Kapolda, Gubernur, Danrem Serta Forkopinda Sumatera Barat, Tanggapi Demo Dengan Pertemuan

BERITA UTAMA148 Dilihat

Sumbar.KabarDaerah.com – Kapolda, Gubernur, Danrem Sumatera Barat mengadakan pertemuan terkait rencana pemerintah menjadikan lahan milik petani Proyek Strategis Nasional di Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat

PSN merupakan upaya daerah untuk ikut menjawab kebutuhan negara. Sebab di lahan tersebut akan ada sejumlah investasi besar, salah satunya penyulingan minyak bumi.

Demi kepentingan bersama, ada imbauan mendesak dan sangat penting diperhatikan oleh Gubernur Sumbar dan Kapolda Sumbar agar diperhatikan dan ditindak lanjuti dengan segera.

Untuk itulah rapat tersebut diadakan, terkait demo berhari hari yang dilakukan masyarkat pasaman Barat dan walhi Sumbar. berikut surat terbuka terkait permintaan tersebut.

Perihal : Imbauan
Sifat : Penting dan mendesak

Kepada Yth :
Gubernur Sumatera Barat
Kapolda Sumatera Barat
Di
Padang

Bahwa sebagaimana dinyatakan oleh pasal 28 I ayat (4) UUD NRI 1945 : “Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara terutama Pemerintah”. Seiring itu, sesuai kewajiban dan kewenangan dari Gubernur Provinsi Sumatera Barat dan Kapolda Sumatera Barat, kami Individu-Organisasi-Intansi-Lembaga dibawah ini menyatakan mendukung perjuangan masyarakat Nagari Air Bangis dalam melindungi wilayah kelola, hidup dan penghidupannya, serta menghimbau kepada Gubernur Sumatera Barat dan Kapolda Sumatera Barat untuk :

Satu :

Segera menemui serta berdialog dengan masyarakat Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Kabupaten Pasaman Barat dan Mahasiswa dari Aliansi BEM Sumatera Barat yang melakukan aksi, sehingga diperolehnya suatu solusi atas tuntutan masyarakat dan mahasiswa yang disepakati secara sadar, tanpa paksaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia;

Kedua

Perlu dipertimbangkan, massa aksi terdiri dari kelompok yang karena keadaan dan kondisinya lebih rentan, yaitu dari ibu-ibu/perempuan, anak-anak, serta balita. Jika tuntutan massa aksi tidak dan/atau lama mendapat respon yang tepat dari pemerintah, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pelangaran HAM terhadap massa aksi, baik dalam bentuk ommision ataupun action dari state actor.

Kami mengingatkan dan meminta, kiranya hal-hal dibawah ini menjadi pertimbangan dalam dialog bersama masyarakat dan mahasiswa massa aksi :

Terkait rencana industri

Patut dipertimbangkan untuk tidak melanjutkan, membatalkan dan/atau menarik rekomendasi rencana industri. Hal ini sesuai dengan :

Satu
Berita Acara Konsultasi Publik II Tentang Integrasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2022-2042, yang menyepakati untuk perlu dilakukan kajian komprehensif mengenai penetapan kawasan peruntukkan industri di Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Kabupaten Pasaman Barat karena Tumpang Tindih dengan Wilayah Kelola Masyarakat dan Memiliki Potensi Konflik dengan Masyarakat;

Kedua
Berita Acara Rapat Forum Penataan Ruang Provinsi Sumatera Barat tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatera Barat 2022-2042 dengan hasil : Usulan Kawasan Industri PT ABACO di Kabupaten Pasaman Barat belum dapat ditindaklanjuti karena tidak dapat koordinat dan data dukung terkait oleh PT ABACO, Perlu dipertimbangkan upaya mitigasi terkait usulan kawasan industri karena pada kawasan memiliki potensi resiko kebakaran hutan, tsunami dan longsor;

Penolakan berbagai elemen masyarakat terkait rencana kawasan peruntukan industri di Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Kabupaten Pasaman Barat;

Ketiga
Hasil observasi lapangan : lokasi rencana industri berada di wilayah kelola masyarakat yang saat ini digunakan sebagai lokasi pemukiman, perkebunan rakyat, sarana-prasarana ibadah, pendidikan, dan sarana prasarana umum lainnya;

Terkait klaim pemerintah atas kawasan hutan dan hukum, patut dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

