Kerapatan Adat Nagari di Ranah Minang

ADVERTORIAL, TERBARU1694 Dilihat

KabarDaerah.com – Bhinneka Tunggal Ika, merupakan semboyan negara Indonesia berasal dari kitab Sutasoma yang berbahasa sansekerta karangan Empu Tantular ini memiliki arti ‘berbeda-beda tetapi satu’.

Bhinneka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air.

Berbeda, bahasa, karakter, adat, dlll disatukakan dalam Iman kepada Allah SWT. Sesungguhnya yang bersaudara itu adalah seiman. Iman yang kuat jika akar kokoh dan menancap dalam, Iman kebanyakan manusia hari ini gampang berubah. diganggu kebutuhan harian, kebutuhan perut. Sementara ketika manusia tidak paham akan Iman, maka ditengah jalan tujuan akan berubah.

Kita Bangsa Nusantara dipersatukan dengan menyamakan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa, lambang negara, dan lain-lain.

Setiap suku memiliki corak dan kekhasan hukum adatnya masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat hukum adat begitu menghormati dan menjunjung tinggi hukum adatnya, hal ini dikarenakan hukum adat merupakan aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat serta terbentuk dari kebiasan-kebiasaan yang sudah berlaku pada masyarakat adat itu.

Apa itu adat….???

Adat adalah NAN INDAK LAKANG DEK PANEH INDAK LAPUAK DEK HUJAN, merupakan dasar dan jalan yang seharusnya ditempuh dalam kehidupan kita.

Salah satu suku atau masyarakat adat di Minang dalam hukum kekerabatannya menarik garis keturunan secara matrilineal, kekhasan dari masyarakat adat Minang lainnya adalah basako, bapusako dan be Ugamo, yaitu agama islam.

  1. Baugamo artinya kita hidup tidak terlepas dari aturan dan aturan tersebut tidak boleh melenceng dari jalan yang lurus (Siratholmustqim).
  2. Basako artinya setiap kaum ataupun suku memiliki kekayaan immateril, misalnya gelar panghulu yang disebut dengan gelar sako. Gelar ini dipegang oleh mamak kepala suku.
  3. Bapusako berarti setiap suku ataupun kaum memiliki kekayaan materil yang biasa dikenal dengan harta pusaka tinggi kaum.

Terhadap harta pusaka tinggi kaum, kendali pengaturan dan pemeliharaannya dipegang Mamak Kepala Waris.

Salah satu harta pusaka tinggi kaum adalah berupa tanah ulayat. Tanah bagi orang Minang begitu penting, terutama yang berkaitan dengan kepemilikannya oleh kaum.

Karena begitu pentingnya maka terkait dengan hal ini AA Navis mengemukakan bahwa tanah merupakan tempat lahir, tempat hidup, dan juga tempat mati.

Analoginya,

  1. Sebagai tempat lahir maka setiap kerabat harus memiliki sebuah rumah, tempat anak cucu dilahirkan.
  2. Sebagai tempat hidup, setiap kerabat harus memiliki sawah atau ladang yang menjadi andalan untuk menjamin makan kerabat.
  3. Sebagai tempat mati maka setiap kaum harus mempunyai pandam pusara agar jenazah kerabat jangan sampai telantar. Ketiga-tiganya harta pusaka yang melambangkan kesahannya orang Minangkabau.

Semenjak NKRI disepakati berdiri, dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 diatur tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (selanjutnya disebut sebagai Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) pada Pasal 1 angka 7 mengartikan tanah ulayat sebagai bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dan di dalamnya diperoleh secara turun temurun merupakan hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan di Provinsi Sumatera Barat.

Di Minang, tanah ulayat dibagi menjadi tanah ulayat rajo, tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum.

  1. Tanah ulayat rajo merupakan hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian nagari di Provinsi Sumatera Barat. Dikatakan tanah ulayat rajo karena penguasaan terhadap tanah ulayat ini masih dilakukan oleh beberapa nagari, dan nagari dapat menguasai tanah ulayat rajo ini dengan manaruko atau membuka lahan baru.
  2. Tanah ulayat nagari diartikan sebagai tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. Penguasaan tanah ulayat nagari oleh ninik mamak atau panghulu-panghulu dalam nagari bergantung kepada sistem kekerabatan adat yang berlaku dalam nagari tersebut(adat salingka nagari). Tanah ulayat nagari dalam kelarasan Koto Piliang dikuasai penghulu pucuk, sedangkan dalam kelarasan Bodi Caniago penguasaan tanah ulayat nagari dilakukan oleh penghulu-penghulu dalam nagari.
  3. Selanjutnya tanah ulayat suku diartikan sebagai hak milik atas tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. Sedangkan ‘tanah ulayat kaum’ sebagai hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat kaum ini dimiliki secara bersama dalam keturunan matrilineal yang diwarisi secara turun temurun dalam keadaan utuh yang tidak terbagi-bagi. Tanah ulayat kaum inilah yang untuk saat sekarang ini yang lebih menonjol dibandingkan dengan tanah ulayat lainnya. Dalam istilah lain, tanah ulayat kaum disebut juga dengan tanah pusaka tinggi kaum.
  4. Tanah ulayat kaum berfungsi sebagai lambang ikatan kaum bertali darah supaya terus terbina hubungan sekaum bertali darah sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah setia.

Fungsi lainnya adalah sebagai jaminan kehidupan kaum terutama yang berkaitan dengan kehidupan agraris anggota kaumnya dan juga berfungsi sebagai lambang kedudukan sosial untuk kegiatan kemaslahatan kaumnya dan masyarakat. Selain fungsi, tanah ulayat kaum bertujuan untuk meningkatkan ekonomi kaum atau anggota kaum, sebab dengan adanya tanah ulayat kaum tersebut dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh anggota kaum itu sendiri.

Penguasaan tanah ulayat kaum sudah tidak diketahui lagi asal-usulnya. Jarak penguasaan oleh anggota kaum untuk pertama kalinya dengan anggota kaum yang terakhir melakukan penguasaannya sudah begitu jauh jarak waktunya, sehingga oleh anggota kaum terakhir yang menerima harta tersebut menyebutnya juga dengan harato tuo.

Tanah ulayat kaum hanya bisa diwarisi garis perempuan secara kolektif, sedangkan laki-laki dalam kaum tersebut hanya berhak mengatur dan melaksanakan segala hal yang berkenaan dengan kepentingan bersama, termasuk dalam memelihara harta benda kekayaan kaum serta harkat dan martabat kaum.

Tanah ulayat kaum tidak dapat dibagi kepada orang-perorangan yang menjadi anggota kaum untuk dimiliki, karena harta tersebut akan tetap berada dalam penguasaan kaum secara komunal.

Sebagai buktinya adalah anggota kaum tidak bisa bertindak secara pribadi untuk mengalihkan tanah ulayat kaum tersebut kepada pihak lain tanpa dengan persetujuan seluruh anggota kaumnya.

