Implikasi Hoax dan Validitas Informasi di Tengah Masyarakat

OPINI & ARTIKEL51 Dilihat

Oleh: Agustri Kurniawan

Mencermati kondisi yang tengah terjadi di dalam masyarakat saat ini, melalui media sosial banyak bertebaran isu-isu serta realita seperti meraja-lelanya hoax, hatespeech (ujaran kebencian), maraknya orang gila yang suka menyerang ulama yang menjadi sebuah anomali.

Ada anggapan tebang pilihnya penguasa dalam penegakan hukum, menjadi topik diskusi yang tidak saja menarik, di stasiun-stasiun televisi swasta nasional, tapi juga menjadi informasi liar yang mengkhawatirkan, serta menjadi bola panas di tengah masyarakat.

Secara umum rakyat atau masyarakat terpecah menjadi dua kelompok, 1. yang berpihak kepada oposisi,  2. Yang berpihak kepada rezim. Keduanya sama-sama saling tuding, saling hina dan saling hujat, serta juga sama-sama saling mengklaim berpihak kepada kebenaran dan keadilan.

Kelompok pertama yang berpihak kepada oposisi dituding tidak pancasila, penganut paham radikal dan intoleran, yang akan melahirkan bibit-bibit teroris.Sedangkan yang berpihak kepada rezim dituduh kafir, liberal, munafik, PKI dll.

Baru-baru ini juga menjadi viral di media sosial video seorang pendeta yang menghina sebuah kelompok ormas Islam. Tapi berkembangnya situasi seperti ini, bila ditelusuri melalui media sosial, memang sudah terjadi saat pilpres 2014 dimulai.

Peran Penerintah dan Tokoh

Sebagai pihak yang berkuasa harusnya ada tindakan preventif serta langkah antisipasi dari rezim melalui pihak keamanan untuk meredam dan memblokir agar situasi ini tak berkembang lebih jauh ke arah pergesekan, konflik horizontal dan perpecahan antar elemen bangsa.

Harus ada statemen-statemen yang membuat sejuk situasi tanpa ada unsur keberpihakan dan berkeadilan dari penguasa maupun tokoh-tokoh bangsa (negarawan), kepada kelompok oposisi maupun kelompok pendukung pemerintah, serta tidak ada kesan tebang pilih atau “politik belah bambu.” Yang bisa tambah memperuncing keadaan, hingga mengganggu keamanan dan ketertiban.

Karena sama-sama kita ketahui dan sadari bangsa kita yang majemuk dan beragam ini rawan dan sangat tinggi resistensinya untuk dipecah-belah dan di adu-domba, oleh kekuatan ataupun kelompok tertentu, demi kepentingan, ekonomi, politik maupun kekuasaan.

Freedom of speech (kebebasan berbicara dan berpendapat) yang menjadi trend ditengah kehidupan dunia serta menjadi isu global, apalagi didukung oleh teknologi media dan informasi saya kira telah berkembang terlalu jauh dan makin liar.

Jika tidak ada antisipasi, tindakan dan langkah konkrit dari pihak yang berkuasa atau tokoh bangsa (negarawan) agar membuat sejuk situasi, saya pikir bisa makin tak terkendali, dan akan makin sulit untuk menjaga dan membuat jernih keadaan serta tentram kembali suasana dan ketertiban ditengah masyarakat.

Memberi kesejukan dan menjaga agar proses penegakan hukum tidak terkesan tebang pilih atau memakai politik belah bambu” (satu bagian diangkat, satu bagian lagi diinjak) oleh pemerintah diharapkan.

Agar narasi-narasi dan opini yang berkembang dan dibangun oleh masing-masing kelompok sebagai upaya untuk menciptakan image baik atau pencitraan demi kepentingan kelompoknya, tidak menjadi upaya saling menghancurkan, ini juga untuk menghindari cara-cara destruktif seperti saling tuding, saling hina dan saling hujat antar kelompok tersebut, ada aksi, ada reaksi sebuah hukum yang lumrah dan sering terjadi ditengah masyarakat.

Bisa dilihat dengan menuding sebuah kelompok anti pancasila, berpaham radikal dan intoleran,  kemudian kelompok lain membalas tudingan tersebut dengan kelompok kafir, liberal, munafik, PKI dll, bibit-bibit konflik horizontal sering dipicu oleh cara-cara seperti ini, walaupun memang realita dilapangan ada dan berkembang kelompok-kelompok seperti itu ditengah masyarakat.

Semestinya tiap-tiap kelompok tidak perlu memblow-up melalui media sosial maupun media lain, Hoax (berita yang tidak sedikitpun mengandung kebenaran) yang disebar untuk menyudutkan, membangun citra antar kelompok dan opini menyesatkan.

Tentu akan membuat persoalan ini semakin menjadi-jadi serta tambah memperburuk keadaan, kontra dan reaksi berupa perlawanan dan pembelaan kepada kelompoknya, saya pikir akan menjadi sebuah kewajaran dan sesuatu yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok.

Saat ini dengan kemajuan teknologi media serta informasi, pada dasarnya tidak satupun kebohongan maupun kebenaran yang tidak bisa terungkap atau diungkap dengan cepat oleh setiap masyarakat.

Masyarakat sudah semakin cerdas dalam menyikapi setiap informasi, banyak informasi dan media pembanding untuk menelusuri, menelaah serta membuktikan, apakah sebuah berita itu memang sebuah kebenaran atau hanya sebuah kebohongan (hoax) untuk sebuah pencitraan.

Disini pula, sebagai lembaga netral dan independen ada peran pers untuk mengontrol dan menjaga kesimbangan informasi yang beredar dan disebar ke tengah masyarakat tersebut, tapi apa daya?, semua masyarakat, kelompok dan elemen bangsa sudah ikut terlibat membangun dan meng-amin-kan narasi-narasi dan opini-opini tersebut.

Meskipun di tengah penyebaran narasi-narasi dan opini-opini ini tentu saja, ada pula kelompok yang lebih dini menyadari bahaya dengan tujuan untuk menciptakan kontrol dan kesimbangan, ada kelompok yang tambah memperkeruh suasana, serta ada pula yang murni untuk membangun keberpihakan pada kelompok tertentu, menyebar hoax atau pencitraan.

Pada akhirnya seluruh masyarakat memang dituntut harus cerdas dalam menganalisa, mengkomparasi dan menyimpulkan, apakah sebuah berita atau informasi itu memang mengandung sebuah fakta dan kebenaran yang perlu didukung, atau hanya sebuah hoax (kebohongan) untuk kepentingan politik, perebutan kekuasaan dan pencitraan.

Agar tidak terjebak dalam saling adu hoax, saling hujat dan saling hina, yang berujung bisa membuat keresahan, perpecahan dan perselisihan antar elemen bangsa juga membuat seseorang terkena oleh pasal UU ITE serta berurusan dengan hukum di pengadilan. ***