politik baik di Pilkada maupun Pilpres. Yaitu ; Figuritas kandidat (Man), Strategi pemenangan (Methode), Soliditas tim (Machine), Logistik (Money).

Kenapa hal ini penulis sengaja sampaikan, agar setidaknya melepas dahaga keingintahuan masyarakat sambil memprediksi siapa yang akan jadi pemenang di Pilpres 17 april nanti. Karena apa, karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap survey sudah hancur lebur. Titik kulminasinya adalah pada Pilkada DKI, Pilkada Jabar, dan Pilkada Jateng kemarin. Khususnya Pilkada DKI.

Hampir semua survei merilis Ahok yang menang Pilkada. Tapi ternyata Ahok kalah telak dari pasangan Anies – Sandi. Ini sebuah tamparan keras bagi lembaga survey dan cemoohan bagi masyarakat. Akhirnya masyarakat tak percaya lagi dengan hasil survey by order tersebut.

Termasuk sekarang ini. Bahkan sekelas rilis survei Denny JA pun yang katanya Bapak Survey Indonesia dicemooh oleh begawan ekonomi yg terkenal idealis yaitu Kwik Kwian Gie. Karena apa, sudah menjadi rahasia umum kalau survey di Indonesia sekarang sudah bergeser menjadi alat (tools) pembentuk opini masyarakat. Dan bedanya antara negara maju dan Indonesia, di negara maju pemodal survey dipublish secara terbuka. Di Indonesia tdk pernah dipublish karena jelas, yang memberikan orderan survey adalah politisi dan kandidat dgn tujuan tertentu.

Untuk itulah penulis tertarik untuk mencoba memberikan sebuah method sederhana secara kualitatif untuk menakar siapa kira-kira yang akan menjadi pemenang di Pilpres nantinya dengan parameter sebagai berikut :

Pertama, figur, dari sosok pasangan, penulis yakin masyarakat tentu sudah tak asing lagi dengan kedua pasang nama tersebut Jokowi -Maruf dan Prabowo – Sandi.

Secara popularitas kedua pasangan ini sama sama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan, kalau kita menilai, Jokowi awalnya sedikit diuntungkan dgn posisinya sebagai Presiden. Akan tetapi melihat kondisi perekonomian, tumpukan hutang, banjir TKA, import pangan, sembako-BBM-TDL mahal di masa pemerintahannya menjadi pukulan balik bagi elektabilitas Jokowi.

Untuk Maruf Amin, awalnya juga cukup fenomenal karena beliau seorang ulama dan ketua MUI. Namun konflik internal di NU kultural sendiri yg menganggap MA maju atas inisiatif sendiri serta umurnya yang sudah tergolong uzur juga menjadi pukulan balik yang bikin pusing TKN bagaimana menetralisir ini semua.

Sebaliknya pasangan Prabowo-Sandi. Di Tengah hujatan dan fitnah isu lama ttg mei 98, tak bisa sholat, pelanggaran HAM, pemecatan dari dinas ketentaraan, dikarenakan ini adalah isu lama yang didaur ulang menjadikan masyarakat jenuh dan justru berbalik jadi simpatik. Karena kalau mmg Prabowo bermasalah HAM dst, kenapa di Pilpres 2009 Megawati berpasangan dgn Prabowo. Ditambah semakin terbongkarnya bahwa isu itu semua hanyalah rekayasa kelompok tertentu yg punya dendam politik masa lalu terhadap Prabowo.

Cuma bedanya pada pasangan 02 ini adalah memiliki cawapres yg tajir, muda, ganteng, dan cerdas, yaitu Sandiaga Uno. Sandi effect ini sangat luar biasa memberikan dampak elektabilitas pada pasangan 02. Sampai lahir sebuah barisan power of emak-emak yg tak bisa dianggap remeh sepak terjangnya.

Dan kalau kita akumulasi disinilah letak keunggulan pasangan 02 dalam indikator figuritas. Jadi penulis memberikan Skor 0 : 1 untuk Prabowo – Sandi.

Kedua, strategi, masing masing tim tentu mempunyai jurus ampuh untuk bagaimana meraup sebanyaknya pemilih di Pilpres nanti.
Awalnya kita tentu mengakui bagaimana spektakulernya Jokowi bisa mengalahkan Prabowo pada Pilpres 2014. Dan penulis menganalisa salah satu kehebatan tim jokowi adalah ketepatan kalkulasi segmen pemilih dgn strategi yang digunakan.

Maksudnya adalah, Jokowi konsen menggarap segmen non-muslim (20 persen), segmen anak PKI (20 juta an), serta segmen liberalis, sekuler, dan Islam tradisional NU, serta jawa sentris.

Walaupun Islam mayoritas di Indonesia, tapi Islam di Indonesia itu banyak coraknya. Lebih banyak Islam abangan, pro liberalis, dan tradisional. Segmen ini semua dengan apik digarap jokowi dengan paripurna.

Namun tentu sangat jauh berbeda dgn Pilpres 2019 sekarang ini. Pergeseran pemilih sangat tajam. Ditambah, kasus penistaan agama oleh Ahok adalah titik balik kesadaran umat Islam yg semulanya acuh dan apatis, sekarang jadi melek politik. Umat Islam yg awalnya dominan liberalis, sekarang dengan ditambah fenomena UAS, ijtima ulama, kekuatan gelombang suara umat Islam tidak lagi bisa dianggap remeh.

