Rakyat Mancari “Mesias” Politik

OPINI & ARTIKEL116 Dilihat

Pertama-tama, selamat memasuki dan menjalani tahun-tahun politik 2023-2024 untuk partai-partai politik kontestan pemilu serentak 2024, para penyelenggara pemilu, pemerintah, dan seluruh rakyat Indonesia. Ditinjau dari perspektif agama, khususnya kekristenan, maka kepastian kehadiran tokoh historis, yaitu Mesias, Sang Juruselamat dalam sejarah dan di dunia ini, adalah suatu penggenapan sesuai dengan nubuat para nabi.

Sebaliknya, dalam perspektif kehidupan nation-state atau negara-bangsa Indonesia, maka “mesias politik” adalah sebuah analogi-alegoris untuk sang “pemimpin ideal”, yang harus dicari, diseleksi, dipilah-pilah untuk dipilih melalui mekanisme demokrasi konstitusional, yaitu pemilu, untuk menjadi pemimpin puncak yaitu presiden maupun memilah-milah para calon legislator dan partai politiknya untuk dipilih menjadi anggota parlemen. Dikatakan analogi-alegoris, karena “mesias politik” memang tidak identik dengan Sang Mesias dalam pengertian iman kekristenan, namun bisa diumpamakan, diibaratkan, diteladani atau diidealisasikan.

Lantaran hanya ada satu Mesias saja untuk dunia dan umat manusia, maka dalam konteks analogi-alergoris ini, tentu saja yang dimaksudkan hanyalah tentang pemimpin puncak negara-bangsa dan rakyat Indonesia, yaitu sang presiden sebagai RI-1, yang selain memimpin negara-bangsa dan rakyat Indonesia, juga menjadi leader of the leaders yaitu pemimpin atas para pemimpin lembaga-kembaga formal kepemerintahan yaitu: legislatif, eksekutif, yudikatif, TNI-Polri dan lain-lain, sehingga Republik ini sangat membutuhkan suatu kualifikasi kepemimpinan nasional yang unggul.

Negarawan-Pancasilais

Untuk negara-bangsa dan rakyat Indonesia, “mesias politik” yang dicari itu sesungguhnya adalah sang “pemimpin yang negarawan-Pancasilais dan juruselamat Indonesia”, bukan negarawan-agamais-primordialistik. Tentu ini bukanlah sebuah slogan retorika politik kosong, tanpa makna. Ada tiga conditio sine qua non atau tiga dimensi tanpa syarat yang terimplikasi dalam premis “pemimpin yang negarawan-Pancasilais dan juruselamat Indonesia”. Pertama, sang pemimpin puncak harus terlebih dahulu memastikan bahwa dirinya adalah seratus persen Pancasilais sebelum dia meminta para pemimpin yang dipimpinnya serta seluruh rakyat menjadi Pancasilais.

Kedua, kalau sudah seratus persen Pancasilais, maka sang pemimpin puncak bersama para pemimpin serta rakyat, juga diharapkan akan konsisten dan konsekuen menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam pembangunan nasional di segala bidang. Ketiga, dengan demikian sang pemimpin tidak akan memberi peluang sefikit pun dan akan menutup segala celah bagi penerapan ideologi-ideologi sekuler ataupun ideologi agama, misalnya ideologi khilafah yang diperjuangkan untuk diterapkan di Indonesia oleh golongan yang ekstrem dan radikalis dalam hal keyakinan agama.

Tanpa menjadi negarawan-Pancasilais, maka sang pemimpin bukannya menjadi “mesias politik”, sang juruselamat Indonesia, melainkan sang “jurukembangkurtan” Indonesia, sesuatu yang tentu saja sangat tidak diharapkan oleh kita semua sebagai warga negara-bangsa Indonesia. Sehingga konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional dan dasar negara serta Konstitusi UUD ’45 sangat penting untuk seorang pemimpin dan calon pemimpin negara-bangsa dan rakyat Indonesia.

