Terima SPPP Polresta Padang, Pelapor Surati Kapolresta Padang dan Kapolri

KabarDaerah.com – ketua FRN DPW Sumbar kembali melayangkan surat ke Kaplresta Padang, Kapolda Sumbar dan Kapolri.

Hal itu dilakukan karena perkara yang dilaporkan sudah lengkap dengan bukti bukti, sehingga jika alasan penyidik unsur perkara tidak terpenuhi, pelapor juga sudah mentelaah tentang unsur pidana perkara yang dilaporkan.

Kunci utama dari perkara yang dilaporkan adalah, terjadi periode 3 Agustus 2021 s/d 8 November 2021, subjek terduga pelaku anak, adik, istri Rusdi adik istri Rusdi dan beberapa orang yang membantu.

Dikatakan ketua FRN DPW Sumbar, sebelum menulis surat ke Kapolri, dan Kapolda Sumbar kami sempat bertanya tentang satus perkara, dikatakan oleh penyidik bahwa satus perkara penyelidikan” kata ketua FRN DPW Sumbar.

Ketua FRN DPW Sumbar mengatakan bahwa hemat kami bahwa perkara yang dilaporkan terpenuhi unsur pidana. sehingga tidak selayaknya dihentikan, sebutnya lagi.

Berikut surat ketua FRN DPW Sumbar :

Padang,  7 Mei 2024

Nomor : 58/HUK/LAP/DPW Sumbar/FRN/V/2024

Lamp  : — berkas

Perihal : Mohon penjelasan atas penghentian perkara LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar, oleh Polresta Padang.

Kepada Yth: Bapak Kapolresta Padang, di Padang

 

Dengan Hormat,

Do’a dan harapan kami, Bapak Kapolesta Padang dalam keadaan sehat serta sukses dalam menjalankan tugas sehari-hari, hendaknya. Amiin.

Sebagai pelapor perkara nomor LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar, kami mohon penjelasan, secara lengkap dari Polresta Padang. Perkara ini sudah diketahui oleh mabes Polri, Kapolri, Waka Polri, Kabareskrim, serta Divpropam Polri.

Kami berharap, perkara ini diproses dengan benar, sesuai aturan hukum, sehingga tidak ada pihak yang akan menaggung resiko dikemudian hari. Karena, walau bagaimanapun karier harus menjadi pertimbangan utama bagi mereka yang tidak mau bermain main dengan perkara.

Demikian surat ini kami sampaikan, terimakasih.

Padang, 7 Mei 2024

Hormat saya, Indrawan Pelapor

Bekrikut redaksi sertakan surat ke Kapolri agar Kapolres mengetahui bahwa perkara ini sudah sampai di Kompolnas RI, Ombudsman RI, Kapolri, Waka Polri, Divisi Propam Polri, dan Kabareskrim.

Padang,  5 Mei 2024

Nomor : 57/HUK/LAP/DPW Sumbar/FRN/V/2024

Lamp  : — berkas

Perihal : Laporan penghentian perkara LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar tidak sesuai aturan

hukum

 

Kepada Yth:

Bapak Kapolri Jendral (Pol) Drs Listyo Sigit Prabowo M.Si

di

Jakarta

 

 

Dengan Hormat,

Do’a dan harapan kami, Bapak Kepala Polisi Republik Indonesia dalam keadaan sehat serta sukses dalam menjalankan tugas sehari-hari, hendaknya. Amiin.

Surat ini adalah surat ke Dua belas laporan kami ke Mabes Polri, setelah dua tahun lebih menjalani, dapat kami informasikan, bahwa sore ini jam 15.30 kami menerima surat dari Polresta Padang dengan nomor B/1673/IV/2024/Reskrim tanggal 01 April 2024, yang ditandatangani  Kompol Dedy Adriansyah Putra S.I.K selaku penyidik. Surat tersebut lagi lagi terkait dengan penghentian penyidikan LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar.

Kompolnas RI dan Ombudsman RI sudah surati Polda Sumbar, Polresta Padang sepertinya tidak mau tau isi surat Kompolnas. Sebelumnya Tiga pengaduan sudah dihentikan menurut Polresta Padang. Sedangkan mabes Polri mengatakan kami belum melapor. Sikap Polri bikin pusing masyarakat.

