Pembantaian raja dan keluarga raja raja Melayu di Sumatera, perlu diketahui masyarakat

KabarDaerah.com – Pada tanggal 3 Februari 1946 dalam rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) di Medan para raja dan sultan di seluruh Sumatera Timur, termasuk Sultan Siak dari Riau sudah menyatakan tekad mendukung dan berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia di hadapan wakil pemerintah yaitu Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan disaksikan oleh Wakil Gubernur dr. Muhammad Amir, Residen Sumatera Timur Tengku Hafaz, Ketua KNI Sumatera Timur Mr. Luat Siregar, Abdul Xarim MS, Muhammad Yusuf, dr. Tengku Mansyur, Tengku Damrah, dan Tengku Bahriun.

Dari kalangan bangsawan Simalungun hadir Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Silimakuta Tuan Padiraja Purba Girsang yang sudah aktif di Markas Agung, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik, Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging, dan Raja Tanoh Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga. Kemudian dari Kesultanan Melayu hadir Sultan Langkat, Sultan Siak, Sultan Deli, Sultan Asahan, Putera Mahkota Serdang, Raja Indrapura, Raja Bilah, dan Yang Dipertuan Kualuh dan Leidong, Pertemuan ini dipimpin oleh Mr. Luat Siregar.

Mr. Teuku Muhammad Hasan dalam pidato pembukaan menyampaikan bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia mengakui secara resmi pemerintahan raja-raja di Sumatera Timur dan mendesak mereka agar memutuskan hubungan dengan pemerintah Belanda, melakukan proses demokratisasi, dan mendukung pemerintahan Republik Indonesia
Sultan Langkat Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah mewakili seluruh pemerintah swapraja Sumatera Timur menyampaikan pidato yang berbunyi: “Kami para sultan dan raja-raja di Sumatera Timur telah mengambil keputusan bersama untuk melahirkan sekali lagi itikad kami bersama untuk berdiri teguh di belakang presiden dan pemerintah Republik Indonesia serta turut menegakkan dan memperkokoh Republik Indonesia”.

Ia juga berjanji akan melakukan proses demokratisasi sesuai dengan prinsip yang dikemukakan oleh Gubernur Sumatera tersebut.

Sedangkan dr. Muhammad Amir menjelaskan bahwa masalah Indonesia sekarang bukan lagi hanya masalah kita dan Belanda saja, melainkan telah menjadi masalah internasional, Dunia bersimpati pada perjuangan Indonesia dan Indonesia tidak segan-segan mengajukan masalah kemerdekaannya kepersidangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ia juga menjelaskan bahwa di Jawa Susuhunan Surakarta, Sultan Yogyakarta, Pangeran Pakualam dan Pangeran Mangkunegoro telah menyesuaikan susunan pemerintahan di daerah masing-masing sesuai dengan tuntutan kedaulatan rakyat. Pada akhir pidatonya, ia mengatakan bahwa “Baik ditilik dari sudut politik, diplomasi maupun militer, kedudukan Republik Indonesia adalah sungguh kuat dan tangguh”.

Musyawarah itu akhirnya melahirkan kesepakatan membentuk panitia bersama untuk mempersiapkan proses demokratisasi di wilayah pemerintahan swapraja Sumatera Timur. Mr. Mahadi dan Muhammad Yunus Nasution dipilih sebagai sebagai ketua dan koordinator, mereka ditugaskan untuk mengawasi jalannya proses pemerintahan di wilayah itu sambil menantikan penggabungan dengan pemerintah republik. Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan dan kesultanan yang ada di Sumatera Timur telah bersedia mendukung pemerintahan Republik Indonesia.

Mereka menargetkan bahwa pada Mei 1946 pemerintahan yang baru di Sumatera Timur sudah bisa berjalan. Akan tetapi sangat disesalkan kubu radikal mengambil jalan pintas dengan menggerakkan Revolusi Sosial.

Meski kaum aristokrat Sumatera Timur sudah berjanji akan bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia, namun rakyat sudah terlanjur menaruh dendam dan kebencian melihat sikap dan gaya hidup mereka selama ini, yang hidup serba kemewahan dan dituduh telah melakukan penindasan terhadap rakyat. Penguasa Sumatera Timur yang terkenal kaya raya saat itu adalah dari kalangan Melayu yaitu Sultan Langkat dan Sultan Deli. S

ultan Langkat memperoleh kekayaan dari keuntungan usaha perminyakan dan penyewaan tanah perkebunan. Demikian juga Sultan Deli banyak menuai kekayaan dari hasil penyewaan tanah perkebunan tembakau. Slogan-slogan bernada revolusioner kemudian membahana di seantero Sumatera Timur, antara lain berbunyi “Raja-raja penghisap darah rakyat”, “Kaum feodal yang harus dibunuh” dan lagu “Darah Rakyat”. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum berhaluan kiri, khususnya kelompok komunis.