Anggota kaum hanya dapat menikmati hasil dari tanah ulayat kaum, hal ini sesuai dengan pepatah “aienyo buliah diminum, tampeknyo jan diambiak”.

Hak anggota kaum untuk mengambil hasil dari tanah ulayat kaum yang dikelolanya disebut dengan “ganggam bauntuak, pagang bamasiang, hiduik bapadok”, dalam istilah ini berarti hanya hasil pengelolaan saja yang menjadi milik anggota kaum, sedangkan tanah ulayat kaumnya tetap milik kaum.

Pemakaian tanah ulayat kaum secara ganggam bauntuak, pagang bamasiang, hiduik bapadok dapat terjadi dalam jangka waktu yang lama, atau bahkan selama-lamanya, dan anggota kaum lain tidak mencampuri penguasaan tersebut.

Ganggam bauntuak, pagang bamasiang, hiduik bapadok dapat pula terjadi secara bergiliran oleh anggota kaum.

Berbeda dengan kenyataannya bahwa tanah ulayat, terutama ulayat kaum, sering menimbulkan sengketa, baik di dalam kaum itu sendiri maupun antara suatu kaum dengan pihak lainnya. Persengketaan yang terjadi dapat berupa masalah pewarisan. Adanya sengketa pewarisan di dalam kaum salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan dari anggota kaum tentang falsafah ganggam bauntuak, pagang bamasiang, hiduik bapadok.

Anggota kaum yang menguasai tanah ulayat kaum secara ganggam bauntuak, pagang bamasiang, hiduik bapadok, berpandangan bahwa tanah ulayat kaum tersebut telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki, padahal penguasaannya itu hanya untuk dikelola dan untuk diambil hasilnya, yaitu dalam arti kata ‘kepemilikan semu’.

Sengketa pewarisan dapat juga terjadi antara suatu kaum dengan kaum lainnya atau orang perseorangan lainnya. Sengketa pewarisan seperti ini dapat dicontohkan bahwa suatu kaum berpendapat bahwa sebidang tanah yang dikuasai oleh kaum lain atau orang perseorangan lainnya merupakan tanah ulayat kaumnya, sedangkan kaum lain atau orang perseorangan lain berpendapat bahwa sebidang anah tersebut merupakan milik kaumnya/miliknya.

Bentuk sengketa pewarisan lainnya dapat terjadi ketika suatu kaum tersebut putus waris bertali darah, maka sengketa dapat terjadi dalam menentukan kaum mana dari suku yang sama dengan kaum yang putus waris bertali darah tersebut yang akan menerima pewarisannya.

Bentuk persengketaan lainnya adalah disebabkan karena adanya pengalihan hak terhadap tanah ulayat kaum, baik dengan titel jual beli ataupun dengan pagang gadai.

Apabila ditelaah prinsip yang dikandung oleh tanah ulayat kaum, bahwa tanah ulayat kaum tidak dapat dilakukan pengalihan hak.

Prinsip ini sesuai dengan pepatah adat, Dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando, kecuali dalam batas-batas tertentu yang tujuannya adalah untuk menutup malu, yaitu mambangkik batang tarandam, mayik tabujua di ateh rumah, rumah gadang katirisan, gadih gadang indak balaki. Namun demikian pengalihan hak tersebut haruslah dengan kesepakatan seluruh anggota kaum, dan biasanya sengketa terjadi karena pengalihan hak dilakukan oleh seorang atau beberapa orang anggota kaum tanpa adanya kesepakatan seluruh anggota kaum. Membuat keadaan tersebut batal.

Adanya sengketa-sengketa yang berkaitan tanah ulayat kaum tersebut menghendaki adanya penyelesaian secara adat pula sesuai dengan asas musyawarah untuk mufakat yang dikandungnya. Sengketa di dalam kaum diselesaikan oleh para ninik mamak yang ada di dalam kaum tersebut.

Mamak kepala waris sebagai laki-laki tertua di dalam kaum atau anggota kaum laki-laki lain yang dituakan di dalam kaumnya serta mamak kepala kaum (dikenal juga dengan penghulu kaum) berperan penting dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

Orang minang tidak mau secara langsung melibatkan pihak lain dalam menyelesaikan sengketa dalam kaumnya, karena hal ini akan dapat memberikan rasa malu kepada mereka. Ketika persengketaan ini tidak terselesaiakan di dalam kaum, maka berikutnya permasalahan diminta penyelesaiannya kepada ninik mamak ampek jinih dalam kaum  suku tersebut, apabila juga tidak terselesaikan maka akan dibawa kepada Kerapatan Adat Nagari untuk membantu menyelesaikan. Begitu juga halnya dengan permasalahan antara suatu kaum dengan kaum lainnya atau orang perseorangan lainnya. Untuk pertama kali dimintakan bantuan kepada ninik mamak ampek jinih dalam suku dan barulah kemudian diajukan kepada Kerapatan Adat Nagari apabila tidak dapat terselesaikan oleh ninik mamak ampek jinih tersebut.

Menurut Pasal 1 angka 15 Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatan nya. Kerapatan Adat Nagari merupakan Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Permufakatan Adat tertinggi nagari yang telah ada dan diwarisi secara turun­-temurun sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat nagari di Sumatera Barat.

Lembaga Kerapatan Adat Nagari merupakan himpunan dari para niniak mamak dan penghulu yang mewakili suku atau kaumnya.

KAN dibentuk berdasarkan atas hukum adat nagari setempat(Adat Salingka Nagari). Ninik mamak atau penghulu yang terhimpun dalam lembaga ini mempunyai kedudukan dan wewenang serta mempunyai hak yang sama untuk menentukan hidup perkembangan hukum adat. Semua hasil mufakat yang didapat melalui Kerapatan Adat Nagari ini disampaikan kepada anggota sukunya.

Salah satu tugas Kerapatan Adat Nagari adalah menyelesaikan perkara-perkara perdata adat dan istiadat, termasuk salah satunya menyelesaikan sengketa tanah ulayat. Dalam Pasal 12 ayat (1) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya diuraikan bahwa sengketa tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh KAN menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku, bajanjang naiak batanggo turun dan diusahakan dengan jalan perdamaian melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan proses non litigasi. Kedudukan Kerapatan Adat Nagari tidak bersifat sebagai pihak yang memutus perkara tetapi untuk meluruskan persoalan-persoalan adat yang terjadi dari sengketa tersebut. Peradilan adat yang dimiliki oleh Kerapatan Adat Nagari dimaknai sebagai proses, yaitu cara untuk menyelesaikan suatu sengketa adat oleh suatu lembaga adat.

Secara yuridis, peradilan adat tidak diakui oleh undang-undang. Dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman) menguraikan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dan dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menguraikan bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang. Arti yang terkandung dari kedua pasal di atas adalah selain dari lembaga peradilan negara maka lembaga peradilan lain yang tidak diatur dengan undang-undang tidak diakui keberadaannya.

