Ketika Pemerintah Tidak Mampu, Harga BBM Naik, Listrik Naik, PLN Naik

Sumbar.KabarDaerah.com – Resiko Pemerintahan Jokowi dengan kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) diperkirakan akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat, partai politik (parpol) pro pemerintah Jokowi berisiko kehilangan simpati publik pada Pemilu 2024.

Direktur Eksekutif Indo Strategic., Akhmad Khoirul Umam menyoroti dampak langsung dari kenaikan harga BBM, yakni inflasi dan kenaikan harga-harga bahan pokok. Realitas ekonomi itu bakal berpengaruh pada realitas politik, tentu saja.

“Jika itu terjadi, tingkat kepuasan publik pada pemerintah berpotensi terjun bebas,” kata Umam yang juga dosen di Universitas Paramadina, Jum’at (02/09/22).

Dunia usaha juga bakal kecewa terhadap pemerintah karena kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi usaha mereka. Bila elemen buruh turut kompak memprotes, stabilitas menjadi terganggu. Parpol-parpol pendukung pemerintah bisa kena getahnya.

“Pada level tertentu juga bisa berpengaruh terhadap menurunnya elektabilitas partai-partai pendukung pemerintah,” kata Umam.

Kondisi ekonomi yang akan lesu akibat kenaikan harga BBM dan akan menjadi bahan gorengan parpol-parpol nonpemerintah untuk menggaet kepercayaan publik.

“Senjata bagi partai-partai oposisi untuk mendelegitimasi kredibilitas kinerja pemerintah,” kata Umam.

Pakar politik dari CSIS punya amatan berbeda. Kenaikan harga BBM dinilai tidak akan berakibat terlalu berat bagi sektor politik.

“Dugaan saya, konsekuensi politiknya tidak akan terlalu berbahaya,” kata Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS)., Arya Fernandes.

Prediksi itu terlihat lewat kondisi politik saat ini. Tidak seperti pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Jokowi saat ini didukung oleh mayoritas fraksi partai politik (parpol) di DPR. Jadi para wakil rakyat tak akan bergejolak menyambut kenaikan harga BBM.

“Kalaupun ada suara-suara penolakan, penolakan itu bakal berasal dari partai nonkoalisi, seperti PKS atau Partai Demokrat. Namun, karena jumlah kursinya tidak banyak, tentu tidak akan mengakibatkan gangguan,” kata Arya.

Itu kalau dari wakil rakyat. Bagaimana kalau dari rakyat itu sendiri? Protes dari rakyat atau publik dinilai Arya tak bakal terlalu masif. Soalnya, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam rangka kenaikan BBM sudah dikucurkan, yakni Rp.600.000,- (enam ratus ribu rupiah) untuk empat bulan.

“Pemerintah sudah menggelontorkan dana yang pasti triliunan rupiah sebagai dampak kenaikan harga BBM. Kritik publik sepertinya tak akan berlangsung lama,” kata Arya.

Selain itu, pemerintahan Jokowi sudah berpengalaman mengeksekusi kebijakan tidak populer. Contohnya, pengesahan Revisi Undang-Undang KPK yang tetap gol meski menuai banyak penolakan publik. Ada pula UU Cipta Kerja yang disahkan meski banyak demonstrasi yang menentang omnibus law itu.

“Jadi dari sisi pengalaman, pemerintah sudah beberapa kali berhasil mengelola kebijakan yang tidak populer,” kata dia.

Suasana Pertamina 54.801.39 atau SPBU Kamboja, Denpasar, Bali, Kamis (01/09/22). (Ni Made Lastri Karsiani Putri/detikBali)

Publik juga dinilainya mampu menerima alasan kenaikan BBM, yakni duit rakyat yang dikelola pemerintah sudah terlalu banyak tercurah untuk subsidi BBM. Pemerintah menyiapkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM dan listrik hingga Rp 502 triliun dan diperkirakan naik mencapai Rp 698 triliun. Hal ini sebagai imbas melonjaknya harga energi dan pangan, yang dipicu perang Rusia-Ukraina.

Dilansir dari detikJateng, pengamat Sosial UIN., Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai penyesuaian harga BBM tidak dapat dihindarkan. Penyesuaian harga itu justru untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar, termasuk risiko bangkrutnya APBN. Dia punya saran agar masyarakat tidak terkejut dengan harga BBM yang naik.