Nah, masalah krusialnya adalah mencari dan menemukan top leader atau pemimpin puncak dengan kualifikasi karakter kepemimpinan paripurna tanpa cacat, berkualitas summa cum laude alias sangat memuaskan untuk Republik ini tentu tidaklah mungkin. Namun paling tidak, ada beberapa dimensi kriteria kualifikasi, yang membentuk seorang tokoh menjadi pemimpin berkualifikasi “negarawan-Pancasilais berintegritas unggul”, kurang lebih dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Negarawan-Pancasilais adalah tokoh yang dilahirkan dan dibersarkan oleh sejarah dan mempunyai pengalaman ketokohan dan kepemimpinan yang teruji karena digodok dan dihasilkan oleh dialektika sejarah. Ia bukan tokoh karbitan, juga bukan tokoh satrio piningit (dalam kultur Jawa), yang menurut saya, tidak relevan untuk dunia modern. Dalam konteks Indonesia, sang pemimpin puncak harus memiliki “Visi-Trisakti” yaitu ajaran kemandirian bangsa: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan yang hingga sekarang masih jauh dari kenyataan. Terealisasinya Visi-Trisakti harus didukung oleh “kapasitas dan kompetensi manajerial kenegara-bangsaan”, yang tentu saja berbeda dengan mempimpin sebuah organisasi atau perusahaan.

Menjadi pemimpin karismatik (kalau bisa), berwibawa, kredibel, cerdas dan rasional-tidak emosional serta kaya akan gagasan dan berwawasan luas, akuntabel, memiliki kejujuran, bersikap adil, toleran dan menjunjung tinggi pluralisme; memiliki legitimasi demokratis yang besar dan kuat, tidak otoriter melainkan demokratis, menjunjung tinggi etika dan moral, tidak diskriminatif dan tidak mementingan golongan atau partai dari mana ia berasal. Setelah terpilih menjadi RI-1, ia bukan milik partai melainkan milik negara-bangsa dan rakyat Indonesia.

Bersih dari dan tidak menyuburkan KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme); tidak gampang tunduk kepada kekuasaan dan kekuatan asing dan berani mengambil risiko dalam pergaulan politik internasional. Membebaskan bangsa dan rakyat Indonesia dari menjadi “bangsa kuli di antara bangsa-bangsa”, dan ini berarti pemimpin yang kita butuhkan “bukanlah pemimpin bermental kuli”. Bung Karno sangat menekankan hal ini, yang menurut saya masih aktual dan relevan. Terus-menerus menumpuk utang luar negeri, tetapi tidak becus mengelola utang menjadi modal besar dan produktif adalah salah satu bentuk dari mental kuli.

Sebagai leader of the leaders, sang pemimpin puncak haruslah tokoh yang “berprinsip” dan tidak plin-plan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan serta eksekusi keputusan dan kebijakan; memiliki keteguhan sikap; memiliki kecakapan memotivasi dan menginspirasi para pemimpin untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia. Negarawan-Pancasilais harus “sudah selesai dengan dirinya sendiri”; sang top leader juga tidak boleh menjadi problem melainkan solusi bagi bangsa, negara, dan rakyat. Itulah beberapa kriteria yang kurang lebih mendekati ideal untuk membentuk RI-1 menjadi pemimpin yang berintegritas unggul.

Konsistensi Pengamalan Pancasila

Sebagai pemimpin yang seratus persen Pancasilais, maka sang top leader juga diharapkan akan konsisten dan konsekuen mengamalkan Pancasila dalam pembangunan nasional di segala bidang dengan fokus dan prioritas pada terwujudnya amanat Pembukaan UUD 45 dan sila kelima dari Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selama tujuh puluh delapan tahun Indonesia merdeka, apakah pembangunan nasional yang dijalankan oleh pemerintah dan pemimpin Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi sudah menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Jawaban atas pertanyaan ini bisa “ya” dan bisa “belum” tergantung pada subjek yang menjawab. Bagi golongan elite dan kelas menengah yang secara ekonomi menikmati kesejahteraan yang dihasilkan oleh pembangunan, tentu tidak jujur kalau mereka menjawab “belum”. Sebaliknya bagi mereka yang berkubang dalam kemiskinan dan kemelaratan dari pemilu ke pemilu akibat kesenjangan sosial-ekonomi, tentu mereka tidak bisa “dipaksa menipu diri” dengan menjawab “ya”, hal yang biasa dimanipulasi oleh para juru statistik demi ABS alias “asal bapak senang”.

Maka, tantangan bagi top leader dan para pemimpin lembaga-lembaga kepemerintahan paska pemilu 2024 dan selanjutnya adalah serius menciptakan “Keadilam sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” melalui penerapan dan pengembangan demokrasi ekonomi, yang disebut sistem Ekonomi Pancasila, memgingat selama Orde Baru dan Reformasi, sistem ekonomi Indonesia sangat didominasi oleh ideologi ekonomi asing yang kapitalistik-liberalitstik-eksplotatif alias menjajah.