Satu
Akar masalah pada tanah dan sumber daya alam, khususnya dibidang kehutanan bersumber pada sejarah politik kebijakan atas kawasan kehutanan warisan pemerintah kolonial belanda abad ke 18, yang dikenal dengan “modern school of scientifict forestry” yang mengabaika dimensi manusia sosial atau aspek manusia didalam kawasan hutan;

Dua
Klaim sepihak oleh negara atas nama “hutan negara” dan “kawasan hutan” yang dihasilkan dari politik kebijakan kehutanan pada masa orde baru yang berwatak otoriter masih menjadi masalah dasar penyingkiran masyarakat sekitar hutan dan pengabaian hak kelola masyarakat hukum adat/lokal/tempatan atas hutan dan sumber daya alam;

Tiga
Dalam banyak praktik kebijakan kehutanan juga sering ditemukan diskiriminasi terhadap hak-hak masyarakat sekitar hutan. Disatu sisi upaya pengakuan wilayah masyarakat sekitar hutan sering terhambat beragam politik administrasi. Sementara disisi lain, jika untuk tujuan aneka bisnis kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan sektor sumber daya alam lainnya, serta atas nama tujuan pembangunan nasional, seringkali justru dimudahkan;

Empat
Bahwa Negara wajib melindungi masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan dengan cara melakukan koreksi kebijakan kehutanan, termasuk didalamnya melalukan koreksi atas proses penetapan dan pengukuhan sepihak oleh negara dengan mengutamakan penerapan prinsip dan norma HAM dalam tatakelola hutan secara nasional;

Lima
Negara wajib menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan dengan cara melakukan audit perizinan untuk mencegah marginalisasi, ekslusi, dan pelanggaran HAM, serta demi terwujudnya keadilan sosial ekologis;

Enam
Negara wajib memastikan penataan ruang kembali, pengukuhan kawasan hutan dengan disertai upaya penyelesaian konflik tenurial, revisi tatarung, pengakuan wilayah kelola masyarakat, sehingga memenuhi prinsip clear and clean, legal, dan legitemed;

Tujuh
Dalam data pemerintah (BPS, 2020) menyebutkan bahwa dari 1.159 Nagari yang ada di Sumatera Barat, hanya 209 Nagari saja yang berada diluar kawasan hutan (18,03%), selebihnya 950 Nagari tercatat berada didalam dan disekitar kawasan hutan (81,97%). Terhadap situasi ini, tentu perlu dipastikan bahwa pemerintah tidak mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat/lokal/tempatan yang melekat pada asal-usulnya, namun berada didalam dan/atau sekitar kawasan hutan;

Delapan
Dalam penjelasan PP nomor 24 tahun 2021, Pemerintah menyatakan terdapat perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta ha yang dimiliki oleh korporasi dan sebagian lagi kebun rakyat dan belum mendapat kepastian hukum, atas situasi ini pemerintah memberlakukan prinsip ultimum remedium. Kebijakan ini kemudian memicu kritikan, karena pemerintah dianggap hanya akan mengampuni kejahatan perusahaan yang mengunakan hutan untuk perkebunan sawit secara melanggar hukum, tetapi tidak memberlakukan hal yang sama untuk kebun rakyat dalam skala kecil, yang secara historis hidup dan kehidupannya berada didalam dan sekitar kawasan hutan;

Sembilan
Pada 19 Agustus 2022 bertempat di Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sumatera Barat, telah dilaksanakan pertemuan penjajakan “Penyelesaian Konflik Agraria di Nagari Air Bangis” yang diikuti oleh Polda Sumatera Barat, Polres Pasaman Barat, Polsek Sungai Beremas, WALHI Sumatera Barat (pendamping masyarakat), Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat dan Komnas HAM RI Perwakilan Sumatera Barat dan telah menyepakati:

Bahwa para pihak sepakat menjajaki penyelesaian konflik dengan pendekatan dialogis dan restorative justice;

Bahwa para pihak sepakat mendukung solusi (salah satunya)perhutanan sosial yang menjadi solusi penyelesaian;

Bahwa untuk kebutuhan penyelesaian itu, WALHI Sumatera Barat beserta Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat akan melakukan Inventarisasi dan verifikasi data, peta, plotting masyarakat yang berada di Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat;

Sepuluh
Pemberlakuan hukum pidana bukan solusi yang tepat dalam penyelesaian keberadaan perkebunan masyarakat yang diklaim didalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha. Keputusan pemidanaan berpotensi mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal/tempatan yang berada di sekitar dan/atau dalam kawasan hutan. Terlebih keberadaan masyarakat yang mengantungkan hidup pada perkebunan tersebut berjumlah ratusan kepala keluarga (ribuan jiwa). Hal ini akan menimbulkan persoalan turunan, karena menyangkut dengan keberlangsungan hidup;