Pada hal untuk melakukan LP sangat sulit, kami ditanya berbagai macam hal, mulai dari bukti bukti sampai unsur perkara. Ketika LP sudah bisa dilakukan perkara seharusnya sudah dalam tahap penyidikan. Dalam kasus ini berbeda, perkara kami nomor LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar tersebut statusnya diturunkan dari penyelidikan ketahap penelitian dokumen (versi Kasat Reskrim Polresta Padang). Jelas tertulis dalam SPPHP bahwa perkara tersebut ditahap penelitian dokumen.  Dari sini, sudah ketahuan kami dicurangi, mana ada status perkara penelitiian dokumen. Hanya orang awam yang tidak mengetahui.

Kami semakin heran dengan Polresta Padang, sangat banyak yang tidak sesuai dengan aturan hukum.sehungga untuk mengetahui bahwa perkara ini tidak akan berproses sesayu atuuran sudah kelihatan dari awal.

Jika Perkapolri nomor 7 tahun 2022 menyatakan bahwa penyidik Polri dilarang menerbitkan dokumen yang isinya tidak benar. Hal itu diabaikan, jelas sudah ditulis sebagai aturan yang harus dipatuhi, apalagi seperti perkara yang kami hadapi. Sehingga semua dokumen SPPHP yang diberitahukan kepada pelapor, juga tidak benar. Sedangkan resiko yang harus diterima oleh pembuat dokumen tersebut adalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).

Selanjutnya menurut kitap undang undang hukum acara pidana, ”jika penyidikan akan memulai, harus memberitahukan kepada JAKSA penuntut umum dengan mengirimkan SPDP ”. Dalam hal ini seperetinya Polri sengaja membuat Polri bekerja sendiri, sehingga  JAKSA penuntut umum tidak mengetahui, perkara dianggap masih ditahap penyelidikan.

Laporan Polisi tersebut dihentikan berdasarkan, laporan hasil gelar perkara tanggal 26 Maret 2024 dan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SPPHP) nomor: SPPP/81/III/2024/Reskrim, tanggal 28 Maret 2024. Dari SPPP tersebut tentunya kita paham, apa arti SPPP tersebut, jika perkara ini akan kembali berproses, harus digugat terlebih dahulu ke pengadilan. Kami yakin SPPP tersebut, termasuk salah satu akal akalan penyidik, ketika penyidikan tidak dilakukan sesuai aturan hukum terhadap laporan dan pengaduan nomor LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar, nomor STTP/303, nomor STTP/284, nomor STTP/636. Walau sebenarnya sudah termaktup dalam LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar tersebut. Namun, laporan pemalsuan surat, pemakaian surat palsu, terkait dengan keluarnya kredit pada Bank Nagari, serta pemalsuan nama toko bypass teknik menjadi Bypass teknik mandiri di TKP Limapuluh Kota. Tentunya juga harus di proses sesuai aturan hukum. Walau sebelumnya dihalangi, karena laporan pencurian dan pemalsuan meruapakan delih pidana murni.

Selayaknya, gelar perkara diikuti oleh JAKSA, sesuatu yang tidak sesuai aturan hukum, sehingga gelar perkara tanggal 26 Maret 2024, tidak bisa dipertanggung jawabkan secara hukum, ketika yang hadir hanya penyidik POLRI.

Sepertinya Kompol Dedy Adriansyah Putra S.I.K, sebagai kasat Polresta Padang tidak mengamalkan Polri Presisi yang digaugkan selama ini. Kompol Dedy Adriansyah Putra S.I.K tetap mengikuti perintah Waka Polda sebelumny6a, walau kappolda telah berganti. Terbukti Bahwa transparan, berkeadilan, tidak terlihat sama sekali.

Ketika diadakan gelar perkara, penyidik harus transparan, penyidikan juga harus dilakukan dengan transparan, demikian juga ketika SPPHP dikeluarkan. Harus jelas siapa yang telah dimintai keterangan dan siapa yang belum, dan keterangan lain yang membuat masyarakat pelapor mendapat kan kepastian hukum. Pada ilmu tentang peyidikan tersebut, bukan ilmu yang sulit, pelapor harusnya diberitahu selengkap mungkin sehubungan laporan pidana yang dilakukan.