Pada bulan Maret minggu pertama 1946 semangat revolusioner ini berkecamuk di Sumatera Timur. Siapa saja yang menjadi penghambat dan menghalangi jalannya revolusi akan ditangkap. Seluruh elemen organisasi larut dalam suasana revolusi, termasuk organisasi-organisasi Islam. Gerakan revolusi memberikan keleluasaan kepada para aktivis muda dan buruh-buruh pendatang untuk melakukan aksi pergerakan.

Maxinius Hutasoit sebagai saksi mata menuturkan: “Sudah tentu bahwa dalam revolusi sosial itu terselundup pula segala macam hal yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya secara obyektif dengan persoalan feodal. Kepentingan-kepentingan sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas, nafsu rendah memperoleh pelampiasannya”.

Tengku Yasir dari Kesultanan Asahan pada waktu terjadinya Revolusi Sosial berusia 15 tahun. Ia nyaris jadi sasaran pembunuhan. Hanya karena kakinya sedang sakit, tak bisa berjalan dan berbau tak sedap, sehingga ia tidak ditangkap. Yasir mengakui “Sebelum meletusnya revolusi, ada semacam fatwa yang beredar di masyarakat waktu itu, katanya darah raja itu halal.” Menurutnya, keinginan untuk menghapuskan kerajaan dan kesultanan tak murni datang dari rakyat sendiri, tetapi dari hasil propaganda di Yogyakarta. “Ini murni pembunuhan dan perampokan besar-besaran.”

Berkaitan dengan tuduhan “raja-raja menindas rakyat”, penulis juga bertanya kepada beberapa orang ahli waris kerajaan di Simalungun. Di antaranya Tuan Kamen Purba Dasuha putera Raja Panei terakhir dan Tuan Jariaman Damanik Raja Muda Sidamanik terakhir.

Dengan nada diplomatis, Tuan Kamen balik bertanya kepada penulis, “Apakah kaum pendatang tidak pantas untuk menghormati dan tunduk kepada aturan kerajaan yang berlaku di Panei?” Sembari menunjuk persawahan yang luas di sekitar Pamatang Panei sampai ke Sabah Dua.

Tuan Kamen berkata, “Kalau ayah saya menindas pendatang dari Tapanuli, tidak mungkin mereka dapat memiliki persawahan dan pemukiman yang luas di Panei ini. Justru kami sebagai ahliwaris Raja Panei yang akhirnya kebagian lahan warisan yang paling sedikit dibanding kaum pendatang”.

Senada dengan itu, Tuan Jariaman Damanik mengatakan jika Tuan Sidamanik menindas para pendatang tidak akan mungkin penduduk Tapanuli yang pindah ke Sidamanik melampaui jumlah penduduk pribumi Simalungun dan menguasai tanah yang lebih luas dari keturunan Tuan Sidamanik.

RENCANA REVOLUSI

Tengku Luckman Sinar dalam penelitiannya menyatakan bahwa tindakan segerombolan orang yang mengaku republiken itu merupakan proyek rahasia dari Markas Agung pimpinan komunis Sarwono Sastro Sutarjo, Zainal Baharuddin, dan Muhammad Saleh Umar dalam rangka menghapuskan kerajaan di Sumatera Timur yang dituduh menghalangi kemerdekaan.

Sebulan sebelum aksi tersebut berlangsung Wakil Gubernur Sumatera dr. Muhammad Amir yang berpihak pada Markas Agung sengaja menyusun jadwal agar Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan pergi melakukan kunjungan ke Palembang. Keberadaan gubernur dinilai dapat menggagalkan rencana mereka. Sehari sebelum gubernur berangkat, Residen Sumatera Timur Tengku Hafaz (yang belakangan dipecat oleh Markas Agung) saat mengunjungi rumah gubernur, ia mengungkapkan firasat buruknya bahwa sepeninggal gubernur akan terjadi suatu peristiwa, ternyata firasat Tengku Hafaz terbukti.

Pada 1 Maret 1946 kaum revolusioner berkumpul di kediaman Mr. Luat Siregar di Medan, dihadiri anggota Volksfront (Front Rakyat) Muhammad Yunus Nasution dan Marzuki Lubis bersama Divisi IV TRI Kolonel Achmad Tahir dan Mahruzar (adik Sutan Syahrir) untuk mematangkan rencana penumpasan raja-raja dan sultan di Sumatera Timur.

Berdasarkan dokumen rahasia dari pihak Sekutu tanggal 2 Maret 1946 (sehari sebelum revolusi) sudah diperoleh informasi bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Harimau Liar (BHL) bekerjasama dalam aksi tersebut. Volksfront dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) besutan Mr. Amir Syarifuddin yang berdiri November 1945.