Apabila ditelaah ketentuan Pasal 12 ayat (1) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya di atas, sebenarnya keberadaan Kerapatan Adat Nagari dalam menyelesaikan sengketa adat dan istiadat adalah untuk melakukan mediasi adat, yang dituju dari proses tersebut adalah mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Kerapatan Adat Nagari hanya memfasilitasi, sedangkan penyelesaian tetap diserahkan kepada kedua belah pihak, sehingga keputusan yang diterbitkan oleh Kerapatan Adat Nagari adalah menyatakan tercapai atau tidaknya perdamaian bagi kedua belah pihak.

Kemudian pada Pasal 12 ayat (2) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya menguraikan bahwa apabila keputusan perdamaian tidak diterima oleh pihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka pihak-­pihak yang bersengketa dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan negeri. Jika uraian ayat (1) dan ayat (2) dari Pasal 12 Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan perdamaian oleh Kerapatan Adat Nagari sebagaimana telah diuraikan di atas, maka uraian pada ayat (2) menjadi tidak sejalan dengan uraian pada ayat (1) Perda Sumbar tersebut, karena apabila tercapainya perdamaian maka kedua belah pihak yang bersengketa tidak akan pernah melanjutkan perkaranya ke pengadilan negeri, sebab dengan tercapainya perdamaian maka kedua belah pihak dibebani untuk melaksanakan perdamaian yang telah mereka sepakati. Sebaliknya, apabila perdamaian tidak tercapai maka pihak yang merasa dirugikan atas sengketa tersebut dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan negeri. Dengan demikian menurut pendapat penulis seharusnya kalimat “apabila keputusan perdamaian tidak diterima oleh pihak yang bersengketa……..” pada ayat (2) tersebut berbunyi “apabila perdamaian tidak tercapai sebagaiman dimaksud pada ayat (1) maka pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan negeri”.

Secara normatif Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya telah dengan tegas menyatakan bahwa lembaga Kerapatan Adat Nagari adalah lembaga mediasi adat yang memfasilitasi perdamaian bagi pihak-pihak yang bersengketa adat, namun dalam kenyataannya masih terdapat keputusan-keputusan Kerapatan Adat Nagari yang memutus sengketa adat yang bersifat mengadili.

Kerapatan Adat Nagari dalam hal ini memposisikan lembaganya sebagai lembaga peradilan yang bisa memutuskan seperti halnya putusan yang diberikan oleh lembaga peradilan. Sebagai contoh adalah Kerapatan Adat Nagari yang menentukan kepemilikan suatu kaum atau orang perseorangan atas objek yang disengketakan, dan bukan lagi sebagai lembaga mediasi adat.

Selain tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya dari keberadaan Kerapatan Adat Nagari sebagai lembaga mediasi adat, keputusan Kerapatan Adat Nagari yang bersifat mengadili tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan kekuatan eksekutorial. Belum tentu pihak yang dirugikan atau dikalahkan dengan sukarela melaksanakan keputusan Kerapatan Adat Nagari. Jika pihak yang dirugikan atau dikalahkan dengan keputusan Kerapatan Adat Nagari tidak dengan sukarela melaksanakan keputusan maka pihak yang diuntungkan atau dimenangkan tidak mendapat hak sebagaimana yang disebutkan dalam keputusan Kerapatan Adat Nagari karena lembaga Kerapatan Adat Nagari tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi.

Tugas dan Fungsi Kerapatan Adat Nagari KAN

KAN Kerapatan Adat Nagari suatu lembaga di dalam nagari yang mengurus dan menjaga serta melestarikan adat dan kebudayaan di Ranah Minang. Dimana KAN ini terdiri dari berbagai unsur dalam nagari tersebut seperti;

  1. Para Penghulu atau datuk setiap suku yang ada dalam ke nagarian tersebut.
  2. Manti atau Cadiak Pandai merupakan kalangan itelektual dalam nagari tersebut.
  3. Malin atau Alim Ulama yang ada dalam nagari tersebut.
  4. Dubalang atau Penjaga keamanan dalam nagari tersebut.

Di dalam suatu kenagarian keputusan-keputusan KAN di jadikan pedoman oleh Wali Nagari dalam menjalankan pemerintahannya dan wajib di taati oleh seluruh masyarakat nagari tersebut sepanjang tidak melanggar peraturan dan perundangan yang berlaku.

I.5.2.2. Tugas dan Fungsi Kerapatan Adat Nagari KAN

Untuk memberikan kontribusi yang layak bagi pemerintah nagari Kerapatan Adat Nagari KAN tentu mempunyai tugas dan fungsi yang harus di laksanakan, ini juga sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No 4 Tahun 2008 pada bab IV, Pasal 87 ayat 1 dan Pasal 88 ayat 1. 9 Tugas KAN terdiri sebagai berikut :

  1. Memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Nagari dan BPRN dalam melestarikan nilai-nilai adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah di Nagari
  2. Memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Nagari dan BPRN dalam penyusunan dan pembahasan Peraturan Nagari
  3. Membentuk lembaga-lembaga unsur masyarakat adat yaitu Unsur Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan Pemuda
  4. Mengurus, membina dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan sako, pusako dan syara
  5. Mengusahakan perdamaian dan memberikan nasehat-nasehat hukum terhadap anggota masyarakat yang bersengketa terhadap sesuatu yang dipersengketakan dan pembuktian lainnya menurut sepanjang adat dan atau silsilah keturunanranji
  6. Mengusahakan perdamaian dan memberikan nasehat-nasehat hukum dan keputusan yang sifatnya final terhadap anggota masyarakat yang bersengketa terhadap sako dengan pembuktian menurut sepanjang adat dan atau silsilah keturunanranji
  7. Membentuk majelis penyelesaian sengketa sako, pusako dan syara’
  8. Membuat kode etik, yang berisikan pantangan, larangan, hak dan kewajiban Niniak Mamak sesuai dengan adat salingka nagari.
  9. Mengembangkan kebudayaan anak Nagari dalam upaya melestarikan kebudayaan Daerah dalam rangka memperkaya khasanah kebudayaan nasional
  10. Membina masyarakat hukum adat Nagari menurut adat basandi syara’,syara’ basandi kitabullah
  11. Melaksanakan pembinaan dan mengembangkan nilai-nilai adat minangkabau dalam rangka mempertahankan kelestarian adat. KAN bersama Pemerintahan Nagari menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan masyarakat Nagari.

KAN melaksanakan tugas setelah melalui proses bajanjang naiak, batanggo turun sesuai dengan adat salingka Nagari.

Selain mempunyai tugas yang harus di emban oleh KAN, KAN juga mempunyai fungsi.