Ketika SPPHP diberikan kepada pelapor, harus mendapatkan keterangan yang lengkap. Dalam Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan tersebut seharusnya, dalam penangganan perkara, wajib dilakukan secara transparan. Barulah bisa dimaklumi, apa yang dimaksud oleh penyidik. Dengan kata lain, penyidik tidak terkontaminasi kepentingan dan perintah yang menyalahi aturan dan undang undang. Permintaan keterangan dari Saksi, Calon tersangka, dan siapa saja yang sudah dimintai keterangan. Karena dalam hal ini Mulyadi, Yenita dan Ujang panik yang diduga pelaku, ternyata belum dimintai keterangan sama sekali.

Begitu juga saksi dengan Suradal, Amirjon belum dipanggil dan belum dimintai keterangan, selanjutnya apa pertanyaan penyidik kepada terduga pelaku. Sebab dari pertanyaan yang diajukan, akan terlihat tujuan dilakukannya penyidikan ini, apakah untuk membuat terang perkara atau membuat perkara bertambah gelap. Seperti penghentian perkara STTP 636, kasat reskrim menghentikan dengan alasan Belum ada alat bukti. Sekarang penghentian LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar adalah belum ditemukan peristiwa pidana. Nyatanya selama ini, pengaduan kami, STTP 284, STTP 303, STTP 636, perkara sengaja dibuat gelap, terindikasi barang bukti berupa gembok dan mesin Kipor dihilangkan.

Penyidik tidak bisa bermain-main dengan perkara ini, termasuk menghilangkan bukti tersebut, setiap langkah yang ditempuh menggambarkan, tujuan penyidikan, sampai kepada terlapor, termasuk sikap terlapor yang masa bodoh, tidak merasa takut dengan panggilan penyidik untuk dimintai keterangan. Hal itu menunjukkan bahwa perkara Bypass Teknik terindikasi ada keberpihakkan, Polri terlihat tidak berkeadilan dalam perkara ini.

Penyidikan perkara Bypass Teknik.

Dengan dilakukan LP, Perkara ini sudah pada tahap penyidikan. Seharusnya penyidik telah mendapatkan 4 alat bukti. Sedangkan bukti-bukti yang kami punya telah kami serahkan kepenyidik. Bukti tersebut berupa surat surat, laporan harian penjualan dari tanggal 3 Agustus 2021 s/d 8 November 2021 senilai lebih dari Rp 300.000.000,00.

Penyidik bersikukuh untuk menghentikan perkara berdasarkan keterangan ahli, keterangan ahli yang dilakukan baru didepan penyidik Polri, bukan didepan pengadilan. Keterangan ahli hanya salah satu alat bukti ketika diterangkan didepan hakim pengadilan. Keterangan ahli tersebut bisa dipakai oleh hakim, bisa juga tidak. Keterangan ahli adalah untuk menambah keyakinan hakim dalam memutus perkara. Untuk memutus hakim hanya butuh keyakinan.

Untuk diketahui, penegakkan hukum bukan hanya oleh POLRI sendiri. Kekuasaan Yudikatif dilakukan oleh POLRI, JAKSA PENGACARA dan HAKIM. Sementara, dengan kejadian yang terjadi terhadap perkara nomor LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar, sebagai salah satu penegak hukum, penyidik Polri telah memutus kekuasaan kehakiman sendiri, tanpa melibatkan JAKSA dan PENGACARA, dan HAKIM, ini jelas tidak bisa diterima oleh pelapor.

Untuk dipahami, hanya pengadilan lah yang berhak menyatakan perkara ini pidana atau perdata, menyatakan seseorang dihukum atau dibebaskan. Hal itu diatur dengan Aturan dan UU.

 

Terkait kekuasaan kehakiman di Indonesia disebutkan:

  • Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mencantumkan pengertian kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

    Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 lebih lanjut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

  • Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 disebutkan bahwa: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Tidak pada tempatnya Polri menghindari perkara ini berproses sesuai aturan hukum. Sangat tidak etis yang dilakukan aparat Polri, menghambat masyarakat mendapatkan keadilan. Negara sudah menyediakan lenbaga untuk itusesuai aturan dengan UU. yaitu Mahkamah Agung dan peradilan yang ada diibawahnya. Sehingga tidak pantas perlakukan aparat Kepolisian untuk menghambat, apapun alasannya.