Adapun para tokoh, partai politik, dan organisasi yang terlibat dalam gerakan Revolusi Sosial di Sumatera Timur secara rinci antara lain:

  1.  Abdul Xarim M.S: Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) wilayah Sumatera dan anggota Volksfront.
  2. Muhammad Saleh Umar: tokoh komunis, Kepala Staf Barisan Harimau Liar (BHL), pernah jadi pimpinan PNI, Napindo, Partindo, dan Gerindo.
  3. Nathar Zainuddin: Ketua Biro Khusus PKI, anggota Volksfront, ipar dari Abdul Xarim M.S.
  4. Sarwono Sastro Sutarjo: Ketua Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Ketua Volksfront dan Markas Agung juga pengikut Mr. Amir Syarifuddin.
  5. Muhammad Yunus Nasution: Ketua PKI Sumatera Timur.
  6. Mr. Luat Siregar: Ketua KNI Sumatera Timur merangkap Ketua PKI Sumatera Timur dan pernah menjabat Residen Sumatera Timur (April-September 1946).
  7. dr. Muhammad Amir: Wakil Gubernur Sumatera, pernah bertugas sebagai dokter pribadi Sultan Langkat, pada tanggal 23 April 1946 membelot ke NICA.
  8. Muhammad Jacub Siregar: putera Sutan Martua Raja Siregar, Ketua Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), dan Wakil Komandan Barisan Harimau Liar.
  9. Urbanus Pardede: tokoh PKI, pernah menjadi Bupati Simalungun menggantikan Tuan Maja Purba.
  10.  Zainal Baharuddin: tokoh PKI dan anggota Volksfront.
  11. Bustami: Kepala Jawatan Perekonomian PKI yang mengambil alih harta kaum bangsawan dan perkebunan asing.
  12. Amir Yusuf: anggota yang mengambil alih harta kaum bangsawan dan perkebunan asing.
  13. Nunung Sirait: staf Barisan Harimau Liar.
  14. Abdullah Yusuf: staf Barisan Harimau Liar.
  15. Marwan: Ketua PKI Langkat dan pemerkosa puteri Sultan Langkat.
  16. Amar Hanafiah: tokoh komunis di Langkat yang tinggal di Kampung Terusan Tanjung Pura.
  17. Bagus Saragih: Ketua PKI cabang Tanah Jawa, Simalungun.
  18. Mayor Anggaraim Elias Saragih Ras: Komandan BHL di Simalungun yang terjun langsung dalam penculikan dan pembunuhan para raja di Simalungun.
  19. Panji Aflus: tokoh Pesindo Labuhan Batu
  20. Usman Parinduri: pemerkosa puteri Sultan Langkat.
  21. Mandor Iyang Wijaya: pemenggal kepala pujangga Tengku Amir Hamzah.
  22. Mandor Amin: algojo pemenggal kepala di Langkat.

Elemen organisasi dan partai politik serta laskar yang berperan dalam aksi ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sosialis Indonesia (Parsi), anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Barisan Merah (PKI), Barisan Harimau Liar (BHL), Hizbullah dari Masyumi, dan didukung buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani.

Demikian ulasan majalah Tempo edisi 50/Feb/1997. Para tokoh-tokoh pimpinannya tergabung dalam Volksfront dan Markas Agung. Sarwono Sastro Sutarjo memerintahkan kepada semua barisan revolusi agar melakukan penyerangan secara serentak tengah malam, 3 Maret 1946 di seluruh kerajaan dan kesultanan di Sumatera Timur.

Mayor A. E. Saragih Ras saat diwawancarai oleh pendiri Harian Waspada Muhammad Said sewaktu berada di penjara setelah aksi pembantaian itu, ia mengaku bahwa pada tahun 1944 ia sudah menjadi anggota Ken Ko Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar) yang dibentuk Inoue seorang perwira Jepang dan tahun 1945 ditugaskan memimpin BHL di daerah Simalungun. Perintah menghabisi keluarga bangsawan diperoleh atas perintah Sarwono Sastro Sutarjo unsur pimpinan Markas Agung dan Sekretaris Zainal Abidin yang datang mengunjunginya untuk menyampaikan  perintah rahasia.

Saleh Umar pimpinan tertinggi Markas Agung ketika dimintai ketegasan hitam di atas putih oleh Saragih Ras, dijawab oleh Saleh Umar: “Perintah ini adalah rahasia dan sayalah yang menanggung akibatnya”.

Di daerah Simalungun raja-raja yang dianggap penghalang kemerdekaan yang harus dihabisi adalah Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, pemangku Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan lain-lain. Harta rampasan dari para bangsawan diserahkan pada awal tahun 1949 kepada Saleh Umar yang sudah diangkat menjadi Residen Sumatera Timur (setelah berhasil menggulingkan Tengku Hafaz kerabat Sultan Deli dari Bedagai).

Harta benda bangsawan itu pernah dipakai sebanyak dua kali, pertama untuk membiayai perbekalan TNI di Sidikalang dan kedua ketika berada di Pasar Matanggor (Tapanuli Selatan) untuk membeli senjata dari Singapura yang diserahkan Saleh Umar kepada saudagar Tionghoa Oei Boen Tjoen yang ternyata melarikannya. Selanjutnya harta benda yang tersisa diserahkan kepada Komandan Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan Kolonel Alex Kawilarang pada tahun 1950.