KAN mempunyai fungsi sebagai berikut :

  1. Sebagai lembaga penyelenggara urusan adat di Nagari
  2. Sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola adat salingka Nagari
  3. Sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan adat di Nagari
  4. Sebagai lembaga pembinaan, pengembangan, perlindungan terhadap unsur Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, Pemuda Nagari dan unsur lainnya di salingka Nagari
  5. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat guna kepentingan hubungan keperdataan. juga dalam hal adanya persengketaan sako dan pusako di Nagari
  6. Bersama Pemerintahan Nagari meningkatkan kwalitas hubungan perantau dengan Nagari asal.

Fungsi yang dilakukan oleh KAN berdasarkan azas musyawarah dan mufakat sepanjang tidak bertentangan dengan ”adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” serta Peraturan Perundang-undangan.

Setiap keputusan yang diambil oleh KAN ditetapkan melalui rapat KAN sesuai dengan adat salingka Nagari.

Setiap rapat KAN yang melahirkan keputusan harus dibuatkan risalah. I.5.3. Pembangunan I.5.3.1. Pengertian Pembangunan

TANGGUNG JAWAB PANGHULU SEBAGAI PEMIMPIN

Dalam masyarakat Minangkabau sejak dahulu sudah dikenal sosok penghulu atau datuk sebagai pemimpin. Penghulu dalam masyarakat adat Minangkabau adalah pemimpin kaumnya dan pemuka adat dalam Nagari. Jabatan Penghulu di Minangkabau merupakan jabatan turun- temurun dari niniak turun ke mamak dan dari mamak turun kepada kemenekan yang segaris ketururan berdasarkan garis keturunan di pihak ibu. Biasanya yang berhak menyandang gelar penghulu adalah kemenekan terdekat dari seorang mamak yang biasanya disebut dengan kemenakan dibawah dagu. Seorang penghulu di Minang kabau adalah seorang pemimpin dikaumnya yang tanggung jawabnya adalah untuk membimbing anak kemenakannya, selain itu penghulu juga menjadi niniak mamak dalam Nagari yang biasanya tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau sebutan lainnya di Minangkabau.

Penghulu atau lazim juga dipanggil datuak di Ranah Minang adalah seseorang laki-laki yang sudah memenuhi syarat menurut kaumnya, diantaranya orang baik, sudah baliq dan berakal, berilmu dan lain- lain.

Penghulu lebih tinggi kedudukannya dari anak- kemenakan atau kaumnya. Biasanya penghulu di Ranah Minang adalah seseorang yang “didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting dikaumnya”.

Penghulu dalam masyarakat Ranah Minang mempunyai tanggung jawab yang besar didalam kaumnya untuk mengatur anak kemenakannya secara khusus dan masyarakat nagari secara umum.

Seorang penghulu di Ranah Minang berkewajiban untuk memimpin, memelihara dan melindungi kaumnya sehingga anak- kemenakannya merasa aman dan tentram. Seorang datuk atau penghulu mempunyai martabat yang tinggi dimata anak kemenakannya dan kaum lainnya.

Martabat seorang penghulu yang tinggi itu disebabkan oleh sebagaimana ungkapan adat Minang “ Tumbuah dek ditanam, tinggi dek dianjuang, gadang dek disambah“.

Artinya kebesaran seorang pangulu karena dibesarkan oleh kaumnya dan biasanya untuk “batagak gala” (mendirikan penghulu dilakukan berdasarkan proses adat dengan menyembelih kerbau untuk menyematkan gelar kepada penghulu dan diberitahukan kepada masyarakat Nagari, sehingga anak-kemenekan berkewajiban untuk menghormati dan mematuhi setiap  keputusan yang sudah dibuatnya.

Ada sejumlah sifat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu di Minang yaitu;

  1. Pertama, benar (Siddiq);
  2. Kedua, dapat dipercaya (amanah);
  3. Ketiga, cerdas (Fatanah); dan
  4. Keempat, menyampaikan (tablik).

Apabila seorang penghulu tidak memiliki sifat-sifat tersebut maka seorang penghulu akan sering bersikap tidak adil kepada anak-kemenakan yang dipimpinnya, sifat tersebut merupakan sifat wajib yang harus dimiliki oleh seorang penghulu sesuai dengan ungkapan Minang “ bajalan luruih, bakato bana” (berjalan lurus, berkata benar).

Dalam memimpin anak-kemenakannya seorang penghulu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku dikaum yang dipimpinnya, biasanya pedoman itu berasal dari nenek moyang  orang minangkabau yang biasanya berdasarkan tambo alam minang kabau, secara keseluruhan masyarakat minangkabau berpedoman kepada tambo, walaupun adat pemakaian masing- masing daerah berbeda. Dalam menjalankan fungsinya penghulu mestinya “ manuruik alu nan lurui, manampuah jalan nan pasa, mamaliharo anak-kemenakan dan mamaliharo harato pusako”.

Selain itu penghulu juga mengambil sebuah keputusan atau kebijakan terkait dengan harta pusaka dikaumnya untuk mensejahterahkan, menuntut dan menutup malu kaumnya. Selain itu penghulu juga akan menyelesaikan perselisihan antar kemenakannya, biasanya penghulu akan memanggil kemenekan yang sedang bermasalah untuk mendamaikannya, biasanya kalau penghulu sudah mendamaikan anak kemenakannya maka kemenakan akan menurut apa yang diputuskan oleh seorang penghulu.

Eksistensi seorang penghulu dalam masyarakat adat Minangkabau tergambar dalam ungkapan adat dinyatakan adalah sebagai berikut :

Kayu gadang ditangah koto, Bapucuak sabana bulek

Baurek sabana tunggang, Batang gadang tampek basanda, Dahannyo tampek bagantuang, Ureknyo tampek baselo, Daun rimbun tampek balinduang.

Tampek balinduang kapanehan, Tampek bataduah kahujanan

Dari ungkapan diatas dapat dipahami, bahwa penghulu (datuk) di Minangkabau adalah sebagai pelindung bagi anak-kemenakannya dan juga sebagai panutan bagi masyarakat (kaumnya) dan masyarakat nagari, dan  karenanya penghulu merupakan orang terpandang dan bermartabat. Penghulu di Minangkabau adalah sebagai pemimpin dalam urusan adat, akan memimpin anak kemenakannya dalam segala bidang dan menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi. Penghulu juga tokoh yang memelihara harta pusaka kaumnya.  Ada pun tugas dan Fungsi dari penghulu dalam mayarakat adat Minangkabau diantaranya sebagai berikut:

  1. Mengendalikan sistem pemerintahan menurut hukum adat yang berlaku dikaumnya;
  2. Membimbing anak- kemenakan;
  3. Mengadakan rapat dibalai adat untuk membicarakan sekitar persoalan kehidupan masyarakat Minangkabau;
  4. Memimpin kaumnya;
  5. Menyelesaikan masalah secara adil yang terjadi dalam kaumnya;
  6. Memelihara adat dan melestarikannya dengan cara mengajarkan kepada kaumnya;
  7. Memelihara dan melestarikan harta pusaka untuk menjamin kesejahteraan kaumnya.

