Saat Medsos dan Whatsapp Jadi Sumber Praha Rumah Tangga

Oleh : Rahmatika

Tingginya angka perceraian saat ini ternyata salah satu penyebabnya adalah media sosial. Kalau dulu yang mengajukan gugatan cerai adalah laki-laki maka saat ini yang mendominasi justru kaum wanita. Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Kota Bekasi, sebanyak 2.231 pasangan bercerai sepanjang Januari-September 2017.

Faktor pemicu perceraian terbanyak adalah perselingkuhan, yaitu sebanyak 1.862 kasus, disusul faktor ekonomi sebanyak 111 kasus dan faktor poligami 121 kasus. Dari banyaknya perceraian itu, pemicu utama dimulai dari maraknya media sosial yang dipakai para suami-istri.

Saya tidak terkejut. Perkembangan jaman tak hanya berpengaruh ke persoalan ekonomi, teknologi, pendidikan, dll. Hubungan antar manusia juga memperoleh imbasnya. Dulu jaman orangtua kita (sebelum era smartphone menjamur) apalagi jaman kakek nenek kita jarang sekali mereka bisa tahu kabar teman-teman lamanya apalagi mantan pacar atau gebetan ketika mereka masih remaja. Umumnya sama “setelah aku lulus / setelah aku nikah sudah tak pernah tahu lagi kontak teman-temanku“. Itu yang mereka sampaikan.

Saat ini jaman sudah berubah. Sejak Facebook tak lagi hanya dimonopoli oleh kaum muda, generasi ayah ibu kita seolah juga berlomba menggunakan itu untuk pertemanan. Mulai dari teman sekantor, teman jaman kuliah, teman di kampung, sampai kadang mereka punya kenalan-kenalan baru baik dari orang yang asal add as friend sampai karena sering berdiskusi di grup.

Hal ini juga terjadi saat Whatsapp sudah bukan lagi aplikasi asing. Kalau dulu berkomunikasi terasa susah dan mahal saat ini cukup berbekal beberapa puluh ribu rupiah atau koneksi wifi kita sudah bisa berkomunikasi tanpa batas.

Dulu orangtua saya biasa marah kalau sampai malam anak-anaknya ini masih belum tidur karena sibuk main HP. Saat ini kadangkala tengah malam pun grup di akun Whatsapp mereka masih ramai. Mulai dari ledek-ledekan antar teman sampai share foto cucu, meme-meme, link-link, dll. Akhirnya justru seperti kami bisa balik meledek mereka “udah malem jangan WA terus dong Pa, Ma “.

Dan ini saya lihat tak hanya terjadi di orangtua saya tapi juga pakdhe, budhe, om, tante, bahkan orang-orang dewasa lain yang saya temui. Mereka tak kalah dengan anak muda. Aktif di medsos aktif pula di aplikasi chatting.

Kita sama-sama pernah merasakan romansa, saya yakin pembaca Seword pun semua pernah tahu bahwa kadang perasaan tertarik dengan lawan jenis bukan pada saat pertama bertemu. Intensitas, rasa nyambung saat berkomunikasi, perhatian-perhatian kecil seringkali menjadi awal kita menjadi attach dengan seseorang.

Whatsapp maupun media sosial lain adalah katalisator terhebat untuk itu. Belum lagi aplikasi yang memang sudah jelas jadi wadah orang mencari seseorang seperti Tinder atau Ayopoligami.

Dulu kalau kita mau menghubungi mantan atau seseorang yang kebetulan kita tertarik biasanya agak ribet. Kalau mau titip pesan ke orang lain malu, kalau kita mau hubungi langsung juga tidak semudah sekarang.

Saat ini kita mau stalking juga seolah difasilitasi, kita mau tiba-tiba ngechat juga awkwardnya tidak separah dulu, bahkan banyak trik bisa dilakukan misalnya diawali meninggalkan komen atau like di unggahan sosmednya.

Banyak yang kemudian justru menemukan kenyamanan dengan orang yang intens dengannya di media sosial maupun aplikasi chatting. Apalagi jika kemudian itu berlanjut di dunia nyata. Bukan rahasia banyak yang akhirnya merasa menemukan kehangatan dan kenyamanan dengan teman dunia mayanya dibanding pasangannya sendiri. Sebab apa? KIta juga jauh lebih ekspresif di dunia maya serta bisa menjadi pribadi yang sangat beda di media sosial.

Contoh gampang nih misal mau memuji atau menggoda. Karena kebanyakan dari kita ini tidak dididik untuk mengekspresikan rasa sayang secara terbuka maka sosmed dan chat menjadi wadah. Kalau di kenyataan susah ngomong “I love you” atau “kangen deh” di media sosial kita bisa mengkode lewat stiker, emoticon, meme, dll. Mereka yang sehari-hari pendiam bisa jadi sangat atraktif di medsos.

Lantas bagaimana mengatasi kondisi seperti ini?

Kemajuan teknologi tentu kita tidak bisa mencegah. Yang dibutuhkan adalah kesadaran diri dan pengendalian. Harus ingat lagi dengan komitmennya terutama bagi yang sudah menikah. Yang belum menikah pun jangan mau digoda oleh mereka yang sudah berpasangan. Kalau pasangan Anda ada kekurangan harusnya itu tugas Anda untuk mencari solusi bersama, jangan sampai malah dialihkan dengan curhat atau mencari kenyamanan bersama orang lain.

Keterbukaan dan komunikasi yang lancar antar pasangan juga merupakan kunci. Kalau menurut Anda pasangan Anda kurang asyik sampaikan seperti apa keinginan Anda, jangan malah asyik-asyik dengan yang lain.

(Penulis adalah penggiat media sosial)

Tinggalkan Balasan