Jika Oknum Polri menganggap bahwa, kami sebagai pelapor bisa di halangi, artinya Polri telah melanggar UU. Demikian keterangan tentang kekuasaan yudikatif (kehakiman).

 

Lagi pula terduga pelaku adalah anak-anak Rusdi, adik Rusdi, Istri Rusdi serta Ujang panik, berarti sudah ada satu alat bukti. Hanya saja Muyadi, Yenita, Ujang Panik, 3  lainnya belum dimintai keterangan.

Artinya penyidikan belum dilakukan dengan sempurna. Penyidik belum melakukan langkah-langkah yang diatur oleh aturan perundang-undangan. Bagaimana mungkin perkara dihentikan???

Jika telah dilakukan olah TKP,  penyidik akan mendapatkan data berupa petujuk, yang berkorelasi antara perbuatan pelaku dengan barang yang di ambil oleh pelaku.

Disinilah poin utama yang menentukan perkara ini adalah perbuatan pidana, yaitu mengabil barang sesuatu, seluruh atau sebagian milik orang lain.

Apakah barang yang dijual pelaku adalah milik pelaku sendiri…??? Dalam pengaduan sebelumnya, barang bukti gembok dan mesin pompa air Kipor sengaja dihilangakan dari BAP baik penyidik maupun oleh Propam. Hal ini merupakan petunjuk bahwa perkara ini memang sengaja dihalangi dari awal melapor. Oknum Polri berusaha untuk mengatakan perkara ini perdata, pada hal kekuasaan kehakiman untuk terletak pada Mahkamah dan pengadilan dan peradilan yang ada dibawahnya.

Melalui jawaban surat kami ke ITWASUM, dikatakan oleh ITWASUM Polri dalam suratnya ke pelapor mengatakan bahwa saudara belum melakukan laporan,  baru mengadu. ITWASUM Polri dalam surat nomor B/6933 VIII/WAS.2.4./2023 tanggal 28 Agustus 2023, bahwa perkara masih masih berproses, penyidik Polri sedang mengumpulkan bukti-bukti. Sedangkan dilapangan Polresta Padang dan Polsek Kuranji jelas-jelas telah memberhentikan proses hukum, yang sedang berproses.

Bukankah hal ini menunjukkan bahwa Laporan kami dihalangi berproses, kami melapor melalui surat mulai dari bulan September 2021, baru bisa dilakukan secara resmi tanggal 10 Februari 2023. Kemudian laporan tersebut dilimpahkan ke Polresta Padang, Kami merasa dipermainkan oleh oknum Polri. Setelah kami surati mabes Polri, akhirnya laporan kami dilimpahkan ke Bidpropam Polda Sumbar, lalu keluar surat tanggal 5 Agustus 2022 dari Bidpropam dan diikuti Surat Telegram tanggal 6 Januari 2022 dari Kapolda Sumbar.

Surat ini sepertinya tidak laksanakan oleh Polresta Padang, berikutnya surat dari Kompolnas RI, sekitar bukal November 2023 telah memerintahkan LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar ini di proses dalam waktu tidak terlalu lama. Surat surat tersebut tidak ditindak lanjuti oleh Polda Sumbar apalagi oleh Polresta Padang.

Satu tahun Enam Bulan tidak bisa melapor, indikasi bahwa laporan kami dihalangi semakin jelas. Lantas, sekarang Minggu tanggal 5 April 2024 perkara telah dihentikan, bertambah bukti bagi kami bahwa Laporan kami dihalangi.

Seharusnya yang melakukan proses hukum terhadap laporan kami adalah Dirreskrimum Polda Sumbar bukan Polresta Padang. Karena kami melapor ke Polda Sumbar, namun sangat disayangkan Dirreskrimum melimpahkan ke Polresta Padang, pada hal dalam laporan Bypass Teknik terdapat perkara yang harus diperoses di Polres Lima puluh kota, hal itu juga pertanda Laporan kami memang dihalangi oleh Polda Sumbar dan Polesta Padang.