Jadi, dari beberapa hal telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan, bawa penghulu (datuk) di Ranah Minang merupakan ciri khusus dalam sistem kepemimpinan dalam masyarakat adat.

Penghulu menjalankan sistem pemerintahan adat yang sejak dari dahulu sudah diwariskan oleh nenek moyang orang Minang secara turun- temurun yang penuh tanggung jawab sesuai dengan pepatah orang Minag “ anak dipangku, kemenakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan”. Dan sistem kepemimpinan penghulu itu masih bertahan sampai saat ini karena sesuai dengan kultur yang ada dimasyarakat Ranah Minang secara keseluruhan yang berdasarkan garis keturunan ibu(matrilineal)

Panghulu adalah pemimpin bagi anak kemenakannya dan merupakan orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting.

Pemimpin dalam Adat Minang disebut “Pangulu” atau Penghulu.

Pangulu bergelar “Datuak”, gelar tersebut diterimanya secara turun temurun. Seorang pangulu menjadi pemimpin untuk kaum atau sukunya.

Sedangkan di Nagari, di tingkat yang lebih besar, ia bersama-sama dengan pangulu lain menjadi pemimpin.

Jadi seorang pangulu selain menjadi pemimpin bagi anak kemenakannya, ia juga menjadi pemimpin masyarakat dalam suatu nagari.

Penghulu sebagai “urang gadang basa batuah ”(orang besar) mempunyai beberapa orang pembantu.

Pembantu utamanya itu adalah “manti, malin, dubalang”. Selain ketiga pembantu itu ada seorang pembantu dekatnya yang disebut “Panungkek”.

Manti yaitu pembantu pangulu dibidang tata laksana pemerintahan. Hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan menurut adat diurus oleh Manti.

Malin adalah pembantu penghulu di bidang agama. Semua urusan agama menjadi tanggung jawabnya. Ia bertindak menurut ajaran Islam, menurut Al-Qur’an dan hadits. Tugasnya membimbing masyarakat ke jalan yang ditentukan oleh Islam. Ia membimbing anak mengaji, mengajari anak-anak melaksanakan sholat dan memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang Islam.

Dubalang (hulubalang) adalah pembantu penghulu di bidang keamanan. Ia bertugas dan menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Dengan keberadaan dubalang, masyarakat merasa aman dan tentram.

Pangulu (penghulu) bertugas memimpin anak kemenakan. Ruang lingkup kepemimpinannya menurut adat sangat luas. Ia juga berkewajiban memelihara dan melindungi yang dipimpinnya sehingga anak kemenakannya merasa tentram lahir dan bathin, moral dan materil, mental dan spiritual. Oleh karena itu penghulu mempunyai martabat yakni kehormatan jabatannya.

Dalam ungkapan adat disebut pangulu “tumbuh dek ditanam, tinggi dek dianjung, gadang dek disambah” (tumbuh karena ditanam, tinggi karena ditinggikan, besar karena dipupuk).

Penghulu tersebut bukan ada dengan sendirinya, tetapi karena ditanam, ditinggikan dan dibesarkan oleh kemenakannya.

Pangulu lahir karena dilahirkan oleh kaumnya. Tinggi karena didukung oleh kaumnya dan besar karena dibesarkan oleh kaumnya. Oleh karena ia ditumbuhkan, ditinggikan dan dibesarkan, pangulu harus memelihara kebesarannya yakni dengan menjaga martabatnya dengan yang baik.

Untuk mempertahankan dan memelihara martabatnya, pangulu memiliki empat sifat utama. sifat-sifat itu mempedomani sifat Rasul Allah, Muhammad, yakni 1) siddiq atau benar, 2) amanah atau dipercaya, 3) fatanah atau cerdas, dan 4) tabligh atau menyampaikan. Keempat sifat rasul itu merupakan sifat dasar seorang Pangulu yang tidak boleh dilupakannya.

Sebagai pemimpin, penghulu mempunyai pakaian kebesaran yang disebut pakaian adat. Pakaian itu mengandung makna simbolik, adanya makna yang tersembunyi di dalamnya. Maknanya menunjukkan budi, kepribadian dan perangai seorang penghulu. Jadi, pakaian bukan hanya sebagai pertanda kebesaran belaka, tetapi merupakan lambang kepribadian dan tingkah lakunya.

Penghulu tumbuah karena ditanam, tinggi karena dianjung, besar karena dipupuk. Yang menanam penghulu adalah kaumnya, yang meninggikan penghulu adalah anak kemenakannya dan yang memupuk  penghulu adalah masyarakatnya. Jadi penghulu itu ada karena diadakan, tidak ada dengan sendirinya.

Pengangkatan penghulu disebut juga membangun gelar pusaka (membangun sako).

Jabatan penghulu di Ranah Minang turun temurun, dalam adat diungkapkan ”biriak- biriak tabang ka samak, dari samak ka halaman, dari niniak turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan”.

Yang berhak mendapat atau memakai gelar penghulu adalah kemenakan dekat, kemenakan di bawah dagu yakni kemenakan yang setali darah menurut matrilineal.

Penghulu adalah pemimpin kaumnya, pembimbing anak kemenakan dan menjadi niniak mamak di Nagari. Oleh karena itu seorang yang akan menjadi penghulu adalah orang yang memenuhi syarat kepemimpinan menurut adat Minangkabau.

PANGHULU PUCUAK

Nan Gadang Basa batuah, Nan dianjuang tinggi, Nan diamba gadang, Nan mambalah maampalau, Nan mamapeh mandatakan, Nan mamacik Carano adia, Mamagang bungka nan piawai, Nan bapucuak sabana bulek, Nan baurek sabana tunggang, Batang gadang dahannyo kuek, Daun rimbun babuah labek, Makanan urang dinagari. Batang gadang tampek basanda, Ureknyo bakeh baselo, Dahan panjang bakeh bagantuang, Daun rimbun tampek bataduah, Bataduah jikok kahujanan, Balinduang jikok kapanasan, iyo dek anak kamanakan nan sapayuang sapatagak dibawah payuang salingka cupak.

MANTI ADAT

Nan cadiak bio parih, Tau hereang jo gendeang,Tau dicakah dengan kaik, Pandai manarah manalakang, Pandai marapek dalam aia, Mambuhua indak mambuku, Mauleh indak mangasan, tugasnyo malaksanakan dan mangawasi orang atau anak kamanakan nan mamakai adat, adat nan salingka Nagari Pusako salingka kaum, dan manti itu adalah orang yang bijaksana dalam menjalankan dan melaksanakan tugasnya,tau dirantiang kamancucuak tau di dahan kamaimpok, tau di batu kamanaruang, sungguahpun kaia nan dibantuak, ikan dilauik nan dihadang, pendeknyo Manti adat itu dapat bertindak secara cepat dan tepat dan mampu menghadapi banyak masalah.