Sebelas
Pemerintah perlu berhati-hati dalam menempatkan aparat keamanan dilokasi yang berkonflik, terlebih berada dan/atau memihak (memberikan pengamanan) kesatu pihak yang terlibat konflik, dalam hal ini adalah pemegang izin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK) – Hutan Tanaman Rakyat a.n KSU Air Bangis. Meskipun pemerintah menyebutkan ada alasan yang mendasarinya, tetapi situasi ini akan memberikan kesan diskriminasi dan pemihakan pemerintah kepada kelompok tertentu. Sebaiknya tarik dan jangan lagi tempatkan aparat kepolisian di lapangan, terutama brimob;

Duabelas
Pemerintah patut mempertimbangkan untuk mengakaji dan/atau mereview izin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK) – Hutan Tanaman Rakyat a.n KSU Air Bangis Divisi I, II, dan III karena tumpang tindih dengan perkebunan masyarakat yang bukan bagian dari anggota KSU Air Bangis, sehingga keduabelah pihak mendapat perlakuan yang adil;

Tigabelas
Polda Sumatera Barat patut mempertimbangkan menghentikan proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana kehutanan dalam kasus a quo, membebaskan masyarakat yang ditangkap dan ditahan, kemudian menghormati dan menjalankan kesepakatan penyelesaian konflik yang telah disepakati pada 19 agustus 2022 di Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sumatera Barat, yang intinya penyelesaian masalah dengan dialogis dan restoratif justice;

Empatbelas
Diantara solusi penyelesaian konflik yang dapat ditempuh dan berdasarkan kepada kebijakan yang berlaku diantaranya adalah melalui skema Tanah Objek Reforma Agraria, Perhutanan Sosial, dan/atau pelepasan status kawasan hutan sebagaimana yang pernah dibicarakan dan disepakati pada pertemuan 19 Agustus 2022 di Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sumatera Barat.

Demikian himbauan ini disampaikan, semoga, proses penyelesaian konflik agraria ini dapat dilaksanakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; Hormat kami, Organisasi/Intansi/Lembaga

WALHI Sumatera Barat, Jaringan Pembela HAM Sumatera Barat, PBHI Wilayah Sumatera Barat,WCC Nurani ,Perempuan Pelita Padang, LBH Pers Padang, DPW SPI Sumbar, Sumbar Beragam, LBH Padang.

Individu, Wengki Purwanto, Advokat, Ramadhaniati, Aktivis Perempuan, Samaratul Fuad, Advokat, Ihsan Riswandi, Advokat, Indah Suryani Azmi, Advokat, Aulia Rizal, Advokat. untuk itulak Kapolda, Gubernur sumbar serta yang lainnya mengadakan pertemuan.

Dalam rapat tersebut, Ia kembali menindaklanjuti untuk mengusulkan penyediaan lahan PSN dengan lokasi di Air Bangis mencapai 30 ribu hektar.

Beberapa daerah lain juga mengusulkan namun dinilai masih kurang memadai, seperti Cilacap Jawa Tengah, dan Pontianak di Kalimantan Barat.

Sementara itu, warga Pigogah Patibubur, Air Bangis yang lainnya, berunjuk rasa, masih memprotes usulan PSN dimaksud.

Sebab di lahan yang diusulkan dimaksud terdapat 19 ribu hektar lahan garapan mereka yang ditanami sawit dan jagung. Kebun dimaksud menjadi sumber kehidupan bagi mereka.

Dalam keterangan terbarunya, Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sama sekali tidak mengecam aksi kekerasan dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga dan para aktivis Air Bangis, Sumatera Barat, yang menolak Proyek Strategis Nasional (PSN).

Aksi yang penolakan yang dilakukan warga itu berlangsung selama 6 hari hingga berujung pemulangan paksa masyarakat dan sempat ditahannya 17 orang.

Merespons hal itu, Ketua Komnas HAM Atnike Sigiro hanya meminta polisi untuk melakukan investigasi pasca insiden tersebut. Dia mendesak Polri membuat tim independen.

“Polri perlu melakukan investigasi terhadap peristiwa penangkapan yang terjadi dengan menurunkan tim independen serta memberikan sanksi kepada petugas yang melanggar aturan,” kata Atnike dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (7/8/2023).

Rujukan :

UUD 1945, terutama pasal 28A, 28C ayat (2), 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5);

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia;