Panghulu di Ranah Minang

KabarDaerah.Com– Upacara malewakan gala atau menegakkan penghulu adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat nagari untuk mengukuhkan sako (gelar pusaka) pada suatu kaum. Menegakkan sako dapat dilakukan atas tiga hal seperti hiduik bakarelaan (mengganti penghulu yang masih hidup), mati batungkek budi (mengganti penghulu yang sudah meninggal dunia), gadang manyimpang (pengankatan penghulu baru).

Malewakan gala bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat atas pelantikan pemimpin baru suatu kaum dan penghulu tersebut akan memimpin nagari secara kolektif bersama dengan penghulu lainnya.

Seorang penghulu pada hakekatnya “tumbuah dek batanam, tinggi dek baanjuang, gadang dek baambak” (tumbuh karena ditanam, tinggi karena dianjung, besar karena digemburkan).

Kepemimpinan penghulu ditentukan oleh masyarakat kaumnya, perlu mendapatkan dukungan dari anggota keluarganya untuk menjalankan roda pemerintahan keluarga kaum dan nagari.

Biasanya upacara pengankatan penghulu dilakukan selama tiga hari disertai dengan pertunjukan kesenian untuk menghibur tamu dan makan bersama dengan cara menyembelih seekor kerbau dan kepalanya digantungkan di tempat yang lebih tinggi sebagai tanda suksesnya kegiatan ini.

Semua keluarga dekat, keluarga jauh dan kerabat serta masyarakat lainnya dalam nagari turut hadir memeriahkan terutama pada acara puncak seperti mendengarkan pidato adat yang menyatakan tugas dan tanggung jawab penghulu baru tersebut. Dalam pidato adat penghulu yang baru diangkat tersebut menyatakan bahwa ia berjanji tidak menyimpang dari kaedah adat dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Sebelum kita membahas tentang tata cara pengangkatan penghulu, kita harus mengetahui alasan, mengapa diadakan pengangkatan penghulu. Untuk itu mari kita simak beberapa alasan diadakannya pengangkatan penghulu tersebut :

  1. Mati Batungkek Budi, Mati batungkek budi maksudnya adalah penghulu yang meninggal dunia dalam keadaan masih memegang gala sako atau gala penghulu. Sedangkan orang yang menerima jabatan kepenghuluan selanjutnya disebut batungkek budi. Gelar pusaka dihimbaukan di tanah sirah, yang artinya pusara. Keadaan seperti ini segera mengadakan helat untuk menegakkan kepenghuluannya.
  2. Hiduik Bakarilahan, Hiduik bakarelaan artinya, pertukaran penghulu disebabkan karena penghulu yang lama sudah tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya. Sebagaimana pepatah mengatakan: ” kok Bukik lah tinggi, kok lurah lah dalam “, sehingga ia tidak sanggup lagi menjalankan amanah yang dipikul dipundaknya sehingga perlu diganti dengan cara menyerahkan gelar kebesaran adat tersebut ke kemenakan.
  3. Mambangkik Batang Tarandam, Mambangkik batang tarandam artinya, mengangkat seorang penghulu karena gelar pusaka, sudah lama terpendam yang disebabkan karena kekurangan alat untuk melaksanakannya. ujan taduah harilah tarang disinan baru di nagkek panghulu, kekurangan dana atau uang
  4. Malakekkan Baju Talipek: Malakekkan baju talipek artinya, gelar pusaka tidak dipakai. Dalam hal ini bukan alat yang kurang, tetapi orang yang akan menyandang gelar tersebut tidak ada. Ini mungkin disebabkan karena orang yang berhak menyandang gelar pusaka masih kecil sehingga gelar pusaka dilipat dahulu, menunggu dia akil baligh dan berakal. Setelah ia besar dan akil baligh, barulah diadakan pengangkatan penghulu.
  5. Manurunkan Nan Tagantuang: Manurunkan nan tagantuang artinya, mengangkat seorang penghulu dengan alasan pengangkatan sudah lama tertangguh karena belum mendapat kesepakatan dari kaum atau kamanakan terhadap calon pengganti penghulu, sehingga  gelar pusaka digantung dahulu.
  6. Mambalah Siba Baju: Babalah siba baju atau disebut juga dengan padi sarumpun dibagi duo, artinya menambah penghulu baru karena anak kemenakan bertambah banyak. membangun panghulu baru.
  7. Mangguntiang Siba Baju: Mangguntiang siba baju artinya, mendirikan penghulu baru karena ada persengketaan diantara beberapa kaum dalam menentukan calon pengganti penghulu.
  8. Gadang Manyimpang, Gadang manyimpang artinya mendirikan penghulu baru oleh suatu kaum yang ingin memisahkan diri dari kepemimpinan yang telah ada.
  9. Mambangun Nagari Baru

 

SYARAT MENJADI PANGHULU

Setelah kita mengetahui alasan mengapa diadakannya pengangkatan penguhulu tersebut, kemudian kita juga harus mengetahui syarat-syarat menjadi seorang penghulu. Adapun syarat- syarat menjadi seorang pemghulu antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Laki-laki, seorang penghulu haruslah laki-laki, tidak boleh perempuan. Karena penghulu adalah pemimpin, maka laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.
  2. Baik bibitnya, maksudnya, orang tuanya berasal dari keluarga yang baik-baik, sehingga berguna sebagai jaminan akhlaknya.
  3. Baligh dan Berakal, Seorang penghulu haruslah orang dewasa, berakal dan berpendidikan, serta teguh dan tegas dalam segala tindakan.
  4. Berilmu, Penghulu harus mempunyai ilmu pengetahuan tentang adat, agama, termasuk undang-undang dan hukum adat serta memiliki ilmu pengetahuan umum menurut zaman.
  5. Adil, Penghulu tidak boleh berat sebelah. maksudnya, semua kemenakan dianggap sama, baik yang kandung maupun yang tidak. Penghulu harus adil dan tidak boleh pilih kasih.
  6. Arif Bijaksana Penghulu harus mempunyai perasaan yang halus, berpikiran tajam, cerdik-cendikiawan,paham yang tersirat.
  7. Tabligh atau menyampaikan. Seorang penghulu hendaklah menyampaikan sesuatu yang baik kepada masyarakat.
  8. Pemurah, Penghulu harus bersedia memberi nasehat-nasehat kepada siapa saja yang menghendaki.
  9. Tulus, Seorang penghulu harus memiliki sifat yang lurus dan benar.
  10. Sabar,Seorang penghulu hendaklah berlapang dada dan beralam luas.
  11. Kaya,Penghulu hendaklah orang yang berada, sehingga ia tidak menyusahkan anak kemenakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

PANTANGAN SEORANG PENGHULU

Penghulu sebagai pemangku adat adalah nan didahulukan salangkah, nan ditinggikan sarantiang,

Tidak boleh melanggar pantangan, gunanya untuk menjaga martabat dan wibawa penghulu diantaranya adalah:

  1. Marah, Marah adalah pantangan seorang penghulu dalam pergaulan sehari- hari, lebih- lebih dalam acara rapat/ musyawarah. Penghulu tidak dibenarkan memerahkan muka dan menuturkan kata-kata yang menyinggung perasaan orang yang mendengar.
  2. Menghardik, Penghulu tidak boleh menghardik. Ia harus bersikap lembut dan tenang  serta manis tutut sapanya.
  3. Menyingsiangkan Langan Baju, Penghulu hendaklah senantiasa tertib dalam setiap gerak geriknya, karena selain menjadi suri tauladan yang baik, penghulu juga harus di hormati dan di segani oleh anak kemenakannya.
  4. Berlari, menjujung atau memanjat, Pantangan ini gunanya untuk menjaga martabat, kehormatan, dan harga diri seorang penghulu.

Mulai dari alasan diadakannya pengangkatan penghulu, syarat- syarat menjadi seorang penghulu, serta pantangan dari seorang penghulu. Terakhir, kita akan membahas tentang cara- cara pengangkatan penghulu. Ada beberapa cara yang harus dilalui dalam pengangkatan penghulu, yaitu diantaranya sebagai berikut:

  1. Menentukan Baniah: Menentukan baniah maksudnya, menentukan calon penghulu yang akan diangkat oleh kaum yang patut menyandang gelar penghulu. Pemilihan calon ini harus di rundingkan terlebih dahulu baik buruk calon penghulu tersebut.
  2. Dituah dicilakoi: Dituah dicilakoi artinya, calon penghulu diperbincangkan baik buruknya dalam suatu rapat khusus yang dihadiri oleh lelaki dan wanita dalam kaum itu. Keputusan rapat dibawa ke dalam rapat keluarga saparuik ( keluarga berdasarkan garis keturunan ibu ). Di sini “dituah dicilakoi” lagi sesuai dengan sifat- sifat yang harus dimiliki seorang penghulu.
  3. Penyerahan Baniah: Setelah di peroleh kata sepakat, perlu di undang penghulu setungku untuk menerima penyerahan baniah. Penghulu setungku maksudnya penghulu-penghulu yang akan sehilir- semudik nantinya dengan calon penghulu dalam memimpin masyarakat nagari. Dalam rapat penghulu setungku ini, juga di beri kesempatan untuk hadirnya anak dan pinak, serta andan dan pasumandan untuk mengenal calon penghulu lebih dekat.
  4. Manakok Hari: Manakok hari artinya, menentukan kapan perhelatan berlangsung. Manakok hari juga ditentukan dalam rapat penghulu setungku. Di sini anak kemenakan membagi- bagi tugas untuk dikerjakan pada perhelatan nanti.
  5. Pelaksanaan Upacara Menegakkan Penghulu atau Melewakan Gala: Untuk peresmian pengangkatan calon penghulu menjadi penghulu bagi nagari, di adakan jamuan seisi nagari dengan maksud agar gelar itu dapat di ketahui oleh pihak umum. Dalam menjamu ini berlakulah apa yang di katakan dengan mengisi adat yaitu manurunkan jamua , artinya mengeluarkan padi dari rangkiang dan menyembelih hewan

Disamping hak, penghulu mempunyai pula kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh adat.

Ada empat kewajiban yang dimiliki oleh penghulu dalam memimpin anak kemenakan. Keempat kewajiban itu adalah sebagai berikut:

  1. Menuruik alue nan lurus (menurut alur yang lurus), yang dikatakan menurut alur yang lurus, yaitu tiap-tiap sesuatu yang akan dilaksanakan oleh penghulu hendaklah menurut garis-garis kebenaran yang telah digariskan oleh adat. Penghulu berkewajiban untuk tidak menyimpang dari kebenaran tersebut dan kebenaran itu dapat dibuktikannya, seperti ungkapan adat mengatakan “luruih manahan tiliak, balabeh manahan cubo, ameh batuah manahan uji”. Alur yang lurus ini dapat pula dibedakan atas dua bahagian, yaitu alur adat dan alur pusaka. Alur adat yaitu peraturan-peraturan di dalam adat minangkabau, asal peraturan tersebut disusun dengan kata mufakat oleh penghulu-penghulu atau ninik mamak dalam satu nagari. Sedangkan alur pusaka artinya semua peraturan-peraturan yang telah ada dan diterima dari nenek moyang Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatiah nan sabatang. Alur pusaka ini di dalam adat dikatakan “hutang babaia, piutang batarimo. Salah batimbang, mati bakubua”.
  2. Manampuah jalan nan pasa (menempuh jalan yang pasar), yang dikatakan manampuah jalan nan pasa yaitu peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Seorang penghulu hendaklah meletakkan atau melaksanakan apa yang telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang dari yang telah digariskan adat, yaitu balimbago, bacupak, dan bagantang (berlembaga, bercupak, dan bergantang).
  3. Mamaliharo harato pusako (memelihara harta pusaka), penghulu berkewajiban harta pusaka, seperti dikatakan warih dijawek, pusako ditolong. Harta pusaka merupakan kawasan tempat anak kemenakan berketurunan mencari kehidupan, tempat beribadah dan berkubur. Harta pusaka yang dipelihara seperti pandam perkuburan, sawah ladang, labuh tapian, korong dengan kampung, rumah tangga, balai dan mesjid. Harta pusaka yang berupa adat istiadat yang telah diwarisi turun-temurun dari nenek moyang juga dipelihara dan ditolong untuk dilanjutkan pada generasi selanjutnya.
  4. Mamaliharo anak kemenakan (memelihara anak dan kemenakan). Penghulu berkewajiban memelihara anak kemenakan “siang mancaliak-caliakk-an, malam bandanga-dangakan, barubah basapo, batuka baanjak, hilang bacari, luluih basalami” Dalam hal-hal yang umum penghulu juga mempunyai kewajiban yang sama terhadap anak-kemenakan penghulu lainnya, jika mereka bersalah perlu di tegur dengan batas-batas tertentu.