MALIN ADAT :

Suluah bendang dalam Nagari, Palito nan indak namuah padam,duduaknyo bacamin kitab tagaknyo rintang jo pituah, tugasnyo melaksanakan dan mengawasi serta membantu Penghulu dibidang agama, mulai dari mengajarkan mengaji sampai menunaikan rukun islam, serta mengajarkan dan melaksanakan seluruh yang berkaitan dengan ajaran agama islam kepada orang dan anak kemmenakan dan harus memberikan contoh tauladan kepada banyak orang dengan sifatnya sehari-hari, tau dihalal dengan haram tau disyah dengan batal.

DUBALANG ADAT

Parik paga dalam Nagari, Punco baliuang di tangah koto, tau diribuik kamandingin, tau di dahan kamaimpok, jikok tinggi dipanjeknyo, jikok randah dijangkaunyo, kareh ditakiak lunak disudu, satahun parang ka usai lah jaleh kalah manangnyo, bapantang sawah dirompak urang, bapantang banda diruntuah urang, Kok cupak dipapek rang manggaleh, jalan dialiah dek urang lalu, bakaokan tapo dengan gayuang, bacubokan tumpu jo taralak, disinan dikana tuah niniak mamak, satapak bapantang suruik, salangkah bapantang mundur, tugasnyo mambantu Pengulu didalam bidang keamanan, baiak didalam suku maupun didalam Nagari,

Dubalang adat adalah Nan bamato sabana nyalang batalingo sabana nyariang, tau disumbang dengan salah, parik paga dindiang nan kokoh, kok mahampang sampai kasubarang, kok mandindiang sampai kalangik, manjago cabua kok nyo tumbuah, sia bana maliang jo pancilok, manjago barih jo balabeh. Kasimpulan dari tugas penghulu adalah : dalam mamegang amanah tugas pokoknyo :

  1. Mamaliharo harato pusako untuak diwariskan sacaro turun temurun.
  2. Manjua manggadai harato pusako adalah suatu perbuatan “ yang sangat terlarang bagi seorang Penghulu “Dijua indak dimakan bali, Di gadai indak dimakan sando,Kalau tagak kubangan tingga, luluak dibawo sado nan lakek dibadan,Aianyo buliah diminum, buahnyo buliah dimakan, nan batangnyo tatap tingga dinan punyo.
  3. Manjago anak kamankan, mamaliharo anak jo harato pancarian, manjago kamanakan jo harato pusako tinggi, mamaliharo anak jo budi, mamaliharo kamanakan dengan raso jo pareso, raso dibawo naiak pareso dibawo turun.
  4. Singkek kamauleh, lamah kamanaua, kurang kamanukuak, senteang kamambilai, apabila seorang kemenakan membutuhkan pertolongan jangan dibiarkan dia minta pertolongan pada orang lain, apalagi minta tolong kepada orang yang berlainan agama.
  5. Hilang kamancari, hanyuik kamamintasi, tabanam kamanyulami, Pengulu harus bisa menyulami permasalahan anaka kamanakan baiak manyulami harta yang terpendam maupun adat yang sudah hilang dikalangan anak kamanakan.
  6. Rantau jauah diulangi dakek dilinggasi, artinyo kok jauah didanga-danga kok dakek diliek-like, kaba elok nan baimbauan kaba buruak nan baambauan.
  7. Memberikan pelajaran dan mewariskan adat lamo pusako using kepada  kamanakan dan anak cucu supayo jan kahilangan urang kudian mandapek urang dahulu, Kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka Panghulu, Pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo.

LARANGAN BAGI PANGHULU

Penghulu yang pertama diangkat di Ranah Minang ini adalah: Datuak Suri Dirajo yang diangkat oleh Sultan Sri Maharajo Dirajo, selanjutnya setelah Sultan Sri Maharajo Dirajo meninggal, maka Datuak Sri Dirajo mengangkat dua orang Penghulu lagi yaitu:

  • Datuak Bandaro Kayo
  • Datuak Maharajo Basa

Kedua Penghulu yang diangkat tersebut adalah anak dari Sultan Sri Maharajo Dirajo yang berlainan ibu. Datuak Bandaro Kayo, ibunya Puti Cinto Dunia dan Datuak Maharajo Basa ibunya Puti Sidayu. Isteri Sultan Sri Marajo Dirajo ada tiga orang (1) Puti Indo Jalito (2) Puti Cinto Dunia (3) Puti Sidayu.

Puti IndoJalito anaknya yang dengan Sultan Sri Maharajo Dirajo adalah SUTAN PADUKO BASA dan setelah Sultan Sri Maharo Dirajo meninggal Puti Indo Jalito menikah dengan Cati Bilang Pandai dan mempunyai anak anak (1) JATANG SUTAN BALUN (2) KALAP DUNIA (3) Puti Jamilan (4) Puti Reno Suda (5) Mambang Sutan. Selanjutnya setelah anak-anak Puti Indo jalito dewasa yaitu Sutan Paduko Basa, Jatang Sutan Balun dan Kalap Dunia, masing-masing diangkat jadi Penghulu yaitu :

SUTAN PADUKO BASA diberi gelar DATUAK KATUMANGGUNGAN (Yang memimpin Kelarasan Koto Piliang )

JATANG SUTAN BALUN diberi gelar DATUAK PARPATIAH NAN SABATANG  (Yang memimpin Kelarasan Badi Caniago)

KALAP DUNIA diberi gelar DATUAK SRI NAN BANEGO-NEGO (Yang memimpin Kelarasan Lareh Nan Panjang )

Ketiga anak-anak Puti Indo Jalito itu adalah pengangkatan Penghulu yang ketiga kalinya di Minangkabau, yang disumpah dan diminumkan air Keris si Ganjo Era oleh Datuak Suri Dirajo di atas Batu Nan Tigo di Dusun Tuo (Batu Nan Tigo itu terletak ± 100 meter sebelah timur Batu Batikam dipinggir jalan Batu Sangkar- Padang Panjang)

Sebagai seorang Penghulu mempunyai tanggung jawab yang penuh terhadap anak kamanakan serta kepada Nagari sesuai amanah yang dipikulnya sesuai Sumpah yang diucapkan oleh  Penghulu yang diangkat tersebut diatas dan sumpah tersebut sama dan berlaku untuk semua Penghulu atau orang yang menggantikan jabatan Penghulu, Bunyi Sumpah Penghulu itu  adalah sebagai berikut :

  1. BAKATO BANA
  2. BABUEK BAIAK
  3. MAHUKUM ADIA

Dan apabila seorang Penghulu melanggar sumpah tersebut maka :

  1. KAATEH INDAK BAPUCUAK (artinya Habis Punah Semua Keturunannya.)
  2. KABAWAH INDAK BAUREK (artinya  Habis Semua Hartanya.)
  3. DITANGAH DIGIRIAK KUMBANG (yang artinya badannya sendiri yang menanggung Parasaian yang tak Putus-putusnya)

Secara uraian lengkap larangan Penghulu menurut adat adalah sebagai berikut :

  1. Mangguntiang dalam lipatan
  2. Manuhuak kawan sairiang
  3. malalah kuciang di dapua
  4. Mamilin kacang nan mamanjek
  5. Mamilin jariang nan barisi
  6. Mangayia dalam balango
  7. Manahan jarek dipintu
  8. Mancari daun kabawah rumah
  9. Manjua anak kamanakan
  10. Mangicuah Korong dengan kampuang
  11. Manipu urang di Nagari

 

Elok Nagari dek Panghulu.