“Saya usulkan kenaikannya jangan sekaligus agar tidak terasa. Kalau naiknya langsung, banyak nanti masyarakat yang kaget,” kata Azyumardi dalam diskusi virtual Moya Institute bertajuk ‘APBN Tertekan: Subsidi BBM Solusi atau Solusi’, Jum’at (02/09/22).

Pemerintah selalu menimbang dengan keras saat hendak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Begitu pula ketika akan memangkas subsidi sumber energi ini. Sebagai komoditas yang dipakai hampir semua penduduk, efek politis selalu dihiraukan, apalagi di tahun pemilu.

Sebaliknya, kebijakan mempertahankan subsidi atau harga menambah gejolak ekonomi, termasuk memukul daya tahan rupiah. Harga minyak mentah dunia telah jauh meninggalkan asumsi patokan minyak Indonesia (ICP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar US$ 48 per barel.

Awal bulan ini, minyak jenis Brent menyentuh US$ 85 per barel. Walau kemudian menurun, Jumat kemarin masih tetap di level tinggi US$ 76,78 per barel. (Baca juga: Harga Minyak Brent Turun ke US$ 76,44 Efek Janji Arab Naikkan Produksi) Sebenarnya, pemerintah bukan tak mempredisksi situasi ini. Maret lalu, Sri Mulyani sudah meramal realisasi ICP dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melampaui asumsi APBN 2018. Di satu sisi, perubahan ICP dan nilai tukar rupiah bakal menambah penerimaan negara.

Disisi lain, perubahan tersebut membuat beban subsidi energi bertambah. Karenanya, ketika itu pemerintah memutuskan harga BBM bersubsidi dan listrik tidak naik untuk menjaga daya beli masyarakat.

“Sehingga menjadi motor penggerak ekonomi bersamaan dengan investasi dan ekspor,” kata Sri Mulyani.

Ramalan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bukan hanya terbukti. Kenyataannya lebih jauh dari itu. Harga minyak mentah dunia saat ini tertinggi sejak akhir 2014 yang ketika itu mencapai US$ 99,08 per barel. Sementara pelemahan rupiah, walau bukan yang terburuk, sepanjang tahun ini masuk lima besar yang paling terpukul dolar Amerika setelah Turki, Brasil, Rusia, dan India, yakni sebesar -12,8 persen. Pada awal September kemarin, misalnya, nilai tukar rupe dan rupiah memimpin pelemahan mata uang Asia.

Dari Januari-September 2018, mata uang India melemah lebih dari 10%, terdalam dibanding mata uang Asia lainnya. Diikuti mata uang Indonesia yang terdepresiasi lebih dari 9%. Sementara mata uang utama Asia yang berhasil menguat terhadap dolar AS hanya yen Jepang. (Sumber: Katadata.co.id)

Ketua LSM KOAD Sumbar., Indrawan mengatakan, bahwa kenaikan harga BBM terjadi karena berbagai alasan, diduga pemerintah memang tidak punya kemampuan untuk mengelola negara ini, buktinya banyak, diantaranya, kehidupan rakyat makin lama makin sulit, ekonomi makin lama makin morat marit. kita tinggal tunggu negara ini terjadi kekacauan yang tak akan terkendali.

Kita tambah yakin bahwa pemerintah tidak mampu memikirkan negara ini, jika hanya menaikkan harga, saya rasa tidak perlu gelar seabrek abrek.

Tanda pemerintah memikirkan rakyat, wajarnya harga BBM terjangkau. Ekonomi membaik, lapangan kerja tersedia cukup. kebohongan tidak menjadi hal yang biasa.  penjabat negara akan mundur ketika tidak mampu menjalankan program yang telah digariskan oleh negara.

Tambahnya lagi, seharusnya harga BBM indonesia tidak mahal karena kita adalah negara penghasil minyak. kita yang atur harga minyak kita. Negara suda gagal melaksanakan Pasal 33 UUD 1045.

Negara Indonesia seharusnya lebih baik, ketika yang menjadi Presiden memiliki kemampuan dalam memimpin, Namun, ketika Presiden dan menteri menterinya lemah, maka secara politik hanya para kapitalislah yang akan bertambah kaya raya sementara rakyatnya makin lama makin susah. (Tim)