JALANNYA AKSI REVOLUSI

Kekerasan pertama terjadi di Sunggal pada tanggal 3 Maret 1946, unit-unit laskar rakyat menyerang markas organisasi PADI (Persatuan
Anak Deli Islam) dan Pasukan Ke-V pimpinan dr. F.J. Nainggolan yang berada dekat rumah Datuk Hitam.

Dalam kerusuhan itu jatuh korban di kedua belah pihak, Datuk Hitam dan sejumlah tokoh-tokoh bangsawan termasuk Datuk Hafidz Haberham melarikan diri ke Medan. Volksfront cabang Sunggal menangkap sekitar 40 orang keluarga bangsawan. Bentrokan dalam bentuk gencatan senjata antara kedua belah pihak pun terjadi. Berita kekerasan itu dengan cepat meluas ke Medan, Karo (Berastagi), Simalungun (Pamatang Siantar), Asahan, Labuhan Batu, Binjai, dan Langkat. Di Labuhan Deli terjadi penangkapan terhadap 40 orang Melayu dan para penghulu. anggota PADI dan Pasukan Ke-V berhasil dilumpuhkan dan dr. F.J. Nainggolan pimpinannya ditangkap, namun ia berhasil selamat dari usaha pembunuhan, sementara isteri dan puterinya dibunuh.

Di Tanjung Pura tempat kedudukan Sultan Langkat, pada 9 Maret 1946 istana Darul Aman berhasil dikuasai oleh kaum republiken dan menjarah harta berharga yang ada di dalamnya. Mereka juga melampiaskan nafsu bejat mereka kepada dua orang puteri Sultan Langkat.

Demi menyelamatkan nyawa ayah mereka, mereka terpaksa bersedia melayani nafsu birahi Marwan dan Usman Parinduri. Kebiadaban mereka ini dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, “…..kedua puteri itu meraung kesakitan dan setiap rintihan merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengarnya dari kamar sebelah.” (Kedua pelaku pemerkosa ini kemudian dijatuhi hukuman mati). Istana Darul Aman dibakar, namun Sultan Langkat tidak dibunuh, ia ditangkap lalu diasingkan ke Batang Serangan hingga kemudian Belanda membebaskannya pada bulan Juli 1947.

Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya, isteri-isteri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat terpisah. Selain itu pujangga Tengku Amir Hamzah juga ikut menjadi korban. Selain sebagai pujangga, Tengku Amir Hamzah merupakan salah satu tokoh yang ikut berperan terhadap lahirnya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 dan juga tokoh yang menginspirasi pemakaian peci atau kopiah sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia.

Di lingkungan kesultanan ia merupakan seorang pangeran untuk wilayah Langkat Hulu dan Langkat Hilir, serta Bendahara Paduka Raja dan pada masa pemerintahan RI sempat menjadi Asisten Residen Langkat dan Ketua Pengadilan Kerapatan Kesultanan Langkat. Amir Hamzah awalnya ditahan di sebuah rumah bekas tahanan Kempeitai di tepi Sungai Mencirim, Binjai. Tepatnya tanggal 20 Maret 1946 ia dieksekusi di sebuah lubang di Kuala Begumit.

Parang Mandor Iyang Wijaya kemudian berayun menebas tengkuk hingga memutuskan lehernya. Kabar kematian Amir Hamzah tak lantas dipercayai istrinya, Tengku Kamaliah, putri Sultan Langkat saat itu. Kamaliah percaya suaminya akan segera pulang. Bahkan ketika kuburan itu dibongkar dan tengkoraknya dikenali, ia tetap tak percaya itu adalah tengkorak suaminya.
Kepada Anaknya, Tengu Tahura yang akrab dipanggil Kuyong, Kamaliah selalu menanamkan keyakinan bahwa ayahnya tidak mati.

“Amir Hamzah tidak mati. Ayahmu akan datang pada suatu hari nanti,” seperti dikutip dari Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang (1981) yang ditulis Nurhayati Sri Hardini (Nh. Dini).

Istana Kesultanan Langkat di Tanjungpura sebenarnya memiliki basis pertahanan yang kuat. Pasukan PADI dan Pasukan Ke-V merupakan pendukung kesultanan dan bersiap membela sultan hingga titik darah penghabisan. Selain itu, istana memiliki pasukan pengawal sendiri yang disebut PIL (Penjaga Istana Langkat). Beberapa waktu sebelumnya, mereka telah mendapat bantuan 40 pucuk senjata dari Inggris. Sultan sendiri hendak diselamatkan oleh Inggris, tetapi dia menolaknya karena menyadari ancaman yang akan menimpa kaum bangsawan lainnya.

Demi menghindari konfrontasi lebih lanjut, Sultan Langkat bersedia menarik mundur PIL dari Tanjungpura. Kendati demikian, pada 8 Maret para pemuda mengepung istana Langkat. Listrik diputuskan pada malam hari tanggal 9 Maret dan dilancarkan serbuan terhadap istana. Para penghuni istana ditangkap dan tujuh orang tengku dibantai secara brutal. Secara keseluruhan diperkirakan 38 bangsawan Langkat menjadi korban revolusi sosial ini.