Konsistensi dan komitmen pengalaman Pancasila juga mengharuskan top ledeer dan para pemimpin untuk konsekuen menerapkan Demokrasi Pancasila. Demokrasi yang aktual diterapkan di Indonesia selama Reformasi adalah demokrasi politik yang juga sangat liberalistik-kapitalistik-koruptif. Demokrasi ala rezim Reformasi adalah demokrasi berbiaya tinggi bahkan sangat tinggi, dalam kasus pemilu misalnya, sementara rakyat mendapatkan apa dari demokrasi yang sangat mahal itu? Demokrasi multipartai lebih banyak mudaratnya bagi rakyat dan sebaliknya hanya menciptakan elitokrasi, oligarki, dan plutokrasi. Para elite penguasa uanglah yang menentukan jalannya demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu demokrasi Indonesia harus ditata ulang dengan menerapkan Demokrasi Pancasila sebagaimana diamanatkan oleh sila keempat dari Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Penyederhanaan partai politik wajib dilakukan dengan menaikkan ambang batas parlemen hingga terbentuk jumlah ideal partai politik, maksimal lima partai dan minimal tiga partai seperti zaman Orde Baru. Ini bukan kemunduran.

Undang-undang dalam bidang politik jangan lagi memberi peluang untuk membentuk partai baru atau mendaur ulang partai lama yang kalah dalam pemilu. Ini butkan untuk melawan hak konstitusional berpartai, melainkian demi efektivitas dan kemanfaatan partai untuk rakyat. Sila keempat Pancasila memandatkan “musyawarah-mufakat secara perwakilan dengan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”.

Bukan oposisi yang terkesan lebih merupakan barisan sakit hati, yang asal beda saja atau mencari-cari kesalahan partai atau koalisi partai yang berkuasa dan pemimpin terpilih. Selama reformasi, kita menyaksikan tidak ada opoisisi yang berkualitas. Kecerdasan beradu argumen justru terjadi dalam musyawarah-mufakat, bukan dengan jalan oposisi. Hikmat kebijaksanaan adalah teman seiring dengan logika dan raisionalitas penalaran masalah untuk menghasilkan solusi dan eksekusi solusi kebijakan.

Sila keempat Pancasila juga mengamanatkan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR harus kembali menjadi lembaga tertinggi, simbol supremasi kedaulatan rakyat, bukan supremasi kedaulatan partai yang dikuasai kaum elite-oligarki-plutorkat. Pemilu presiden secara langsung tidak bisa meniadakan supremasi MPR. Sebaliknya justru semakin memperkuat surremasi kedaulatan rakyat yang secara kelembagaan direpresentasi oleh MPR. Hal ini demi pertanggungjawaban presiden kepada rakyat melalui MPR yang memiliki legitimasi dan kompetensi untuk menilai pertanggungjawabab presiden. TIdak logis presiden memberikan pertanggunjawaban kepada lembaga yang sejajar dengannya.

Begitu pula pembatasan masa jabatan legislator hanya untuk dua periode saja, harus dan wajib hukumnya dilakukan. Tidak seperti selama ini yang dibatasi masa jabatannya hanyalah presiden. Sementara para anggota legislator sampai seumur hidup lumutan bertengger di atas kursi kekuasaan di parlemen. Selama ini kita menyaksikan “muka-muka yang itu-itu saja dengan peforma pas-pasan dan membosankan, minim kualitas performa legislasi. Untuk dua hal ini, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi dan pembatasan masa jabatan legislator, sangat diperlukan Supevisi Empat Amandemen UUD 1945 secara komprehensif. Ini tantangan bagi top leader selaku kepala negara RI terpilih dalam pemilu 2024.

Konsistensi dan komitmen pengamalan Pancasila juga harus dimanifestasikan dalam upaya terus-menerus memperkokoh “Persatuan Indonesia”, sebagaimana diamanatkan oleh sila ketiga dari Pancasila. Persatuan dan kesatuan Indonesia atau nasionalisme merupakan suatu paham yang dinamis-dialektis dan rasional-kritis, baik secara internal maupun eksternal.

Rasionalitas nasionalisme secara internal pengimperatifkan pengakuan dan penerimaan akan keniscayaan realitas pluralitas identitas-entitas setiap daerah, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta kebudayaan masing-masing. Rasionalitas nasionalisme secara kritis menolak tegas dominasi identitas-entitas yang satu terhadap yang lain. Persatuan dan kesatuan Indonesia tidak berarti penyeragaman, juga menolak subordinasi identitas-entitas yang lemah terhadap yang kuat.

Pemenuhan secara adil dan merata hak-hak setiap identitas-entitas, terutama hak atas kesejahteraan ekonomi, khususnya sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan adalah syarat mutlak untuk membangkitkan kesadaran setiap identitas-entias, maupun individu warga negara, akan kewajiban mereka untuk memperkokoh NKRI.  Didukung oleh perkembangan teknologi digital, pemerintah dapat dengan mudah melakukan “digitalisasi nasionalisme” untuk membangkitkan semangat, kesadaran, dan wawasan kebangsaan serta kewajiban membela NKRI.

