Pak Prabowo, Masihkah Engkau Bersama Kami?

OPINI & ARTIKEL51 Dilihat

Oleh : Anton Permana

Stasion MRT Lebak Bulus Jakarta Selatan hari ini jadi tempat bersejarah bagi perjalanan demokrasi pasca Pilpres berdarah-darah 2019 ini. Pertemuan dua anak bangsa yang 6 tahun ini menjadi pusat benturan dua titik episentrum arus politik yang cukup menguras energi bangsa ini. Khususnya buat Prabowo Subianto yang harus menelan pahit pil kekalahan untuk yang ketiga kalinya maju sebagai Cawapres dan Capres.

Berbeda dengan kontestasi Pilpres di tahun sebelumnya, Pilpres 2019 ini sangat monumental bagi Prabowo. Dukungan tumpah ruah rakyat yang luar biasa, topangan ijitimak ulama sebagai payung ummat, belum lagi tsunami dukungan power of emak-emak yang militan, namun akhirnya harus kandas dibawah ketukan palu hakim MK dan selembaran surat keputusan penetapan oleh KPU RI. Tidak hanya itu, dramatikal rusuh 21-22 mei yang memakan korban jiwa, baik ketika rusuh maupun tragedi kematian 700 petugas KPPS yang masih nenyimpan duka misteri sampai hari ini.

Kita semua pasti sepakat, bahwa Pilpres 2019 tahun ini adalah Pilpres terburuk yang pernah terjadi sejak zaman reformasi. Kerusakan hampir dari segala bidang. Tapi bagi penulis yang paling mahal itu adalah, telah hancur leburnya tata banguan harmonisasi antar masyarakat. Perpecahan diantara masyarakat juga begitu tajam dan emosional. Kerusakan tata harmonisasi masyarakat ini diperparah lagi dengan runtuhnya trias politika dan penegakan hukum dinegeri ini. Sedangkan kita tahu, penegakan hukum adalah pilar utama dari berjalannya sebuah roda demokrasi didalam sebuah negara. Penegakan hukum hancur lebur, berarti negara tersebut sedang berada diantara dua jurang yaitu ; jurang otoritarian rezim kekuasaan dan jurang neo-kolonializem (penjajahan gaya baru) oleh sebuah kekuatan dari luar.

Suasana kebatinan ini sangat kita rasakan bersama, sebagai sebuah ancaman bersama bagi keberlangsungan bangsa ini. Situasi kebatinan ini semakin menggelegak setelah hari ini publik nasional dihebohkan oleh pertemuan antara Prabowo dan Jokowi yang begitu viral dan jadi trend topik utama hampir diseluruh laman media.

Berbagai macam komentar baik yang pro dan kontra membanjiri setiap laman sosial media bahkan sampai ke WA pribadi penulis hari ini. Apa sebenarnya yang sedang terjadi ? Permainan politik apalagi yang sedang dipertontonkan oleh para pemimpin negeri ini ?

Hal ini menandakan bahwa betapa jenuh dan lelahnya bangsa ini melihat adegan politik yang tiada henti selalu bikin dada sesak. Wabilkhusus terhadap sosok Prabowo Subianto, yang tanpa pamrih serta pengorbanan yang luar biasa telah diperjuangkan sedemikian rupa. Wajar ada rakyat yang marah dan kecewa atas pertemuan di MRT Lebak Bulus ini. Ditambah gorengan media yang begitu dahsyat memainkan emosi rakyat yang baru saja terluka dan sakit hatinya atas putusan MK yang mereka anggap sangat jauh dari rasa keadilan dan kejujuran.

Semua mata dan pisau sangkaan tentu mengarah tajam kepasa sosok Prabowo Subianto. Ada apa dengan mantan Danjen Koppasus ini ?

Untuk itulah penulis pada kesempatan ini mencoba meraba dan menganalisis, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada 08 panggilan lain jendral bintang tiga ini. Berikut hasil analisis penulis secara sederhananya :

1. Kalau kita berbicara sakit hati, kecewa, marah, atau apalah lagi bentuk rintihan kesakitan atas nama pengorbanan. Tentu Prabowo lah yang seharusnya paling berhak marah, kecewa dan sakit hati. Bayangkan berbagai macam fitnah, hujatan, pengkhianatan, tenaga, pikiran, pengorbanan baik materil dan moril telah beliau tumpahkan kepada negeri ini. Bahkan seorang Jokowi pun adalah sosok manusia yang beliau sendiri ikut besarkan. Namun, sesama kita ketahui bersama, apa balasan yang beliau terima ? Malah air susu dibalas dengan air tuba.

Artinya, kalau hanya gara-gara pertemuan singkat diatas MRT Lebak Bulus ini, lalu kita dengan semena-mena mencaci maki, dan menghina beliau, alangkah naif dan apa bedanya kita dengan gerombolan para buzzer cebong bayaran itu ?

Kalau secara pribadi, penulis sudah memprediksi pertemuan ini pasti akan tetap terjadi apapun alasan dan judulnya. Namun yang harus menjadi catatan penting bagi kita adalah : penulis melihat dan menyaksikan pertemuan tersebut hanya sebuah pertemuan basa-basi semata. Bukan se-spesial hasil gorengan para buzzer dan media bayaran. Kata kuncinya adalah, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Prabowo ‘ ucapan selamat atas kemenangan paslon 01 ‘. Yang ada hanya “ tak ada kata cebong dan kampret lagi, dan ucapan selamat bekerja saja “. Dan bagi penulis ini adalah hal penting dan justru melihatkan kelas martabat seorang Prabowo. Kenegarawan seorang Prabowo.