Di Tanjung Balai, Asahan 3 Maret 1946 sejak pagi ribuan massa bersenjata berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Terjadi baku tembak antara TRI dan polisi yang bertugas mempertahankan istana. Karena jumlahnya sedikit, akhirnya mereka menyerah dan membiarkan istana diserbu oleh massa.

Sultan meloloskan dirinya dan berhasil menyelamatkan diri setelah 17 hari dikejar-kejar oleh laskar rakyat. Para pemuda melampiaskan amarahnya kepada Tengku Musa, pejabat Republik yang dianggap terlalu bersimpati terhadap kerajaan. Ia beserta isteri Belandanya dibunuh secara brutal. Pembantaian juga melanda kaum bangsawan sehingga dalam beberapa hari saja 140 orang menjadi korbannya, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar adalah kerabat kesultanan. Istana kerajaan kemudian diduduki oleh massa.

Di daerah Kualuh, massa menyerbu istana sultan di Tanjung Pasir dan seluruh penghuninya ditawan. Sultan beserta putranya kemudian ditemukan luka berat karena tusukan tombak di sebuah kuburan Tionghoa. Petinggi-petinggi kerajaan lainnya ditangkap, demikian pula dengan keluarga mereka. Tengku Hasnan dan Tengku Long dipenggal kepalanya oleh laskar rakyat.
Keluarga Kesultanan Serdang luput dari pembantaian.

Setelah mendapat laporan dari Simalungun Kolonel Ahmad Tahir memerintahkan Kapten Tengku Nurdin salah seorang keturunan bangsawan Serdang yang menjadi Komandan Batalion III Tentara Republik Indonesia (TRI) di Melati Perbaungan agar mengambil kebijaksanaan melindungi Sultan Sulaiman dan para bangsawan lain dari serangan kaum republiken.

Pada 4 Maret 1946, segera setelah berlangsungnya penyerahan kekuasaan, para bangsawan beserta pejabat tinggi kesultanan dikumpulkan di istana Kota Galuh, Perbaungan dan dijaga oleh kesatuan Batalion III TRI sehingga lolos dari kebrutalan para pemuda. Demikian juga istana Kesultanan Deli berada dekat markas Sekutu sehingga begitu revolusi sosial meletus kaum bangsawan Deli mendapatkan perlindungan dari tentara Inggris.

REVOLUSI SOSIAL DI SIMALUNGUN

  1. Kerajaan Panei

Pada masa itu yang memerintah di Panei adalah Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha. Pada hari Minggu pagi, 3 Maret 1946 Tuan Mailan Purba Dasuha, anak tertua Tuan Marjandi adik kandung Raja Panei (Tuan Anggi Panei) menginformasikan kepada keluarga Raja Panei di Pamatang Panei bahwa akan terjadi gerakan revolusi sosial terhadap raja-raja dan sultan-sultan, ia mengimbau supaya raja dan keluarga segera menyelamatkan diri ke rumah pesanggerahan Raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl Sudirman) Pamatang Siantar.

Pada hari itu juga Tuan Naga Panei (berdasarakan informasi dari Richard Nainggolan) melaporkan kepada Raja Panei bahwa A. E. Saragih Ras dan laskarnya yang sudah terlatih akan datang menculik dan menjarah ke istana raja, supaya raja maklum dan segera menyelamatkan diri. Anehnya, meskipun Raja Panei sudah mengetahui akan kedatangan pasukan BHL pimpinan iparnya sendiri yaitu A. E. Saragih Ras, namun dia tidak pergi menyelamatkan diri ke Pamatang Siantar.

Pihak istana hanya melakukan tindakan antisipatif dengan menempatkan pengawal yang terdiri dari laksar Pesindo dengan pengawalan Raja Muda Panei Tuan Margabulan Purba Dasuha dan adik-adiknya yang sudah dewasa.

Menurut Tuan Kamen Purba, abangnya Raja Muda pada waktu itu sudah aktif di pasukan Marsose yang berjuang melawan Belanda. Rakyat yang berkumpul pada waktu itu di sekitar istana menjaga keselamatan raja dan keluarganya.

Tuan Aliamta Purba yang masih berumur 5 tahun pada waktu itu sedang sakit dikelilingi oleh kelurga besar raja. Tengah malam tiba-tiba listrik padam, rupanya pasukan BHL sudah mengepung istana. Pasukan pengawal tidak berdaya menghadapinya, ada yang tewas dan sebagian diikat.

Pasukan BHL berjumlah lebih kurang 50 orang itu naik ke istana, mereka tidak berbicara dan memakai penutup wajah. Serempak mereka masuk dan menjarah seluruh istana raja membawa karung masuk ke dalam kamar perbendaharaan raja, mengambil emas banyak sekali dari peti, uang perak gulden dan uang kertas Jepang.

