Hoax Pemanasan Global 

Oleh: Emeraldy Chatra

Orang-orang di kawasan Midwest, AS, kini dapat mainan baru. Mereka keluar rumah dengan secawan air panas. Kemudian menyerakan ke udara. Dalam hitungan detik air panas itu membeku, menjadi debu es. Mereka pun senang.

Kawasan Midwest itu meliputi beberapa negara bagian AS, seperti North Dakota, Minnesota, Ohio, Michigan, Kansas, dll. Posisinya di sebelah utara agak ke timur.

Sampai hari ini kawasan Midwest masih dilanda polar vortex. Makna awamnya, dingin luar biasa. Bisa mencapai 50 derajat Celsius di bawah nol. Air panas yang dihamburkan ke udara seketika membeku. Orang tidak sanggup berlama-lama di alam terbuka. Air terjun Niagara pun mengeras, beku.

Presiden Donald Trump yang jauh sebelum polar vortex melanda Midwest sudah suka mengolok-olok global warming (pemanasan global) semakin bersemangat. Ia yakin betul pemanasan global itu hoax. Tapi masyarakat internasional menerimanya sebagai kebenaran.

Dalam kicauan twitter-nya 29 Januari 2019 Trump menulis, “People can’t last outside even for minutes. What the hell is going on with Global Warming? Please come back fast, we need you!”. Ilmuwan tidak berani lagi mengatakan Trump presiden dungu karena tidak percaya pemanasan global. Polar vortex membuat ilmuwan kehilangan argumen.

Isu pemanasan global dimulai tahun 1930an oleh Guy Stewart Callendar, namun tidak mendapat tanggapan serius masyarakat dunia. Sebagian mengatakannya hoax. Callendar mengembangkan teorinya dari teori efek rumah kaca yang dikembangkan sejak 1824 oleh Joseph Fourier yang dilanjutkan oleh John Tyndall (1860) dan Svante Arrhenius (1896).

Tahun 2003 James Mountain Inhofe, senator pada Senat AS untuk Lingkungan dan Pekerjaan Umum terang-terangan mengatakannya hoax dalam pidato berjudul “The Science of Climate Change”. Dugaan bahwa pemanasan global itu isu yang sengaja ditiupkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan mereka tidak berhenti. Akhirnya memang terbukti.

Sejak 2009 pemanasan global jadi salah satu skandal akademik terbesar di abad ke-21. Pasalnya, peneliti dari University of East Anglia’s Climatic Research Unit ketahuan memalsukan data cuaca. Ada hacker yang masuk ke komputer mereka dan mencuri ribuan file. Dari file-file yang kemudian disebarkan ke publik itu diketahuilah cerita pemanasan global hanya hoax.

Tokoh akademisi di balik penipuan itu bernama Dr. James Hansen, mantan klimatologis (ahli cuaca) NASA, badan antariksa AS. Setelah skandal climategate dari Universitas East Anglia ia digelari father atau grandfather dari mitos perubahan cuaca.

Setelah skandal climategate terbuka tidak banyak lagi akademisi yang menulis tentang pemanasan global. Mungkin pada ketakutan dituduh terlibat pembohongan publik atau menyebarkan hoax.

Namun dua tiga tahun belakangan wacana pemanasan global dimunculkan lagi. Pelakunya NASA. Pernyataan NASA yang dirilis media AS menyatakan tahun 2014 adalah tahun terpanas yang pernah dicatat. Suhu bumi naik 0,02 derajat Celsius dibandingkan tahun 2010.

Mungkin badan antariksa AS ini menganggap orang sudah melupakan skandal climategate dari Universitas East Anglia. Ternyata tidak demikian. Presiden AS Donald Trump jadi salah satu di antara orang terkemuka dunia yang tidak mau dikibuli. Cuitannya di Twitter menunjukan sikap sinis yang serius.

Dari kasus ini kita dapat belajar, hoax itu bisa melibatkan badan bereputasi seperti NASA dan para ilmuwan terkenal. Mereka lebih berbahaya kalau memproduksi hoax karena dianggap mengeluarkan pernyataan yang benar. Bukan hanya awam yang tertipu, tapi juga sesama ilmuwan. **

(Penulis Adalah Akademisi Universitas Andalas)