2. Pertemuan diatas MRT bagi penulis, sebenarnya juga adalah symbol kemenangan secara defacto buat kubu Prabowo. Apapun alasan dan judulnya, yang jelas sosok Prabowo berhasil memaksa petahana keluar dari sangkar istananya. Sangat berbeda dengan beberapa tokoh nasional lainnya, yang rela antri, isi buku tamu, ngantri berpakaian rapi, datang dengan membungkuk ke Istana kepresidenan yang terikat dengan aturan protokoler.

Bagi penulis disinilah hebat dan briliannya seorang Prabowo memainkan jurus diplomasinya. Dan ini memberikan gambaran kepada kita semua, siapa sebenarnya yang ‘the real president of Indonesia’ itu sejatinya. Mohon maaf, Jokowi menurut pandangan penulis kuat karena ada dukungan barisan taipan, aparatur, jendral, media, dibelakangnya. Sangat berbeda dengan sosok Prabowo yang berada dekat bersama rakyat Indonesia.

3. Sebagai seorang negarawan yang sudah ditempa oleh berbagai macam didikan kepemimpinan dan militer. Pola pikir Prabowo yang sudh terbentuk ultra patriotik tentu berbeda dengan pola pikir dan pemahaman kita. Ada faktor lain yang juga tak kalah krusial dan fundamental yang menjadi pertimbangan beliau untuk akhirnya bertemu dengan Jokowi. Apa itu ? Biarkah waktu yang akan menjawabnya. Dan penulis yakin, seorang Prabowo tidak akan gegabah untuk berspekulasi mengorbankan kehormatan dan harga dirinya hanya demi sebuah “ kue kekuasaan dan uang “ seperti yang dihembuskan para buzzer media hari ini.

Dan penulis berharap, kalaupun itu ada ‘bargainning’ yang disampaikan tidak lebih dari keterkaitannya dengan kepentingan ummat Islam, para tokoh yang dikriminalisasi, dan yang terpenting tentang bagaiamana menjaga keutuhan NKRI.

4. Kita akan melihat setelah ini, apakah dugaan deal politik, terkait formasi jabatan yang ditawarkan oleh pihak istana itu benar ada atau tidak. Tetapi bagi penulis secara pribadi adalah, tidak ada sepatah kata pengakuan atas kemenangan dari mulut Prabowo kepada Jokowi hari ini adalah lebih dari cukup. Penulis secara pribadi menganggap hal ini biasa dan kita jangan terpancing pula untuk reaktif sesuai rentak gendang permainan isu buzzer media bayaran yang sedang berusaha keras membangun framing seolah Prabowo mengakui kemenangan Jokowi. Karena walaupun secara legalitas MK dan KPU menetapkan sepihak paslon 01 jadi pemenang Pilpres, tetapi secara legitimasi tetap berada ditangan rakyat Indonesia. Tidak ada tempat buat pemimpin curang di dalam hati rakyat Indonesia.

5. Sebagai muslim yang baik dan s ebagai anak bangsa yang bermartabat, mari kita tetap kedepankan kepentingan bersama dari pada hanya sentimen emosional semata. Kalau bagi penulis tidak ada sebaik kita bersihkan niat didalam hati kita. Bahwa kita berjuang bersama bukan karena sosok figur seorang Prabowo an-sich. Tetapi adalah niat karena Allah SWT. Atas nama nilai-nilai kebenaran untuk kebaikan ummat, bangsa dan negara. Hal ini akan lebih baik untuk kita, agar tetap bernilai ibadah dan kita tidak terjebak kepada sikap taklid buta akan pada makhluk manusia yang pasti tidak ada yang sempurna dan khilaf.

6. Mari kita anggap, pertemuan hari ini sebagai bentuk trik dan sinyalemen dari seorang Prabowo kepada kita semua, khususnya ummat Islam Indonesia. Yaitu menangkap sinyal pertemuan beliau hari ini sebagai bentuk sinyal tongkat estafet perjuangan kepada kita semua. Bahwa, kedepan bukan lagi perjuangan atas nama sosok Prabowo lagi. Bukan atas nama kepentingan Pilpres lagi. Tetapi sudah atas nama perjuangan seluruh bangsa Indonesia yang tidak ingin negaranya dikuasai oleh cengkraman neo-kolonialisme dan neo-komunisme yang sudah nyata didepan mata kita. Dan Prabowo seakan memberikan sinyal, inilah saatnya tongkat estafet itu kita ambil dan konversi kedalam sebuah bentuk gerakan bersama.

Untuk itu. Penulis kembali mengingatkan kita semua, untuk tidak mudah latah dan terpancing propaganda adu domba antar sesama kita. Tapi tentu mesti tetap waspada. Karena didalam politik itu tidak ada teman atau kawan yang abadi. Yang abadi itu hanya kepentingan. Dan jangan sesekali kita menggantungkan hidup dan cita cita kita kepada sosok manusia. Tapi bergantunglah kepada ridho Allah SWT. Melalui para ulama sebagi pewaris Nabi. Karena walau bagaimanapun, Prabowo itu hanyalah sosok manusia biasa yang tak bisa lepas dari khilaf dan dosa. Mari tetap kita utamakan ukuwah dan persatuan kita untuk tetap istiqomah berjuang dalam satu barisan, untuk Indonesia yang lebih baik. InsyaAllah.

( Penulis adalah Alumni Lemhannas Jakarta, 13 Juli 2019)