Malah penulis memprediksi Islam fundamental sekarang di Indonesia mulai melewati angka 50 persen, yg awalnya juma 12 persen. Ditambah dengan fenomena rocky gerung dgn kampanye akal sehatnya, melalui medium ILC TV One meluluh lantakkan framing kubu petahana.

Di pilpres 2014 mungkin jokowi tepat dlm strategi dan koptasi segmen pemilih non Islamnya, namun sekarang perubahan peta politik keIslaman yg jelas mayoritas di Indonesia jelas jadi bumerang bagi kubu jokowi. Kesalahan strategi ini sangat fatal bagi kubu jokowi ketika menjadikan Islam sebagai musuh utama dlm bernegara. Dan hal ini tentu menguntungkan pasangan Prabowo – Sandi. Untuk itu penulis memberikan skor 0 : 1 untuk pasangan Prabowo – Sandi.

Ketiga, tim, TKN untuk tim Jokowi-Maruf, BPN untuk tim Prabowo-Sandi. Secara formal kedua tim dibentuk dari koalisi partai politik dan sayap sayap relawan. Bahkan ratusan sayap relawan inipun terbentuk sampai kedaerah.

Kalau melihat hasil kampanye di lapangan, kita harus mengakui bahwasanya kalau Prabowo-Sandi jauh lebih unggul dari Jokowi-Maruf. Baik dari jumlah massa yang hadir, maupun dari corak dukungan. Sangat jauh berbeda dengan pasangan petahana yang dihantui dengan teror kursi kosong dan teror sua jari dimana mana. Sehingga tak jarang, kampanye petahana sampai dibatalkan sepihak karena tak ada massa yang hadir. Seperti contoh di Deli Serdang minggu kemaren.

Tapi namanya penguasa yg mempunyai infrastruktur kekuasaan. Kubu petahana memainkan kartu jabatannya sebagai presiden ketika buat acara. Kita pasti bisa bedakan, kalau petahana kampanye murni pasti sepi, dan hanya ramai ketika posisinya dalam kegiatan sebagai Presiden. Apakah jalan sehat atau peresmian apa misalnya. Artinya salah satu point terpenting petahana adalah bisa menggunakan kekuasaannya untuk memobilisasi aparatur baik ASN, BUMN, dan honorer. Belum lagi penggalangan massa yang sudah terang terangan dilakukan oleh Babinkamtibmas di tengah masyarakat.

Beda dengan tim prabowo yang memang berasal dari arus bawah, emak-emak militan, dan kelompok Islam fundamental. Analoginya adalah, kalau tim jokowi berupa pasukan reguler aparatur pemerintahan, pasangan 02 banyak lahir dari para milisi yang militan. Jadi untuk indikator Tim ini penulis beri skor 1 : 1 (seimbang) bagi kedua kubu.

Keempat, logistik, logistik dalam peperangan adalah salah satu penentu kemenangan. Begitu juga dalam kontestasi Pilpres sekarang ini. Secara masing individual tentu pasangan Prabowo – Sandi jauh lebih kaya dan tajir dari petahana. Karena pasangan 02 ini dari dulu memang konglomerat sukses yang kekayaannya sudah triliunan. Apalagi Sandiaga Uno, yg pernah dinobatkan orang terkaya 10 besar di Indonesia.

Tapi walaupun Jokowi – Maruf segi kekayaan tergolong biasa, namun mereka mempunyai dukungan daripada naga raksasa ekonomi dunia. Bukan rahasia lagi bagaimana 9 naga memberikan support penuh di bawah koordinasi LBP. Ditambah lagi, dengan telah menjabat 4,5 tahun serta power kekuasaan yg dimiliki, pasangan petahana mempunyai sumber finansial logistik yg melimpah ruah.

Lihat saja serbuan paket bingkisan, iklan, souvenir, pasangan ini kalau diuangkan sangat fantastis. Tentu saja dalam hal indikator finansial ini petahana jauh lebih unggul dari pada pasangan 02. Untuk itu penulis memberikan skor 1 : 0 buat petahana.

Akhirnya kalau kita simpulkan dan akumulasikan maka skor nya adalah : Jokowi – Maruf 2, Prabowo – Sandi 3. Prabowo – Sandi menang satu angka dari pasangan petahana.

Apakah empat ndikator ini logis dan ilmiah ? Jawabannya sederhana saja. Sebagus apapun figur kandidat butuh sebuah strategi yg benar dan jitu dalam kontestasi politik. Sebagus apapun kandidat, sehebat apapun strategi yg dirancang, tetap butuh tim yg kuat dan solid dalam menjalankan program penenangan. Sebagus apapun figur kandidat, sehebat apapun strategi, sekuat apapun tim pemenangan, tidak berarti apa-apa kalau finansial logistiknya tidak ada.

Artinya, empat indikator ini harus simultan dan terukur. Dan akan menjadi tolak ukur kemenangan seorang kandidat dalam kontestasi politik. Tepat atau tidak tepatnya hasil prediksi kita diatas, biar waktu yang menjawabnya. Silahkan gunakan nalar dan logika akal sehat kita semua. Semoga bermanfaat. Wallahu’alam.

(Penulis adalah pemerhati Politik)