Kita kembali lagi ke alat bukti kejahatan menurut pasal 184 KUHAP, adalah berupa surat, sudah didapat, saksi saksi belum dimintai keterangan semua, keterangan terdakwa (calon tersangka) ada yang belum dipanggil, pentunjuk seharusnya sudah didapatkan dengan melakukan penyidikan dengan melaksanakan setiap tahap penyidikan, tidak pada tempatnya perkara kami dikatakan belum ditemukan peristiwa pidana. Bukankah itu pertanda Reskrim Polresta Padang belum melakukan tugasnya. Satu alat bukti lagi adalah pengakuan terdakwa, dalam hal ini, setidaknya tiga orang belum dilakukan diminta keterangannya.

Menurut Profesor Dr Ismansyah SH MH, bukan peristiwa pidana kerena penyerahan barang kepada Rusdi, bukan kepada anak anak Rusdi. Hal ini membuat penyidik tambah berani menghetnikan perkara ini. Tidak benar, jika perkara dihentikan, ketika lima orang yang diduga sebagai pelaku belum dimintai keterangan, bahkan salah satu pelaku telah melarikan diri.

Berikutnya adalah saksi-saksi, saksi ada yang belum dimintai keterangan, saksi Suradal dan saksi Amirjon, jika keduanya dipanggil akan didapat satu alat bukti lagi. Petunjuk sebagai alat bukti akan didapat ketika penyidikan dilakukan dengan benar. Tahap demi tahap penyidikan yang dilakukan, bisa membangun korelasi subjek/pelaku dengan barang bukti serta petunjuk, sehingga seluruh syarat akan terpenuhi.

Artinya tiga alat bukti sudah didapat jika penyidik ingin untuk membuat terang perkara ini. Indikasi lain bahwa perkara ini dihalangi, ketika SPKT minta disediakan bukti bukti lengkap diawal.

Pada hal, penyidik Polri sendiri setelah tiga tahun dilaporkan, perkara pidana semakin terang, kami melihat perkara semakin gelap.

Tugas penyidik membuat terang perkara, sepertinya tidak akan terujud, anehnya semua bagian melibatkan diri untuk menghalangi laporan ini berproses demi membela kesalahan penyidik.

Dan tidak benar perkara ini dalam tahap penyelidikan, perkara ini sudah ditahap penyidikan. Pertama sudah berbentuk LP dan memiliki setidaknya 4 alat bukti ketika penyidik berkeinginan membuat terang perkara tinggal selangkah lagi.

Kecurigaan kami berikutnya adalah gelar perkara tidak dilakukan secara transparan, kami tidak diundang oleh Polresta Padang, tiba tiba perkara dihentikan, diduga dengan maksud agar dalam menghentikan perkara kami, tidak ada hambatan.

Jika saksi ahli tidak memberikan kesaksian ngawur, besar kemungkinan perkara ini mempunyai lima alat bukti. Polresta Padang berani menghentikan perkara Bypass Teknik karena keterangan ahli tersebut. Kami berpendapat, Polresta Padang sangat berani melanggar aturan hukum.

Besar kemungkinan mereka tidak sadar bahwa tugas Polri adalah melakukan penegakkan hukum, bukan menghalangi proses hukum, bukan menjadi backing kejahatan.

Perkara ini adalah LP kami yang pertama, Kami mohon dilakukan dengan pengawasan yang sangat ketat. Kami melakukan semua ini agar Polri sukses bertranformasi menjadi Polri presisi. Kami mohon diproses dengan benar sesuai aturan hukum, perhatian Kapolri terhadap perkara ini sangat menentukan.

Surat kami sudah dua belas kali ke kapolri, namun perkara kami masih dibuat bertele-tele oleh anggota Polri didaerah. Begitu beraninya Polresta Padang, Polda Sumbar menghentikan perkara kami yang sudah berbentuk LP/B, benar-benar hebat Polresta Padang.

Demikian surat kami dalam menangapi surat SPPP Polresta Padang.

Padang, 5 Mei 2024, Ketua FRN DPW Sumbar ,Hormat saya, Indrawan sebagai Pelapor

Tembusan kepada Yth:

  • Ketua Kompolnas RI di Jakarta
  • Ketua Ombudsman Republik Indonesia, di Jakarta
  • Bapak Kapolri di Jakarta
  • Bapak Irwasum di Jakarta
  • Bapak Kapolda Sumatera Barat, di Padang
  • Bapak Irwasda Polda Sumbar, di Padang
  • Bapak Dirreskrimum Polda Sumatera Barat, di Padang
  • Bapak Kapolresta Padang di Padang
  • Arsip