Senjata revolver milik Raja Muda turut dirampas. Seluruh isi istana dijarah, Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba dan kedua anaknya yaitu Tuan Margabulan Purba (Raja Muda) dan Tuan Jautih Purba serta seluruh perempuan dewasa diikat tangannya. Ditambah 28 rakyat yang tidak rela meninggalkan rajanya turut diikat, mereka kemudian dinaikkan ke dalam 2 unit truk.

Iringan BHL berjalan menuju ke Tigaras, sepanjang perjalanan Raja Panei disiksa dan akhirnya seluruh rombongan dibunuh dengan sadis di Nagori dekat Tiga Sibuntuon. Raja Panei yang kebal dengan senjata tajam dibunuh dengan cara ditombak melalui duburnya hingga mengenai leher, setelah itu kepalanya dipenggal dan lidahnya dicabut paksa.

Demikian juga kedua anaknya juga dibunuh dengan cara dipenggal. Beruntung anaknya yang lain yaitu Tuan Margaidup Purba, Tuan Iden Purba, Tuan Abraham Purba, dan adik-adiknya berhasil melarikan diri dari istana menuju Naga Huta melewati kebun teh ke tempat markas tentara Jepang yang pada minggu siang sempat berkunjung ke istana.

Dari sana mereka berangkat ke Pagar Jawa dan dijemput pasukan TRI dan diamankan di Pamatang Siantar (rumah Tuan Maja Purba Bupati Simalungun). Anak Raja Panei yang lain Tuan Kamen Purba pada malam itu bersama dengan Inang Bona, isteri Raja Panei sedang berada di ladang di Naga Huta.

Sementara abangnya Tuan Nalim Purba sedang bersekolah di Pamatang Siantar. Rumah pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl. Sudirman) sudah dikuasai BHL dan dijadikan markas mereka. Mobil pribadi Raja Panei dirampas dan dipakai Urbanus Pardede yang sudah mengkudeta Tuan Maja Purba sebagai Bupati Simalungun. Harta Raja Panei habis disikat dan istana (rumah panggung berarsiterktur semi Melayu) kemudian dibakar atas pimpinan seorang marga Sinaga. Sedangkan Rumah Bolon yang merupakan istana lama utuh tetapi puluhan tahun tidak terawat runtuh dimakan usia, karena ketiadaan perawatan.

Sesudah berita penculikan Raja Panei terdengar oleh TRI, maka tentara pun mengejar jejak BHL ke arah Saribu Dolog dan Tigaras. Akhirnya mereka menemukan mayat keluarga aristokrat Panei berikut rakyatnya sudah tewas mengenaskan di Sibuntuon. Mayat Raja Panei kemudian dimakamkan di dekat istananya yang sudah rata dengan tanah di Pamatang Panei, berikut seluruh keluarga dan rakyat kerajaan yang ikut jadi korban.

Sampai Raja Panei meninggal, dia masih bertahan dengan agama animisme. Namun sebelum meninggal ia sedang menunggu kedatangan muballigh yang akan mengislamkannya. Selain keluarga Raja Panei, para pejabat di lingkungan kerajaannya juga ikut dibantai yaitu Anak Boru Panei Tuan Jademan Saragih Garingging dari Dolog Saribu (ayah Prof. Dr. Boas Saragih), kemudian Tuan Naga Panei Tuan Jamonang Purba Sidadolog juga tewas dibunuh.

Pembantaian terhadap keluarga Raja Panei terus berlanjut hingga bulan April 1947, putera-putera raja Panei yang sudah aktif di perjuangan yaitu Tuan Margaidup Purba akhirnya tewas dibunuh BHL, menyusul Tuan Kortas dari Marjandi dan Tuan Mintari Purba kerani Kerajaan Panei. Nyaris saja seluruh keluarga bangsawan Panei punah bila tidak diselamatkan dengan sangat rahasia di Belawan.

  1. Tanoh Jawa

Raja Muda Tanoh Jawa Tuan Omsah Sinaga dan saudaranya Raja Tanoh Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga selamat dari penculikan BHL, karena saat itu mereka berada di Pematang Siantar. Tetapi saudaranya Tuan Dolog Panribuan yaitu Tuan Mintahain Sinaga dan puteranya Raja Muda Tuan Hormajawa Sinaga (ayah Mayor Jatiman Sinaga) tewas dibunuh BHL beberapa bulan kemudian, yaitu 16 Agustus 1946. Menurut Killian Lumbantobing, mayatnya dicincang dan dicampur dengan daging kerbau serta disuguhkan untuk santapan pasukan BHL. Menurut Tuan Gindo Hilton Sinaga masih banyak korban revolusi sosial di Tanoh Jawa yang masih belum terungkap.

  1. Kerajaan Siantar

Pemangku raja Siantar Tuan Sawadin Damanik luput dari pembunuhan BHL, karena pada waktu itu beliau berada di rumahnya di Pamatang Bandar dilindungi oleh pendatang Batak Toba yang menggarap sawah di sana. Tetapi di Sipolha, beberapa kaum bangsawan tewas dibunuh, termasuk Tuan Sipolha yaitu Tuan Sahkuda Humala Raja Damanik (ayah Tuan Jabanten Damanik).