Sapakaik Manti jo Dubalang

Kalau tak pandai manjadi hulu.

Alamaik sapuah nan kahilang

 

Elok Nagari dek Pangulu.

Jalannyo Undang-undang dek Dubalang.

Kalau tak pandai mamagang hulu.

Putiang tangga mato tabuang

 

5.6.HIKMAH PAKAIAN PANGHULU

Sebagai Pengulu mempunyai pakaian kebesaran, Pakaian penghulu adalah suatu lambing kebesaran dan mempunyai arti tersendiri, mempunyai makna dalam tingkah lakunya serta pembawaannya sehari-hari sebagaimana dalam mamangan berikut ini :

Rupo manunjuakkan harago.

Kurenah manunjuakkan laku.

Nan lahia tampak dek mato.

Nan bathin tasimpan dalam itu.

Pakaian Panghulu adalah :

Saluak atau Deta

  1. Baju Gadang Indak basaku
  2. Sarawa Lapang Tapak Itiak
  3. Kain Saruang
  4. Ikek Pinggang/ Cawek
  5. Salempang Bahu
  6. Karih
  7. Tungkek Panghulu

Hikmah dari masing-masing pakaian tersebut diatas :

a.Saluak atau Deta :

Banyak karuik malambangkan bahaso panghulu itu lautan akal.

Berlipat-lipat melambangkan bahwa penghulu itu, akalnya tidak mudah untuk ditafsirkan dan dapat menyimpan rahasia.

Deta panjang batakuak, bayangan isi dalam kulik, panjang tak dapek kito ukua, leba tak dapek kito bilai, salilik lingkaran kaniang, ikek tatuang dikapalo, tiok katuak baunduang-unduang, dalam karuik bodi marangkak,tabuak didalam tiok lipek, Lebanyo pandindiang kampuang,

Panjangnyo pandukuang anak kamanakan, hamparan dirumah gadang, paraok gonjong nan ampek, dihalaman kapayuang panji, panuduangan Korong dengan kampuang,sarikek warih mandirikan, bakeh balinduang kapanasan bakeh bataduah kahujanan dek nan sapayuang sapatagak nan salingkuang cupak jo adat manjala masuak Nagari.

b.Baju Gadang Indak Basaku : Baju gadang melambangkan kebesaran bagi pengulu.

Lengan panjang melambangkan sifat suka membantu anak kamanakan dan orang yang dalam kesusahan.

Tidak basaku melambangkan bahwa penghulu tidak menyimpan uang, tidak suka mengambil keuntungan dalam urusan anak kamanakan, langan tasinsiang mangipeh angek naknyo dingin,pangipeh kabuak nak nyo habih.

Siba mangkilek manggulimpang, mambungkuih tak mambangkak, mauleh indak mangasan,  lauik ditampuah tak barangin, budi haluih bak lauik dalam kok dalamnyo indak tahajuak.

Langan bamiliak kiri jo kanan, bamisia makan keamanan, gadangnyo bapangiriang tagak baapuang jo aturan, unjuak baagak bainggokan, murah jo maha tak mambatasi.

Lihia lapeh tak bakatuak, babalah sampai hinggo dado, alam leba pandangnyo lapang, gunuang tak runtuah karano bukik, lauik tak karuah karano ikan, urang gadang martabatnyo saba, kok tagangnyo bajelo-jelo, kok kanduanyo badantiang-dantiang.

c.Sarawa Lapang Tapak itiak :

Lapang maksudnyo : langkahnyo ringan tidak menyulitkan dan tidak memberi kesulitan kepada naka kamanakan.

Kakinya besar artinya langkahnya selalu ketempat yang lurus dan tidak mudah terhalang selalu menurut barih jo balabeh adat.

Basirawa hitam gadang kaki, kapanuruik alua nan luruih, kapanampuah jalan nan pasa,  kadalam Korong dengan kampuang masuak ka koto jo nagari, langkah salasai baukuran, martabat aman mambatasi, murah jo maha ditampeknyo.

Tanah kadarnyo nan hitam,artinyo paham hakekat tahan tapo, Manahan sudi jo siasek, kokoh ganggaman nan sabinjek, kok kajadi incek jambu monyet itu pantangan dek panghulu :

  • Rang Payokumbuah batanam kunik.
  • Dibawo nak urang kakuantan.
  • Indak namuah kuniang dek kunik.
  • Indak lo kalamak karano santan.

d.Kain Saruang :

Kain Saruang sabateh lutuik artinyo : Waspada menjaga diri dari kesalahan dan kekilafan supaya berhati-hati melangkahkan kaki, ingek di batu kok manaruang, ingek di rantiang kok macucuak, lebih jauhlagi, berate-hati dalam mengambil tindakan dan dalam suatu urusan nan bajanjang naiak batanggo turun anak ba bapak kamanakan ba mamak, mamak ba panghulu, rumah gadang ba tungganai.

 

e.Ikek Pinggang/Cawek :

Ikek pinggang atau Cawek malambangkan : anak kamanakan dan masyarakat harus mendapatkan perlinduangan dari penghulu.

Cawek bajumbai alua, saeto pucuak rabuangnyo kapalilik anak kamanakan, ka panjarek pusako Datuak, nan jinak nak makin tanang, nan lia nak jan nyo  tabang jauah, kabek sabalik buhua sentak, kokoh tak dapek kito ungkai, longga bak dukuah lapeh, kato mufakaik paungkainyo.

f.Salempang Bahu  :

Salempang ka Bahu artinyo : mampu mamikua tanggung jawab terhadap anak kamanakan  sarato bertanggung jawab terhadap sagalo permasalahan.

g.Karih        :

Karih disisikkan dipinggang hulu arah kakiri artinyo : Penghulu pakai sanjato melambangkan kekuasaannya, hulunya kekiri artinya senjata yang dimilikinya tidak boleh dipergunakan untuk membunuh melainkan untuk melindungi anak kamanakan.

Ganjo irai ganjo manumpuah, sumarak minang pado zatnyo, aka jo budi dek penghulu, lahia jo bathin  bapaliharo,

Sanjato karih kabasaran sampiang cawek nan tampeknyo, sisiknyo condong kakida, dikesong mangkok dicabuik, gomboknyo tumpua putiang, tunangan ula kayu kamaik, kokoh tak rogo ba ambalau, goyah ba pantang tangga, bengkok nan duo tangah tigo, tapo luruih makanan banang, bantuak dimakan siku-siku, bamato baliak batimba, sanyawa pulo jo ganjonyo,  tajam tak rago dek ba asah, tapi bapantang malukoi, kapanarah nan bungkuak sarueh, ipuahnyo turun dari langik, biso bapantang ba tawakan, jajak ditikam mati juwo, kapalawan dayo urang aluih, kapanulak musuah dibadan.

h.Tungkek Panghulu :

Tungkek kayu nan kuat sarato luruih artinyo : Penghulu itu mampu menopang dirinya disamping kewajibannya menopang adat jo pusako sarato anak kamanakan.