Disamping hak Panghulu juga memiliki hak didalam kaumnya diantaranya adalah sebagai berikut:

    1. Pertama, Memutuskan sesuatu permasalahan secara tegas dan tepat. Di tengah-tengah kaumnya seorang penghulu berhak untuk mengambil suatu keputusan yang tegas dan tepat mengenai sesuatu permasalahan, tetapi tidak ditinggalkan unsur-unsur MUSYAWARAH MUFAKAT dengan seluruh anggota kaum. Dia tidak ragu-ragu bertindak dan mengatur sesuatu yang bertujuan baik untuk kepentingan kaum. Seorang penghulu tidak boleh membeo saja, apa yang diingini oleh anggota kaumnya. Kelebihannya sebagai seorang pemimpin harus ditunjunkkannya dalam sikap dan tindakannya.
    2. Kedua Memperoleh sawah kagadangan(sawah abuan). Karena tugas penghulu tersebut cukup sibuk, baik urusan kedalam maupun keluar yang menyangkut dengan kaumny, sudah jelas dia tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari nafkah, maka penghulu mempunyai hak untuk mendapatkan sawah kagadangan (sawah kebesaran) milik kaumnya. Hasil sawah kagadangan ini diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
    3. Ketiga Menetapkan hak dan kewajiban kemenakan. Dalam kerapatan suku dan nagari seorang penghulu mempunyai hak suara untuk menyampaikan sesuatu berupa usul dan pendapat demi kepentingan suku, nagari dan anak kemenakan pada umumnya. Seseorang penghulu secara mufakat dan bersama-sama pada tingkat nagari, untuk menetapkan atau memutuskan sesuatu yang akan diberlakukan pada anak kemenakannya.
    4. Keempat Memperoleh hasil ulayat. Penghulu pada suku dan nagari juga mempunyai hak untuk mendapatkan hasil dari ulayat suku dan nagari, seagaimana diaktakan : karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampieng, kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang).

Sebagai pemimpin dalam adat DI RANAH MINANG pangulu harus menjadi suri tauladan yang baik bagi kaum yang dipimpinnya. Berbuat yang benar, bersikap yang baik adalah mutlak bagi pangulu di Minangkabau. Untuk menjaga kredibilitas dan identitas seorang pangulu maka ada beberapa hal yang menjadi pantangan dan larangan bagi seorang Pangulu.

 

LARANGAN PANGHULU

Ada 4 macam larangan bagi pangulu di Minangkabau. Mamakai cabua sio sio, maninggakan siddiq jo tabligh, mahariak mahantam tanah, bataratik bakato asiang.
  1. Mamakai Cabua Sio Sio.  Artinya adalah pangulu dilarang berbicara kata kata yang tidak baik. Sebagai pemimpin pangulu harus bertutur kata yang baik, agar menjadi panutan bagi kaum dan kemenakannya. Kehalusan tutur kata pangulu akan menjadi harga tersendiri sebagai seorang pangulu di Minangkabau.
  2. Maninggakan Siddiq jo Tabligh.  Maknanya adalah seorang pangulu harus senantiasa memegang teguh sifat sifat yang harus dimiliki pangulu tersebut. Pangulu harus senantiasa benar dalm bersikap dan berucap. Demikian juga pangulu harus menyampaikan dan mengajak orang orang khususnya anak kemenakannya untuk berperilaku sesuai syarak dan adat. Terkait : Sifat Niniak Mamak nan Ampek.
  3. Mahariak Mahantam Tanah. Pangulu sebagai pemimpin dilarang untuk marah dengan cara lepas kontrol. Semarah marah-nya seorang pangulu harus tetap mengedepankan kebijaksanaan dan sikap lemah lembut.
  4. Bataratik Bakato Asiang. Dalam istilah modernnya arti kalimat ini adalah konsekuen dan konsisten. Sebuah kbenaran yang dipegang tak boleh tergoyahkan oleh bujuk rayu apalagi karena harta.
  5. Pantangan Pangulu di ranah Minang Pantangan dalam artian ini adalah sikap dan perilaku yang bisa merusak. Sama seperti meminum obat, istilah pantangan akan membuat efek obat tidak bekerja. Demikian juga pangulu, pantangan ini akan menjadikan pangulu tidak disegani lagi karena telah jatuh wibawanya. Pantangan tersebut adalah :
PANTANGAN PANGHULU 
  1. Parabo Panaiak Darah.  Seorang pangulu dihormati sebagai pemimpin. Sewajarnya pemimpin menjadi tempat berlindung bagi kaumnya, tempat mencari jalan keluar jika ada masalah, tempat minta pertimbangan jika bimbang. Peran yang disebutkan tak akan berjalan jika pangulu adalah seorang yang pemarah dan emosional. Itulah artinya, Pangulu memiliki pantangan parabo panaiak darah.
  2. Balari Lari. Sebagai pemimpin yang dihormati, memiliki wibawa dan perilaku elegan. Pangulu dilarang untuk berlari lari. Walaupun dalam kondisi terburu buru ataupun hujan sekalipun. Pangulu adalah orang yang ditua-kan dan dianggap dewasa, sementara berlari lari itu dianggap sebagai ke-kanak kanakan. Jika dilakukan memang agak janggal untuk dilihat masyarakat pangulu berlari lari.
  3. Manjinjiang jo manjujuang. Pangulu seorang pemimpin, tidak layak disuruh membawa beban dalam artian fisik. Misalkan seoran pangulu menjinjing belanjaan istri, pangulu memikul  sesuatu. Seharusnya, jika dalam beban seperti itu, pangulu bisa meminta bantuan kemenakannya dan kewajiban kemenakannya lah untuk membantu. Jika terjadi hal semacam ini maka seorang pangulu akan dipandang sebelah mata untuk waktu berikutnya.
  4. Mamanjek-manjek. Seorang pangulu dilarang memanjat. Apapun itu jenisnya, misalkan memanjat pohon kelapa. Sama dengan kondisi jika pangulu memiliki beban. Dia berhak minta antuan kemenakannya, dan kemenakannya harus menolong demi menjaga wibawa pangulu tersebut.

Dengan sajian singkat ini setidaknya dapat menjadi ilmu buat anak-anak minang yang sedang bermasalah dengan penghulu di kampung masing masing.

 

CACEK DEK PANGHULU

  1. Pangalah, alun baranang lah mandingin, lamah mental kurang Pede
  2. Pangaliah, kini barisuak indak, matah sabalun masak
  3. Pangelah, moko awak nan buruak usahlah camin dipacahkan
  4. Pangaluah,

 

Jenis Jenis Sifat Cilako Niniak Mamak / Panghulu

  1. Panghulu nan di Tanjuang, bakato manurui nuruik,ilmu tidak ada
  2. Panghulu Ayam Gadang, rancak di Labuh,awak bagak kecek awak, sega licin kupiah teleang.
  3. Panghulu Buluah Bambu, tagak manapi-napi,
  4. Panghulu Tupai Tuo, elok nan mangalua, mahandok di pangka dahan, mati aka, saluak lah lusuh dijunjuangnyo.
  5. Panghulu katuak katuak/Pasif/Indak sensitif digua mako babunyi penghulu pasif.  acuah tak acuak ka nagari.
  6. Panghulu Nan Busuak Ariang, angik lai, busuakpun ado, Sanang mancaliak urang susah,susah mancaliak urang sanag.

 

Setiap suku-suku DI RANAH MINANG memiliki struktur penghulu dengan gelar masing-masing. Tinggi rendahnya kedudukan seorang Penghulu dalam adat Minang sangat dipengaruhi oleh kaumnya, dan hal ini sangat memengaruhi status seorang penghulu untuk dapat mengatur dan mengelola sebuah nagari nantinya. Umumnya pada sebuah nagari, suku-suku awal pada nagari tersebut memiliki dominasi atas suku-suku yang datang kemudian. Selain memiliki tanah atau sawah yang luas, para penghulu dari suku-suku awal ini juga ditempatkan pada posisi terhormat dibanding penghulu dari suku-suku yang datang kemudian.

Jabatan penghulu dalam sistem matrilineal ranah Minang terdiri dari tingkatan sebagai berikut :

  1. Penghulu suku, penghulu yang menjadi pemimpin suku dan merupakan penghulu andiko (utama), serta disebut juga penghulu pucuk (Koto-Piliang) dan penghulu tuo (Bodi-Caniago).
  2. Penghulu payung, penghulu yang menjadi pemimpin warga suku yang telah membelah diri dari kaum sukunya karena perkembangan jumlah warga suku tersebut.
  3. Penghulu indu (turunan), penghulu yang menjadi pemimpin warga suku yang telah membelah diri dari kaum sepayungnya.

 

HARATA PUSAKO TINGGI

Permasalahan harta pusaka di Minang sudah menjadi hal yang biasa kita lihat di masa sekarang. Banyak sesama keluarga, tetangga, sesuku, bahkan sekampung bisa pecah karena masalah harta pusaka. Bukan hanya di Minangkabau, di luar Minangkabau pun ini hal yang telah menjadi konflik yang biasa terlihat di masyarakat.

Masuknya agama Islam pada kewarisan adat Minangkabau adalah terjadinya perkembangan dalam hukum kewarisan adatnya. Falsafah adat mengalami perubahan menjadi falsafah yang mendasarkan adat pada agama Islam yaitu adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dan hal ini mendorong berbagai perubahan dalam hukum adat Minangkabau. Termasuk pada pola pergaulan dalam perkawinan di masyarakat adat yang meninggalkan pola ekstended family menjadi nuclear family. Karena corak perkawinan mempengaruhi bentuk pewarisan adat, maka perubahan yang terjadi pada pola pergaulan dalam perkawinan ini mempengaruhi waris adat Minangkabau tersebut.

Diterimanya keputusan atas pertemuan pada tanggal 2 sampai 4 Mei 1952 di Bukittinggi, yang dihadiri Urang Nan Ampek Jinih (Pangulu, Manti, Dubalang, Malin), keputusan mana membagi harta menjadi dua yaitu :

Harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah diturunkan secara syara’, menguatkan status kewarisan Islam dalam hukum waris adat Minang. Dengan demikian maka masyarakat Minangkabau setelah masuknya Islam, melaksanakan dua sistem kewarisan. Untuk harta pusaka tinggi diwariskan dengan sistem kewarisan kolektif Matrilinial, sedangkan untuk harta pusaka rendah diwariskan dengan sistem kewarisan individual Bilateral. Dengan ini, dapat dipastikan bahwa hukum adat dan agama Islam di Minang tidaklah bertentangan. Tetapi sebaliknya, agama Islam menyempurnakan adat Minang.

Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota kaum dan diperoleh secara turun temurun melalui jalur wanita. Harta pusaka tinggi biasanya berbentuk sawah, rumah, ladang, kolam dan hutan. Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya di kelola oleh mamak kepala waris.

Hak pakai dari pusaka tinggi ini antara lain adalah hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah dan hak mengembala. Jika berupa air (tabek) maka hak pakainya adalah memanfaatkan air dan menangkap ikan.

Disamping harta pusaka tinggi, masih ada harta pusaka lain yang dimiliki oleh masyarakat Minang seperti tanah ulayat nagari dan tanah ulayat suku, tetapi status tanah seperti ini sudah punah dan jarang ditemukan di Minang karena perkembangan penduduk dan sosial ekonomi.

Harta pusaka tinggi tidak boleh dijual dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan dengan petinggi kaum, menggadaikan biasanya mengutamakan kepada suku yang sama, namun tetap dapat digadaikan dengan suku lain. Tergadainya pusaka tinggi karena 4 hal, yaitu :

  1. Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang tak bersuami) Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sedangkan umurnya sudah semakin tua.
  2. Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah) Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
  3. Rumah gadang katirihan (rumah besar bocor) Jika tidak ada biaya untuk renofasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga perlu untuk diperbaiki.
  4. Mambangkik batang tarandam (menaikkan derajat menjadi lebih baik) Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan Penghulu (Datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.

Bila salah satu dari empat perkara itu terjadi, terlebih dahulu harus diatasi dari hasil harta pusaka tersebut dan bila tidak memungkinkan juga barulah boleh menggadaikan harta pusaka.

Penghulu tidak memiliki hak untuk menggadai harta tanpa bermufakat dengan anak kemenakan(sepakat kaum). Pepatah Minang menyebutkan:

“ Bulek buliah digolongkan, picak buliah dilayangkan”, setelah ada kesepakatan bersama barulah harta pusaka boleh digadaikan.

Sebelum menggadai atau menjual harta pusaka tinggi, terlebih dahulu harus dicari jalan keluar yang lain, karena sedapat mungkin harta pusaka tinggi jangan sampai tergadai. Hal ini sesuai dengan pepatah adat yang berbunyi “Ndak ado kayu janjang dikapiang, indak ado rotan akapun jadi”. Demikian kokoh dan tertibnya penjagaan harta pusaka tinggi dan seharusnya dipatuhi bersama-sama ketentuan ada tersebut.

Tujuan pengaturan adat Minang terhadap harta pusaka tinggi bertujuan baik, yakni agar keluarga besar kaum tidak melarat dan mempunyai bekal ketika ahli waris meninggal. dan juga untuk membentengi tanah-tanah Minang dari penguasaan orang-orang dari luar Minang.

Tetapi tujuan baik ini jangan sampai mengabaikan syara’ yang menjadi landasan adat Minang. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Jadi tak selayaknya harta pusaka tinggi yang harusnya untuk jaminan kesejahteraan kaum, malah menjadi hal pemecah kaum hanya karena mengikuti nafsu dunia.

Dalam hal ini, harta pusaka kaum tidak dapat dimiliki secara perorangan menurut hukum waris adat minang, karena pada dasarnya harta pusaka kaum dalam adat Minang merupakan satu kesatuan kepemilikannya, sehingga bila disesuaikan dengan sistem pewarisan pada masyarakat Minang yang bersistem Kolektif,
harta pusaka kaum merupakan milik seluruh anggota kaumnya. Setiap anggota kaum berhak untuk menguasai

Terkait kasus diatas, menurut hukum waris adat sistem pewarisan yang dianut adat Minang adalah SISTIM PEWARISAN KOLEKTIF, dimana pada sistem pewarisan ini harta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi bagi.

Dalam masyarakat adat Minang, hubungan dan ikatan kekerabatan antara mereka di dalamnya demikian erat, atau sebuah community (suku) dimana ikatan kekeluargaannya sangat kuat, sehingga kekuasaan yang lebih luas atau tinggi ikut campur dalam urusan harta kekayaan ini, yang artinya hak milik berada di bawah kekuasaan hak kolektif, karena setiap anggota yang menjadi bagian di dalamnya  merupakan organ yang sulit dipisahkan apalagi di lepaskan.

Sebagai sebuah contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada awal mulanya dari tiga orang nenek, keturunan laki-laki dari ketiga nenek ini sama-sama memiliki hak untuk memiliki atau memakai harta pusaka kaum yang dimiliki.

Gelar pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau digantikan kepada lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek yang sekaum ini dalam adat dikatakan

“suku dapek disakoi, pusako dipusakoi” (suku dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipusakai. (Red)