Agama Bukan Kuda Tunggangan Politik

OPINI & ARTIKEL33 Dilihat

LAGI-LAGI AGAMA! Sebuah topik yang tiada habis-habisnya dan selalu menarik untuk didiskusikan dan dikritik. Pada kesempatan ini pun saya masih ingin berbiara tentang agama dengan melakukan kritik terhadap fenomena agama di Indonesia; negara yang selalu menggembar-gemborkan dan membangga-banggakan diri sebagai negara-bangsa (nation-state) paling religius-ber-Tuhan atau negara-bangsa paling beragama, dengan Islam sebagai agama terbesar jika dibanding dengan negara-negara lain di dunia, ditambah beberapa agama minoritas di Indonesia seperti: Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, penghayat kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan agama-agama suku.

Namun demikian, sangat disayangkan bahwa klaim sebagai negara-bangsa paling beragama atau paling religius di dunia itu tidak didukung oleh kualitas praktik keberagamaan secara sosial-politik. Saya hanya ingin menyorot kualitas keberagamaan secara sosial-politik, karena saya tidak punya hak apa pun untuk menilai, apalagi menghakimi, kualitas penghayatan keberagamaan atau kualitas penghayatan keimanan secara personal dari orang-orang beragama di Indonesia.

Satu hal yang pasti adalah sejak Indonesia merdeka hingga dewasa ini, agama dan politik selalu menjadi masalah akut. Bila bangsa dan negara lain, ada yang astronautnya telah menginjakkan kaki di planet Bulan, dan tidak lama lagi di planet merah, yaitu Mars, maka orang Indonesia masih berkutat dengan picik dan bodoh serta buang-buang waktu bertengkar tentang “agama mana yang mahabenar” dan berhak hidup di Indonesia, sebaliknya agama mana yang kafir dan tidak berhak hidup di Indonesia.

Agama sebagai identitas

Sebagai negara-bangsa yang sangat pluralistik, Indonesia memiliki pluralitas identitas entitas agama, yang cikal bakal dan sejarahnya secara sangat ringkas perlu dijelaskan kurang lebih begini: Melaui wahyu kosmis atau alam ciptaan, Tuhan membuka misteri diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya sebagai pencipta dan penyelenggara kehidupan kepada seluruh umat manusia cipataan-Nya yang bersuku-suku bangsa dan tersebar di seluruh dunia, sesuai dengan “konteks” geografis-kulural-historis mereka masing-masing. Manusia menjawab pewahyuan diri Tuhan itu dalam bentuk mitos atau kisah sakral dan upacara ritual keagamaan, kemudian melembagakan hubungan antara “Tuhan alam” dan “manusia alam” dalam bentuk “agama alam” atau “agama suku”, atau “agama asli” yang beraneka ragam di seluruh muka bumi.

Dalam perjalanan “Sejarah Tuhan Bersama Manusia” selanjutnya, Tuhan Yang Mahaesa dan Mahakuasa, seturut otoritas dan kedaulatan diri-Nya serta kehendak-bebas dan hak prerogatif-Nya, telah mewahyukan “kebenaran absolut-universal diri-Nya” dan “kehendak-Nya” melalui perantaraan para “nabi”, baik dari lingkungan nonsamawi (Hindu, Buddha, Konghucu, Sinto dll.), maupun dari lingkungan samawi atau Abrahamik (Yahudi, Kirsten, dan Islam). Dengan perantaraan para “nabi” itulah, semakin dimantapkan, dikokohkaan, dan jelas terbedakan identitas entitas kelembagaan setiap agama, sebagaimana telah berkembang hingga milenium ketiga ini di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Nah, sekarang timbul pertanyaan penting: Agama manakah yang mahabenar di antara pluralitas identitas entitas agama, yang tersebar di seluruh muka bumi ini? Apakah agama dengan jumlah penganut paling banyak itulah agama yang mahabenar? Tidak mudah menjawab pertanyaan penting tersebut. Jika tidak bijak dan tidak cerdas menjawabnya, maka yang terjadi adalah “saling klaim kebenaran mutlak dan ekslusif masing-masing agama”, yang sudah pasti bermasalah.