Pamenannyo tungkek kayu kamaik, ujuang  tanduak kapalo pera, panungkek adat jo pusako , bari batagak nak jan condong, sako nak tatap di inggiran, ingek sabalum kanai nak taguah gantang jo anjuanyo, adat nak tagak jo limbago, sumpik nak tagak jo isinyo.

Kesimpulan yang dapat diambil hikmahnya dari beberapa pakaian penghulu tersebut diatas adalah : yang wujut fisiknya berupa warna tapi banyak yang tersirat didalamnya untuk dipahami lebih lanjut.

 

BUNDO KANDUANG DAN HIKMAH PAKAIANNYA

Arti panggilan  “Bundo Kanduang “ adalah “ Ibu Sejati” dan memiliki sifat keibuan serta kepemimpinan, karena itulah menurut ketentuan, Alam Takambang jadi Guru, dan ungkapan untuk Bundo kanduang adalah :

  1. Limpapeh Rumah Nan Gadang
  2. Ambun Puruak Pagangan Kunci
  3. Pusek Jalo Pumpunan Ikan
  4. Sumarak didalam Kampuang
  5. Hiyasan dalam Nagari
  6. Kok hiduik tampek baniaik
  7. Kok mati tampek banasa
  8. Kaunduang-unduang ka Madinah
  9. Payuang Panji ka Sarugo
  10. Cahayo rumah salendang dunia

Dan Bundo Kanduang juga mempunyai Pakaian Kebesaran yang penuh dengan arti dan hikmahnya yaitu :

Baju Kuruang Hitam :

Baju Kuruang Hitam adalah melambangkan keuletan dan tahan tapo jo tahan uji, ujung lengan tapak kudo hikmahnya melambangkan Bundo Kanduang harus tabah dan kuat dalam menghadapi segala sesuatunya itulah yang dinamakan “ Limpapeh Rumah Nan Gadang

Galang Munggu dan Galang Daun :

Galang Munggu dan galang Daun adalah walaupun ibu bersifat tabah dan tahan tapo tapi ado batehnyo manuruik alua jo patuik manuruik barih jo balabeh adat, dan pakai Galang daun yang artinya, seorang ibu perpandangan luas, kea lam leba Bundo Kanduang harus pandai sebagai pegangan Kunci, mangana labo jo rugi, ingek di duri ka manyangkuik, ingek di rantiang ka mancucuak, ingek di dahan ka maimpok, tau di angin ka basiru, tau di ombak nan basabuang, tau di bayang kato sampai.

Salendang Kain Balapak  :

Salendang kain Balapak meng-artikan seorang ibu sejati harus selalu bercahaya seperti cahaya kain balapak, “ Baa bana guruahnyo hari, Nan gaga di lauik juo, Baa bana rusuahnyo hati, di muko ka manih juo “. Kabaa bana tabangnyo balam. Tabang maraok masuak rimbo. Kabaa bana berang di dalam. Nan dimuko ka elok juo.”

Saruang Kain Balapak :

Saruang kain balapak artinya, seorang ibu sejati mempunyai sifat “ Raso jo Pareso “ dan harus mempunyai sifat “Malu” didalam dirinya, karena sifat malu adalah suatu ajaran adat Minagkabau dan juga ajaran Agama, kalau seorang ibu yang tidak lagi mempunyai rasa malu dan tidak lagi mempunyai sifat Raso jo Pareso diibaratkan seperti sekuntum mawar yang tidak berduri sebab dalam kata-kata adat dikatakan :

  • Nan Kuriak iyolah Kundi
  • Nan Merah iyolah Sago
  • Nan Baiak iyolah Budi
  • Nan Indah iyolah Baso
  • Kuek Rumah Karano Sandi
  • Rusak Sandi Rumah Binaso
  • Kuek Adat Karano Budi
  • Rusak Budi Hancualah Banso
  • Parak Kandikia jo Bindalu
  • Tumbuah Sarumpun jo Sikasek
  • Kok lah hilang Raso jo Malu
  • Bak kayu lungga Pangabek

Takuluak Tanduak :

Takuluak Tanduak artinya kepercayaan yang diberikan kepadanya harus juga dapat dipercaya karena Bundo Kanduang “ Ambun Puruak Pagangan Kunci “katampek urang mangadu, kok auih katampek mintak aia, kok lapa katampek mintak nasi, urang bapuro duo lampih, dan dalam hal ini laki-laki lah yang menjadi tulang punggung bagi wanita, karena wanita adalah kaum lemah yang harus dipelihara dan ditinggikan martabatnya sesuai ajaran Nabi Muhammad S.A.W, dan sebagai laki-laki yang bertulang kuat harus melindungi tapi tidak boleh menguasai, karena harta pusako tinggi hanya diperuntukkan untuk wanita.

Dukuah Panyaram dan Rago-rago :

Dukuah Panyaram dan Rago-rago, artinya Bundo Kanduang sebagai hiyasan dalam Nagari Sumarak Korong dengan Kampuang, Kok hiduik tampek baniat, kok mati tampek banasa, ka unduang-unduang ka madinah, Payuang Pani ka Sarugo.

Itulah sekelumit tentang Bundo Kanduang tapi walaupun yang diuraikan hanya Bundo Kanduang namun wujutnya adalah sifat yang harus dipakai oleh semua Perempuan Minangkabau, dan masih banyak yang perlu didalami dan dipelajari sifat-sifat seorang wanita, karena seorang wanita mau tidak mau pasti akan menjadi seorang ibu yang mendidik anak-anaknya dan akan mengurus rumah tangga.

Karena akir-akir ini perkembangan adat Minangkabau mendapat sorotan banyak pihak, antara lain ada yang berpendapat bahwa masyarakat Minangkabau semakin tidak acuh lagi dengan adatnya, bahkan ditengah-tengah masyarakat terutama ada kalangan orang tua-tua dengan lantang mengatakan :

  • Dahulu Rabab nan Batangkai
  • Kini kalikih nan Babungo
  • Dahulu iyo Adat nan Bapakai
  • Kini lah Pitih nan Paguno

Pepatah yang terkesan bernada Prihatin ini, menunjukkan bahwa adat Minang semakin hari semakin tidak mendapat tempat dihati penganutnya, yakni masyarakat Minang mudah-mudahan dengan membaca tulisan ini dapat menggugah hati generasi penerus untuk menegakan adat lamo pusako usang, amiiinn. (Red)