Bangsawan di Sipolha yang paling banyak mengalami pembantaian oleh BHL, berhubung dengan lokasinya yang relatif lebih terisolir di pantai Danau Toba, jauh dari pengawasan TRI. Banyak keluarga Tuan Sipolha yang menyelamatkan diri ke daerah Parapat bahkan mengungsi sampai ke luar negeri. Diperkirakan ada ratusan korban tewas dibantai oleh BHL di Sipolha.

Tuan Sidamanik sendiri yaitu Tuan Ramahadim Damanik bersama Raja Muda Sidamanik yaitu Mr. Tuan Djariaman Damanik sudah mengetahui gelagat buruk ini, mereka menyingkir ke Pamatang Siantar. Setelah bermufakat di rumah pesanggerahan Tuan Sidamanik bersama Tuan Bisara Sinaga dari Jorlang Hataran, Tuan Baja Purba dari Dolog Batu Nanggar, dan Tuan Jansen Saragih dari Raya Kahean mereka pergi berlindung ke kantor polisi RI.

Beberapa hari kemudian Tuan Jariaman Damanik menemukan buku kecil berwarna merah beredar di kota Pamatang Siantar yang berjudul “Revolusi Perancis dan Revolusi Soviet” di sampul terdapat lukisan palu arit yang merupakan simbol partai komunis. Melihat keadaan yang semakin memanas, Tuan Jariaman Damanik memilih berangkat ke Tapanuli bergabung dengan TKR RI atas saran Komandan TKR Pamatang Siantar Rikardo Siahaan.

  1. Kerajaan Purba

Meskipun Raja Purba Tuan Mogang Purba telah mengungsi ke Markas Langit bersama anaknya Tuan Jamin Purba, tetapi keduanya tewas secara misterius. Tuan Jamita Purba dan Tuan Lintar Purba tewas disekitar Tigaras. Semuanya berlangsung di sekitar bulan April tahun 1947. Pantai Haranggaol pada masa itu dikabarkan penuh dengan mayat-mayat manusia yang tewas dibantai dengan sadis, sampai-sampai orang tidak mau memakan ikan dari danau Toba, karena sering kedapatan jari manusia dalam perut ikan.

Pada tahun 1947 pemangku Kerajaan Purba Tuan Karel Purba tewas terbunuh oleh BHL di Haranggaol. Anaknya Tuan Maja Purba pejabat pemerintah RI pernah menjadi Bupati Simalungun dan pejabat Gubernur Sumatera Utara. Adapun keturunan Raja Purba yang selamat yaitu Mr. Tuan Jaidin Purba pernah menjabat sebagai walikota Medan. Kemudian Tuan Jomat Purba, terakhir Kolonel TNI aktif memimpin pasukan Blaw Pijper Negara Sumatera Timur.

  1. Kerajaan Silima Huta

Raja Silima Huta Tuan Padiraja Purba Girsang yang sudah aktif di Markas Agung juga tewas dan tidak diketahui di mana makamnya, sewaktu mengungsi ke Tanah Karo. Bersama beliau turut tewas dokter pertama Simalungun dr. Jasamen Saragih. Konon mayat Raja Silima Huta dihanyutkan di sungai Lau Dah dekat Kabanjahe. Turut juga ditangkap Pangulubalei Jaudin Saragih dan ditahan di Raya Berastagi tetapi beliau mujur masih hidup diselamatkan oleh TRI.

  1. Kerajaan Raya

Nasib naas menimpa pemangku Raja Raya Tuan Jaulan Kaduk Saragih Garingging gelar Tuan Raya Kahean. Beliau seorang maestro seni Simalungun dan perintis pembangunan jalan penghubung Sondi Raya-Sindar Raya. Semasa dia menjabat sebagai penguasa swapraja di Raya sungguh banyak pembangunan yang dirasakan masyarakat seperti pengadaan listrik dan air minum serta transportasi bus yang diberi nama “Sinanggalutu” dengan rute Pamatang Siantar-Pamatang Raya.

Beliau ditangkap pasukan BHL sewaktu menghadiri acara keluarga saudaranya Tuan Manak Raya, bersama Opas Radan Sitopu dan Penilik Sekolah (Schoolopziner) Saulus Siregar. Ketiganya ditangkap dan dibawa ke bawah jembatan Bah Hutailing (dekat Sirpang Sigodang). Opas Radan Sitopu dapat meloloskan diri dengan berpura-pura mati dan menjatuhkan dirinya ke sungai, sedangkan Saulus Siregar dan Tuan Jaulan Kaduk tewas dipenggal lehernya dan dihanyutkan ke sungai Bah Hutailing tersebut.