Sementara itu secara eksternal, nasionalisme Indonesia sangat jelas sudah, sedang, dan akan terdampak oleh dinamika dan dialektika globalisasi perpolitikan, ekonomi, bisnis, tekonologi persenjataan mutakhir, serta perang modern, sehingga perlu disikapi secara rasional-kritis baik oleh pemimpin puncak, para pemimpin, serta setiap warga negara, dan setiap identitas-entitas demi harkat dan martabat negara-bangsa Indonesia di mata dunia maupun di dalam negeri.

Konsistensi dan komitmen pengamalan Pancasila juga harus dibuktikan oleh pemimpin puncak dan para pemimpin serta setiap warga negara-bangsa dalam bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, sebagaimana diperintahkan oleh sila kedua dari Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Terutama mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia atau HAM, baik berat maupun ringan, baik pelanggaran HAM yang terjadi secara nasional, regional, internasional, dengan cara menegakkan hukum secara tegas. Juga merealisasikan perintah konstitusi UUD Tahun 1945 tentang HAM.

Konsistensi dan komitmen pengamalan Pancasila juga harus terbukti dalam bentuk penghargaan, penghormatan, dan penerimaan terhadap hak asasi manuisa dalam hal kebebasan berragama dan berkeyakinan. Sila pertama dari Pancasila menegaskan: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bagi Indonesia yang pluralistik dalam hal agama, namun dijamin oleh konstitusi, hal ini merupakan tantangan yang menarik bagi kepemimpinan RI-1. Realitas membuktikan bahwa ada banyak oknum elite agama yang membuat agama mereka menjadi sumber masalah dan bukan sumber solusi bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Visi dan misi luhur agama sebagai kekuatan emansipatoris, mencerdaskan, membangun, dan menyejahtrakan umat terlalu banyak dikooptasi dan dirusak oleh oknum-oknum elite agama yang hipokrit, sombong mengklaim diri paling hebat ilmu agamanya dan memiliki hobi tidak terpuji yaitu doyan mengacak-acak keyakinan iman agama lain sehingga menciptakan disharmoni sosial. Keluhuran citra agama justru dinodai oleh perilaku intoleran oknum elite agama, yang cilakanya diikuti pula oleh umat pengikut sang oknum elite agama. Semua problem yang ditimbulkan oleh oknum elite agama dan para pengikutnya akan terus mengusik kecerdasan para pemimpin Indonesia untuk menyelesaikannya.

Milenium Tegaknya Negara Pancasila

Di atas saya telah mengemukakan secara singkat pemikiran saya tentang ideal pemimpin puncak yang negarawan-Pancasilais dan juruselamat Indonesia serta konsistensi dan komitmen pengamalan Pancasila dalam pembangunan nasional. Atau dalam bahasa analogi-alegoris disebut “mesias politik”. Meskipun demikian, kita tidak mungkin mendapatkan pemimpin nasional puncak yang paripurna dan summa cum laude alias sangat memuaskan. Yang akan dihasilkan oleh pemilu 2024 adalah pemimpin nasional yang “minus malum”, berarti “yang lebih baik dari yang buruk” atau cum laude alias cukup memuaskan, namun mempunyai sejumlah keunggulan sebagaimana telah dideskripsikan di atas. Diharapkan pemimpin yang terpilih itu adalah “pemimpin pencerahan”, bukan “pemimpin pencitraan”; pemimpin yang mecerdaskan, bukan yang mengelabui rakyat dengan manipulasi pencitraan diri.

Dan, last but not least, saya mempunyai keyakinan bahwa dialektika sejarah Indonesia akan mengantarkan Reformasi ke titik kesudahannya, tidak dengan jalan reformasi jilid dua, tetapi revolusi konstitusi. Indonesia akan memasuki era yang saya namakan “Milenium Tegaknya Negara Pancasila”. Perjalanan sejarah negra-bangsa tidak akan lagi ditandai oleh “orde-orde”-an, masing-masing dengan rezimnya. Revolusi konstitusi yang saya maksudkan adalah keberanian pemimpin nasional mengadakan konsensus nasional “Supervisi Empat Amandemen UUD 1945” untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi kedaulatan rakyat dan pembatasan masa jabatan legislator di parleman, serta memasukkan GBHN dalam UUD dan bukan dalam format Ketetapan MPR atau UU saja.***

Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.