Poros Jakarta-Peking: Sejarah itu berulang kembali setelah 50 tahun

OPINI & ARTIKEL121 Dilihat

Oleh: Mayjen (Purn) Endang Hairudin

Saudara-saudara-ku yang terhormat, sekedar mengingatkan ada sebuah pepatah Perancis “l’histoire se répète” bahwa sejarah akan berulang kembali, dan hal ini sekarang betul-betul telah terjadi antara Indonesia-China.

Poros Jakarta-Peking jilid-1, diawali pada April 1963, ketika itu Presiden China Liu Shao-Chi berkunjung ke Indonesia untuk mempererat hubungan kedua negara sebagai “The New Emerging Forces/Nefo” yang digagas oleh Bung Karno guna mewujudkan tatanan dunia baru yang bebas dari Kolonialisme dan Imprealisme.

Sejak itu terbentuklah Poros Jakarta-Peking yang dipertegas oleh kedua pemimpin saat menghandiri conference non-blok 5-10 Oktober 1964 di Kairo Mesir, dengan harapan kedua negara akan menjadi kekuatan yang tangguh di Asia, tapi apa lacur orang-orang yang berada disekitar Bung Karno, memaksanya untuk mengikuti kebijakan pro-China dan akhirnya PKI melakukan pemberontakan pada 30 September 1965.

Setelah 50 tahun 6 bulan Poros Jakarta-Beijing/Peking jilid-2 terjadi kembali, dimana pada Oktober 2013 Presiden China Xi Jinping berkunjung ke Indonesia dengan misi bahwa China akan mendukung proses interkoneksi dan integrasi pembangunan ekonomi di kawasan, serta akan memberikan dukungan keuangan untuk pembangunan infrastruktur di negara-negara berkembang di kawasan.

Gayung bersambut dengan kunjungan Presiden Jokowi ke Beijing yang bersamaan dengan menghadiri KTT APEC 8-11 November 2014, kedua pemimipin membicarakan isu perekonomian dan peningkatan kerja sama, serta akan mengundang investor China masuk dalam proyek infrastruktur, disamping itu adanya gagasan untuk menghubungkan Poros Maritim Indonesia dengan Maritime Silk Road Abad-21 China.

Kedua poros Jakarta-Peking tersebut berbeda dalam pendekatan dan posisi kedua negara, dimana pada jilid-1 Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi sebagai pencetus gerakan non-blok serta kuatnya kharisma Bung Karno di dunia khususnya di mata negara-negara yang baru merdeka, namun pada saat itu Peking melihat hubungan tersebut untuk mengembangkan pengaruh Ideologi Komunis dan meningkatkan pengaruh Politiknya terhadap Indonesia.

Sedangkan dalam poros jilid-2, China telah menjadi negara super power ekonomi dunia dan memiliki kekuatan militer terbesar di kawasan, sehingga dalam hubungannya dengan Indonesia, China menggunakan kombinasi Soft Power dan Sharp Power yang sangat agresive dan massive dengan masuk kedalam seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa serta mendistorsi system pemerintahan.

Untuk itu China akan memberikan pinjaman uang seberapa besarpun yang dikehendaki Indonesia guna pembangunan infrastruktur maupun membiayai investasi lainnya termasuk untuk menyedot sumber daya alam dari perut bumi pertiwi, dan investasi dilakukan dalam bentuk ‘Turnkey Project Management’ dimana dana, manajemen, material dan tenaga kerja semuanya dari China.

Disamping itu Indonesia telah dibanjiri produk China karena begitu mudahnya proses impor, yang tidak hanya dilakukan oleh perusahaan bermodal besar tetapi juga dapat dilakukan dengan modal kecil seperti yang gencar disosialisasikan oleh Komunitas Importir.

Dengan adanya sejumlah proyek, investasi dan perdagangan yang melibatkan tenaga kerja China serta kebijakan bebas visa bagi warga negara China masuk Indonesia tentunya utang akan semakin besar, barang membanjiri pasar dan orang China bebas hilir-mudik keluar masuk Indonesia, maka untuk menguasai Indonesia, China tidak perlu lagi harus mengerahkan kekuatan militer atau memaksakan faham Ideologi Komunis-nya karena semua sudah berada dalam cengkramannya.

Kehadiran China adalah suatu keniscayaan yang harus dihadapi oleh negara miskin dan berkembang di belahan dunia, oleh karena itu belajarlah dari negara lain dalam mengelola hubungan dengan China agar Indonesia tidak terjebak dalam “debt-trap diplomacy” atau “politik infrastruktur” sebagai akibat dari kombinasi hutang, investasi dan perdagangan, sehingga Indonesia tidak harus menyerahkan pelabuhannya karena gagal bayar atau menyerahkan semua kegiatan proyek kepada China karena terlilit utang serta harus memberlakukan mata uang Yuan.

Bagi Indonesia, hanya tinggal bagaimana pemerintahan dapat mengendalikan ekspansi ekonomi dan berbondong-bondong masuknya tenaga kerja China ke Indonesia agar esok-lusa tidak terjadi malapetaka bagi NKRI. Jangan menganggap bahwa pengulangan sejarah itu hanya sebagai suatu lelucon seperti apa yang dikatakan oleh Karl Max bahwa “History repeats itself, first as tragedy, second as farce.” ***