Dikatakan sudah pasti bermasalah karena dalam pergaulan sosial, tak akan terhindarkan terjadinya saling pengaruh-mempengarui entah negatif ataupun positif, dan saling terjadi gesekan satu terhadap yang lain. Terlebih lagi berkaitan dengan pembelaan kepentingan kelembagaan, dogma, doktrin, ritual keagamaan, dan kepentingan otoritas eliter setiap agama. Jika Anda tidak cerdas menjawab pertanyaan penting tersebut, maka Anda akan merelatifkan kebenaran mutlak-universal Tuhan.

Dan, saya pun ingin menjawab pertanyaan penting tersebut, juga  dalam bentuk pertanyaan: Kalau Tuhan sendiri, berdasarkan hak prerogatif-Nya, berkehendak mewahyukan kebenaran absolut-universal diri-Nya dengan menanamkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam setiap agama, maka apa hak Anda untuk merelatifkan kebenaran mutlak-univeral Tuhan dengan cara “memahabenarkan” agama sendiri sambil mengkafirkan agama-agama lain? Bila pluralitas identitas entitas agama di muka bumi ini berasal dari hak-prerogatif Tuhan, lantas apa dalil serta hak Anda untuk menolaknya, sehingga dengan demikian Anda mengkafirkan Tuhan?

Jadi, menurut saya, tidak ada satu agama pun yang mahabenar di muka bumi ini untuk diwajibkan kepada orang lain menganut agama mahabenar itu. Oleh karnanya, kuburkanlah dalam-dalam segala bentuk keangkuhan religius dan perilaku pamer agama paling benar. Yang Mahabenar hanyalah Tuhan sendiri. Semua kebenaran dan kebaikan di setiap agama adalah kebenaran dan kebaikan yang berasal dari kebenaran mutlak-universal Tuhan, sehingga bagi saya, biarlah Tuhan sendiri dengan hak prerogatif, kasih karunia, dan kerahiman-Nya, akan menilai dan menghakimi setiap manusia pada setiap agama, baik selama masih di dunia ini maupun di akhir zaman.

Setiap penganut agama hendaknya menghayati kebenaran yang diberikan kepadanya oleh Tuhan, dan jangan suka mengusik kebenaran agama lain. Yang penting dan perlu dilakukan adalah saling menghargai, membina toleransi yang tulus, tidak pura-pura. Dalam hal keimanan, setiap identitas entitas kelembagaan agama adalah unik, namun dalam hal setiap ada masalah kemanusiaan, maka setiap identitas entitas agama terpanggil untuk ikut bahu-membahu menyelesaikannya. Jadi, ekslusivitas sekaligus inklusivitas setiap identitas entitas agama adalah sama-sama penting dan dipraktikkan secara seimbang.

Bukan kuda tunggangan

Di Indonesia, klaim kebenaran ekslusif agama sendiri ternyata berdampak signifikan-kontraproduktif, tidak hanya terhadap tindakan-tindakan intoleran, ekstremisme, kekerasan, dan bahkan terorisme, tetapi juga terhadap bidang politik, yang dewasa ini dipopulerkan dengan istilah “politisasi agama” atau “politik indentitas”. Terutama ketika kita memasuki tahun-tahun politik seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Presiden (Pilpres), yang untuk tahun 2024 diadakan serentak; diikuti oleh 17 partai politik perserta pemilu secara nasional dan beberapa partai lokal Aceh. Apalagi agama dengan jumlah penganut yang paling besar, tentu merupakan lumbung suara sangat potensial untuk diperebutkan.

Bagi para politisi busuk berwatak makhiavelis (tujuan menghalalkan cara), agama dapat dijadikan kuda tunggangan politik dalam pertandingan politik pemilu untuk meraih kemenangan, menggapai kursi kekuasaan. Dan, sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa “politik memperkuda agama” telah dengan sangat berhasil dimainkan pada Pilkada DKI Jakarta, 2017 silam, manakala Anies Rasyid Baswedan mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Suatu pengalaman politik paling brutal, yang nyaris mencabik-cabik persatuan dan kesatuan nasional kita.

Dan, naga-naganya, pengalaman keberhasilan politik memperkuda agama akan dimainkan lagi pada pemilu serentak 2024. Fenomenanya sudah berdiri telanjang di depan mata. Meski sudah ada aturan main dalam pertandingan politik pemilu (UU Pemilu), dan kritik dari berbagai pihak tentang bahaya poilitisasi agama dan politik identitas, namun ibarat kata pepatah: “Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Pengalaman mengalahkan Ahok ingin diulangi oleh Anies Baswedan, yang jauh-jauh hari telah dideklarasikan sebagai bakal calon presiden oleh Partai Nasdem.