Mayat mereka kemudian ditemukan oleh TRI dan dibawa ke Pamatang Siantar dan dimakamkan secara agama Kristen. Keturunannya yang terkenal di antaranya adalah Tuan Bill Amirsjah Rondahaim Saragih (Bill Saragih) yang dikenal sebagai seorang komponis jazz yang lama berdiam di Australia dan Prof. Dr. Bungaran Saragih, M.Si mantan Menteri Pertanian RI era Presiden Abdurrahman Wahid.

Adapun Tuan Anggi Raya yaitu Tuan Pusia Saragih Garingging memilih gantung diri daripada ditangkap oleh BHL. Keluarga bangsawan Raya lainnya ada yang melarikan diri ke hutan atau tempat yang aman. Selain kaum bangsawan, orang-orang di luar kerabat kerajaan juga ikut terbunuh seperti Bisa Lingga, Willem Saragih, Bungaronim Damanik, dan Parudo Girsang. Sasaran BHL bukan hanya kaum bangsawan, tetapi juga mereka yang kebetulan posisinya sebagai pejabat sipil, tenaga medis (dokter, mantri, bidan), guru bahkan mereka yang busananya terlihat kebarat-baratan juga ikut menjadi korban.

Pada tanggal 5 Maret Wakil Gubernur Sumatera dr. Muhammad Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan itu adalah “Revolusi Sosial” dan memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Untuk mengerti kejadian yang hebat sekarang (Revolusi Sosial) di Sumatera Timur, haruslah diketahui bahwa di seluruh pulau Sumatera semenjak beribu tahun ada susunan demokrasi di kampung dan hutan dan nagari, kecuali di Sumatera Timur yang sampai sekarang masih menjadi sarang dan benteng feodalisme (pemerintahan keningratan). Di luar Sumatera Timur, rakyat jelata selama terbentuknya Negara Republik Indonesia (NRI) adalah rakyat yang merdeka dan dibela oleh grondwet (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia), pemerintah, laskar Republik. Rakyat Sumatra Timur hidup dalam “daerah-daerah istimewa” (kerajaan, landscap di bawah pemerintahan raja-raja, datuk-datuk, dan lain-lain, kaum feodal yang umumnva tidak suka pada pergerakan rakyat dan tidak suka pada republik. Antara mereka banyak pula yang dengan terang-terangan atau bersembunyi mengatur perlawanan untuk menentang NRI dan berhubungan dengan NICA. Setelah rakyat dengan barisan-barisannya melihat hal-hal pengkhianatan itu, maka mereka dengan segera bertindak dengan tak sabar lagi membantu pemerintah, menyapu bersih musuh-musuh negara itu dan rakyat menuntut supaya daerah-daerah istimewa, benteng feodal yang telah menyawa dengan musuh-musuh negara dan kapitalisme asing itu, dengan segera supaya NRI di seluruh Sumatera ini ditegakkan atas sendi-sendi yang betul, menurut grondwet NRI, kedaulatan rakyat, dan kesejahteraan sosial.”

Esoknya tanggal 6 Maret 1946 ia mengangkat Muhammad Yunus Nasution (Ketua PKI Sumatera Timur) sebagai Residen Sumatera Timur. Untuk meminimalkan korban Revolusi Sosial,  Yunus Nasution untuk sementara waktu bekerja sama dengan BP KNI maupun Volksfront dan Mr. Luat Siregar ditunjuk menjadi Juru Damai (Pacifikator) untuk seluruh wilayah Sumatera Timur dengan kewenangan seluas-luasnya. Dalam suatu rapat raksasa di dekat Mesjid Raya Medan yang dihadiri oleh Residen Sumatera Timur M. Yunus Nasution, rakyat mendesak Komite Nasional Indonesia wilayah Deli untuk menghapuskan daerah istimewa, mereka menyerukan: “Hapuskan daerah istimewa! Hapuskan pemerintah Kesultanan Deli! Dirikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!.”

Akhimya diproklamasikan penghapusan daerah istimewa Deli, kemudian tanggal 8 Maret disusul penghapusan daerah istimewa Simalungun, Bilah, dan Panai.

Pemerintah pusat melalui Komite Nasional Indonesia tidak membenarkan aksi pembantaian tersebut. Para menteri seperti Sultan Hamengkubowono IX, Mrs. Maria Ulfah Santoso, Mr. Mohammad Roem, dan Mr. Syafruddin Prawiranegara pernah berjanji bahwa para keluarga korban revolusi sosial tahun 1946 akan dikembalikan kehormatannya dan harta benda mereka dikembalikan oleh negara.

Di bawah ini saya lampirkan beberapa foto raja-raja di Simalungun yang terbunuh pada peristiwa Revolusi Sosial, 3 Maret 1946 hingga 1947.

  1. Raja Panei, Tuan Bosar Sumalam Purba Sidasuha.
    2. Raja Purba, Tuan Mogang Purba Sidapakpak.
    3. Raja Silima Huta, Tuan Padiraja Purba Girsang.
    4. Raja Raya, Tuan Jaulan Kaduk Saragih Garingging.

Penulis: Pdt. Juandaha Raya Purba, M.Th dan Masrul Purba, S. Pd