Dengan dalih tidak melanggar pasal-ayat UU Pemilu, sang bakal capres dari Partai Nasdem itu bebas melenggang kangkung, dan secara tahu dan mau melanggar etika politik. Anies sudah berkampanye ke mana-mana di seluruh Indonesia sebelum waktunya kampanye. Politik memperkuda agama sudah mulai dimainkan oleh Anies. Rumah ibadah pun sudah mulai dipolitisasinya (ingat kasus tabloid di rumah ibadah di Malang dan deklarasi kebulatan tekad di Aceh).

Mantan gubernur DKI Jakarta itu bahkan sangat dipermudah berkampanye ke mana-mana dengan “memperkuda” jet pribadi milik bohir dari kaum plutokrat (para penguasa uang). Cilakanya, Partai Nasdem juga dengan tahu dan mau sengaja membiarkan sang bakal capresnya melanggar etika politik, lantaran toh hanya kena teguran dan peringatan ringan saja dari Bawaslu, dan Partai Nasdem tidak didiskualifikasi. Sepertinya Partai Nasdem menganggap diri hebat dan bergerak lebih cepat dari partai-partai lain, serta ingin menantang KPU dan Bawaslu. Pertanyaan: Pantaskah partai politik dan capresnya yang makhiavelis seperti itu dipilih dalam pemilu?

Meskipun para tokoh agama dan cendekiawan, bahkan kepala negara, Bapak Presiden Ir. H. Joko Widodo sendiri sudah dengan tegas dan berkali-kali mengingatkan agar agama jangan dipolitisasi dan politik indentitas dijauhkan dan dihindari, namun siapakah yang bisa menjamin bahwa agama tidak akan dijadikan kuda tunggangan politik pada pemilu serentak 2024? Secara hukum dan etika politik, agama memang sesungguhnya sesuatu yang sakral, sehingga tidak boleh dijadikan kuda tunggangan politik demi meraih kekuasaan. Memperkuda agama demi kepentingan politik dan kekuasaan itu sama saja dengan mencoreng citra dan keluhuran martabat agama, yang sama saja dengan menghina Tuhan.

Tesis dua pemimpin agama

Akhirul kalam, untuk menghindari politisasi agama, politik identitas, dan politik memperkuda agama, berikut ini saya ingin mengutipkan tesis atau pernyataan dari dua pemimpin agama di dunia yaitu Bapa Suci, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb. Kedua pemimpin agama ini menandatangani The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together atau “Dokumen Tentang Persaudaraan Manusia Untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 4 Februari 2019. Adapun tesis atau butir-butir pernyataan Dokumen Abu Dhabi, yang tetap relevan dan aktual sampai kapan pun, untuk diterapkan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, itu berbunyi antara lain sebagai berikut:

“Selain itu kami dengan tegas menyatakan bahwa agama tidak boleh menghasut orang kepada perang, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh menghasut kepada kekerasan atau pertumpahan darah. Kenyataan tragis ini terjadi karena orang menyimpang dari ajaran agama. Itulah hasil dari manipulasi politis terhadap agama-agama dan dari interpretasi yang dibuat oleh kelompok-kelompok religius, yang dalam perjalanan sejarah, telah mengambil manfaat dari dampak kuat sentimen agama pada hati orang dengan tujuan untuk membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak ada hubungannya dengan kebenaran agama. Ini dilakukan dengan tujuan-tujuan yang bersifat politis, ekonomis, duniawi, dan picik”.

“Karena itu kami menyerukan kepada semua pihak agar berhenti menggunakan agama untuk menghasut kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme, dan fanatisme buta, dan menahan diri dari menggunakan nama Allah untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme, dan penindasan. Kami meminta ini karena kami bersama-sama percaya kepada Allah yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau saling bertarung, atau disiksa atau dihina dalam situasi hidup mereka. Allah Yang Mahakuasa tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang”.

Tesis kedua pemimpin agama terkutip di atas merupakan imperatif depolitisasi agama demi persaudaraan, perdamaian, dan kemanusiaan universal. Selamat memasuki dan menjalani tahun politik 2023-2024. Berkontestasilah dengan fair demi persaudaraan, keadilan, kesejahreraan, dan perdamaian rakyat dan bangsa Indonesia!***

Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.